Minggu, 26 Agustus 2018

Sejarah Kota Medan (74): Pesawat Pribadi Presiden Indonesia Pertama Bernama Dolok Martimbang; Ir. Soekarno Resmikan USU


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Universitas Sumatera Utara (USU) diresmikan sebagai universitas negeri pada tanggal 20 November 1957 oleh Presiden Soekarno. Kedatangan Presiden Soekarno ke Medan menggunakan pesawat pribadi dengan nama Dolok Martimbang. Lantas mengapa nama universitas diberi nama Universitas Sumatera Utara dan mengapa penegeriannya telat dilakukan? Dan, mengapa pula nama pesawat kepresiden Indonesia Ir. Soekarno diberi nama Dolok Martimbang?

Pesawat Kepresidenan Pertama 'Dolok Martimbang' (1957)
Dolok Martimbang, suatu gunung (dolok) yang bernama Martimbang terdapat di Kabupaten Tapanuli (Utara), Provinsi Sumatera Utara. Di kaki gunung ini terdapat lembah (rura) Silindoeng yang subur yang dipenuhi sawah-sawah yang luas.

‘Air Force One’ Dolok Martimbang adalah pesawat hadiah pemberian Presiden Uni Soviet Nikita Kruschev kepada Presiden Soekarno. Saat pesawat jenis IL-14 buatan Uni Soviet mendarat kali pertama di Pangkalan Udara Halim (Tjililitan) tanggal 10 Mei 1957. Presiden Soekarno langsung meninjau ke bandara dan spontan memberi nama Dolok Martimbang. Semua orang yang hadir ‘molohok’.

Spontanitas pemberian nama itu pada dasarnya bukan tanpa pemikiran. Saat itu situasi dan kondisi negeri tengah mengalami krisis karena di Sumatera Tengah tengah terjadi pemberontakan. Presiden Soekarno sebelumnya sudah mengetahui arti legenda Dolok Martimbang. Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Tapanoeli pada bulan Maret 1953. Untuk menjaga tetap terjadi persatuan dan kesatuan bangsa, Presiden Soekarno membutuhkan simbol yang sesuai. Legenda Dolok Martimbang menjadi penting. Itulah mengapa nama pesawat kepresidenan diberi nama Dolok Martimbang.

Pesawat Pribadi Presiden Indonesia Pertama: Dolok Martimbang

Ir. Soekarno sudah sejak lama kenal dengan wilayah Tapanoeli, namun kurang terinformasikan. Dalam suatu kesempatan, Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa sangat senang di Tapanoeli, bukan karena keindahan alamnya saja, tetapi lebih menganggap dia berada di tanah suci, tanah dimana Sisingamangaradja melakukan perlawanan kepada Eropa/Belanda hingga titik darah penghabisan. Sisingamangaradja pantang bekerjasama dengan dalih apapun termasuk agama dan tidak pernah pula menyerah terhadap penjajah. Di wilayah lain, bekerjasama dengan penjajah dan menyerah sangatlah jamak. Tidak di Tapanoeli. Boleh jadi itulah alasan Soekarno mempersepsikan wilayah Tapanoeli sebagai tanah suci. Soekarno tidak akan mampu melampaui jiwa patritotik dari Sisingamangaradja. Pengakuan tersebut dikatakan Presiden Soekarno pada bulan Maret 1953 ketika berkunjung ke wilayah Tapanoeli (lihat De nieuwsgier,   17-03-1953).

Jadwal dan rute perjalanan Presiden Soekarno sudah diumumnkan pada tanggal 9 Maret 1953 (De nieuwsgier, 10-03-1953). Disebutkan Presiden Soekarno akan melakukan kinjungan ke tiga wilayah: Atjeh, Tapanoeli dan Bangka. Direncanakan pada hari Kamis, 12 Maret, Presiden Soekarno dari Djakarta ke Atjeh. Secara berturut-turut akan berkunjung ke Aceh, Tapanoeli, pulau Nias dan pulau Bangka. Pada hari Sabtu, rombongan akan tiba di Balige. Dari sana, perjalanan dengan mobil dilakukan pada hari Minggu ke Taroetung dan Sibolga dan hari berikutnya ke Padang Sidempoean. Pada hari Rabu Presiden dengan Catalina ke Gunungsitoli di pulau Nias. Pada hari Kamis, perjalanan akan dilanjutkan ke Pangkalpinang di pulau Bangka. Sabtu 21 Maret pukul enam sore rombongan Presiden Soekarno diharapkan tiba di (bandara) Kemajoran’.

Dalam penerbangan ke Atjeh, Presiden transit di Medan untuk sementara mengambil waktu istirahat di restoran di bandara. Di bandara Presiden Soekarno dan rombongan disambut oleh Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap, Residen Atjeh Daudsjah, Wali Kota Medan AM Djalaloedin Pohan dan Komandan Teritorial Sumatra Bagian Utara Kolonel M. Simbolon. Presiden memeriksa barisan kehormatan di bandara dan menyapa tamu undangan termasuk tamu asing. Selanjutnya penerbangan dilakukan menuju Blang Bintang, Atjeh. Bandara ini terbilang baru. Untuk sekadar catatan perluasan bandara Polonia dan pembukaan bandara Blang Bintang dipimpin oleh Ir. Tarip Harahap (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952). Ir. Tarip Harahap adalah alumni THS Bandoeng 1939. Kelak Ir. Tarip Harahap diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-11-1957).

Setelah kunjungan ke Atjeh (Kota Radja dan Sabang), Presiden Soekarno tiba di Balige dengan dua buah Catalina yang mendarat di danau Toba (De nieuwsgier, 17-03-1953). Lalu Presiden melakukan rapat akbar di depan massa di Balige. Presiden mengatakan bahwa pada tahun 1948 dia juga berada di Baiige, sesaat sebelum aksi polisional Belanda kedua (baca: Agresi Militer Belanda II). Presiden dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanan dari Balige ke Sibolga dan akan berpidato di beberapa titik. Pada saat keberangkatan dari Baiige, cuaca masih bagus, sehingga rombongan dapat menikmati pemandangan danau Toba yang sangat indah.

Siborongborong adalah pemberhentian pertama di perjalanan. Pada satu sisi terlihat sebuah spanduk dengan tulisan ‘Lindungi Kelompok-Kelompok Kecil’. Ketika pidato Presiden mangatakan ‘Tapanuli juga memiliki masalah, tetapi Tapanuli sangat kuat. Presiden kemudian membahas gagasan perjuangan untuk kebebasan yang belum tercapai, bahkan di atas Irian, merah-putih belum berkibar. Presiden Republik Indonesia akan selalu ada di sana, tetapi Presiden mengingatkannya tentang pemenjaraannya setelah aksi polisional kedua, dan dia senang dijadikan tahanan di daerah Tapanuli, karena Tapanuli telah menjadi tanah suci sejak perang Sisingamangaradja melawan penguasa Belanda pada tahun 1907. Masyarakat Siborongborong sekarang menuntut perlindungan dari kelompok-kelompok kecil. Permintaan itu sudah ada dan demokratis. Setiap negara mencegah sebagian kecil dari upaya memaksakan kehendaknya oleh mayoritas, tetapi juga perlu minoritas untuk mengambil posisi melawan mayoritas.

Perjalanan dilanjutkan ke Tarutung dan kemudian menuju Sibolga. Dalam perjalanan ke Sibolga inilah pemdangan awal terlihat gunung Dolok Martimbang di sisi timur jalan raya. Sementara ketika memasuki jelang Sibolga, pemandangan di sisi barat Bukit Barisan di teluk Sibolga terhalang pandangan oleh hujan yang menyertai perjalann. Sore hari tiba di Sibolga, malamnya dilakukan resepsi. Puncak acara malam ini adalah kehadiran 40 anak-anak sekolah dari Tumba Djae di perbatasan Tapanuli dan Aceh, seratus kilometer dari Sibolga. Anak-anak itu berjalan sekitar tiga puluh kilometer untuk kemudian melakukan perjalanan dengan bus ke Sibolga (De nieuwsgier, 18-03-1953). Dalam pidatonya pada hari Senin, Presiden sekali lagi bersikeras menyelamatkan bangsa dalam kesatuan dan persatuan. Dalam pidato yang diadakan sebelum keberangkatan dari Sibolga, Presiden telah menekankan perlunya kesederhanaan dalam cara hidup dan kesederhanaan pikiran. Sebagai informasi awalnya Presiden akan ke Barus pada pagi hari. Namun karena hujan lebat, ke Barus dibatalkan. Pada Senin sore, sebuah delegasi yang terdiri lebih dari 40 orang pergi ke Sibolga untuk meminta Presiden tetap berkunjung ke Barus. Penduduk telah membuat persiapan dengan baik untuk kunjungan Presiden, termasuk lima belas jembatan yang telah tersapu oleh banjir telah dibuat secara gotong rojong dalam waktu lima belas hari.

Presiden Sukarno dan rombongan melakukan perjalanan ke Padang Sidempuan pada hari Selasa dari Sibolga (De nieuwsgier, 19-03-1953). Di sepanjang jalan dari Sibolga hingga ke Padang Sidempoean. pesta menyambut Presiden dan rombongan dibuat dengan gembira oleh masyarakat yang hadir dipinggir jalan dengan melambai dan  meneriakkan merdeka dan horas dengan keras. Presiden berpidato di Batangtoroe. Di kota kecil Batangtoro, Presiden menunjukkan bahwa 28 persen penduduk Indonesia tinggal di kota-kota besar dan penduduk pedesaan mencapai 72 persen. Presiden mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pasukan yang kuat dan armada yang kuat, tetapi jika tidak diresapi oleh keinginan untuk kebebasan, itu tidak akan berguna.

Perjalanan dilanjutkan ke Padang Sidempoean. Setiap kali ada keramaian besar di sepanjang perjalanan, Presiden harus berhenti karena orang-orang menutup jalan, dilarang lewat lalu bernyanyi untuk Presiden atau menawarkan berbagai hadiah, seperti ulos. Di Padang Sidimpoean rapat akbart dihadiri sekitar 100.000 massa padahal penduduk kota hanya 40.000 jiwa. Sepertinya semua penduduk Tapanuli Selatan telah datang ke Padang Sidempoean. Presiden menyatakan bahwa seluruh rakyat pada tahun 1945 disambut kemerdekaan dengan sukacita dan semua orang kemudian siap untuk memberikan hidupnya. Jika kita ingin kembali ke semangat juang 1945, persatuan dan persatuan diperlukan. Jika kita ingin membangun negara yang adil dan makmur, kita harus bekerja keras, menjadi satu dan mengembangkan dedikasi mulia kita.

Presiden Soekarno selama dua hari tinggal di Gunung Sitoli di Nias (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-03-1953). Presiden Soekarno mendesak 'perkembangan pulau yang agak terpencil ini untuk melakukan segala sesuatu dalam pekerjaan. untuk pengembangan diri sendiri. Secara khusus, Presiden mendesak para wanita untuk berpaling dari pengekangan dan rasa takut dan untuk melihat dunia di sekitar mereka dengan pikiran terbuka. Pada sebuah pertemuan dengan orang-orang muda, Presiden bertanya dengan saksama kepada hubungan feodal yang masih ada di Nias, apa yang menggunakan kebebasan dan merah-putih jika semangat kolonial tidak dilemparkan dan orang-orang tidak berubah. Presiden mengatakan bahwa rasa rendah diri harus dibuang karena tidak ada alasan untuk itu. Presiden mengatakan bahwa Indonesia mungkin termasuk negara terkuat, tetapi persatuan itu diperlukan untuk itu. Pada pertemuan dengan para pemimpin pemuda, Presiden mengatakan bahwa orang tidak boleh berpikir bahwa itu tidak penting karena Gunung Sitoli adalah tempat kecil. Presiden menunjukkan dalam hubungan ini bahwa baik Kristen dan Islam berasal dari tempat-tempat kecil, yaitu masing-masing Bethlehem dan Mekkah. Tokoh-tokoh sejarah besar seperti Napoleon, Stalin dan Alexander Agung juga lahir di kota-kota kecil.

Dalam perjalanan ke Tapanoeli inilah Presiden Soekarno melihat (kembali) Dolok Martimbang di sisi timur jalan dari Tarutung ke Sibolga. Sudah barang tentu para pengawal dan pendamping di dalam mobil yang ditumpangi selama di Tapanoeli memberi penjelasan setiap pertanyaan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno adalah penyelidik (peneliti) yang baik dan memiliki memori yang kuat. Presiden Soekarno tentu saja dapat penjelasan tentang legenda Dolok Martimbang.

Foto sawah dan Dolok Martimbang 1917
Pengetahuan Presiden Soekarno tentang wilayah Tapanoeli tidak hanya sepanjang perjalanan ke Tapanoeli pada tahun 1953 ini. Presiden Soekarno, seperti dikatakannya, ketika ditawan pasca penyerangan ke Djogjakarta Desember 1948 dan diasingkan ke Parapat, sempat berkunjung ke Balige. Jauh sebelum itu, tahun 1932, Ir. Soekarno selepas dari hukuman penjara di Sukamiskin dengan kapal laut berkunjung ke Tapanoeli dalam sosialisasi dan pembentukan divisi (cabang) Partai Indonesia (De Sumatra post, 13-05-1932). Pada tahun yang sama juga Soetan Sjahrir melakukan sosialisasi Partai Penidikan Nasional ke Padang. Tidak disebutkan memang di kota-kota mana yang dikunjungi Ir. Soekarno, tetapi diduga setelah dari Sibolga, Ir. Soekarno ke Padang Sidempoean dan Tarutung. Sebagaimana diketahui saat itu Ketua Partai Indonesia (Partindo) cabang Batavia adalah Amir Sjarifoeddin. Boleh jadi Amir Sjarifoeddin turut mendampingi Ir. Soekarno ke Tapanoeli.

Dolok Martimbang pernah disebut Nommensen dalam suratnya yang dimuat pada surat kabar Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 21-02-1878. Di dalam surat itu, Nommensen mengatakan bukan maksud untuk menghibur tetapi fakta dilapangan ekspedisi militer yang berkekuatan 80 prajurit yang dipimpin oleh Kapitein Scheltens dan dibantu seorang luitenant, di bawah komisaris Controleur Van Hoëvell mengalami kekalahan melawan pasukan Sisingamangaradja. Setelah melalui perjalanan enam hari pasukan gontai tiba di Silindoeng. Battakkers yang melihat mereka selama dua hari beristirahat di Silindoeng, banyak yang tersenyum dan menyindir. Dari kerumunan yang melihat tentara banyak yang pincang dan terluka dengan berkata: ‘orang-orang ini tidak berbahaya, karena mereka tidak bisa berjalan’. Mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa meski mereka jago dalam menggunakan senjata’. Penduduk Silindoeng menyindir bahwa pasukan telah melanggar aturan. Nommensen menyebutkan pasukan baru lega setelah sampai di Pearadja setelah dipandu oleh beberapa tetua dan dibantu oleh para kuli beras untuk menuntun kuda mereka hingga mencapai ketinggian Dolok Martimbang. Lalu dilakukan rapat dengan semua kepala-kepala daerah untuk melakukan perjanjian perdamaian.

Tampaknya Dolok Martimbang sudah menjadi tempat yang khusus yang selalu dijadikan sebagai tempat untuk melakukan perjanjian perdamaian. Tidak hanya antara para pemimpin lokal dengan pemerintah Belanda tetapi juga antar kepala-kepala daerah yang bermusuhan.Boleh jadi tempat dolok yang berada di selatan Silndoeng ini sudah sejak lama menjadi simbol perdamaian sehingga namanya disebut Dolok Martimbang (dolok perdamaian?).

Nama Dolok Martimbang sudah ada dibenak Presiden Soekarno. Arti nama Dolok Martimbang bagi penduduk di Tapanoeli di Silindoeng sudah dipahami oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itulah Presiden Soekarno dengan spontan memberi nama pesawat kepresidenan yang baru mendarat dengan nama Dolok Martimbang.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-01-1957: ‘Pagi ini berlangsung di bandara militer Pangkalan Udara Halim (Tjililitan) transfer resmi pesawat Iljusin, yang pemerintah Rusia telah diberikan kepada Presiden Soekarno. Tepat pukul 08.00, Presiden Soekarno tiba dengan duta besar Rusia, Zhukov di bandara, setelah itu penjaga kehormatan diperiksa. Di antara yang hadir juga Menteri Pendidikan, Sudibjo, Menteri Kesehatan, Dr. Sinaga dan Kepala Staf Angkatan Udara, Suryadarma. Setelah duta besar Rusia menyerahkan pesawat dalam pidato singkat, Presiden naik ke podium. Presiden mengucapkan terima kasih kepada duta besar untuk hadiah ini dari pemerintah Soviet, dan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Rusia dan rakyat Rusia. Presiden kemudian mengingat sambutan hangat selama kunjungannya ke Uni Soviet dan diterima dengan baik. Berkenaan dengan di domestik, Presiden mengatakan bahwa masih ada banyak perbedaan antara penduduk Indonesia dari 80 juta orang. Tapi menurut presiden, ini tidak mengejutkan saya, karena kami masih muda. Karena itu saya menyerukan kepada rakyat untuk memulihkan persatuan dan terus berjuang bersama. Presiden Soekarno mengingatkan belum selesai perjuangan rakyat Indonesia. Presiden akan menggunakan pesawat tersebut untuk melayani orang Indonesia dalam perjuangan yang belum selesai. Saya akan mempercayakan pemeliharaan pesawat ini ke AÃœRI dan saya dengan ini memuji AURI dengan cara terbaik. Bagi negara muda, adalah normal bahwa ada perselisihan diantara kelompok-kelompok penduduk yang berbeda-beda. kelompok dan daerah diantara mereka sendiri. Saya tahu bahwa ada perselisihan. Presiden mengatakan Indonesia merupakan daerah pegunungan dengan berbagai lembah. Di Tapanuli ada daerah dengan pegunungan dan lembah, yang menurut legenda, terus bertengkar satu sama lain. Dan itu Dolok Marimbang yang bisa menyatukan kembali mereka. Itulah mengapa saya memberikan pesawat IL-14 ini dengan nama Dolok Martimbang. Dengan Dolok Martimbang ini saya berharap dapat memberikan kekuatan kepada saya untuk membuat reunifikasi dan penguatan rakyat lndonesia, tidak hanya untuk kemakmuran mereka sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan umat manusia. Setelah dua pidato lalu lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu dari Uni Soviet. Setelah itu semua yang hadirdiberi  kesempatan untuk melihat pesawat penumpang Rusia itu dari dalam. Sekitar 9.45 Presiden dan duta besar Rusia meninggalkan bandara’.

Boleh jadi nama pesawat 'Air Force One Indonesia' bernama Dolok Martimbang menjadi heboh. Oleh karena pemberian nama bersifat spontan dari Presiden Soekarno, maka berbagai pihak mulai ingin mengetahui sejarah gunung Dolok Martimbang. Menteri Pendidikan menugaskan untuk melakukan penelitian (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1957). Disebutkan dua pejabat dari Kantor Informasi Kabupaten Tapanuli Tengah telah dikirim ke Tarutung untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah Dolok Martimbang di Tapanuli Utara, yang merupakan atas permintaan Departemen Pendidikan di Djakarta. Terhadap nama yang diberikan kepada pesawat, yang diterima Presiden Soekarno sebagai hadiah dari Uni Soviet. Pesawat kepresidenan Indonesia dengan nama Dolok Martimbang baru digunakan kali pertama oleh Presiden Soekarno pada tanggal 16-05-1957 dari Soerabaja ke Djakarta. Pesawat ini sudah diserahkan kepada Presiden Soekarno sejak 24-01-1957. Jarak waktu antara penerimaan dan penggunaan oleh Presiden Soekarno hampir empat bulan. Penundaan ini bukan karena pilot Indonesia kesulitan, melainkan hanya semata-mata karena Presiden Soekarno berusaha untuk menahan diri.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-03-1957:’Presiden Soekarno menerima awak pesawat Ilyushin, Dolok Martimbang yang diserahkan kepada presiden oleh pemerintah Rusia. Mereka ditemani oleh duta besar Rusia Zhukov. Presiden menjamu makan siang bersama mereka di Istana Merdeka. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-04-1957:’ Pesawat jenis llyushin, hadiah dari pemerintah Rusia kepada Presiden Soekarno, yang telah diberi nama Dolok Martimbang, akan digunakan untuk pertama kalinya oleh Kepala Negara pada tanggal 16 April untuk perjalanan ke Soerakarta dan ke Bali. Pada 16 April, Presiden berangkat ke Solo untuk menghadiri pertemuan publik di sana, rapat raksasa Merah Putih, yang akan berlangsung di stadion Sriwedari. Hari berikutnya presiden akan mengadakan ceramah untuk otoritas militer, sipil dan kepolisian serta untuk pemimpin partai dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya di Solo. Pada malam hari tanggal 17 April, kepala negara juga akan menghadiri pertemuan di Solo, memperingati turunnya Al-Qur'an. Pada 19 April, Presiden akan melanjutkan perjalanannya, juga dengan Dolok Martimbang, ke Bali untuk beristirahat selama tiga hari, dan Presiden akan diharapkan kembali ke ibukota pada tanggal 23 April. Presiden akan ditemani oleh sejumlah besar koresponden domestik dan asing’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-04-1957:’ Soekarno tidak dengan Dolok Martimbang. Bertentangan dengan berita sebelumnya, Presiden Soskarno telah menunda menggunakan pesawat Ilyushin Dolok Martimbang ke Solo hari ini dan dari sana ke Denpasar. Tidak diketahui mengapa Presiden menunda dari menerbangkan pesawat Ilyusin, hadiah pribadi dari Uni Soviet kepada Presiden Sukarno. Jika penerbangan ini berlangsung maka Dolok Martimbang ini akan menjadi peneperbangan perdana Presiden Sukarno dengan pesawat ini. Presiden sekarang akan pergi ke Solo dengan pesawat GlA’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-04-1957:’Dolok Martimbang. Presiden Soekarno bisa setiap saat menggunakan Ilyushin Dolok Martimbang, hadiah dari Presiden Uni Soviet, menurut pemberitahuan dari layanan informasi Angkatan Udara Indonesia. Layanan tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa itu tidak benar bahwa pilot Indonesia memiliki kesulitan teknis atau personil dengan perangkat. Para pilot Indonesia dapat menerbangkan pesawat tanpa bantuan pilot asing, sementara teknisi kami mampu membuat perbaikan yang diperlukan untuk pesawat. Presiden Soekarno pada awalnya akan menggunakan pesawat ini selama perjalanan baru-baru ini ke Solo. Keamanan telah diserahkan kepada Angkatan Udara Indonesia’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-05-1957:‘Presiden Voroshilov dan Presiden Soekarno kembali kemarin sore di Djakarta dari kunjungan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Bali. Perjalanan dari Surabaya ke Djakarta dua kepala negara itu menggunakan Ilyushin Dolok Martimbang. Pesawat itu dikemudikan oleh pilot dari Indonesia. Ini adalah pertama kalinya, Presiden Soekarno menggunakan Dolok Martimbang. Kedua Presiden pagi ini telah berangkat ke Medan bersama rombongan mereka. Kedua presiden bepergian bersama dengan pesawat GIA dan mereka berangkat pada pukul delapan. Untuk pengangkutan anggota rombongan lainnya, sembilan pesawat lainnya digunakan, termasuk pesawat pribadi Presiden Sukarno Dolok Martimbang, serta dua pesawat lainnya dari jenis Ilyushin, yang digunakan oleh tamu-tamu Rusia. Ketika meninggalkan Kemajoran, kedua presiden diantar oleh Wakil Perdana Menteri Pertama Mr. Hardi dan beberapa menteri lainnya, Wali Kota Djakarta Raja Soediro serta oleh berbagai otoritas sipil dan militer lainnya’. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-06-1957: ‘Presiden Soekarno kemarin sore dengan Dolok Martimbang kembali ke ibukota setelah memanfaatkan liburan di Tawangmangu’. Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-06-1957:’ Kemarin sore, dengan Dolok Martimbang ke Madiun, Presiden Soekarno pergi dengan ditemani Nyonya Hartini Soekarno dan beberapa menteri, serta sejumlah perwakilan pers Belanda dan asing’.

Setelah beberapa kali digunakan oleh Presiden Soekarno, Air Force One Dolok Martimbang harus masuk hanggar dan dikirim ke Moskow (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-07-1957). Disebutkan pesawat pribadi Presiden Sukarno Dolok Martimbang akan segera dikirim ke Moskow untuk diperbaiki, dan di Jakarta delapan anggota awak Rusia diperkirakan akan membawa pesawat ke Moskow. Perbaikan pesawat Dolok Martimbang dilakukan selama satu setengah bulan dan kini sudah tiba di bandara Polonia Medan.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-09-1957:’Pagi ini sekitar pukul sebelas, pesawat pribadi Presiden Soekarno Dolok Martimbang mendarat di bandara Polonia. Pesawat itu berasal dari Moskow dimana telah mengalami perbaikan. Perjalanan dari Djakarta ke Uni Soviet dan kembali berlangsung dibawah pimpinan Kapten Muljono. Menurut Kapten Muljono, kabin Dolok Martimbang kini telah diperbesar, sebelumnya 16 kursi, sekarang menjadi 21 buah kursi. Belum diketahui kapan pesawat akan melakukan perjalanan ke Djakarta. Untuk pekerjaan perbaikan pesawat itu berada di Uni Soviet selama satu setengah bulan’. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1957:’ "Pesawat kepresidean Dolok Martimbang dikembalikan ke Djakarta pada Jumat sore, setelah mengalami perbaikan yang diperlukan di Moskow. Pesawat itu berangkat dari Djakarta ke Moskow dan diterbangkan kembali oleh pilot dari Angkatan Udara Indonesia. Pada tanggal 25 September yang lalu kepulangan dari Moskow untuk perjalanan kembali ke Indonesia’.

Pesawat kepresidenan Dolok Martimbang memiliki jumlah kursi yang lebih banyak setelah dilakukan perbaikan. Jumlah kursi telah ditambah dari 16 buah menjadi 21 buah kursi. Setelah parkir di Medan, pesawat Dolok Martimbang kembali ke Djakarta.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-10-1957:’Presiden Sukarno, menurut sebuah telegram dari direktur kantor kepresidenan, yang diterima oleh kantor provinsi, akan tiba di Ambon pada tanggal 1 November untuk kunjungan ke beberapa daerah di Maluku. Setelah itu, presiden akan melanjutkan perjalanannya ke Sumbawa. Sejumlah menteri dan duta besar asing akan mendampingi presiden dalam perjalanan ini. Presiden akan menggunakan pesawat pribadinya Dolok Martimbang, untuk penerbangan, setidaknya untuk transportasi dari Djakarta ke Ambon. Untuk perjalanan ke daerah lain, seperti Banda, angkatan udara akan menyediakan pesawat Catalina’. Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 24-10-1957: ‘Setelah usai kunjungan ke Bandoeng, Presiden Soekarno berangkat dengan Dolok Martimbang kembali ke ibukota’, Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1957:’ Pesawat pribadi presiden, Dolok Martimbang telah mengadakan beberapa demonstrasi penerbangan di atas Bandung. Presiden telah membuat pesawat ini tersedia untuk berbagai kelompok perempuan di Bandung untuk penerbangan wisata di Bandung’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-11-1957:’ Presiden Soekarno di Kupaag Jumat lalu untuk menghadiri banyak undangan. Presiden Kamis tiba di Kupang. Kepala negara disini dengan pesawat pribadi Dolok Martimbang. Presiden Soekarno menjelaskan lebih lanjut perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kepala negara lebih lanjut bersatu dan bersatu kebutuhan Indonesia untuk ivestasi sumberdaya manusia. Oleh karena itu, konsultasi tentang pembangunan akan membahas pembangunan yang sama dari seluruh negeri dan menyiapkan cetak biru orang-orang yang akan tinggal di negara yang adil dan makmur. Untuk pelaksanaan ini harus ada sebuah saluran yang dalam bentuk Komite Perencanaan Nasional. Kalau tidak begitu kita akan berada dalam kekacauan sebelum fajar pada tanggal 1 Januari 1958’.

Pesawat kepresidenan Dolok Martimbang akhirnya kembali ke Medan. Pesawat pribadi Dolok Martimbang tersebut akan membawa Presiden Soekarno dalam rangka peresmian penegerian Universitas Sumatra Utara yang direncanakan pada tanggal 20 November 1957. Inilah berkah tahun 1957 bagi Sumatra Utara, yang Universitas Sumatra Utara yang telah didirikan tahun 1952 oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap telah dinegerikan. Cukup lama untuk menunggunya. Berkah lainnya, nama Dolok Martimbang, gunung yang berada di Tapanuli Utara telah ditabalkan oleh Presiden Soekarno sebagai lambang persatuan dan kesatuan di Indonesia.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-11-1957: ‘Kunjungan kepala negara ke Medan. Presiden Soekarno akan tiba dengan pesawat dari Djakarta di Medan pada pukul sebelas pada hari Rabu pagi. Seperti disebutkan sebelumnya, kepala negara tiba di Medan untuk secara resmi membuka universitas negeri USU. Mungkin kepala negara dengan pesawat pribadinya Dolok Martimbang datang. Dari bandara Polonia, kepala negara, bersama dengan Gubernur Soetan Koemala Pontas dan otoritas lokal lainnya, akan pergi ke Padangbulan untuk mengunjungi pekarangan gedung universitas yang akan didirikan disana. Dari bandara Polonia rombongan akan pergi melalui Djalan Djokja, Djalan Bindjei, Djalan Sultan Iskandar Muda dan seterusnya ke kompleks USU di Padangbulan. Setelah kunjungan ke komplek USU, rombongan Presiden akan pergi ke kediaman resmi Gubernur, dimana Presiden akan tinggal. Kunjungan Presiden Soekarno ke Medan kali ini juga berarti, bahwa kepala negara akan melihat lebih banyak lagi kota. Misalnya, selama tur kota, kepala negara akan dibawa ke tempat tujuan dengan cara yang berbeda dari kediaman resmi Gubernur. Rabu sore pukul setengah lima, Presiden Soekarno akan secara resmi membuka USU. Upacara akan berlangsung di gedung Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial USU di Djalan Seram. Pada Kamis pagi mulai pukul 7.45 hingga 8.30, Presiden Soekarno akan memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa USU. Presiden Soekarno juga akan bertemu dengan otoritas sipil dan militer setempat di Balai Pradjurit di Djalan Rumah Bola. Kepala negara akan mengadakan kuliah pada kesempatan ini. Rombongan Presidensial akan meninggalkan Polonia pada Kamis sore. Diminta bahwa selama kunjungan Presiden Soekarno ke Medan yakni tanggal 20 dan 21 warga untuk memasang bendera’. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-11-1957:’Presiden berangkat ke Medan. Pagi ini Presiden Soekarno pergi ke Medan untuk kunjungan satu hari ke kota ini dengan rombongan kecil dengan menggunakan pesawat kepresidenan Dolok Martimbang, dan di Medan Presiden akan menghadiri pembukaan resmi Universitas Sumatera Utara. Kepala negara akan kembali ke Jakarta besok siang’.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-11-1957: ‘Presiden Soekarno dan rombongan kemarin sore pukul satu dengan pesawat pribadi dari kepala negara Dolok Martimbang tiba di Medan, puluhan ribu orang telah menunggu di bandara Poloniadengan  tamu-tamu terhormat untuk menjemput. Jam sebelum itu sudah sibuk di jalan menuju bandara. Para anggota rombongan kepresidenan juga termasuk putra kepala negara, Goentoer, yang pertama kali datang ke Medan. Dalam sebuah pidato, Presiden mendesak penduduk untuk memperkuat persatuan untuk pembebasan Irian Barat. Melalui persatuan hanya bisa kita mencapai tujuan kita sehubungan dengan daerah itu, kata Presiden. Sebelum tiba di Medan, di Talang Betutu, Presiden Soekarno dan rombongan kemarin pagi tiga puluh menit di bandara Palembang, Talang Betutu, bersitirahat di perjalanan mereka ke Medan untuk menghadiri pembukaan resmi Universitas Sumatera Utara di sana. Meskipun istirahat itu singkat sementara  mengambil bahan bakar untuk Dolok Martimbang, masyarakat Sumatera Selatan tidak lalai menyiapkan kepala negara dan rombongan untuk penyambutan yang besar, yang juga turut dihadiri pemerintah setempat seperti komandan TT-I Komandan Barlian, Gubernur dan ribuan orang yang datang ke bandara dimana Presiden dilakukan penerimaan secara adat. diantara mereka yang melakukan penyambutan Presiden di bandara, juga Konsul Belanda di Palembang. Presiden mengaku terkejut pada penerimaan dan dia meyakinkan pendengarnya bahwa kasih sayang itu timbal balik. Presiden mengatakan menggunakan Dolok Martimbang untuk perjalanannya melalui wilayah Indonesia, karena pesawat ini adalah simbol untuk pendirian kesatuan  dan persatuan diantara rakyat Indonesia. Dalam kaitan ini Presiden menjelaskan fungsi apa yang telah dipenuhi oleh pegunungan Dolok Martimbang ketika pada tahun-tahun di jaman kuno menurut legenda dari Tapanuli, pegunungan dimana selalu ada perang dengan satu sama lain. Itu adalah Dolok Martimbang, yang akhirnya memulihkan kedamaian di gunung-gunung ini. Presiden juga membahas pembicaraan tentang Irian Barat. hari itu, dimana Presiden banyak mengulangi pidatonya, yang ia bicarakan Senin sore di pertemuan massa di Djakarta dalam rangka kampanye pembebasan Irian Barat. Tidak masuk akal bahwa Belanda memiliki rencananya untuk menjajah Irian Barat, kata kepala negara. Jika Belanda mengklaim bahwa tidak ada yang bisa keluar dari Irian Barat, mengapa mereka tinggal di sana? Kepala negara juga menunjukkan bahwa itu tidak cukup untuk membebaskan Irian Barat dengan berbicara atau hanya menyerahkan masalah kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami juga akan mencoba mengumpulkan kekuatan sendiri kita bisa memaksa Belanda angkat tumit mereka dari Irian Barat,kata presiden, yang menekankan rakyat Indonesia agar yakin bahwa sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1958 Irian Barat akan kembali ke wilayah Indonesia. Diantara anggota rombongan Presiden adalah Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Prijono, Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, dan komandan distrik militer Maluku dan Irian Barat, Letnan Kolonel. H. Pieters, Presiden Soekarno memperkenalkan para anggota rombongannya, dimana Presiden secara khusus meminta perhatian dari para pendengarnya untuk Pieters yang jauh. Presiden kemudian meminta Pieters untuk menyampaikan satu kata kepada mereka yang hadir di bandara. Pieters mengatakan bahwa sebagai seorang prajurit dia tidak bisa berbicara dengan baik. Pieters hanya menyampaikan satu permintaan kepada komunitas Maluku Selatan ‘Untuk mendukung perjuangan untuk pembebasan Irian Barat’.

Penegerian Universitas Sumatra Utara tidak terduga. Penetapan tanggal peresmiaan penegerian Universitas Sumatra Utara juga dilakukan mendadak. Penegerian Universitas Sumatra Utara dilakukan pada tanggal 20 November 1957. Penegerian lebih bersifat politik daripada bersifat akademik. Tanggal-tanggal di seputar (proses) penegerian Universitas Sumatra Utara terbilang situasi dan kondisi politik di Indonesia tidak kondusif. Eskalasi politik antara pusat dan daerah sedang memanas, lebih-lebih krisis hubungan antara Djakarta dan Provinsi Sumatra Tengah yang berpusat di Bukittinggi yang mana Letkol Achmad Husein telah melakukan kudeta terhadap pemerintahan pusat di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956.

Dalam konteks ini pula Presiden Soekarno menabalkan nama Dolok Martimbang pada tanggal 24 Januari 1957sebagai nama pesawat kepresiden RI, sebagai lambang/simbol persatuan dan kesatuan di Indonesia. Jarak waktu antara dua kejadian ini sangat dekat, sekitar satu bulan.

Sejarah Universitas Sumatra Utara

Pembentukan perguruan tinggi/fakultas tidaklah mudah apalagi untuk membentuk universitas. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Di Sumatra Utara, khususunya di Medan pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, hasil perjanjian KMB yang terbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) sejatinya belum kondusif untuk pembentukan perguruan tinggi/universitas. Saat itu Negara Sumatra Timur yang menjadi bagian dari RIS belum kondusif karena di Medan dan Negara Sumatra Timur masih terdapat friksi antara orang-orang federalis dan orang-orang republiken. Friksi ini mengerucut pada bulan April 1950 yang diadakannya Kongres Rakyat. Hasil keputusan Kongres Rakyat adalah bubarkan Negara Sumatra Timur, Bentuk Negara Kesatuan (Rpublik Indonesia). Hasil kongres di Medan ini direspon pusat (Djakarta) dengan membubarkan RIS dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Kabinet RIS Mohamad Hatta dibubarkan dan terbentuk Kabinet Natsir (NKRI) terhitung tanggal 6 September 1950.

Untuk reorganisasi pemerintahan dibentuk Provinsi Sumatra Utara (yang terdiri dari Residentie Tapanoeli, Residentie Atjeh dan Residentie Sumatra Timur) yang mana pejabat Kementerian Dalam Negeri, Sarimin Reksodiharjo dikirim ke Medan yang bertugas terhitung tanggal 14 Agustus 1950 sebagai pejabat Gubernur Sumatra Utara. Setelah selesai pembentukan dewan di setiap kabupaten/kota dan pengangkatan Bupati/Walikota di setiap kabupaten/kota secara definitif Provinsi Sumatra Utara terbentuk. Tugas Sarimin Reksodiharjo dianggap selesai pada tanggal 25 Januari 1951 bersamaan dengan pengangkatan secara definitif Gubernur Provinsi Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap.

Saat Abdul Hakim Harahap resmi menjadi Gubernur Sumatra Utara belum ada tanda-tanda atau yang sudah terbentuk perguruan tinggi/fakultas di Medan. Sementara di berbagai daerah, meski struktur pemerintahan belum tuntas, sudah ada komite yang dibentuk untuk tugas membentuk perguruan tinggi. Satu yang pertama di Sumatra adalah pembentukan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ di bawah Jajasan Sriwidjaja yang dibuka secara resmi pada tanggal 22 Agustus 1951 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Salah satu pendiri perguruan tinggi Pantjasila ini adalah Egon Hakim Nasution (anak mantan Wali Kota Padang). Pada saat pembukaan perguruan tinggi di Padang ini, sejatinya ibukota Provinsi Sumatra Tengah belum ditetapkan apakah di Padang atau di Bukittinggi. Komisi pembentukan ibukota provinsi masih bekerja.

Jika kita membaca sejarah Fakultas Kedokteran yang menjadi pilar pertama pembentukan Unversitas Sumatra Utara di dalam website resmi Universitas Sumatra Utara akan ditemukan hal yang berbeda dengan fakta yang sebenarnya. Subyektivitas lebih menonjol daripada objektivitas. Pada kenyataannya tidak ada dalam fase pendudukan Jepang muncul gagasan pendirian universitas/perguruan tinggi selain di (pulau) Jawa. Sebelumnya, perguruan tinggi di era kolonial Belanda hanya terdapat di Jawa. Perguruan tinggi inilah yang coba dihidupkan di era pendudukan Jepang, namun pemerintah militer Jepang tidak memiliki niat yang serius untuk penyelenggaraan perguruan tinggi sehingga hidup segan mati tak mau.  Lalu tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali. Ketika RI terdesak dan mengungsi ke Djogjakarta barulah muncul gagasan pendirian universita yang diberi nama Universita Gadjah Mada di Djogjakarta pada tahun 1946. Peresmiannya dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Sementara itu di pihak Belanda pada tahun 1946 yang dimulai di Djakarta/Batavia berinisiatif menyelenggarakan universitas yang disebut Nood Universiteit (Univerrsita Darurat). Boleh jadi di luar Jawa di wilayah pengungsian muncul keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi tetapi faktanya di pengungsian adalah suasana perang. Sangat naif untuk direalisasikan dan kebutuhannya juga tidak jelas. Jadi tidak ada esensi sejarahnya. Hal ini berbeda dengan perguruan tinggi republik di Djogjakarta, Solo dan Klaten yang memang cukup tersedia dosen-dosen dan peralatan dan buku-buku yang turut diungsikan. Perguruan tinggi ini kemudian setelah pengakuan kedaulatan Indonesia dibentuk menjadi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 Desember 1949. Sedangkan pihak Belanda terus meningkatkan kapasitas Nood Universiteit menjadi Universiteit van Indonesie yang didukung oleh dosen-dosen yang dulu pernah mengajar sebelum pendudukan Jepang plus dosen-dosen baru yang didatangkan dari Belanda. Pada era Universiteit van Indonesia ini hanya satu kota di luar Jawa yang dibentuk fakultas yakni di Makassar, Ini juga karena untuk keperluan khusus Belanda/NICA. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia Universiteit van Indonesia ditransfer dan kemudian menjadi Universitas Indonesia pada tahun 1950. Oleh karena itu, tidak ada riwayat pembentukan universitas/perguruan tinggi di Sumatra sebelumnya dan baru sejarah perguruan tinggi di Sumatra dimulai pasca pembubaran RIS.

Tidak lama setelah pembukaan perguruan tinggi hukum Pantjasila di Padang, di Medan, Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai mengambil inisiatif untuk pembentukan perguruan tinggi. Inisiatif ini boleh jadi karena di Padang sudah terbentuk perguruan tinggi. Inisiatif in disegerakan karena sejumlah pihak di Sumatra Utara khususnya di Medan juga telah mendorong Gubernur Abdul Hakim Harahap untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan. 

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951:‘Di Medan dan sekitarnya, Universitas untuk Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap mengirim surat yang ditujukan kepada coordinator dewan dari Aceh dan Tapanuli dan semua bupati  di wilayah itu, yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dana di kalangan penduduk dalam rangka untuk meningkatkan modal bagi pendirian Universitas Sumatera Utara di Medan. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh badan khusus, dan hal ini dimaksudkan bahwa pada awal tahun depan dapat memulai studi di universitas ini untuk Sumatera Utara. Gubernur Abdul Hakim menempatkan dalam suratnya menyatakan bahwa dia sudah berulang kali didesak untuk mengambil inisiatif untuk pendirian universitas yang mana mereka umumnya meminta untuk memulai fakultas kedokteran. Gubernur berharap bahwa pemerintah akan mengatur sebuah universitas di Medan yang mana sekarang ingin masyarakat Sumatera Utara memungkinkan dirinya untuk menaikkan dana yang diperlukan. Hal ini dipertimbangkan sebesar Rp 1 per kapita untuk memberikan kontribusi, selain kontribusi dari sektor perdagangan, industri dan lainnya. Gubernur berharap pengumpulan dana selesai pada akhir Februari’

Lalu Gubernur Abdul Hakim Harahap memanggil sejumlah pimpinan terkait untuk menentukan komite persiapan pembentukan perguruan tinggi yang kemudian secara formal ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1951. Ketua komite ditetapkan Dr. Soemarsono, Inspektur Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. Antara inisiatif Gubernur Abdul Hakim Harahap menyurati pimpinan daerah di seluruh Provinsi Sumatra Utara dengan pembentukan panitia memiliki selang waktu satu bulan. Setelah mendapat respon positif dari jajaran dibawahnya, Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai menentukan komite dan memformalkannya pada tanggal 31 Desember 1951.

Abdul Hakim Harahap, kelahiran Saroelangoen, Djambi tahun 1907, bukanlah orang baru di Medan. Pada tahun 1927 Abdul Hakim Harahap ditempatkan sebagai pejabat bea dan cukai di Medan. Pada tahun 1930 terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan. Abdul Hakim Harahap masih menjadi anggota dewan hingga tahun 1937 sebelum dipindahkan ke Batavia di Kementerian Keuangan (Economische Zaken). Selama di Medan tiga warisan Abdul Hakim Harahap adalah proposal pengembangan pasar kota yang direalisasikan menjadi Pasar Sentral dan proposal yang direalisasikan untuk menjadi rumah sakit kota yang representatif (kelak disebut RS Pirngadi) serta klub sepak bola Sahata.

Untuk urusan pembentukan perguruan tinggi/universitas, Abdul Hakim Harahap bukanlah awam, sebaliknya telah berperan penting dalam pembentukan/penegerian Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Sebagaimana diketahui Abdul Hakim Harahap, anggota delegasi seusai KMB di Den Haag langsung bergabung dengan Republik di Djogjakarta karena termasuk yang tidak setuju dengan penetapan struktur pemerintahan yang bersifat federalis (RIS). Lalu, sebelum Kabinet RIS terbentuk, pada tanggal 18 Desember 1949 perguruan tinggi Gadjah Mada yang telah didirikan pada awal tahun 1946 dijadikan cikal bakal pembentukan universitas Republik Indonesia (universitas negeri) dengan nama Universitas Gadjah Mada (PTN pertama). Sementara itu Universiteit van Indonesia masih berada di tangan pihak Belanda. Abdul Hakim Harahap sendiri adalah Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta yang masa kabinetnya berakhir pada tanggal 6 September 1950 (dan lalu pada tanggal 25 Februari 1951 Abdul Hakim Harahap diangkan dan kemudian dilantik menjadi gubernur definitif Provinsi Sumatra Utara). Dengan pengalaman inilah sejumlah pihak di Medan yang telah mengetahui pembukaan perguruan tinggi hukum di Padang mulai mendesak Abdul Hakim Harahap mengambil inisiatif untuk membentuk universitas (swasta) di Medan. Di Dajakarta, pada bulan Juli 1951 peralihan Universiteit van Indonesia (Belanda) menjadi milik Indonesia dengan nama baru Universitas Indonesia dalam bentuk yayasan yakni Jajasan Universitas Indonesia yang diketuai oleh Prof. Soepomo (oleh karena masih bentuk yayasan maka belum menjadi PTN).

Hasil persiapan komite yang diketuai oleh Dr. Soemarsono mulai dimatangkan untuk diumumkan ke publik. Salah satu hasil pematangan komite ini adalah penetapan awal perkuliahan (pada bulan Agustus 1952). Sebagaimana diketahui, sebelum terbentuk komite persiapan, Gubernur Abdul Hakim Harahap memperkirakan pengumpulan dana via pemerintah di tingkat kabupaten/kota selesai pada bulan Februari 1952 dan perkuliahan sudah dapat dimulai pada awal tahun (1952). Sementara mulai intens persiapan, pada awal tahun 1952 ini Abdul Hakim Harahap (Masyumi) juga termasuk kandidat untuk Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (lihat misalnya Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-03-1952).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952:’Kita diberitahu bahwa telah membuat persiapan untuk sebuah universitas di Medan, Universitas ini akan mulai dengan fakultas kedokteran, komite yang telah ditunjuk pada 31 Desember 1951 melaporkan kemajuan yang telah dibuat dan dilaporkan di hadapan Gubernur Sumatera Utara. Komite ini terdiri dari Kepala Departemen Kesehatan di Sumatera Utara, Dr Sumarsono, sebagai Ketua, Direktur medis Rumah Sakit Umum di Medan Dr. A. Sofian, Kepala Pekerjaan Umum di Sumatera Utara Ir. Suwito Danunegoro  dan Wali Kota Medan Djaidin Poerba. Sekretaris adalah T Oesman Fachroeddin. Dalam laporannya, komite menyimpulkan bahwa ada kemungkinan besar fakultas kedokteran masih bisa dibuka tahun ini. Tanggal target adalah 17 Agustus tahun ini. Adapun para guru untuk bagian propaedeutical tidak akan mudah menemukan kekuatan Indonesia yang memadai. Itulah mengapa niat untuk menarik dosen asing. Universitas akan memiliki status yayasan, yang akan dibentuk oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap sebagai inisiator. Yang satu sudah melakukan sumber daya pendidikan yang diperlukan. Sementara itu, kontribusi terus mengalir ke universitas, baik dari orang-orang melalui bupati dan dari sisi kantor dan lembaga pendidikan seperti perusahaan.

Lalu Gubernur mengumumkan upaya pengumpulan dana setiap penduduk di Provinsi Sumatra Utara sebesar Rp 1 per kepala. Setelah sejumlah dana terkumpul, lalu pada tanggal 4 Juni 1952 Jajasan Universitas Sumatera Utara didirikan dihadapan Notaris Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-06-1952). Disebutkan Gubernur Abdul Hakim Harahap telah mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas di Medan, dana yang terkumpul sebesar Rp. 1,127,808.07. Pendirian fakultas ini di bawah yayasan yang diberi nama Jajasan Universitas Sumatera Utara dan berkedudukan di Medan. Dewan Jajasan: Presiden, Abdul Hakim Harahap, Wakil. Dr. T. Masoer, Sekretaris Dr. Soemasono, anggota: Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (Dr. Maas dan  Dr. J. Pohan), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (Drg. Barlan) Dewan Ekonomi Indonesia (Notaris Soetan Pane Paroehoem).

Soetan Pane Paroehoem, jika tidak mau dikatakan di Sumatra adalah satu-satunya di Provinsi Sumatra Utara. Soetan Pane Paroehoem adalah notaris kelima pribumi di Indonesia. Soetan Pane Paroehoem lulus ujian notaris kelas satu pada tahun 1927. Pada tahun 1929 Soetan Pane Paroehoeman dinyatakan lulus ujian notaris kelas dua, salah satu diantara empat orang yang lulus dari lima kandidat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-08-1929). Dalam berita ini disebutkan dari tujuh orang peserta ujian notaris kelas satu hanya dua orang yang lulus. Notaris keempat adalah Soedja. Notaris ketiga pribumi adalah Raden Kadiman lulus notaris kelas satu tahun 1921 (De Preanger-bode, 10-07-1921). Notaris RM Wiranto adalah notaris kedua (lihat De Preanger-bode, 97-09-1920). Notaris pertama adalah Soewandi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 26-07-1920). Notaris Soewandi adalah nataris yang membuat dan menandatangani akte pendirian Jajasan Universitas Indonesia yang diketua oleh Prof. Mr. Soepomo, Ph.D (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-07-1951)

Pendaftaran mahasiswa dimulai (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 07-06-1952). Juga disebutkan bahwa perkuliahan akan dimulai 17 Agustus 1952 yang mana sebagai Ketua Jajasan Universitas Sumatra Utara adalah Abdul Hakim Harahap dan diangkat Dr. A. Sofjan sebagai ketua dewan kurator (anggota wali amanat), Tidak lama kemudian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara secara resmi dibuka pada tanggal 20 Agustus 1952 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1952). Terlambat tiga hari dari yang jadwalkan.Disebutkan dalam peresmian ini turut hadir Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan. Para menteri hanya memuji-muji inisiatif ini tetapi tidak ada kesan untuk ikut memberi kontribusi dalam hal finansial. Kemandirian Jajasan Universitas Sumatra Utara tengah diuji.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-08-1952:’Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara akan dibuka secara resmi pada 20 Agustus di auditorium fakultas-fakultas ini di Djalan Seram di Medan. Dewan Pembina dari Jajasan Universitet Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap, telah menyiapkan sebuah perguruan tinggi. Ketua dewan kurator adalah Dr Ahmad Sofian, sementara anggota telah ditunjuk: wali kota AM Djalaluddin, Dr. M. Wasidin, Mrs. Ny. A. Abbas Manoppo dan Mr. Lie Ghien Ghiam, Tan Boen Djin, M. Ganie dan Arsi. Sekretaris adalah kepala administrasi pusat universitas ditunjuk Mr. Oesman Fachoeddin. Tugas dewan kurator adalah untuk memastikan kebutuhan universitas, jika perlu, berkonsultasi dengan pemerintah dan otoritasnya, dan untuk memastikan bahwa semua peraturan (dan undang-undang) mengenai organisasi universitas sepenuhnya dipenuhi’.

Gubernur Abdul Hakim Harahap adalah tokoh yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dengan talenta yang banyak. Gubernur Abdul Hakim Harahap tidak hanya republiken sejati, tetapi juga memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Abdul Hakim Harahap, alumni sekolah elit di Batavia, Prins Hendrik School memiliki kemampuan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) dan karena itu diposisikan sebagao penasehat delegasi RI ke KMB di Den Haag. Abdul Hakim Harahap selain pernah menjadi Wakil Perdana Menteri RI, juga memiliki pengalaman sebagai residen perang di era Angresi Militer Belanda II di Residentie Tapanoeli. Satu hal lagi, Abdul Hakim Harahap adalah seorang ‘gibol, pendiri merangkap pemain Sahata Voetbalclub di Medan (1934).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1952: ‘Kemarin sore pada pukul satu, Gubernur Abdul Hakim Harahap meletakkan batu pondasi untuk stadion PON di Medan, yang akan didirikan di Djalan Radja di Medan, selama upacara singkat. dimana sebelumnya terletak kampung Teladan. Wali Kota AM Djalaluddin Pohan berterima kasih kepada warga kampung Teladan atas kesediaan mereka untuk pindah ke tempat lain untuk memungkinkan pembangunan stadion yang bermartabat untuk pekan olahraga nasional ketiga yang akan diadakan di Medan tahun depan. Setelah ini dia (wali kota) meminta Gubernur Abdul Hakim untuk meletakkan batu pertama. Akhirnya, Mr GB Josua Batubara, Ketua Komite PON, membuat beberapa pengumuman tentang stadion baru. Desainnya dirancang oleh Ir. Lim Bwan Tjie, yang juga mendesain stadion Ikada di Djakarta (tempat PON 1951). Persiapan untuk pembangunan dilakukan oleh Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Sumatera Utara dalam kerjasama yang baik dengan pihak berwenang yang relevan dan dengan bantuan baik badan resmi maupun swasta. Biaya konstruksi diperkirakan sekitar Rp 5 juta. Stadion ini akan menampung 30.000 penonton’.

Dalam kapasitas itulah Abdul Hakim Harahap juga berani menawarkan diri untuk menjadikan Provinsi Sumatra Utara sebagai penyelenggara PON III yang akan diadakan tahun depan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-01-1952). Abdul Hakim Harahap sudah membuktikan bahwa penduduk Provinsi Sumatra Utara mampu mendirikan universitas, apalagi hanya PON. Biaya konstruksi sebesar lima juta rupiah dan biaya penyelenggaraan sebesar dua juta rupiah dan kebutuhan PON di Medan secara total diperlukan sebanyak Rp 7 juta. Namun sekali lagi, pemerintah angkat tangan. Pemerintah hanya menyediakan sebanyak Rp 750.000 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1952).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1952: ‘PON III kemungkinan akan diselenggarakan di Medan pada bulan Juni atau Juli 1953 yang ditetapkan di Stadion Djalan Radja. Mr GB Joshua, ketua panitia PON, kemarin sore pada konferensi pers sehabis pembicaraan dengan delegasi Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Azis Saleh (bertindak sekretaris Komite Olimpiade Indonesia) menjelaskan bahwa organisasi PON III sepenuhnya keputusan panitia. KOI hanya menyediakan pedoman, semua keputusan akan diambil oleh Mr. Joshua cs. Dengan PON ribuan orang muda dari seluruh bagian negara akan bersama-sama dan mereka melihat wilayah Indonesia, dimana mereka mungkin sebelumnya tidak pernah datang. Ketika ditanyakan bagaimana cara menyelesaikan masalah penyediaan tempat tinggal bagi atlet, Mr. Joshua masih belum bisa memberikan informasi yang pasti. Juga tentang anggaran dan cara bagaimana untuk mendapatkan dana yang diperlukan, tidak ada rincian yang dapat diberitahu. Secara total diperlukan sebanyak Rp 7 juta (pembangunan stadion Rp 5 Juta). Pemerintah hanya menyediakan sebanyak Rp 750.000’.

Lantas apakah Abdul Hakim Harahap akan membatalkan? Oh, tidak. Abdul Hakim Harahap adalah pejuang yang merasa yakin penduduk Provinsi Sumatra Utara akan mampu. Gubernur Abdul Hakim Harahap kembali menggalang dana warga Sumatra Utara. Terbukti mampu dan lancar. Kelak, Stadion Teladan (yang masih eksis hingga ini hari) adalah warisan utama Gubernur Abdul Hakim Harahap yang boleh dikatakan adalah milik warga Sumatra Utara (bukan pemerintah!).

Lantas mengapa pemerintah abai terhadap pembiayaan di daerah termasuk kontribusi pemerintah pembangunan Universitas Sumatra Utara dan pembangunan stadion dalam penyelenggaraan PON? Pemerintah pusat seakan tidak mau tahu urusan di daerah. Itu semua karena parlemen telah mengatur kabinet (kabinet parlementer). Selain ribut masalah kursi juga sudah muncul korupsi. Susunan pimpinan dan anggota kabinet adalah representatif di parlemen. Oleh karena itu, Kepala Staf Angkatan Darat, Majoor Generaal Abdul Haris Nasution mulai gerah dan dengan pasukannya melancarkan demonstrasi ke depan istana Presiden Soekarno untuk meminta agar parlemen dibubarkan (karena cenderungan mengacaukan negeri yang baru mulai membangun). Tidak hanya kontribusi pemerintah untuk anggaran pembentukan perguruan tinggi dan penyelenggaraan PON sangat minor, juga kesejahteraan prajurit juga sangat tidak layak. Peristiwa demonstrasi militer ini disebut Peristiwa 17 Oktober 1952.

Kegelisahaan Abdul Hakim Harahap sebagai pemimpin tertinggi di daerah juga dialami oleh Jenderal Abdul Haris Nasution di pusat. Demonstrasi militer yang dipimpin oleh Nasution direspon Abdul Hakim Harahap di daerah dengan mengkritik pemerintah pusat dalam urusuan pendidikan tinggi. Abdul Hakim Harahap selain pengagas Universitas Sumatra Utara juga adalah anggota pendiri Universitas Islam Sumatra Utara. Abdul Hakim Harahap juga bertindak sebagai Ketua dewan kurator (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-09-1952). Saat pembukaan Universitas Islam Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap melontarkan kritiknya kepada pemerintah pusat. Universitas Sumatra Utara yang ingiin dipromosikan oleh pengurusnya menjadi universitas negeri saja tidak dapat anggaran dana pusat apalagi universitas yang dimiliki oleh kelompok komunitas (Islam).

De nieuwsgier, 20-10-1952: ‘Kritik pada pemerintah pusat pada pembukaan perguruan tinggi. Pada pembukaan gedung sekolah Islam yang baru (Perguruan Tinggi Islam Indonesia) di Djalan Radja di Medan, Gubernur Sumatera Utara telah memberikan pidato. Gubernur Abdul Hakim Harahap menyatakan bahwa jika pemerintah pusat tidak memberikan bantuan, provinsi akan melakukannya sendiri. Ini bukan provinsiisme, tapi disini (Provinsi Sumatra Utara) ada orang-orang yang ingin maju sindir Abdul Hakim Harahap. Gubernur bertanya-tanya mengapa pemerintah pusat tidak tertarik pada universitas. Tidak diinginkan bahwa wilayah ini (Provinsi Sumatra Utara) membuat kemajuan lebih cepat daripada modal? Daerah kami tidak akan menunggu. Kami akan melanjutkan, bahkan jika tidak ada pun dukungan pemerintah pusat, kata Gubernur’.

Demonstrasi militer di Djakarta kemudian menular ke daerah. Demonstrasi warga di Kota Medan yang menuntut bubarkan parlemen lalu menuju Kantor Gubernur. Sekarang giliran Abdul Hakim Harahap yang didemo. Jika dipusat yang didemo adalah Presiden Soekarno, di Medan yang didemo adalah Gubernur Abdul Hakim Harahap. Lantas bagaimana reaksi Abdul Hakim Harahap? Gubernur Abdul Hakim Harahap keluar dan menghampiri para demonstran sambil mendengarkan lalu berpidato. Gubernur Abdul Hakim Harahap akan menyampaikan apa yang dituntut dan sekarang semua yang hadir disini kembali ke rumah masing-masing dan semua spanduk dilipat dan silahkan dikumpulkan dan semua spanduk akan segera saya bawa ke Djakarta.

Dalam akhir pidato Gubernur Abdul Hakim Harahap mengajak para demonstran untuk mengikuti dengan meneriakkan dukungan kepada presiden: Hidup Presiden!, Hidup Presiden!, Hidup Presiden Sukarno!. Ternyata para demonstran mengikutinya. Gubernur Abdul Hakim Harahap tampaknya hanya mengakui atasannya Presiden Soekarno. Bukan Perdana Menteri, bukan para Menteri dan juga bukan para pimpinan dan anggota parlemen. Idem dito Jenderal Abdul Haris Nasution.

Setelah peresmian fakultas kedokteran, dekan yang ditunjuk adalah Dr. A. Sofian sementara yang menjadi ketua dewan kurator adalah AM Djalaloeddin (De nieuwsgier, 23-08-1952). Meski Dr. A. Sofian telah ditunjuk sebagai dekan fakultas, pada dasarnya masih menjabat sebagai Kepala rumah sakit kota (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-06-1953). Sementara AM Djalaloeddin adalah Wali Kota Medan yang didalam kepengurusan Jajasan Unversitas Sumatra Utara tetap sebagai Wakil Ketua yayasan.

Dalam kunjungannya ke Provinsi Sumatra Utara, Wakil Presiden Soekarno menyempatkan diri berkunjung ke fakultas kedokteran (Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-08-1953). Dies Natalis pertama Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara yang pertama dilakukan setahun setelah peresmian. Dihadiri sejumlah pihak. Dekan nmelaporkan jumlah mahasiswa sebanyak 26 mahasiswa diantaranya tiga perempuan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1953). De nieuwsgier 12-10-1953 memberitakan Dr. Mansoer meninggal dunia. Disebutkan Dr. Mansoer sudah beberapa lama sakit.   

Pada saat dibentuk fakultas ekonomi di Palembang pada tahun 1953, muncul usulan untuk menyatukan semua fakultas di Sumatra menjadi satu universitas. Boleh jadi usulan ini bermula di Palembang karena pembentukan fakultas ekonomi di Palembang disokong oleh Presiden Ir. Soekarno (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1952).

Pendirian fakultas ekonomi di Palembang juga didukung oleh Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo. Ph.D yang turut hadir dalam peresmian (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1953). Usulan dari Palembang ini ternyata direspon positif dari dari dua kota dimana sudah terdapat perguruan tinggi. Di Padang pada tahun 1951 telah didirikan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ dan di Medan telah dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara yang telah mendirikan fakultas kedokteran pada tahun 1952. Pada saat usulan ini muncul di Indonesia baru dua universitas negeri yakni Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta yang diresmikan pada tanggal 20 Desember 1949 dan Universitas Indonesia di Djakarta yang didirikan pada tanggal 20 Februari 1950.

Abdul Hakim Harahap (Het n.v Sumatra, 31-12-1952)
Usulan tetaplah usulan. Jajasan Universitas Sumatra Utara terus berbenah diri. Namun tidak diduga muncul pemberontakan di Atjeh. Ketua Komisi Pertahanan di Parlemen, Zainulm Arifin Pohan langsung berangkan ke Atjeh. Untuk memudahkan penyelesaian Atjeh, Gubernur Abdul Hakim Harahap, kelahiran Saroelangoen, Djambi dengan terpaksa harus diganti dengan Mr. SM Amin Nasution. Alasannya hanya satu. Mr. SM Amin Nasution adalah kelahiran Atjeh, bisa berbahasa Atjeh dan memahami budaya Atjeh. Abdul Hakim Harahap ditarik ke pusat di Kemnterian Dalam Negeri.

Oleh karena Ketua Dewan Jajasan Universita Sumatra Utara yang pertama Abdul Hakim Harahap telah dipindahkan ke Djakarta, maka dibentuk kembali dewan jajasan yang baru (Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1954). Disebutkan struktur Dewan Jajasan Universita Sumatera Utara yang diketuai oleh Gubernur SM Amin Nasution; H. Soetan Pane Paroehoem sebagai wakil ketua, Dr. Soemarsono sebagai sekretaris-bendahara, dan sebagai anggota: Wali Kota Medan, Oh Tjie Lien, Dr. Barlan, Dr. Maas, J. Pohan, Tahir, Anwir dan Madong Lubis. Juga disebutkan Dekak Fakultas dan Ilmu Sosial adalah Mr. T. Dzulkarnaen.

Ketika usulan pembentukan universitas di Sumatra mulai menguat, Menteri Pendidikan yang baru Mohamad Jamin, tiba-tiba mengumumkan ke publik bahwa akan dilakukan reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia (lihat De nieuwsgier, 19-05-1954). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan menambah tiga lagi perguruan tinggi negeri (PTN). Selain Universitas Gadjah Mada yang berpusat di Djogjakarta dan Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta ditambah satu universitas di Soerabaja, satu universitas di Sumatra dan satu universitas di Sulawesi. Universitas Gadjah Mada fakultasnya selain di Djogjakarta juga terdapat di Soerabaja; Universitas Indonesia fakultasnya selain di Djakarta juga terdapat di Bandoeng, Bogor, Soerabaja dan Makassar. Usulan dalam reorganisasi pendidikan tinggi tersebut, Menteri Pendidikan Mohamad Jamin menetapkan nama universitas di Sumatra dengan nama Adityawarman.

Tidak lama kemudian yang muncul adalah pembentukan dua fakultas di Sumatra Tengah, fakultas pedagogik di Batusangkar dan fakultas pertanian di Paijakoemboeh plus fakultas (kedokteran) di Medan dan fakultas (ekonomi) di Palembang ((lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 18-06-1954).

Dalam perkembangannya, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar provinsi semakin tidak jelas. Ini sehubungan dengan perubahan yang tiba-tiba bahwa Kementerian Pendidikan hanya fokus dalam pembentukan tiga PTN yakni di Soerabaja, Sumatra Tengah dan di Makassar.

Pada tahun 1954 Universitas Sumatra Utara yang telah memiliki dua fakultas dan sejatinya sudah siap dinegerikan. Dalam hal ini pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) manakala dikatakan keuangan pemerintah defisit, sebenarnya tidak perlu repot untuk membangun fakultas baru untuk pendirian suatu universitas baru yang jelas membutuhkan alokasi anggaran baru, Ketika fakultas-fakultas di Soerabaja belum siap untuk dijadikan universitas tiba-tiba diumumkan akan segera diresmikan sebagai universitas negeri di Soerabaja dengan nama Universitas Airlangga pada tanggal 10 November 1954. Tampaknya mahasiswa-mahasiswa di Medan dan Palembang kembali gigit jari. Mengapa? Jika fakultas/universitas dinegerikan pengeluaran orangtua mahasiswa semakin kecil karena uang kuliah semakin murah. Pembentukan Universitas Airlangga bertumpu pada fakultas kedokteran, kedokteran gigi dan fakultas hukum di Soerabaja, Fakultas/institusi di Soerbaja ini yang menjadi bagian dari Universitas Indonesia (yang notabene milik pemerintah/negeri).

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954
Reorganisasi pendidikan tinggi ala Kementerian Pendidikan secara alamiah telah menimbulkan distorsi. Saat keuangan negara minim dan anggaran pemerintah defisit, Kementerian Pendidikan malah Universitas Airlangga segera didirikan, padahal belum siap. Ternyata tidak itu saja, pembentukan dua fakultas di Sumatra Tengah  yang akan menjadi Universitas Adityawarman juga mulai mengerucut, tanpa memperhitungkan kembali gagasan awal universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar provinsi. Jelang peresmian Universitas Airlangga di Soerabaja, Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin datang ke Medan dalam acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia, dosen dan mahasiswa di Medan dengan sopan santun hanya bisa menyindir dengan spanduk dengan bunyi ‘Akuilah Universitet SU’ (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954). Dalam hal ini tentu hanya tinggal mengakui saja, sebab Universitas Sumatra Utara segalanya sudah siap atas partisipasi berbagai pihak (minus pemerintah). Sudah barang tentu Soekarno dan Mohamad Jamin paham arti bunyi spanduk tersebut.

Tampaknya protes mahasiswa dapat dipahami oleh pemerintah pusat. Namun tidak sepenuhnya tuntutan mahasiswa dipenuhi oleh pemerintah. Pengakuan (penegerian) hanya dilakukan terhadap dua fakultas yang ada. Pengakuan (penegerian) tampaknya bergeser ke Sumatra Tengah dengan membentuk baru universitas negeri.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-09-1955:’Fakultas Kedokteran sejak 1 September 1955dan pada saat yang sama juga Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial diserahkan kepada Pemerintah oleh Jajasan Universitas Sumatera Utara untuk dinegerikan. Yang diangkat sebagai dekan Fakultas Kedokteran dalam hal ini adalah  Dr. Achmad Sofjan, yang akan mengundurkan diri dari jabatannya saat ini sebagai Direktur Medis Rumah Sakit Umum di Medan. Sedangkan yang diangkat sebagai dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial adalah Ny. Mr. Ani A. Abbas-Manoppo. Selanjutnya setelah transfer fakultas-fakultas ini kepada pemerintah, pengelola Jajasan Universitas Sumatra Utara akan melanjutkan kegiatannya yaitu perluasan pendidikan tinggi (pembentukan fakultas-fakultas baru) di Sumatera Utara. Jajasan Universitas Sumatra Utara saat ini tengah membentuk fakultas pertanian. Jajasan Universitas Sumatra Utara didirikan tahun 1952 dengan membuka fakultas kedokteran pertama untuk Sumatera. Pada tahun 1952 yayasan ini juga dimulai dengan pembukaan fakultas kedokteran dan fakultas hukum di Medan. Beberapa tahun lalu Jajasan Universitas Sumatra Utara memulai kegiatannya di Sumatera Utara untuk memberi kesempatan kepada pemuda Sumatra Utara untuk mengikuti studi universitas yang diadakan di Medan. Dalam peringatan yang diadakan kemarin, hadir Gubernur Sotean Kumala Pontas yang kapasitasnya sebagai ketua dewan pengawas, berpidato tentang sejarah fakultas yang dibuka oleh Jajasan Universitas Sumatra Utara selama bertahun-tahun. Disebutkannya saat ini lulusan untuk berbagai ujian di fakultas kedokteran dan fakultas hukum rata-rata sekitar 50 persen.

Sejauh ini Universitas Sumatra Utara telah bermetamorfosis dari suatu inisiatif Gubernur Abdul Hakim Harahap (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951), kemudian diimplementasikan oleh sejumlah pimpinan instansi pemerintah di Medan yang tergabung dalam suatu Komite Persiapan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952). Selanjutnya Gubernur Abdul Hakim Harahap membentukan yayasan yang disebut Jajasan Universitas Sumatra Utara dengan akte notaris (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-06-1952). Lalu yayasan menetapkan susunan ketua dan anggota Dewan Kurator (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-08-1952). Dengan demikian sudah terbentuk dua fungsi yakni yang pertana fungsi organisasi yayasan (yang diketuai oleh Gubernur) dan fungsi pelaksana penyelenggaraan akademik yang dalam hal ini disebut kurator (yang diketuai oleh Dr. A. Sofian). Selanjutnya ketika fakultas kedokteran diresmikan diangkat dekan Dr. A. Sofjan, sementara untuk ketua kurator diangkat AM Djalaloeddin. Pada tahun 1954 Jajasan Universitas Sumatra Utara mendirikan fakultas hukum. Ketika dua fakultas ini dinegerikan (yayasan memberikan kepada pemerintah) pada tahun 1955 dekan untuk Fakultas Kedokteran diangkat kembali Dr. A. Sofian dan untuk Fakultas Hukum yang diperluas menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial diangkat sebagai dekan adalah Ny. Mr. Ani A. Abbas-Manoppo. Dekan Fakultas Kedokteran dibantu oleh Dr. Maas sebagai Wakil Dekan dan Dr. Mohamad Ildrem Siregar sebagai Sekretaris Dekan; Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dibantu oleh Mr. Prof. Mr. T. Dzulkarnain sebagai Sekretaris Dekan. Selanjutnya dewan yayasan kembali memikirkan pembentukan fakultas-fakultas baru.

Dr. Maas lulus STOVIA di Batavia tahun 1925 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-04-1925). T. Dzulkarnain, asal Kota Pinang lulus di Universiteit Leiden tahun 1929 (Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1929). Mr. Ani Manoppo lulus Rechts Hoogeschool di Batavia tahun 1936. Dr. Achmad Sofian lulus di Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun 1937 (De Indische courant, 25-05-1937). Mr. Mahadi lulus Rechts Hoogeschool di Batavia tahun 1938 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-09-1938); Dr. Mohamad Ildrem Siregar lulus di Uiversiteit Leiden tahun 1938 ( (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-12-1938). Mr. Ani Manoppo satu kelas dengan Mr. Abdul Abbas Siregar dan sama-sama lulus tahun 1936 di Rechtshoogesxhool Batavia. Ayah Ani Manoppo adalah H. Manoppo seorang wartawan terkenal dari surat kabar Bintang Timoer di Batavia (milik Parada Harahap).

Pemerintah/Kementerian Pendidikan terus melenggang dengan pembentukan dan peresmian Universitas Airlangga, serta pembentukan fakultas-fakultas di Sumatra Tengah untuk mengejar persyaratan pembentukan suatu universitas negeri. Menyadari bahwa Universitas Sumatra Utara kurang diperhatikan Jajasan Universitas Sumatra Utara terus berbenah sendiri dan memperkuat fakultas-fakultasnya.

Suhubungan dengan hal tersebut Gubernur Sumatra Tengah telah menerima surat dari Kementerian Pendidikan yang mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier, 24-07-1956). Dalam hal ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal mengenai pembukaan ini. Dalam perkembangannya, pembentukan Universitas Adityawarman di Sumatra Tengah dan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi dilaporkan hampir selesai. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Akhirnya Universitas Hasanoeddin di Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956 dan tiga hari kemudia Universitas Adtyawarman yang diganti nama dengan nama Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1956. Universitas Airlangga diresmikan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan Universitas Hasanoeddin dan Universitas Andalas.

Gagasan penegerian Universitas Sumatra Utara baru muncul pada era Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto (Maret 1956-April 1957). Ketika ikut mendampingi Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1956, Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengumumkan bahwa sebelum tahun 1960 akan dibentuk universitas negeri di Medan (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 13-09-1956). Disebutkannya lebih lanjut bahwa setelah ini (baca: Universitas Sumatra Utara), jumlah universitas tidak akan lagi ditambah, enam universitas cukup untuk Indonesia.

Jajasan Universitas Sumatra kembali menghasilkan fakultas baru di Medan. Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-11-1956 memberitakan di Medan Jumat pagi pembukaan fakultas pertanian berlangsung, dibawah naungan Jajasan Universitas Sumatera Utara. Penjabat gubernur Sumatera Utara, Soetan Koemala Pontas, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Jajasan memberikan sambutan. Disebutkan untuk memenuhi sebagian ruangan yang diperlukan digunakan beberapa ruangan di kantor gubernur. Fakultas pertanian yang baru ini disebutkan juga memiliki kepentingan dengan sejumlah perusahaan di Sumatera Utara, termasuk AVROS. Fakultas saat ini memiliki 61 mahasiswa.

Namun belum lama Universitas Andalas diresmikan, Wakil Presiden Mohamad Hatta dinyatakan mengundurkan diri pada tanggal 1 Desember 1956.

Pada hari yang sama, ketika parlemen menyetujui pengunduran diri Mohamad Hatta, salah satu surat kabar di Djakarta menulis sebagai berikut: ‘Dwitunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal’. Boleh jadi pengunduran diri Mohamad Hatta tidak mengagetkan Soekarno. Namun tidak lama kemudian lagi, terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi oleh Letkol Achmad Husein pada tanggal 20 Desember 1956 dan mencopot Gubernur Sumatra Tengah Muljohardjo yang notabene adalah wujud dari perwakilan pemerintah pusat di Sumatra Tengah. Peristiwa di Bukittinggi ini tentu membuat Presiden Soekarno kaget. Presiden Soekarno jelas dalam posisi dilawan. Karakter Soekarno justru orang yang tidak mau dilawan. Terhadap peristiwa ini, lantas, apakah Presiden Soekarno mulai gamang? Ternyata tidak gamang. Soekarno adalah seorang revolusioner sejak era kolonial Belanda dan proklamator kemerdekaan Indonesia yang baru-baru ini berhasil memimpin negara-negara Asia dan Afrika dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandoeng (1955). Yang gamang adalah para menteri-menterinya. Sebaliknya, Achmad Husein dengan dewan Bantengnya semakin berani melawan pusat, tidak hanya Presiden Soekarno tetapi juga Kabinet Djoeanda yang dipimpin Perdana Menteri Ir. Djoanda dengan Menteri Dalam Negeri Sanoesi. Letnan Kolonel Achmad Husein bahkan tidak menggubris seruan damai dari Kepala Staf Angkatan Darat, Majoor Generaal Abdul Haris Nasution (yang notabene atasannya langsung). Secara historis, Soekarno, Djoeanda, Sanusi dan Nasution adalah ‘kelompok Bandoeng’.

Setelah terjadi kudeta di Bukittinggi, tidak lama kemudian Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengatakan pembentukan universitas negeri di Medan dapat disegarakan. Pembentukan universitas negeri di Medan, yang baru saja diumumkan oleh menteri pada upacara pembukaan Universitas Andalas di Bukittinggi, dapat dibenarkan dengan kehadiran empat fakultas, yaitu. fakultas kedokteran, hukum dan pertanian serta akademi pedagogis swasta. Pernyataan Menteri Pendidikan ini sangat berdekatan dengan pertemuan tokoh-tokoh Tapnuli di Djakarta yang memutuskan perlunya persatuan dan kesatuan, pembangunan di Tapanoeli dan menghindari pemicu perpecahan di Sumatra Utara.

Java-boe, 22-01-1957
Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-01-1957: ‘Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengatakan pembentukan universitas negeri di Medan terdiri dari fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas pertanian dan akademi pedagogik Universitas Negeri di Medan. Berdasarkan permintaan, Menteri Pendidikan, Sarino Mangunpranoto, mengatakan bahwa fakultas pertanian dan akademi pedagogis swasta di Medan akan diadopsi menjadi pilar pembentukan universitas negeri di Medan, yang akan didirikan tahun ini. Anggaran untuk ini telah dimasukkan dalam struktur anggaran tahun 1957’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957: ‘Orang-orang berpengaruh (Vooraanstaanden) dari Tapanuli bertemu. Prominenten dari komunitas Tapanuli di Djakarta, Minggu malam membahas situasi saat ini di Sumatra. Keputusan berikut diadopsi dengan suara bulat diterima: Untuk membangun persatuan yang erat di semua wilayah Tapanuli dan di seluruh wilayah Indonesia, berdasarkan adat; Diupayakan segera membangun di Tapanuli; Dalam jangka pendek, munculnya gagasan pembentukan provinsi Sumatera Timur, itu hanya akan memicu perpecahan di provinsi Sumatera Utara; Keputusan ini dibuat pada hari ini. Pertemuan pada hari Minggu adalah antara lain dihadiri oleh Abdul Hakim, Prof. Mr. Dr Todung Gunung Mulia, Sutan Guru Sinomba, Mr. Basjaruddin Nasution, Ir. Tarip Harahap, Aminuddin Lubis, Mr. AM Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus Lumbantobing, Ir. Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal TB Simatupang dan Binanga Siregar--anggota Konstituante untuk Tapanuli, yang tengah dalam perjalanan ke Bandung’.

Kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 telah menimbulkan permasalahan tersendiri di Sumatra Utara. Ketika muncul aksi di Sumatra Timur, tokoh-tokoh Tapanuli (yang dipimpin oleh Abdul Hakim, mantan Gubernur Sumatra Utara) di Djakarta memberi respon yang menyejukkan yakni memperkuat persatuan dan kesatuan (di Indonesia), perlu menyegerakan pembangunan (di Tapanuli) dan menghindari perpecahan (di Sumatra Utara).

Pemisahan Residentie Atjeh dari Provinsi Sumatra menjadi Provinsi Atjeh berbeda dengan Pemisahan Sumatra Timur dari Provinsi Sumatra Timur untuk dijadikan sebagai sebuah provinsi. Pada tahun 1956 secara resmi Provinsi Atjeh terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Pembebntukan Provinsi Atjeh relatif bersamaan dengan pemberontakan di Povinsi Sumatra Tengah. Awal pembentukan Provinsi Atjeh dimulai pada pemberintakan di Atjeh tepat pada pembukaan PON III di Medan 20 September 1953 (di era Gubernur Abdul Hakim Harahap).  Boleh jadi tindak lanjut perdamain di Atjeh di era Gubernur SM Amin Nasution adalah pembentukan Provinsi Atjeh. Kini, di era Gubernur Soetan Kumala Pontas (mantan Bupati Tapanuli Tengah) muncul isu pemisahan Sumatra Timur tidak lama setelah secara resmi terbentuk Provinsi Atjeh. Sebagaimana tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta, Gubernur Soetan Kumala Pontas juga ingin tetap menjaga persatuan dan kesatuan di Provinsi Sumatra Utara (Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur),  

Boleh jadi komunike ini telah disampaikan kepada pemerintah atau terdeteksi oleh pemerintah (Presiden dan Menteri Pendidikan). Sebab keputusan Menteri Pendidikan bersesuain dengan keputusan tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta yang dipimpin oleh Abdul Hakim yang menekankan persatuan di antara orang-orang Tapanuli dimanapun berada di Indonesia dan menghindari perpecahan di Sumatra Utara. Beberapa hari kemudian, keputusan pribadi Presiden Soekarno menamai pesawat kepresidenan dengan nama Dolok Martimbang juga bersesuaian dengan keputusan tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta tentang persatuan dan kesatuan.    

Pada tanggal 24 Januari 1957 sebuah pesawat yang dihadiahkan oleh Pemerintah Uni Soviet mendarat di bandara Halim, Djakarta. Presiden Soekarno langsung datang ke bandara. Pesawat yang akan dijadikan sebagai pesawat kepresiden Indonesia, Presiden Soekarno spontan memberi nama Dolok Martimbang.

Dolok Martimbang adalah nama gunung yang dikenal sejak masa lalu di Tapanuli (Utara) yang memiliki legenda sebagai nama suatu gunung yang dijadikan sebagai tempat mengikat perdamaian berdasarkan pertimbangan yang adil. Nama Dolok Martimbang diartikan oleh Presiden Soekarno sebagai lambang persatuan dan kesatuan. Lantas apakah kudeta di Bukittinggi memiliki relasi dengan penabalan pesawat pribadi presiden dengan nama Dolok Martimbang?

Jelas iya. Meski terkesan spontan Presiden Soekarno menabalkan nama Dolok Martimbang, tetapi Soekarno sudah lama mengetahui makna nama Dolok Martimbang bagi penduduk Batak di Tapanuli Utara. Yakni sebagai lambang perdamaian yang dalam bahasa Soekarno diartikan sebagai simbol dari persatuan dan kesatuan. Boleh jadi saat itu Presiden Soekarno melihat kejadian di Bukittinggi sebagai sinyal disiintegrasi (menolak persatuan dan kesatuan) antara Provinsi Sumatra Tengah dengan Indonesia. Dalam konteks inilah Presiden Soekarno memerlukan spirit Dolok Martimbang untuk bisa memperkuat persatuan dan kesatuan. Nama Dolok Martimbang ditempel di pesawat pribadi kepresidenan, pesawat yang membawa Presiden Soekarno ke berbagai daerah di Indonesia. Setiap orang bertanya apa arti Dolok Martimbang, Presiden Soekarno dengan tepat menjelaskan artinya simbol persatuan dan kesatuan. Dalam hal ini ternyata, Presiden Soekarno merasa tidak cukup dengan motto Bhinneka Tunggal Ika sehingga harus ditambah dengan spirit Dolok Martimbang.

Lantas apakah ada relasi nama Dolok Martimbang dengan penegerian Universitas Sumatra Utara? Tentu saja ada. Saat itu, Presiden Soekarno adalah segalanya. Apa yang dipikirkannya dan telah dikatakannya selalu dilaksanakannya. Konsisten berpikir, konsisten berkata-kata dan konsisten melaksanakan. Presiden Soekarno juga pendengar yang baik, pemerhati yang teliti dan juga penanya yang bagus meski seseorang yang ditanya itu adalah seorang petani. Presiden Soekarno juga seorang yang blak-blakan, apaya yang dikatakannya sesuai dengan yang dipikirkannya. Presiden Soekarno sangat mengandalkan data historis dan sangat piawai merumuskan secara futuristik. Dan, tentu saja Presiden Soekarno sangat tegas: mengatakan tidak jika tidak dan mengakatakan iya jika iya. Itulah mengapa Presiden Soekarno membutuhkan sebuah nama untuk nama pesawat pribadinya dengan nama yang sesuai saat itu (saat adanya gejolak di daerah) yakni Dolok Martimbang. Presiden Soekarno sangat konsisten dengan konsep persatuan dan kesatuan yang justru menjadi inti (pembentukan) NKRI itu sendiri. Presiden Soekarno tidak takut RIS (Republik Indonesia Serikat) dibubarkan dan malah mendukungnya. Yang ditakutkan oleh Presiden Soekarno adalah NKRI bubar. Ketika terjadi Kongres Rakyat di Medan pada April 1950, Presiden Soekarno terus memantau. Hasil Kongres Rakyat menghasilkan keputusan: ‘Bubarkan Negara Sumatra Timur (negara federal) wujudkan Negara Kesatuan (Republik Indonesia)’. Hasil kongres inilah yang mengilhami Presiden Soekarno memikirkan NK(RI), mensosialisasikannya dan melaksanakannya sejak tanggal 6 September 1950. NKRI inilah yang sedang diuji di berbagai daerah termasuk di Provinsi Sumatra Tengah.

Bagi pegiat pendidikan tinggi di Medan, kudeta di Bukitttinggi adalah satu hal. Penyegeraan untuk penegerian Universitas Sumatra Utara adalah hal lain. Para akademisi di Medan tidak sedang larut dalam eskalasi politik. Oleh karena sudah ada permintaan pemerintah, lalu komite persiapan penegerian Universitas Sumatra Utara dibentuk (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-02-1957). Disebutkan  sehubungan dengan niat Pemerintah  untuk terus membentuk universitas negeri di Medan dalam tahun ini, Komite Persiapan Universitas Sumatra Utara telah dibentuk hari ini dengan komposisi sebagai berikut: Gubernur Sumatera Utara Soetan Kumala Pontas sebagai Ketua; Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua; Mr. J. Arnold Simandjuntak. kepala departemen administrasi umum di kantor gubernur sebagai sekretaris pertama dan untuk sekretaris kedua adalah Mr. Mahadi. Mr. Paras Nasution, Direktur Bank Dagang Indonesia sebagai bendahara; Para anggota komite adalah Komandan Tritorial, Wali Kota Medan, Ketua Dewan Sumatera Utara; Ketua Dewan Kota Medan, Prof. A. Sofian, Prof. Mohamad Ildrem Siregar, Prof. Mrs. A. Abas-Manoppo, Prof. T Dzulkarnain, Tan Tong Tan dan G. Sianipar. Universitas negeri yang akan dibentuk mencakup fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu sosial, fakultas ilmu pertanian, fakultas pedagogi dan fakultas kedokteran gigi. Dua fakultas, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial sudah berlangsung sejak beberapa tahun di Medan. Sementara fakultas ilmu pertanian dan fakultas pedagogi telah didirikan pada tahun lalu. Sedangkan fakultas kedokteran gigi masih dipersiapkan.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-02-1957 pertemuan massa 5 di Sumatera Tengah dalam rangka pengunduran diri permintaan pemerintah huddiige adalah hari Rabu di Buikittinggi mengadakan pertemuan massa, yang dihadiri oleh sejumlah besar penduduk kota dan sekitarnya. Pada pertemuan ini tiga orang diucapkan, yaitu Dt. Madjo Indo sebagai wakil dari niniik-mamak, Maimunah Rahman sebagai wakil dari organisasi-organisasi perempuan dan Maramis sebagai wakil dari kaum muda. Itu berbicara tentang situasi saat ini, yang di mata mereka tidak bisa lagi diatasi oleh pemerintah saat ini. Mereka menyatakan pendapat mereka bahwa keberlangsungan eksistensi kabinet saat ini hanya akan mengarah pada hubungan terpisah antara pemerintah pusat dan daerah. Atas dasar ini, rakyat Sumatra Tengah menginginkan kabinet yang sekarang digantikan oleh kabinet bisnis yang dipimpin oleh Dr. Hatta. Resolusi juga diadopsi pada pertemuan massa ini, dengan pembubaran kabinet saat ini sebagai persyaratan utama. Setelah pertemuan massal, sebuah prosesi besar diadakan oleh kota. Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution, adalah audiensi dengan Presiden di Bogflr. Dalam kunjungan ini, kepala staf melapor kepada presiden dalam kualitasnya sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata Indonesia, pada kunjungannya ke Sumatra baru-baru ini dalam konteks penyelesaian berbagai peristiwa dan dalam militer. Juga diketahui bahwa kepala staf mengunjungi Ali Sastroamidjojo untuk kedua kalinya sejak kepulangannya dari Sumatera dalam kapasitasnya sebagai menteri pertahanan ai Naar, selama pertemuan ini berbicara tentang penyelesaian masalah ini. Sumatra. Dengan GIA-kapal adalah ibu kota Medan tiba sekelompok tujuh orang untuk tur orientasi melalui Sumatera Utara, yang terdiri Bachrun Harahap, Jusuf Telombanua, S. Pandjaitan, Aminuddin Lubis. Hasbullah Siregar. ir. Debataradja dan Amsar Lubis. Di pengamat bandara disambut oleh ratusan warga Sumatera Timur dan Tapanuli. S. Pandjaitan. juru bicara kelompok itu, permintaan mengatakan kepada pers bahwa mr. Tambunan dan Abdul Hakim, mantan goeverneu- county Noor saya Sumatera aanvanke'ijk akan berpartisipasi dalam perjalanan, tetapi mereka harus meninggalkan mereka karena politik situasi di ibukota.

Proses pembentukan universitas negeri di Sumatra Utara (yakni Universitas Sumatra Utara) sudah direspon oleh pemerintah pusat. Gubernur Sumatra Utara Abdul Halim Harahap pernah mengkritik pusat karena tidak sesenpun pemerintah pusat mengalokasikan anggaran dalam pembentukan perguruan tinggi di Sumatra Utara sementara warga masyarakat dan stakeholder lainnya sudah menunjukkan partisipasinya (De nieuwsgier, 20-10-1952). Baru setelah protes mahasiswa tahun ketika Presiden Soekarno dan Mohamad Jamin berkunjung ke Medan dalam pembukaan kongres bahasa 1954 pemerintah mengalokasikan dana dalam wujud direalisasikan penegerian dua fakultas yang sudah ada (kedokteran dan hukum). Namun setelah penegerian dua fakultas itu proses pembentukan universitas negeri di Sumatra (Universitas Sumatra Utara) terkesan ditahan atau diperlambat. Ketika Universitas Andalas diresmikan pada tanggal 13 September 1956 tiba-tiba Menteri Pendidikan Sarino menghangatkan kembali pembentukan universitas negeri di Medan. Namun setelah itu dingin kembali. Setelah kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 dan munculnya sejumlah pihak pemisahan Sumatra Timur tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta menghasilkan suatu komunike. Tiba-tiba pemerintah melalui Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto meminta dibentuk komite penegerian Universitas Sumatra Utara. Ini seolah-olah pemerintah pusat selama ini telah mempermainkan pegiat pendidikan di Sumatra Utara (game theory). Ini ibarat setelah kisruh di Sumatra, pemerintah pusat baru buru-buru meminta Universitas Sumatra Utara dinegerikan.

Dalam persiapan yang dilakukan komite persiapan ini, tampaknya pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) juga bekerja cepat untuk mendukung termasuk dalam hal ini memperbanyak jumlah dosen. Diantaranya Dr. FJ Nainggolan diangkat sebagai profesor luar biasa dalam bidang parasitology dengan keputusan Menteri Pendidikan yang ditempatkan di Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-02-1957); Dokter Mohamad Hamzah Harahap akan mengajar di Universitas Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-05-1957). Disebutkan sehubungan dengan pengangkatannya sebagai profesor penyakit dalam di fakultas kedokteran di Medan, Mohamad Hamzah Harahap akan pindah dari Siantar ke Medan pada bulan depan. Dr. MohamadHamzah telah bermukim di Siantar selama bertahun-tahun, dan sebagai dokter swasta di sana. Apotek praktek dokter pribadinya di Siantar, akan dilanjutkan oleh Dr. De Graaf dari Rantauprapat.

Dr Mohamad Hamzah Harahap adalah dokter senior. Dokter Mohamad Hamzah Harahap adalah alumni Dokter Djawa School. Mohamad Hamzah Harahap dan Haroen Al Rasjid sama-sama lulus tahun 1902. Pada tahun 1903 Dr, Mohamad Hamzah ditempatkan di Telokbetoeng dan Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang. Di Kota Padang tahun 1903 menikah dengan putri dari raja persuratkabaran Sumatra Dja Endar Moeda bernama Alimatoe’Saadiah. Pada tahun 1905 anak mereka yang perama lahir di Padang yang diberi nama Ida Loemongga. Kelak, Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1931. Mohamad Hamzah Harahap adalah sepupu Soetan Casajangan, pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908. Indische Vereeniging ini kelak pada tahun 1924 namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia oleh Mohamad Hatta dkk. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Ayah Dr. Haroen Al Rasjid bernama Soetan Abdoel Azis yang satu kelas dengan ayah Soetan Casajangan di sekolah guru Kweekschool Tanobato (asuhan Willem Iskander).

Universitas Sumatra Utara telah memasuki tahun kelima. Universitas Sumatera Utara merayakan lustrum pertama (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1957). Universitas Sumatera Utara merayakan lustrum pertamanya kemarin, universitas sekarang memiliki empat fakultas, yaitu! Fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu sosial; fakultas pedagogis dan fakultas pertanian. Dua fakultas pertama, fakultas kedokteran dan fakultas hukum dan ilmu sosial telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1955 dan dengan sendirinya milik pemerintah. Fakultas pedagogi dan fakultas pertanian yang didirikan tahun lalu, saat ini masih berada, langsung dibawah yurisdiksi Jajasan Universitas Sumatra Utara.

Jumlah mahasiswa yang diterima tahun ini di berbagai fakultas Universita Sumatra Utara dilaporkan oleh Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-09-1957. Disebutkan dalam upacara pembukaan perpeloncoan dari empat fakultas Universitas Sumatra Utara hadir Prof. Dr. Maas, selaku wakil ketua dewan pembina Universitas Sumatera Utara dan Prof. Mr. Mrs. Ani A. Abbas-Manoppo, Dekan Fakultas Hukum. Disebutkan jumlah mahasiswa yang mengikuti perpeloncoan tersebut sebanyak 200 mahasiswa berasal dari fakultas hukum dan ilmu sosial, 105 mahasiswa dari fakultas kedokteran, 200 mahasiswa dari fakultas pedagogi (keguruan) dan 15 mahasiswa dari fakultas pertanian.

Ani A. Abbas-Manoppo adalah istri Mr. Abdul Abbas Siregar. Ani Manoppo dan Abdul Abbas Siregar sama-sama satu kelas di Rechts Hoogeschool Batavia. Setelah lulus dan mendapat gelar Mr, Ani Manoppo menjadi pengacara di Batavia dan Mr. Abdul Abbas menjadi pengacara di Lampung bersama Mr. Gele Haroen (alumni sekolah hukum di Be;anda yang merupakan adik kandung Dr. Ida Loemongga Nasution, Ph.D). Pada era pendudukan Jepang Mr. Abdul Abbas Siregar hijrah ke Batavia dan bertemu kembali dengan Mr. Ani Manoppo (lelu menikah). Mr. Abdul Abbad Siregar adalah salah satu anggota PPKI yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Mr Abdul Abbas Siregar bersama Mr. T. Mohamad Hasan dikirim ke Sumatra, yang mana Mr. T Mohamad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatra di Medan dan Mr. Abdul Abbas Siregar diangkat sebagai koordinator dalam pembentukan dewan di Sumatra. Lalu Provinsi Sumatra terbagi sembilan residenti. Untuk Residen di Lampung diangkat Mr. Abdul Abbas Manoppo, lalu kemudian dipindahkan sebagai Residen di Residentie Sumatra Timur di Medan. Ketika Belanda kembali, Mr. Abdul Abbas dan istrinya Mr. Ani Manoppo mengungsi ke Tapanoeli di Padang Sidempoean. Di Tapanoeli di era angresi militer Belanda kedua, Mr. Abdul Abbas Siregar adalah Ketua Presidium Republiken. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda Mr. Abdul Abbas Siregar dan istrinya Mr. Ani Manoppo kembali ke Medan. Mr. Abdul Abbas Siregar kelahiran Diski, Kota Medan.

Komite Persiapan (penegerian) Universitas Sumatra Utara yang diketuai oleh Gubernur Sumatera Utara Soetan Kumala Pontas telah bekerja dengan baik. Lalu pemerintah pusat menyetujui Rancangan Undang-Undang untuk pembentukan Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan  (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-10-1957). Dengan demikian penegerian Universitas Sumatra Utara sudah berada diambang pintu.

Pembangunan komplek universitas sedang dilakukan yang berada di Padangbulan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-10-1957). Disebutkan sebelum akhir tahun akan selesai yang meliputi laboratorium dan ruang kelas untuk departemen anatomi dan fisiologi dari fakultas kedokteran dan dua ruang kelas dan dua kantor untuk administrasi faculteit hukum dan ilmu sosial. Jumlah lebih dari Rp. 5,7 juta telah dialokasikan oleh pemerintah untuk ini, yang harus dibayarkan selama tahun ini. Untuk perluasan komplek yang masih terkendala adalah pembebasan lahan. Sejumlah Rp. 4,5 juta telah dialokasikan oleh pemerintah untuk menyiapkan 40 hektar lahan yang telah dibuang dan membayar kompensasi kepada penghuni ilegal. Kompensasi telah ditetapkan sebesar Rp. 1,75. sudah mulai dibangun di tanah universitas. Sebuah pagar telah dipasang untuk mencegah pekerjaan baru. Sudah terdapat sepuluh rumah dosen fakultas kedokteran. Namun masih terkendala dari keuangan pemerintah untuk pembangunan rumah berikutnya yang mengakibat dosen dari Selandia Baru belum datang karena belum tersedianya fasiltas perumahan. Saat ini, fakultas ilmu pertanian dan fakultas pedagogi masih dalam manajemen swasta. Segera ini juga akan diambil alih oleh pemerintah, dimana serentak universitas akan didirikan di Medan, termasuk empat fakultas: kedokteran, hukum, pertanian dan pedagogi. Sehubungan dengan itu dibentuk Badan Koordinasi Universitas Sumalera Utara, sebelumnya koordinasi diatur antara fakultas ke Panitia Universitas Sumatera Utara (Komite untuk mempersiapkan sebuah perguruan tinggi dengan Gubernur Soetan Koemala Pontas sebagai Ketua dan Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua. Rincian ini diberikan pagi ini pada konferensi pers oleh Prof. Dr. Maas dan Prof. Mr. A. Abas'Manoppo.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-11-1957:’Presiden Soekarno akan datang ke Medan. Menurut pejabat di kantor Gubernur J. Arnold Simandjuntak, Presiden Soekarno diharapkan bertemu tanggal 20 di Medan pada Rabu pagi untuk pembukaan resmi USU (Universitas Sumatera Utara). Seperti yang Anda ketahui, pemerintah telah memutuskan untuk mengakui universitas ini sebagai universitas negeri. USU saat ini memiliki empat fakultas, yaitu fakultas medis, hukum, pedagogis dan pertanian, belum diketahui secara resmi siapa yang akan menjadi presiden USU. Pembukaan resmi universitas akan berlangsung pada sore hari yang bertempat di gedung fakultas hukum USU di Djalan Seram. Keesokan paginya setelah pembukaan resmi ini, Presiden Soekarno akan memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa USU. Setelah ini, kepala negara masih akan mengadakan pertemuan dengan manajemen universitas. Kepala negara akan melakukan perjalanan kembali ke ibukota pada sore hari tanggal 21 November’.

Jadwal peresmian Universitas Sumatra Utara sudah ditetapkan. Peresmian akan dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 November. Sehubungan dengan itu, ketua panitia persiapan juga telah menetapkan anggota presidium Universitas Sumatra Utara sebagaimana diberitakan Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 14-11-1957: ‘Panitia persiapan untuk peresmian (penegerian) Universitas Sumatera Utara pada pertemuan di rumah dinas resmi Gubernur Soetan Koemala Pontas di Medan telah menetapkan anggota presidium. Mereka itu adalah Ny. Prof. Annie Abbas Manoppo, Prof. Dr. Maas dan Prof. Dr. Sofjan. Presidium ini akan bekerja di kantor selama dua bulan. setelah itu penunjukan seorang presiden untuk universitas ini akan dibuat. Menurut rencana, universitas akan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 20 November’.

Bersamaan dengan pembentukan dan penegerian Universitas Sumatra Utara di Medan, juga muncul gagasan pembentukan universitas negeri di Bandoeng. Ini sedikit bertentangan dengan pernyataan Menteri Sarino pada tanggal 13 November 1956 ketika peresmian Universitas Andalas. Algemeen Indisch dagblad, 04-01-1957 memberitakan pertemuan antara Menteri Pendidikan dan stafnya, Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, perwakilan dari Universitas Indonesia dan komite untuk pembentukan sebuah universitas negeri di Bandung, disepakati untuk mendirikan universitas negeri yang baru pada pertengahan tahun 1957. Pada tanggal 6 Januari, panitia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan kemajuan yang dicapai untuk mewujudkan pembentukan universitas. Indonesia akan memiliki total enam universitas negeri. Menteri Sarino pada tanggal 13 September 1956 mengatakan di Medan akan dibentuk universitas negeri sebelum tahun 1960 sebagai yang keenam dan cukup enam universitas untuk seluruh Indonesia. Dengan pembentukan universitas negeri yang keenam di Bandoeng itu berarti Bandoeng telah menyalib Medan di tikungan.

Sementara itu, dalam pembentukan universitas di Bandung, yang diluar dugaan adalah Ketua Komite pembentukan universitas di Bandoeng adalah mantan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-01-1957). Disebutkan pembentukan universitas di Bandoeng diberi nama Universitas Padjadjaran. Strategi yang diusung dalam pembentukan universitas di Bandoeng tersebut adalah memisahkan dua fakultas dari Universitas Indonesia di Bandoeng dan membentuknya menjadi universitas. Ini mirip dengan cara yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Mohamad Jamin ketika membentuk Universitas Airlangga dengan memisahkan fakultas kedokteran dan institusi kedokteran gigi yang menjadi bagian Universitas Indonesia di Soerabaja.

Namun usulan pembentukan universitas di Bandoeng ini sejumlah pihak tidak setuju termasuk Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957). Sejak itu pengusulan pembentukan universitas di Bandoeng masuk kotak. Akan tetapi sejak Kabinet Djoeanda berkuasa (sejak 9 April 1957) pembentukan Universitas Padjadjaran menguat kembali. Kabinet Djoeanda pada intinya diisi oleh ‘kelompok Bandoeng’, mulai dari Presiden Soekarno, Perdana Menteri Ir. Djoeanda hingga Kepala Staf Angkatan Darat Majoor Generaal Abdul Haris Nasution. Pihak yang berlawanan dengan ‘kelompok Bandoeng’ menuduh ‘kelompok Bandoeng’ adalah anti Belanda.

Pegiat pendidikan tinggi di Bandoeng boleh jadi sudah mendongkol ketika dua fakultas Universitas Indonesia di Bandoeng ingin dipisahkan dan dibentuk Universitas Padjadjaran. Para pegiatan pendidikan di era Kabinet Djoeanda ini tidak memikirkan lagi pemisahan dua fakultas Universitas Indonesia tetapi membentuk baru uinversitas di Bandoeng dengan memperkuat Universitas Merdeka di Bandoeng. Universitas Medeka didirikan pada tahun 1952 dengan dua fakultas (hukum dan ekonomi). Lalu Universitas Padjadjaran diresmikan pada tanggal 11 September 1957. Seperti halnya, halnya Universitas Sumatra Utara, pembentukan Universitas Padjadjaran juga terkesan dihambat.

Universitas Sumatra Utara akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno tepat pada tanggal 20 November 1957 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie). Peresmian ini sekitar dua bulan setelah peresmian Universitas Padjadjaran di Bandoeng. Universitas Padjadjaran juga diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hal ini berbeda dengan peresmian dua universitas sebelumnya yang waktu itu diresmikan oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta. Universitas Hasanoeddin di Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956 dan tiga hari kemudian Universitas Andalas di Bukittinggi diresmikan pada tanggal 13 September 1956. Ini seakan ada dua universitas kembar: Universitas Hasanoeddin dan Universitas Andalas tahun 1956 sebagai kembar pertama dan Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara pada tahun 1957 sebagai kembar kedua.

Soal pemberontakan di Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno tetap acuh tak acuh. Presiden Soekarno hanya fokus pada Irian Barat. Seperti setiap kali berpidato sepanjang tahunn 1957 di berbagai daerah, Presiden Soekarno mengingatkan sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1958, Belanda harus angkat tumit dari Irian Barat. Oleh karena itu, Presiden Soekarno tetap menekankan perlunya persatuan dan kesatuan untuk memuluskan kembalinya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Akan tetapi Belanda tetap kukuh dengan Irian Barat bahkan hingga 1 Januari 1958. Yang muncul justru adalah diproklamirkannya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Lantas, apakah Presiden Soekarno menjadi gamang? Ternyata juga tidak. Pembebasan Irian Barat adalah tujuan utamanya. Namun soal Provinsi Sumatra Tengah tetap menjadi ganjalan bagi Presiden Soekarno. Untuk merebut Irian Barat Presiden Soekarno memerlukan persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, Presiden Soekarno ingin segera menyelesaikan Provinsi Sumatra Tengah, tetapi tidak lagi dengan jalan damai yang telah dilaksanakan selama ini. Presiden Soekarno memutuskan melakukan penyerangan terhadap PRRI.

Untuk melaksanakan itu Presiden Soekarno meminta persetujuan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta, tetapi ditolak karena tidak setuju. Lalu Presiden Soekarno memutuskan sendiri untuk dilakukan penyerangan. Presiden Soekarno menugaskan kepada Majoor Generaal Abdul Haris Nasution. Akan tetapi Abdul Haris Nasution menolak dengan halus dengan persetujuan tetapi memberikan kebebasan kepada Kolonel Achmad Jani untuk melaksanakannya. Sebelum serangan dimulai, sepulang dari kunjungan luar negeri, Presiden Sukarno sempat melunak untuk berdamai dengan Mohamad Hatta. Mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta hanya bersedia jika dirinya sebagai Perdana Menteri tetapi Presiden Soekarno hanya sebagai simbol kepala negara. Tampaknya penawaran Mohamad Hatta dianggap Soekarno harganya terlalu tinggi. Sikap Soekarno yang awalnya melunak kembali mengeras, sekeras batu.

Penyerangan pendahuluan sudah dimulai (di pesisir Pantai Barat Sumatra) dan serangan besar-besaran ke pedalaman di Sumatra Tengah dilakukan pada bulan April 1958. Ketika Jenderal Abdul Haris Nasution datang meninjau di Pekanbaroe, satu batalion TNI yang ditempatkan Achmad Jani di Tapanoeli untuk merangsek ke Sumatra Tengah diminta dikosongkan. Mengapa Nasution meminta dikosongkan? Boleh jadi agar tidak sepenuhnya PRRI yang terkepung di daerah DOM di Provinsi Sumatra Tengah, dan jalur kosong menuju Tapanoeli ini menjadi jalur pelarian. Pasukan reguler TNI di Tapanoeli hanya tinggal menangkapinya di daerah netral (diluar DOM).. Itulah taktik ala gerilya Jenderal Abdul Haris Nasution. Pertumpahan darah menjadi diminimalkan.

Penyerangan yang dilakukan terhadap PRRI di Provinsi Sumatra Tengah sangat disayangkan. Namun boleh jadi dari sudut pandang Presiden Soekarno, ketika pembebasan Irian Barat terkendala, tindakan penyerangan terhadap PRRI adalah jalan pintas untuk memaksakan dalam mengeliminasi disintegrasi bangsa. Penyerangan terhadap PRRI di Provinsi Sumatra Tengah adalah salah satu wujud mempertahankan persatuan dan kesatuan, tetapi dengan cara yang tidak diinginkan. Tampaknya spirit Dolok Martimbang tidak manjur di Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan di Sumatra Tengah telah dilakukannya dengan caranya sendiri. Sebaliknya pers barat terutama Belanda sangat mengkhawatirkan tindakan Soekarno menyerang Sumatra Tengah dijadikan sebagai gladi resik untuk serangan selanjutnya di Irian Barat yang masih dikuasai Belanda (Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 19-03-1958).

Pada level daerah, apa yang terjadi pada level nasional juga terjadi di Provinsi Sumatra Utara. Setelah Residentie Atjeh meminta otonomi yang dimulai pada pemberontakan tanggal 20 September 1953 yang kemudian dibentuk Provinsi Atjeh secara formal tanggal 7 Desember 1956. Setelah kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 yang menimbulkan ketegangan antara pusat (Djakarta) dengan Provinsi Sumatra Tengah (Bukittinggi) pada awal tahun 1957 kelompok tertentu di Medan meminta otonomi Residentie Sumatra Timur menjadi sebuah provinsi. Sejumlah tokoh asal Tapanoeli di Djakarta yang dipimpin mantan Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap mendeklarasikan tetap menjaga persatuan di Tapanuli dan di seluruh Indonesia, melaksanakan pembangunan dan menolak otonomi Sumatra Timur karena dapat memcu perpecahan di Provinsi Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957). Tokoh-tokoh otonomi ini antara lain Mr. Mahadi. Jusuf A. Puar dan Djaidin Purba (mantan Wali Kota Medan). Lalu permintaan kelompok otonomi ini meningkatkannya dengan melakukan Kongres Otonomi (Het nieuwsblad voor Sumatra,    14-03-1957).

Surat kabar Mestika memberitakan terdapat sikap negatif dari pemerintah pusat sehubungan dengan otonomi ini. Ketua Komite Kongres, Mr. Mahadi yang mengundang Presiden Soekarno untuk hadir, malah dijawabpun tidak.Tampaknya kelompok otonomi kecele, boleh jadi sebaliknya Presiden Soekarno menganggap kelompok otonomi tidak mehamami situasi dan kondisi yang tengah dihadapinya (pusat vs Sumatra Tengah). Juga dilaporkan Presiden akan ke Medan tetapi tidak menuju kongres otonomi tetapi ke organisasi kelompok yang berbeda. Sementara itu Gubernur Soetan Koemala Pontas, dirinya sendiri tidak hadir pada pembukaan kongres dan tidak merasa perlu mengirim seorang pejabat untuknya, sudah cukup untuk diwakili oleh seorang sekretaris hukum. Ini adalah respon pemerintah terhadap tuntutan otonomi untuk Pantai Timur, yang mereka coba capai melalui jalur hukum. Surat kabar Mestika, melihat tidak satupun pihak yang merespon, hanya berkomentar sinis bahwa semoga saja Tuhan memberkati kongres otonomi tersebut.

Setelah penegerian Universitas Sumatra Utara dilakukan, ketua presidium yang diangkat adalah Prof. A. Sofian. Perjuangan penegerian Universitas Sumatra Utara di masa damai tidak membuahkan hasil. Penegerian Universitas Sumatra Utara justru muncul tiba-tiba dan tak terduga di waktu konflik nasional. Penegerian Universitas Sumatra Utara tampaknya wujud dari strategi untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan di bawah simbol Dolok Martimbang. Presiden Soekarno turut mendukung spirit persatuan di Sumatra Utara dengan cara tidak merespon kongres otonomi. Setali tiga uang Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas juga turut mendukung persatuan dan kesatuan dengan caa tidak mengirim pejabat ke kongres otonomi.

Satu hal yang tersisa dari kasus PRRI ini adalah Prof. Bahder Djohan mengundurkan diri sebagai Presiden Universitas Indonesia karena tidak setuju dengan strategi penyerangan PRRI di wilayah Provinsi Sumatra Tengah (De Volkskrant, 28-02-1958). Berbeda dengan Prof. Bahder Djohan yang mengundurkan diri pada tahun 1958, Prof. Sumitro Djojohadikusoemo, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dipecat karena telah menyeberang ke PRRI. Lantas kemudian posisi Prof. Dr. Achmad Sofian sebagai Ketua Presidium Universitas Sumatra Utara telah digantikan oleh Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas. Apakah penggantian Prof. Achmad Sofian ini memiliki kasus yang sama dengan kasus Presiden Universitas Indonesia?

Lalu setelah berakhir PRRI, dua fakultas Universitas Indonesia di Bandoeng dipisahkan dan dibentuk universitas kedua di Bandoeng dengan nama Institut Teknologi Bandoeng yang diresmikan pada tanggal 2 Maret 1959. Pertanyaannya: Apakah setelah Bahder Djohan tidak menjabat Presiden Universitas Indonesia menjadi mulus pemisahan dua fakultas di Bandoeng? Entahlah. Yang jelas di Bandoeng sudah berdiri dua universitas negeri selama era Kabinet Djoeanda. Universitas Indonesia hanya tersisa di Djakarta dan Bogor.

Universitas Sumatra Utara yang sejatinya adalah universitas negeri yang ketiga, tetapi pada akhirnya hanya duduk di urutan yang ketujuh setelah Universitas Gadjah Mada (1949), Universitas Indonesia (1950), Universitas Airlangga (1954); Universitas Hasanoeddin dan Universitas Andalas (1956); serta Universitas Padjadjaran (1957). Berkah penegerian Universitas Sumatra Utara adalah berkah yang turun pada situasi dan kondisi yang tepat ketika spirit persatuan dan kesatuan sangat diperlukan untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi (NKRI).

Spirit Dolok Martimbang langsung tidak langsung telah turut memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dolok Martimbang tidak hanya menghalangi munculnya gejala disintegrasi seperti di Provinsi Sumatra Tengah, bahkan spirit Dolok Martimbang turut menyemangati pembebasan Irian Barat. Dolok Martimbang telah membuat utuh NKRI. Sekadar catatan kembali, spirit NKRI dimulai di Provinsi Sumatra Utara. Ini bermula dari Kongres Rakyat yang menghasilkan keputusan Bubarkan Negara Sumatra Timur dan wujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pemimpin di Medan di dalam bingkai NKRI, ketika membentuk universitas di Sumatra Utara tidak pernah berpikir untuk memberi nama Sisingamangaradja, tetapi nama yang diberikan cukup dengan Universitas Sumatra Utara. Ini juga satu bentuk untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan di tingkat lokal dalam bingkai NKRI.

Mohamad Jamin  (Menteri Pendidikan) sempat mengusulkan Universitas Indonesia diganti menjadi Universitas Poernawarman karena mengacu pada pemberian nama Universitas Gadjah Mada. Atas dasar itu Mohamad Jamin akan membentuk universitas di Sumatra dengan nama Universitas Adityawarman, Universitas Airlangga di Soerabaja dan Universitas Hasanoedidin di Makassar. Usulan penggantian nama Universitas Indonesia tidak ada yang merespon. Ketika Universitas Adityawarman dibentuk di Provinsi Sumatra Tengah, Wakil Presiden Mohamad Hatta mengusulkan nama Adityawarman diganti dengan nama Tuanku Imam Bondjol. Namun dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi Prof. Mohamad Sjaaf juga tidak setuju lalu jelang peresmian universita di Sumatra Tengah tersebut mengusulkan nama Universitas Andalas. Mohamad Sjaaf tampaknya jernih melihat Provinsi Sumatra Tengah (yang terdiri dari Residentie Sumatra Barat, Residentie Riau dan Residentie Djambi) pada dasarnya tidak homogen. Karena itu Mohamad Sjaaf mengusulkan nama Andalas agar mencerminkan heterogenitas. Hal inilah yang terjadi ketika Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap menetapkan nama universitas di Provinsi Sumatra Utara dengan nama Universitas Sumatra Utara. Dengan demikian nama-nama universitas negeri pada saat itu Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Sumatra Utara adalah wujud menjaga persatuan dan kesatuan pada tingkat yang berbeda-beda: nasional, pulau dan provinsi. Format ini kemudian diikuti pada pembentukan Insitut Teknologi Bandoeng (1959), Institut Teknologi Surabaja (1961) dan Institut Pertanian Bogor (1963). Format ini sudah sejak lama diberlakukan di banyak negara seperti Negeri Belanda dan Amerika Serikat.     

Persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Persatuan dan kesatuan adalah pilir penting mewujudkan negara yang damai dan negara yang kuat dan sejahtera. Provinsi Sumatra Utara dalam hal ini dapat dikatakan sebagai miniatur perjuangan dalam pembentukan NKRI. Di situ ada spirit Dolok Martimbang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar