Selasa, 10 Januari 2023

Sejarah Surakarta (27):Zending di Surakarta, Misionaris di Jawa Sejak Kapan? Permulaan Gereja-Gereja di Wilayah Tengah P Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Pada masa ini, gereja Katolik Santo Antonius di Surakarta disebut merupakan gereja tertua di Surakarta, didirikan tahun 1905. Bangunan yang terbilang besar ini disebut belum pernah berubah bentuk dan fungsinya hingga hari ini. Bagaimana dengan jemaatnya sendiri? Sejak kapan kegiatan zending dimulai di wilayah Jawa khususnya di bagian pedalaman seperti di Soerakarta. Tentu saja sudah ada para misionaris sejak awal, sejak awal dibentuknya pemerintahan (Pemerintah Hindia Belanda).


GKJ Margoyudan Surakarta, Penyebaran Agama. Bangunan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Margoyudan sekalipun lebih dekat dengan kehidupan Komunitas Kristen Jawa, tetapi secara arsitektural masih dengan jelas menampakkan jejak sebagai bangunan kolonial. Bangunan ini mempunyai sejarah yang unik selaras dengan kondisi sosio-kultural yang dipegang teguh oleh Kerajaan Kasunanan Surakarta pada abad XVIII. Gereja GKJ Margoyudan didirikan pada 1916. Perkembangannya dirintis melalui kegiatan rohani Kristen yang awalnya berada di bangunan milik seorang Belanda bernama Stegerhoek yang berupa bengkel kerja. Kemudian perkembangan komunitas rohani ini terwujud dalam bentuk pendirian sekolah Kristen pada 1909 atas prakarsa Dr. D. Bakker Sr. Untuk selanjutnya di sekolah itulah ibadah dan proses pendidikan dilakukan. Karena terpengaruh oleh Komunitas Kristen Jawa di Yogyakarta yang telah berhasil mendirikan Rumah Sakit Zending bernama Petronela Hospital pada 1897 (sekarang RS Bethesda), kaum Zending Surakarta berhasil mendirikan Zending Hospital pada 1912. Sejak berkembangnya pengaruh Zending di Surakarta, maka Komunitas Kristen Jawa selanjutnya berhasil menghimpun diri membentuk sebuah majelis dan meresmikan berdirinya Gereja Kristen Jawa pada 30 April 1916. Akibat perkembangan umat yang semakin banyak maka atas peran Pendeta Dr. H.A. van Andel diusahakan pembangunan gereja yang direncanakan mampu menampung umat sebanyak 400 orang. Gedung Gereja itu dibangun di tempat bengkel milik Stegerhoek dan secara resmi dibuka pada 1921 (sekarang Jalan Wolter Monginsidi). Keberadaan GKJ Margoyudan akhirnya mengilhami perkembangan Komunitas Kristen Jawa di Kota Surakarta maupun daerah di luar kota. Wilayah yang terilhami antara lain Sragen, Wonogiri, Delanggu, Kartasura, dan Karanganyar (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/).

Lantas bagaimana sejarah zending di Surakarta, misionaris di Jawa sejak kapan? Seperti disebut di atas, seiring dengan pembentukan cabang pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda, kegiatan zending mulai secara intens dilakukan di berbagai wilayah termasuk di (pedalaman) Jawa. Dalam hal inilah yang menjadi prakondisi permulaan gereja-gereja di wilayah pulau Jawa. Lalu bagaimana sejarah zending di Surakarta, misionaris di Jawa sejak kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Zending di Surakarta, Misionaris di Jawa Sejak Kapan? Permulaan Gereja-Gereja di Wilayah Pulau Jawa 

Pada tahun 1832 di Soerakarta dibuka institut bahasa Jawa (untuk orang Belanda) dibuka, dimana yang menjadi pimpinan (direktur) lembaga adalah JFC Gericke. Pesertanya 12 orang termasuk dua orang pegawai di kantor Resident Soerakarta, J Wilkens dan A Vincent. Setelah lulus mereka akan dipromosikan menjadi pejabat di wilayah dimana penduduk sepenuhnya berbahasa Jawa terutama di residentie baru yakni Banjoemas, Bagelen, Kedoe, Madijoen dan Kediri. JFC Gericke sendiri adalah misionnaris dari Lembaga Alkitab Belanda (Nederlandsch Bijbelgenootschap) yang ditempatkan di Soerakarta.


Pada tahun 1914 tiga orang utusan London Missionary Society (John Supper, G Brucker dan Joseph Kam) tiba di Batavia. Dengan kedatangan ketiga orang tersebut, Raffles membentuk Lembaga Alkitab Jawa dan ia dipilih menjadi ketuanya. Bruckner kemudian menjadi pendeta di Semarang (Supper di Batavia dan Kam untuk Maluku). Mula-mula Bruckner menjadi utusan NZG yang bertugas di Gereja Blenduk Semarang, tetapi setahun kemudian pada 1816 berhenti karena tidak menyetujui praktik Gereja yang sangat lalai dalam segala usahanya, misalnya dalam hal pembaptisan. Ia pun menerima dukungan dari Baptist Missionary Society dari Inggris selama beberapa tahun. Ia tidak membaptis satu orang pun. Pada bulan Desember 1914, Bruckner menikah dengan putri seorang misionaris Belanda di Semarang. Bruckner pergi untuk mencetak Alkitab di Serampore, India. Pada tahun 1915 ia juga menyempatkan diri mengunjungi Surakarta dan Yogyakarta. Selama tinggal di Semarang ia berhasil menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa (1829). Terjemahan tersebut merupakan terjemahan yang paling awal dalam sejarah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah di Nusantara. Terjemahan Alkitab Bruckner kemudian disempurnakan oleh JFC Gericke (Wikipedia).

Sejaman dengan G Brucker, salah satu pejabat Belanda di Soerakarta AD Cornets de Groot secara sukarela mempelajari bahasa dan sastra Jawa, karena keinginan untuk mempelajarinya, dan menulis seni tutur Jawa. Cornets de Groot telah menjadikan dirinya sangat berjasa dalam kesusastraan Jawa. Berbagai tulisan de Groot yang tidak terselesaikan karena meninggal misionaris yang baru saja tiba JFC Gericke, pada tahun 1831 diteruskan atas permintaan Bataviaasch Genootschap. JFC Gericke menerbitkannya pada tahun 1833.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Permulaan Gereja-Gereja di Wilayah Pulau Jawa: Misionaris dan Permulaan Kegiatan Zending di Soerakarta

Sejak 1814 (pada era pendudukan Inggris) sudah mulai ada aktivitas kegiatan misionaris di Semarang. Kegiatan misionaris terus belangsung hingga kekuasaan dikembalikan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pada fase-fase awal ini sudah ada misionaris di Semarang, yang telah mengunjungi jauh ke pedalaman di Soerakarta dan Jogjakarta. Salah satu misionaris tersebut adalah G Brucker. Pada fase ini yang menjadi residen di Soerakarta adalah HG Nahuijs (Jogjakarta sendiri masih berada di bawah administrasi Soerakarta). Pada awal tahun 1820an HG Nahuijs menjadi residen di Jogjakarta. Tidak lama setelah kehadiran Nahuijs di Jogjakarta mulai terjadi perselisihan di Jogjakarta yang kemudian memicu terjadinya perang (Perang Jawa 1825-1830).


Pada masa Perang Jawa (sejak 1825), mulai intens para misionaris di wilayah perang dimana mereka mengambil tempat di Soerakarta. Tujuan para misionaris adalah untuk memberi dukungan kepada korban perang, terutama para korban Eropa/Belanda. Pusat TKP perang berada di seputar Jogjakarta, tetapi para korban seperti yang luka ringan atau luka berat dievakuasi ke Soerakarta dimana telah dibangun fasilitas Kesehatan oleh militer. Pasien-pasien korban perang inilah yang menjadi sasaran para misionaris untuk mendukung semangat mereka sembuh dan mendukung semangat spiritual. Para korban mendapat hiburan selama sakit dan kepada korban yang sekarat mendapat layanan spiritual dengan doa-doa yang melapangkan. Para misionaris ini melayani semua tingkatan mulai dari perwira yang mengalami sakit hingga para prajurit yang rendah (lihat Bataviasche courant, 02-06-1827). Pada tahun 1828 diberitakan bahwa (kolonel) HG Nahuijs diangkat (kembali) menjadi reasiden Soerakarta (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 08-01-1828).

Pada fase terakhir perang, diketahui bahwa para misionaris di Semarang sudah mulai menyelesaikan sejumlah bagian terjemahan kitab (Perjanjian Baru) ke dalam bahasa Jawa. Dalam hal ini perang mulai berakhir di satu sisi, upaya awal penerjemahan kitab ke dalam bahasa Jawa sudah menghasilkan. Perang Jawa sendiri dapat dikatakan berakhir setelah Pangeran Diponegoro sudah di tangkap (lihat Javasche courant, 06-04-1830). Disebutkan dari Samarang bahwa kepala pemberontak Diepo Negoro, pada tanggal 29 Maret, dengan Ajudan Mayor de Stuers dan Kapten Roeps, dari Magelang dipindahkan ke Semarang dan selanjutnya pengiriman yang sama ke Batavia akan secepat mungkin dilakukan.


Pada fase ini sebagaimana disebutkan dalam Javasche courant, 06-04-1830 di Soerakarta diadakan peletakan batu pertama pembangunan gereja untuk penganut agama Kristen. Disebutkan upaya pembangunan gereja ini adalah inisiatif Residen Soerakarta HG Nahuijs dengan dukungan dari misionaris JFC Gericke. Untuk menandai awal pembangunan gereja dengan peletakan batu pertama, diiringin dengan tembakan senjata dari benteng.

Berakhirnya Perang Jawa dan penangkapan Pangeran Diponegoro di satu pihak dan selesainya terjemahan kitab ke dalam bahasa Jawa dan peletakan batu pertama pembangunan gereja di Soerakarta di pihak lain, mengindikasikan fase awal kegiatan zending di Soerakarta dimulai. Dalam hal ini sudah ada misionaris, sudah ada kitab terjemahan bahasa Jawa dan sudah ada gereja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar