Kamis, 29 Desember 2022

Sejarah Surakarta (3): Pegunungan Selatan Surakarta, Giri di Gunung dan Gili di Laut; Era Wonogiri hingga Waduk Gajah Mungkur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Di wilayah pegunungan selatan Surakarta, pada masa ini telah terbentuk bendungan/waduk besar Gajah Mungkur yang menampung air sungai-sungai Bengawan Solo, Kaduang, Tirtomoyo, Parangjoho, Temon, dan sungai Posong. Luas genangan 8.800 Ha mencangkup 7 kecamatan dimana bangunan bendungan berada di desa Pokohkidul, kecamatan Wonogiri. Kita tidak sedang membicarakan waduk, tetapi bagaimana sejarah wilayah Wonogiri di wilayah pegunungan selatan di mana kini terdapat waduk Gajah Mungkur. Ada gunung Mungkur, lalu apakah ada gajah?


Wonogiri adalah wilayah kabupaten di Jawa Tengah, Di utara berbatasan kabupaten Karanganyar/kabupaten Sukoharjo, di selatan dengan pantai selatan, di barat dengan Gunungkidul (DI Jogjakarta), di timur dengan wilayah Jawa Timur (Ponorogo, Magetan dan Pacitan). Sejarah bermula di "kerajaan kecil" di bumi Nglaroh desa Pule, kecamatan Selogiri tahun 1741. Penduduk Wonogiri dengan pimpinan Raden Mas Said selama penjajajahan Belanda telah pula menunjukkan reaksinya menentang kolonial. Pangeran Samber Nyawa (Raden Mas Said) sukses dan menjadi Adipati di Mangkunegaran. Wilayah Wonogiri sebagian besar terdiri dari pegunungan yang berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran Pegunungan Seribu yang merupakan mata air dari Bengawan Solo, yang separuh datar, dataran rendah 100–500 M dpl. Wilayah ketinggian ≥500 M di Jatiroto dan Karangtengah. Geologi di Wonogiri batuan terdiri atas batuan sedimen, batuan gunung berapi, batuan terobosan dan endapan permukaan. Struktur geologi berupa lipatan sesar dan kekar, umumnya mempunyai arah barat–timur dan barat laut–tenggara. Di beberapa tempat di selatan Wonogiri adanya gua-gua dan sungai bawah tanah dan hutan jati. Nama-nama tempat antara lain Baturetno, Bulukerto, Girimarto, Giriwoyo, Jatipurno, Jatiroto, Karangtengah, Manyaran, Paranggupito, Selogiri, Wonogiri, Glesungrejo, Bulukerto, Domas, Singoboyo, Kopen, Boto. Gondangsari, Tasik Hargo, Pule, Gebang, Beji dan Banaran (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Pegunungan Selatan di wilayah Surakarta? Sejauh ini tidak ada yang memperhatikan. Ibarat garam di laut asam di gunung dan giri di gunung gili di laut. Nama Wonogori di wilayah pegunungan selatan Surakarta ini sangat penting sejak era Wonogiri hingga era Waduk Gajah Mungkur. Lalu bagaimana sejarah Pegunungan Selatan di wilayah Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pegunungan Selatan Wilayah Surakarta, Giri di Gunung Gili di Laut; Sejak Wonogiri hingga Waduk Gajah Mungkur

Untuk memahami wilayah Wonogiri di (residentie) Surakarta dari awal sejarah, tampaknya yang perlu diperhatikan adalah posisi pegunungan Selatan, suatu rantai pegunungan dari barat (gunung Merapi) ke timur di belakang pantai selatan Jawa. Pegunungan Selatan ini menjadi ‘pagar’ antara pantai selatan Jawa dan wilayah dataran Surakarta. Untuk memasuki wilayah pegunungan hingga ke pagar pegunungan selatan terdapat celah sempit dimana kini berada kota Wonogiri dan di selatannya lagi kini terbentuk waduk Gajah Mungkur.


Pegunungan Selatan sebagai pagar selatan, di wilayah Surakarta terdapat gunung yang tersisolasi yakni gunung Lawu. Disebut gunung terisolasi karena gunung Lawu terpisah dari rantai pegunungan di selatan (pegunungan Selatan). Wilayah antara lereng gunung Lawu dan (rantai) pegunungan Selatan terdapat celah yang menjadi jalan kuno antara Surakarta di barat dan Magetan di timur via Wonogiri. Sementara celah yang lain ke selatan dari Wonogiri adalah hulu daerah aliran sungai Bengawan Solo (yang kini dibangun waduk Gajah Mungkur).

Nama sungai Bengawan Solo sejatinya adalah nama dari dua sungai yakni sungai Bengawan dan sungai Semanggi (dua nama kuno). Dari (kampong) Wonogiri ke pegunungan (selatan; pegunungan Sewu) disebut sungai Bengawan, dimana sungai-sungai kecil bermuara. Sungai Bengawan/sungai Semanggi/sungai Solo sejatinya bermuara di Pegunungan Selatan (gunung Sewu/gunung Seribu). Sementara di hilir Wonogiri (setelah pertemuan sungai Panobasan dari leteng gunung Lawu dan sungai Pice dari lereng gunung Merapi) disebut sungai Semanggi merujuk pada nama kampong Semanggi (tidak jauh dari kraton Soerakarta (bedakan dengan Kartosoero), Kampong Semanggi ini menjadi pelabuhan kuno (dari dan ke muara sungai di Bojonegoro).


Ujung terjauh hulu sungai Bengawan ini di kampong Galanggang (perbatasan dengan Patjitan di pegunungan Selatan). Nama-nama tempat yang disebut di atas diduga nama-nama kuno (era Hindoe-Boedha), yakni gunung Lawu (awalnya disebut gunung Loewoe), gunung Merapi, Pice, Panobasan, Galanggang, Semanggi, Bengawan, Kaduwang. Nama Bengawan diduga awalnya adalah nama geografis (nama tempat/kampong atau nama gunung) tetapi tidak terindentifikasi lagi seperti (Tji)Sadane, (Tji)Tarum dan (Tji)Liwung dan (Tji)Lengsi. Uniknya, dan itu sangat aneh, nama Pice, Panobasan dan Galanggang juga ditemukan di wilayah Angkola (Tapanuli Selatan). Di Angkola juga terdapat dua gunung yang berhadap-hadapan seperti gunung Lawu dan gunung Merapi yakni gunung (Sorik) Marapi dan gunung Loewoe (Raja). Semakin aneh lagi, ornament yang terdapat di candi Sewu (di pegunungan selatan) mirip dengan candi di Angkola (candi Simangambat). Semakin aneh lagi di pantai selatan terdapat dua kampong kuno yakni Bolak dan Pagoetan, karena di Angkola juga ada nama tempat (Padang)Bolak dan Pa(r)g(ar)oetan. Apakah ini serba kebetulan?

Penamaan sungai lazim antara nama di hulu (di pedalaman) dan di hilir (pesisir pantai) karena dari sudut pandang yang berbeda. Populasi penduduk di pedalaman memiliki nama yang berbeda untuk sungai yang sama dengan populasi penduduk di hilir. Dalam hal ini sungai Bengawan adalah nama yang diberikan oleh populasi penduduk di hulu/pedalaman, sedangkan nama Semanggi diberikan oleh populasi penduduk di Semanggi (kemudian kraton relokasi dari Karto Soero ke dekat Semanggi dengan nama Soera Karta).


Nama-nama sungai di wilayah Sumatra umumnya nama tunggal seperti sungai Musi, sungai Batanghari, sungai Indragiri, sungai Kampar, sungai Siak, sungai Rokan dan sungai Barumun di pantai timur. Sementara nama-nama sungai di pulau Jawa banyak yang memiliki nama ganda (hulu-hilir): sungai Tjiliwung di hulu sungai Jakatra/Jakarta di hilir; sungai Tangeran di hilir sungai Tjisadane di hulu, sungai Bekasi di hilir sungai Tjilengsi di hulu dan sungai Tjitarum di hulu dan sungai Karawang di hilir. Hal serupa inilah yang terjadi dengan nama sungai Bengawan di hulu dan sungai Semanggi/Solo di hilir sehingga kini disebut sungai Bengawan Solo. Tentu saja sungai Kediri di hulu dan sungai Brantas dan sungai Soerabaj di hilir (bercabang di Modjokerto; pusat Majapahit tempo doeloe).

Bengawan dalam bahasa Sanskerta adalah sungai besar. Oleh karena itu diduga nama Bengawan lebih dahulu eksis daripada nama Semanggi/Solo, suatu nama yang diberi oleh populasi penduduk di pegunungan Selatan. Nama lain dari sungai yang berasal dari era Hindoe Boedha adalah ‘aru’, ‘aro’, ‘ari’ dan ‘ara’ seperti sungai B-aru-mun; sungai Aro-kan (Rokan), sungai Batang Ari (Batanghari), sungao S-aru-langun dan sungai Batang Ara-u. Tentu saja penamaan serupa ini ada di Jawa/Madura yakni sungai Aros-baya/Arus-baya (dari ‘aro’ dan ‘aru’ dan nama kebalikannya sungai Sora-baya/Sura-baya (dari ‘saru’ atau ‘saro’ yang artinya air/sungai). Lalu apakah dalam hal ini terkait dengan nama Sura-karta nama kebalikannya Karta-sura? Dalam hal ini ‘sura’ adalah ‘sungai dan ‘karta’ seperti halya ‘kerto’ atau ‘kerta’ adalah pusat pemerintahan (ibu kota) seperti Maja/Mojokerto dan Kerta/pati/h. Lalu bagaimana dengan Solo sendiri? Yang jelas bukan ‘solo’ dari bahasa Latin tetapi  ‘solo’ atau ‘sala’ di Jawa dan ‘silo’ di Sumatra yang artinya air/sungai.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejak Wonogiri hingga Waduk Gajah Mungkur: Pegunungan Selatan dan Wonogiri dari Surakarta

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar