Selasa, 15 November 2022

Sejarah Bengkulu (16): Nama Lebong di Danau Tais dan Tapus; Pertambangan Kuno dan Kota Baru Pegunungan di Muara Aman


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini  

Lebong adalah nama wilayah (district) di pegunungan Bukit Barisan di wilayah Bengkulu yang berbatasan dengan Sumatra Selatan. Suatu distrik dimana emas ditemukan di wilayah Bengkulu yang diduga berasal dari zaman kuno. Distrik Lebong adalah wilayah orang Rejang. Oleh karenanya pada era Pemerintah Hindia Belanda nama wilayah disebut Redjang Lebong. Komunitas awal orang Rejang diduga di district Lebong yang berada di lereng gunung Loemoet di danau Tais (mengambil nama kampong Tais utara danau). Tetangga kampong Tais adalah kampong Tapus. Dalam perkembangkannya di selatan danau muncul nama kampong Danau (kotta Danau).


Lebong adalah nama kabupaten di provinsi Bengkulu dengan ibu kota di Tubei. Kabupaten Lebong pemekaran dari kabupaten Rejang Lebong (2003). Secara geomorfologis berada di sepanjang pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 500-1.000 mdpl. Ketampakan alam utama kabupaten ini adalah luak Lebong, sebuah lembah pada aliran sungai Ketahun, sungai penting yang berhulu di daerah Topos dan mengalir ke barat hingga bermuara di daerah Pasar Ketahun. Luak Lebong dikelilingi oleh puncak-puncak Bukit Barisan di kedua sisinya, masing-masing memisahkan daerah ini dari dataran rendah di Bengkulu Utara dan Musi Rawas Utara. Kabupaten Lebong secara historis memiliki sejarah panjang. Suku Rejang merupakan satu komunitas masyarakat di Kabupaten Lebong yang memiliki tata cara dan adat istiadat yang dipegang teguh sampai sekarang. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay). JLM Swaab, Controleur di Lais (1910-1915) mengatakan Lebong dianggap sebagai tempat asal usul orang Rejang. Dalam masyarakat Lebong ada larangan menari antara bujang dan gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah nama Lebong, danau Tais dan kampung Tapus? Seperti disebut di atas, wilayah/district Lebong adalah wilayah pertambangan emas sejak zaman kuno. Wilayah pertambangan emas di wilayah pegunungan ini kemudian terbentuk kota Muara Aman. Lalu bagaimana sejarah nama Lebong, danau Tais dan kampung Tapus? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Lebong dan Danau Tais Kampung Tapus; Wilayah Pertambangan Emas Zaman Kuno dan Kota Pegunungan Muara Aman

Narasi sejarah tergantung dari kestersediaan data sejarah. Sejauh ini, di luar prasasti, andi dan teks kuno, data yang tersedia dari orang Eropa di Hindia Timur, sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu narasi sejarah wilayah (administrasi pemerintahan) mengikuti arah perkembangan (organisasi) pemerintahan di suatu wilayah. Dalam hal ini, meski kini wilayah orang Redjjang (Lebong) masuk wilayah (provinsi) Bengkulu, tetapi awalnya bermula dari timur di Sumatra Selatan (baca: Residentie Palembang). Oleh karena itu, narasi sejarah Lebong sebenarnya harus dimulai dari wilayah Sumatra Selatan.

 

Kapan dikenal nama Lebong? Tidak diketahui secara pasti, Namun nama Redjang sudah diidentifikasi pada tahun 1834 ketika terjadi bencana besar dimana gunung Kaba Meletus (lihat Javasche courant, 08-02-1834). Dalam hal ini nama Redjang untuk kali pertama muncul ke permukaan. Sebagaimana diketahui sekarang nama Rejang dan Lebong adalah satu kesatuan, tetapi di masa lampau, nama Redjang yang lebih awal dikenal. Redjang adalah nama kelompok populasi yang mendiami dataran tinggi di lembag-lembag pegunungan Bukit Barisan, antara wilayah (distrik) Bengkoeloe dengan wilayah (kesultanan) Palembang. Lalu nama Lebong lebih diasosiasikan sebagai nama wilayah. Tetapi kemudian nama Redjang juga diidentifikasi sebagai nama wilayah (sebagaimana nanti dilihat nama wilayah menjadi Lebong en Redjang atau sebaliknya).

Wilayah Lebong di Sumatra dalam konteks sejarah awal dapat dikatakan sebagai remote area (berada diantara Bengkulu dan Palembang). Secara geomorfologis, wilayah Lebong (yang kini menjadi kabupaten Lebong) memiliki kedekatan geografis dengan Lais dan Ketahoen (akses melalui sungai antara pantai dan pegunungan). Sementara wilayah Redjang (kini kabupaten Kapahiang) secara geografis lebih dekat dengan Bengkoeloe, namun secara geomorfologis dengan mengikuti keutamaan dan arah aliran sungai Musi, wilayah Redjang (termasuk Kapahiang) lebih terhubungan dengan wilayah (residentie/kesultanan) Palembang. Hal itulah mengapa laporan bencana meletusnya gunung Kaba tahun 1834 dilaporkan oleh pemerintah residentie Palembang.


Secara sosial budaya, kelompok populasi Redjang di wilayah pegunungan (wilayah kabupaten Kapahiang, kabupaten Rejang Lebong dan kabupaten Lebong) berada diantara kelompok populasi penduduk Melayu di pesisir di pantai barat (seperti Bengkulu) dan pantai timur Sumatra (seperti Palembang), tetapi diantara kelompok populasi penduduk di wilayah pegunungan, orang Redjang berada diantara kelompok populasi orang Kerintji di utara dan orang Pasemah di selatan. Tiga kelompok populasi penduduk perdalaman ini memiliki kedekatan social budaya satu sama lain, seperti adat djoejoer, bahasa, aksara, arsitektur bangunan dan sebagainya.

Seperti halnya dipantai barat Sumatra, termasuk di (residentie) Bengkoeloe pembentukan cabang pemerintahan dimulai dari wilayah dan kota-kota di pantai, di residentie Palembang dimulai dari Palembang terus meluas ke pedalaman. Wilayah distriskt-district pedalaman dari residentie Palembang adalah district Ampat Lawang, district Pasemah dan distrist Redjang. Tiga district ini masih idependen, sementara district di hilirnya district Moesi Oeloe sudah menjadi bagian dari pemerintahan (lihat Almanak 1838). Sebelumnya, sebelum Rawas masuk wilayah residentie Palembang, sempat diperebutkan tahun 1834 antara kesultanan Djambi dan kesultanan Palembang. Tiga district idependent tersebut kemudian disatukan dan menjadi satu wilayah pemerintahan dengan nama onderafdeeling Ampat Lawang en Redjang (lihat Almanak 1840).


Sementara itu, beradasarkan Almanak 1840 residentie Bengkoeloe terdiri dari sejumlah district, sebagai berikut: Cauer (Kaur); Soegi Lamaow (Sungai Lama); Soengi Itam (Sungai Hitam); Moco-Moco (Muko-Muko); Mannah (Manna); Seloemah; Tapis Aier, Doeablas Darat, Laijs (Lais) dan Andalas Soengie Croe. Ibu kota residentie (Benkoelen) di Benkoelen.

Pada tahun 1844 (bulan Sepetember) ketika residen Palembang berkunjung ke Tebing Tinggi terjadi semacam perlawanan terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda di tiga district yang independent tersebut (lihat Nederlandsche staatscourant, 05-05-1845). Disebut indepeden karena belum ada pejabat Belanda ditempatkan dan wilayah dipimpin oleh pemimpin local. Namun dalam perkembangannya perlawanan itu terus meningkat hingga tahun 1851 diketahui dipimpin oleh Radja Tiang Alam (lihat Javasche courant, 17-04-1852). Disebutkan Radja Tiang Alam terdesak oleh militer (yang sudah mencapai Moeara Klingi) di district Ampat Lawang, lalu bergesee ke district Redjang untuk mempengaruhi penduduk Redjang untuk memberontak.


Keutamaan ketiga district yang masih independent iin, terutama district Ampat Lawang dan district Redjang adalah sentara beras, surplus beras dimana dari Ampat Lawang beras mengalir ke Palembang memlalui sungai Musi, demikian juga beras dari Redjang mengalir ke pantai barat Sumatra seperti Bengkoelen. Juga harus diingat seja era Raffles diketajhui wilayah yang kemudian disebut wilayah Redjang adalah tempat ditemukan tambang emas. Perlawanan di satu sisi adalah satu hal, keutamaan wilayah tersbut di pihak Pemerintah Hindia Belanda adalah hal lain lagi. Boleh jadi alasan-alasan ini yang terjadi pemberontakan local dan pengiriman ekspedisi militer bahkan hingga ke Moera Klingi. Catatan: pemimpin militer di Palembang setingkat letnan kolonel (Letnan Kolonel de Brauw yang juga menjabat sebagai Residen Palembang) sedangkan di Bengkoelen pemimpin militer berpangkat mayor. Berdasarkan Alamanak 1846 di Tebingtinggi sudah ada pejabat Belanda pertama yang ditempatkan dengan pangkat kapten.

Pada tahun 1852 ini berdasarkan Almanak 1852 nama Redjang tidak disebut lagi dalam pembangian wilayah Residentie Palembang (hanya disebut nama Ampat Lawang saja, ibu kota di Talang Padang). Sementara nama Redjang juga tidak teridentifikasi di dalam wilayah residentie Bengkoelen. Apa yang terjadi? Yang jelas bahwa di Tebingtinggi sudah ditempati oleh seorang Asisten Residen (lihat Almanak 1853). Nama Redjang terus menghilang dalam pembagian wilayah administrasi bahkan hingga tahun 1859 (Almanak 1859). Tampaknya wilayah Redjang masih dijadikan sebagai wilayah independent, karena fakta bahwa para pemimpin Redjang tidak dapat dipengaruhi oleh Radja Tiang Alam untuk memberontak. Nama Redjang baru muncul kemudian.


Berdasarkan Almanak 1862 di wilayah Redjang (dengan nama Redjang en Lebong) telah ditempatkan seorang pejabat Belanda setingkat controleur yang berkedudukan di Kapahiang (HP van Hangelaar). Sebagaimana disebut di atas, Kapahiang juga menjadi wilayah kelompok populasi Redjang, dimana sungai Musi yang berhulu di sekitar Curup mengalir ke arah timur terus ke Tebingtinggi. Controleur di Kapahiang (onderafd. Redjang en Lebing) ini berada di bawah koordinasi Asisten Residen di Tebingtinggi. Dalam Almanak 1862 disebutkan Controleur di onderafdeeling Lebong (Afdeeling Tebingtinggi) yang berkedudukan di Tapoes (JW Stoll). Catatan: onderafdeeling Moesi Oeloe ibu kota di Moeara Bliti (ada akses jalan dari dan ke Tjoeroep; lalu dari Tjoeroek ke selatan di Kapahiang dan ke utara di Tapoes).

Hingga tahun 1970 Onderafdeeling Redjang Lebong (yang telah direduksi) tetap menjadi bagian dari Afdeeling Tebingtinggi. Pada saat reorganisasi asministrasi pemerintahan di Residentie Palembang tahun 1878 onderafdeeling Redjang Lebong masih tetap masuk wilayah afdeeling Tebingtinggi (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-01-1878). Berdasarkan Almanak 1902 onderafdeeling Redjang Lebong masih dicatat sebagai bagian dari Afdeeling Tebingtinggi.


Nama Lebong tidak hanya di Bengkoelen, juga nama Lebong terdapat di Atjeh dan Lampong. Nama Lebing diduga adalah nama yang berasal dari zaman kuno era Hindoe Boedha. Redjang juga diduga nama yang berasal dari zaman kuno. Dalam hal ini nama Redjang dan Lebong diduga ada kaitanyya dengan penambangan emas di zaman kuno. Di dalam wilayah pertambangan zaman kuno inilah kemudian terbentuk kelompok populasi yang kini didientifikasi sebagai orang Redjang. Dalam hal ini nama Redjang dan nama Lebong seakan dikenal baru, sejatinya nama itu sudah eksis sejak zaman kuno.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Pertambangan Emas Zaman Kuno dan Kota Pegunungan Muara Aman: Era Pemerintah Hindia Belanda

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar