Kamis, 28 September 2023

Sejarah Bahasa (45): Bahasa Kalang, Bahasa Hilang, Hilang di Jawa? Orang Kalang dan Orang Pinggir, Orang Gadjah Mati di Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada bahasa Kalang? Lantas mengapa ada kelompok populasi Kalang? Bagaimana dengan nama-nama Kalingga, Poerbalingga dan lain sebagainya? Ada juga kelompok populasi yang disebut Pinggir dan Gadjah Mati. Lalu apakah ada kaitannya dengan terbentuk bahasa Cirebon dan bahasa Banyumas? Kita hanya bisa bertanya-tanya.


Suku Kalang atau Wong Kalang adalah salah satu subsuku di masyarakat Jawa. Mereka ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa Kuno. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka dikucilkan oleh masyarakat mayoritas saat itu. Pengucilan tersebut yang mengawali sebutan "kalang". Kata "kalang" berasal dari bahasa Jawa yang artinya "batas". Lingkup sosial orang-orang ini sengaja dibatasi (atau dikalang) oleh otoritas atau masyarakat mayoritas waktu itu. Orang Kalang sengaja diasingkan dalam kehidupan masyarakat luas, karena dulu ada anggapan bahwa mereka liar dan berbahaya. Istilah "kalang" pertama ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kawedanan Tegalharjo, Kabupaten Magelang (831 M). Jadi diduga, suku ini telah ada sejak Jawa belum mengenal agama Hindu. Menurut mitos orang kalang adalah maestro pembuat candi yang secara fisik berbadan kuat dan tegap. Ada kemungkinan berasal dari Khmer atau Kamboja dimana orang kuat di negeri tersebut diterjemahkan sebagai manusia k'lang dimana candi di negeri Khmer mempunyai kemiripan candi di Jawa. Desa sekitar gunung Lawu, yakni desa Kalang masuk kabupaten Magetan. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Kalang, bahasa Hilang, hilang di Jawa? Seperti disebut di atas ada kelompok populasi disebut Kalang. Apakah orang Kalang memiliki bahasa sendiri? Siapa orang Kalang, orang Pinggir dan orang Gadjah Mati? Lalu bagaimana sejarah bahasa Kalang, bahasa Hilang, hilang di Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Kalang, Bahasa Hilang, Hilang di Jawa? Siapa Orang Kalang, Orang Pinggir dan Orang Gadjah Mati?

Apakah benar-benar ada kelompok populasi Kalang? Okelah, itu satu hal. Dalam hal ini apa itu nama Kalang? Nama Kalang bukan unik, tetapi nama tempat yang umum. Tidak hanya ditemukan di (pulau) Jawa, juga ada nama tempat Kalang di daerah aliran sungai Barito (lihat Bijdragen tot de kennis der geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk, 1863-1866, 1886). Nama yang mirip Kelang berada di pantai barat Semenanjung Malaya. Jangan lupa ada nama tempat Kalang Sari di Karawang dan Kalanganyar di Lebak.


Nama Kalang ditemukan dalam Babad Tanah Jawi (lihat Register op de proza-omzetting van de Babad Tanah Jawi (uitgave van 1874), 1900). Disebut Kalang; putri seorang Kalang diambil istri oleh Pangeran Adipati Anom pada masa pemerintahan Mangkurat II, setelah menikah dengan Raden Ajëng Lëmbah. Juga disebut ada wong gowong Kalang. Pada tahun-tahun terakhir nama Kalang mulai ditulis. JC van Eerde menulis dengan judul De Kalang-legende op Lombok yang dimuat dalam TBG XLV; Inggris menulis dengan judul De Kalang’s in Bagelen yang dimuat dalam Djawa I (1921); J Knebel menulis dengan judul De Kalang-legende volgens Tegalsche lezing uit het Javaansch yang dimuat dalam TBG XXXVII.

Nama Kalang sebagai kelompok populasi sangat beragam kisah dan sejarahnya. Deskripsi tentang asal usul orang Kalang paling tidak sudah dipublikasikan tahun 1839. Keberadaan orang Kalang bahkan jauh sebelum Sultan Agung (1613-1645) di Mataram berkuasa.


Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1839: ‘Oorsprong van hel zoogenaamde Kalangs-Volk door CJ Wintter di Soerakarta. Kalang adalah nama yang diberikan kepada suatu masyarakat di pulau Jawa. yang biasa berkeliaran, dan biasanya tinggal di hutan; namun sekarang, terutama terletak di ibu kota Surakarta dan Djogjokarla, sejak masa pemerintahan Sultan di Mataram pada tahun Jawa 1565 (menurut tahun Masehi, sekitar tahun 1636), telah diwajibkan membayar pungutan kepada para Pangeran Jawa, dimanapun ia menetap. Sebab pada waktu itu upeti-upeti utama dikenakan kepada mereka, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, dan ini karena asal usul mereka yang buruk, sehingga mereka dianggap tidak layak untuk memegang jabatan apa pun. Namun di kemudian hari, mereka diterima sebagai pejabat, dalam hal ini mereka tidak dikenakan upeti pokok; tetapi mereka tidak dapat naik pangkat lebih tinggi dari Panewoe, dan pada umumnya, adalah penebang kayu yang dipekerjakan oleh para Pangeran. Mereka yang diangkat menjadi Kepala Kalang menyimpan daftar orang-orang yang lahir dan meninggal diantara mereka, yang harus selalu dicantumkan dan dimasukkan ke dalam daftar itu’. 

Asal usul orang Kalang di masa awal dikisahkan seorang pangeran memiliki lima putra. Pangeran bernama Sri Moho Poenggoong memerintah sekitar tahun 1000 atau, menurut kalender Masehi, sekitar tahun 1096. Kerajaan ini mula-mula mempunyai nama Galooh, raja berkedudukan di Segalooh. Putra keempatnya Dhamar Moijo. Ayahnya kemudian mengasingkan diri bertapa di gunung Dieng di wilayah Banjoemas. Dhamar Moijo memiliki anak yang diberi nama Birowo yang diberi gelar Radhen Bandoong. Dhamar Moijo menasihati sang cucu untuk berangkat mengabdi kepada pangeran Majapahit (Brawidjaja VI).


Dalam kisah awal orang Kalang tersebut, mereka bermula di wilayah Banjoemas, dinatara dua kerajaan besar, di timur kerajaan Madjapahit dan di barat kerajaan Padjadjaran. Sesepuh orang Kalang ini (Sri Moho Poenggoong dan anaknya) mengetahui dewa yang dipuja di Madjapahit. Pertanyaan: darimana Sri Moho Poenggoong berasal? Apakah asli dari wilayah Banjoemas atau pendatang dari pantai barat Sumatra? Keberadaan Sri Moho Poenggoong di Jawa (wilayah Banjoemas) tahun 1096, tahun dimana Radja Cola berkuasa di Simatra bagian utara (setelag pendudukan tahun 1025).

Kepercayaan orang Kalang dikaitkan dengan ajaran Boedha lama. Sebelum terbentuk kerajaan Majapahit kerajaan yang ada adalah kerajaan Kediri. Sementara itu di masa lampau, sebelum kerajaan Kediri terbentuk sudah peradaban lama di sebelah timur wilayah Banjoemas (era Boedha candi Borobudur dan era Hindoe candi Prambanan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Siapa Orang Kalang, Orang Pinggir dan Orang Gadjah Mati? Kelompok Populasi Tempo Doeloe di Pulau Jawa

Orang Kalang tetap eksis. Disebutkan orang Kalang menjalankan aturan agama Budha yang lama, namun mempunyai ibadah tersendiri, yang mereka namakan agama Kalang (lihat De geschiedenis van het rijk Kediri opgeteekend in het jaar 1873). Juga disebutkan menurut masyarakat Jawa, suku Kalang adalah masyarakat berekor yang berasal dari Bali yang memuja anjing sebagai agama; itulah sebabnya mereka sangat dibenci oleh orang Jawa.


Fakta bahwa ada kelompok populasi di Jawa (bagian tengah) yang disebut orang Kalang yang sudah ada sejak dahulu dan masih eksis hingga ini hari. Keberadaan mereka yang sudah lama (sejak jaman kuno?) adalah satu hal, tentang kisah orang Kalang yang dikisahkan adalah hal lain lagi. Suatu kisah sulit diketahui kebenaran dan kepastiannya. Seharusnya sejarah orang Kalang adalah narasi fakta dan data. Penyelidikan sejarah sudah barang tentu sangat diperlukan agar bisa menunjukkan perihal apa yang benar dan perihal apa yang salah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar