Kamis, 29 Desember 2022

Sejarah Surakarta (4): Pembangunan Kanal di Surakarta dan Sungai Mati; Drainase dan Perkebunan Tebu pada Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Pembangunan kanal tempo doeloe tidak hanya di kota-kota pantai seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Padang, juga ada kanal dibangun di kota-kota-kota pegunungan di pedalaman, diantaranay kota Bandung dan kota Surakarta. Pembangunan kanal dimaksudkan berbagai tujuan, terutama untuk drainase dan pengendalian banjir. Di Surakarta pembangunan kanal, selain untuk pengendalian banjir juga untuk lalu lintas pelayaran sungai dan dalam kaitannya pengembangan perkebunan tebu.   


Saksi Kejayaan Perkebunan di Sukoharjo Utara: Telusuri Kanal Baki, Sungai Buatan di Masa Kolonial Belanda. Radar Solo, Sukoharjo, 3 July 2022. Pada masa lalu, Kecamatan Baki, Kecamatan Gatak, dan Kecamatan Grogol, Sukoharjo merupakan wilayah perkebunan tebu, tembakau, dan nila. Wilayahnya merupakan area persawahan subur. Sistem irigasinya pun masih bisa ditemui hingga saat ini. Jejak sejarah tersebut bisa ditemui di Kali Baki. Penjajah mengubah sungai alami menjadi kanal untuk irigasi. Saat itu, Belanda dan Keraton Surakarta menjadikan wilayah ini sebagai wilayah pertanian dan perkebunan yang sangat diandalkan. Masuk ke dalam wilayah Residen Soerakarta dan di bawah Kawedanan Kartasura. Sebelum era 1860 an di sekitar Baki sudah berdiri empat pabrik yaitu Pabrik Gula di Temulus, Pabrik Gula di Bentakan, Pabrik Nila di Gentan, dan Pabrik Nila di Ngruki. Kemudian pada sekitar 1890-an, mulai muncul pabrik-pabrik baru dan dengan komoditi yang berbeda pula yaitu Pabrik Temulus yang berubah menjadi pabrik pengolahan Tembakau, Pabrik Bakipandeyan, Pabrik Manang, dan Pabrik Gawok. Pendirian pabrik-pabrik di kawasan Baki ini mendorong pembangunan infrastruktur. (https://radarsolo.jawapos.com/daerah/sukoharjo/)

Lantas bagaimana sejarah pembangunan kanal di Surakarta dan munculnmya sungai mati? Seperti disebut di atas, di wilayah Surakarta juga terdapat kanal yang dibangun sejak era Pemertintah Hindia Belanda. Pembangunan dimaksudkan untuk drainase, kelancaran navigasi pelayaran sungai dan perkembangan perkebunan tebu. Lalu bagaimana sejarah pembangunan kanal di Surakarta dan munculnmya sungai mati? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pembangunan Kanal di Surakarta dan Sungai Mati; Drainase, Pelayaran, Perkebunan Tebu Pemerintah Hindia Belanda

Kapan pembangunan kanal dimulai di (residentie) Soeracarta? Tampaknya belum ada pada era VOC/Belanda hingga pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1819 adalah kali pertama Gubernur Jenderal Hindia Belanda berkunjung ke kraton Soeracarta dan bertemu Soesoehoenan (Opregte Haarlemsche Courant, 05-02-1820). Pada saat ini yang menjadi residen adalah HG Nahuijs. Dalam kunjungan ini tidak terinformasikan apa yang menjadi pembicaraan terkait dengan pembangunan. Sementara itu, di Buitenzorg mulai direalisasikan pembangunan kanal dari sungai Tjipakantjilan menuju land Kedoeng Badak unntuk pembangunan sawah baru.


Pada saat mulai digalakkan pembangunan di berbagai wilayah (khusunya di Jawa) untuk menambah produksi padi, dengan membangun kanal-kanal irigasi, di wilayah Residentie Soeracarta mulai terasa eskalasi politik yang terjadi di wilayah (residentie) Djogjakarta. Ini bermula Residen HD Nahuijs di Jogjakarta (mantan residen Soeracarta) yang mulai menjalankan program tetapi gunung Merapi meletus tahun 1823. Namun tidak lama kemudian pemberontakan terjadi di Jogjakarta tahun 1825. Sistuasi dan kondusi yang kondusif di wilayah (residentie) Soeracarta mulai terganggu. Hal itu karena kota Soeracarta menjadi basis (pintu gerbang) kehadiran militer yang terus meningkat dari waktu ke waktu menuju wilayah (residentie) Djogjakarta.

Pada tahun mendekati berakhirnya perang, program pemerintah di bawah Gubernur Jenderal van de Bocsh, produk ekspor digalakkan. Budidaya kopi sejak 1830 ditingkatkan di sejumlah wilayah seperti di Buitenzorg, Preanger dan Semarang. Boleh jadi ini dimaksudkan untuk menutupi deficit pemerintah karena banyaknya pengeluaran perang dalam lima tahun terakhir.


Dalam beberapa tahun terakhir ini di residentie Batavia, Buitenzorg, Krawang, Madioen, Soerakarta dan Djokjokarta pencetakan sawah baru telah meningkat lebih dari sepertiga sehingga budidaya padi basah menjadi sekitar 1.100.000 bau dan padi kering menjadi sekitar 250.000 bau. 

Tampaknya pendapatan devisa yang terus meningkat (budiaya kopi koffiekultuur yang ditingkatkan menjadi koffiestelsel) tidak membuat pemerintah surut tetapi terius menggenjot dengan meningkatkan pendapatan dari ekspor komiditi lainnya di residentie Batavia, Buitenzorg, Krawang, Madioen, Soerakarta dan Djokjokarta. Celakanya sawah basah kelas satu menjadi korban. Pada bulan Desember 1835 Pemerintah membuat kontrak, sebanyak 20.000 Ha dan telah ditanami tebu ditambah 4.000 Ha di tanah kering dan untuk perkebunan nila dilakukan di area seluas 14.000 hektar tanah basah dan 10.000 hektar tanah kering.


Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa jika hanya perhitungan sawah, yang ada pada tahun 1833, diambil sebagai standar, sebesar tiga puluh dua persen dari sawah di wilayah-wilayah tersebut telah disisihkan untuk produksi gula dan nila. Namun di sisi lain. dari 31.000 bau yang telah ditempati budidaya tebu dan nila, seluas 25.000 bau telah dikembalikan melalui pencetakan sawah baru.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Drainase, Pelayaran, Perkebunan Tebu Pemerintah Hindia Belanda: Pengembangan Kanal Masa ke Masa di Surakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar