Sabtu, 08 September 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (8): Lukman Hakim, dari De Javasche Bank hingga Bank Indonesia; Sejarah Awal Bank di Indonesia


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bank Indonesia sejatinya dicatat secara keliru. Sejarah Bank Indonesia seoralh-olah dimulai tanggal 1 Juli 1953 (seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953). Sementara pengakuan (kemerdekaan) Indonesia oleh Belanda sudah berlangsung sejak 27 Desember 1949 (hasil perjanjian KMB di Den Haag). Periode antara 27 Desember 1949 hingga 1 Juli 1953 tidak dicatat Bank Indonesia sebagai bagian sejarahnya Bank Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian penjelasan Bab-VIII, Pasal 23 tentang Keuangan dinyatakan akan membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Gedung Bank Indonesia (eks Javasche Bank)
Dalam catatan sejarah Bank Indonesia, eksistensi De Javasche Bank (sejak 1828) dibedakan dengan eksistensi Bank Indonesia (sejak 1953). Dalam hal ini, pimpinan tertinggi De Javasche Bank disebut Presiden (Komisaris) dan pimpinan tertinggi Bank Indonesia disebut Gubernur. Akibatnya nama Sjafroeddin Prawiranegara dicatat dengan dua judul jabatan, yakni sebagai Presiden Javasche Bank antara tahun 1951 hingga 1953 dan sebagai Gubernur Bank Indonesia antara 1953 hingga tahun 1958. Dengan kata lain, Sjafroeddin Prawiranegara adalah Presiden Javasche Bank terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama.

Pertanyaannya: Mengapa pimpinan bank sentral Indonesia Sjafroeddin Prawiranegara seolah-olah baru dimulai tahun 1953 padahal secara defacto Sjafroeddin Prawiranegara sudah bertanggungjawab penuh sejak 1951? Lantas kemudian mengapa fase transisi ini tidak dianggap penting, dan sejarah Bank Indonesia baru dianggap penting sejak diberlakukannya Undang--Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Padahal esensi fase transisi ini justru seharunya lebih penting sebagai bagian sejarah Indonesia jika dibandingkan dengan sejarah fase Javasche Bank dan sejarah fase Bank Indonesia. Akibat keliru dalam mencatat esensi sejarah yang penting, peran Lukman Hakim menjadi tenggelam dan peran Sjafroeddin Prawiranegara seakan segalanya. Padahal, Lukman Hakim adalah orang Indonesia yang paling berperan penting dalam membidani peralihan Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Lukman Hakim adalah pelopor Bank Indonesia. Inilah sejarah Bank Indonesia yang sebenarnya.

Lukman Hakim dan Bank Indonesia

Jauh sebelum Sjafroeddin Prawiranegara dilibatkan di bank sentral, Lukman Hakim sudah berperan penting. Ini dimulai pada akhir era RIS (1950). Pada awal era (NK)RI, Lukman Hakim, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia di Djogjakarta ditunjuk sebagai Direktur Javasche Bank (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-09-1950). Lukman Hakim adalah Menteri Keuangan Kabinet RI (20 Desember 1949-6 September 1950) sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara adalah Menteri Keuangan Kabinet RIS RI (20 Desember 1949-6 September 1950). Ketika Lukman Hakim ditunjuk sebagai Direktur Javasche Bank, Sjafroeddin Prawiranegara diangkat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir (sejak 6 September 1950).

Bank sentral di Indonesia (sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949) diperankan oleh Javasche Bank. Sebelum diberlakukannya pengakuan kedaulatan sudah diputuskan bahwa hanya ada satu bank sirkulasi di seluruh wilayah Indonesia (Amigoe di Curacao, 04-08-1949). Oleh karena bank swasta Javasche Bank lebih baik dari Bank Negara Indonesia (BNI) maka untuk bertindak sebagai bank sirkulasi alias bank sentral dipilih Javasch Bank, Sementera Javasche Bank telah ditunjuk sebagai bank sirkulasi, BNI terus memperbaiki diri. Javasche Bank sendiri dipimpin oleh Presiden Komisaris Dr. A. Houwink dengan satu direktur. Dalam fase inilah Lukman Hakim ditunjuk sebagai direktur Javasche Bank sehingga posisi direktur Javasche Bank menjadi tiga orang. Penunjukkan Lukman Hakim dalam hal ini adalah sebagai pejabat pemerintah Republike Indonesia (berdampingan dengan orang-orang swasta di Javasche Bank, bukan dengan pemerintah Belanda). Sejak inilah Lukman Hakim memainkan peran penting untuk Indonesia. Dalam susunan bank sentral ini Presiden Javasche Bank adalah orang Belanda dari pihak BFO, sedangkan dua direktur adalah masing-masing RI dan BFO (federalis) yakni Mr. Lukman Hakim perwakilan dari RI dan Indrakoesoema perwakilan dari federalis (lihat De Telegraaf, 15-08-1950). Lalu dalam perkembangannya dua orang Belanda yakni PA van Garderen dan Mr. FH Parmentie yang berposisi sebagai wakil direktur (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 14-09-1950). Kedua wakil ini diduga adalah orang-orang Javasche Bank. Untuk sekadar catatan bahwa jika pemerintahan RIS terwujud maka ORI dan uang Belanda ditarik dari peredaran dan digantikan oleh Oeang RIS (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 19-12-1949).

Hal pertama yang dilakukan oleh Lukman Hakim sebagai direktur di Javasche Bank adalah berangkat ke kantor pusat Javasche Bank di Amsterdam (Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 12-09-1950). Disebutkan Lukman Hakim akan berangkat akhir bulan September dan bertugas di Amsterdam selama enam bulan untuk mempelajari berbagai hal terkait dengan Javasche Bank.

Kabinet Natsir dibubarkan dan digantikan Kabinet Sukiman pada tanggal 20 Maret 1951. Perdana Menteri Natsir menawarkan pengundurdirian kabinetnya kepada Presiden Soekarno setelah dua menteri PIR telah mengundurkan diri dari kabinetnya (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,   31-12-1951). Menteri Keuangan Sjafroeddin Prawiranegara harus menyerahkan kepada penerusnya yang baru Menteri Keuangan Jusuf Wibisono. Sejak tanggal 20 Maret Sjafroeddin Prawiranegara tidak memiliki posisi jabatan alias menganggur. Namun tidak lama kemudian Presiden Komisaris Javasche Bank Dr. A. Houwink dikabarkan mengundurkan diri. Posisi ini menjadi peluang untuk ditempati oleh Sjafroeddin Prawiranegara.   

Tanpa diketahui alasan Dr. A. Houwink menawarkan pengundurkan diri sebagai Presiden Komisaris Javasche Bank kepada Presiden Soekarno pada tanggal 29 Mei. Setelah itu muncul rumor bahwa pemerintah merekomendasikan yang menggantikannya adalah Sjafroeddin Prawiranegara (lihat De nieuwsgier, 02-06-1951). Dalam berita ini juga disebutkan bahwa pemerintah juga menginginkan Dr. Sumitro Djojohadikusumo tetap sebagai anggota dewan komisaris yang tinggal di Eropa/Belanda. Pemerintah melalui Menteri Keuangan yang baru Jusuf Wibisono akan menasionalisasi Javasche Bank.

Boleh jadi pengunduran diri Dr. A. Houwink terkait dengan pengumuman pada tanggal 29 April yang mana Menteri Keuangan yang baru Mr. Jusuf Wibisono mengatakan akan melakukan nasionalisasi terhadap Javasche Bank. Menteri Keuangan juga mengatakan Javasche Bank dalam kondisi prospek. Dengan demikian kronologisnya dapat disusun sebagai berikut: (1) Penemptanan Mr. Lukman Hakim di Javasche Bank, adalah wujud dari perjanjian KMB yang mana ditetapkan hanya satu bank sirkulasi atau bank sentral di Indonesia. Secara dejure dapat dimulai pada tanggal 27 Desember 1949, tetapi secara defacto baru direalisasikan pada bulan September 1950, saat Lukman Hakim telah berada di jajaran pimpinan Javasche Bank, (2) Penggantian Presiden Javasche Bank, A. Houwink yang menawarkan pengunduran diri dan (sebagaimana kita lihat dalam perkembangan berikutnya) penunjukan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara merupakan awal proses nasionalisasi Javasche Bank yang dalam prosesnya nama Javasche Bank diubah menjadi Bank Indonesia. Dalam fase proses nasionalisasi ini Presiden Javasche Bank sudah dijabat oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dan komite persiapan nasionalisasi Javasche Bank sudah terbentuk. Komite ini juga termasuk menyiapkan rancangan undang-undang pokok Bank Indonesia. Tepat pada tanggal 1 Juli 1953 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia disahkan dan struktur pimpinan (baru) Bank Indonesia diumumkan. Dengan diberlakukannya undang-undang baru ini pimpinan bank yang berasal dari asing (Belanda) harus meletakkan jabatan, tetapi para ahli/staf yang penting yang masih bekerja di dalam bank tetap dipertahankan (sebagai pegawai non Indonesia).

Pada tanggal 28 Juni Menteri Keuangan membentuk komisi untuk mempersiapkan nasionalisasi Javasche Bank. Pada tanggal 4 Juli sidang kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden Javasche Bank. Dalam hubungan ini pemerintah juga telah mengndang pakar keuangan dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht.

Untuk memperkuat rencana pemerintah terhadap nasionalisasi Javasche Bank pemerintah telah mengundang seorang pakar keuangan dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht. Pakar ini tiba di Indonesia pada tanggal 3 Augustus atas undangan pemerintah Indonesia. Dalam kedatangan Dr. Schacht ini, pemerintah juga mengumumkan bahwa akan membeli saham Javasche Bank dengan harga 120% dari nilai nominal.

Dr. Hjalmar Schacht adalah seorang profesional yang tidak memihak siapapun bahkan terhadap PBB. Dr. Schacht bekerja dengan kapasitasnya sebagai seorang ahli keuangan. Kemampuan Dr. Schacht benar-benar tidak diragukan. Dr. Hjalmar Schacht bekerja untuk kepentingan tuannya yang telah mengundangnya Pemerintah Indonesia. Kehadiran Dr. Hjalmar Schacht telah menguntungkan Indonesia dan juga membuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan banyak hal dalam perbaikan ekonomi keuangan Indonesia.  

Dr. Hjalmar Schacht tampaknya menjadi seorang yang netral. Namun kenetralannya telah menimbulkan hambatan bagi pihak lain. Salah satu yang perlu dicatat adalah perwakilan PBB merasa terganggung dengan kehadiran Dr. Hjalmar Schacht di Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober4 1951 dalam sebuah resepsi di Djakarta, Dr. Keenleyside. Kepala Administrasi Bantuan Teknis Perserikatan Bangsa-Bangsa menolak berjabat tangan dengan Dr. Schacht. Beberapa hari kemudian pada tanggal 9 Oktober, Dr. Schacht mempresentasikan laporan tentang temuannya di Indonesia. Apakah ada kaitannya atau tidak yang jelas pada tanggal 19 Oktober, Pemerintah Indonesia membentuk suatu komite untuk merancang suatu perjanjian biasa dengan Belanda (bentuk perjanjian internasional) untuk mengganti klausal-klausal perjanjian KMB (bentuk perjanjian bilateral, dengan semboyan cooperative tetapi lebih banyak merugikan Indonesia). Keyakinan pemerintah selain menasionalisasi Javasche Bank juga semakin kuat untuk menasionalisasi perusahan-perusahaan strategis bagi Indonesia. Ini terindikasi pada tanggal 22 November 1951 pemerintah juga telah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk melakukan persiapan dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan gas dan listrik.

Upaya pemerintah untuk menasionalisasi Javasche Bank mendapat respon positif dari parlemen. Pada tanggal 30 November 1951, parlemen telah menyetujui deklarasi Rancangan Undang-Undang tentang nasionalisasi Javasche Bank. Dalam situasi dan kondisi inilah Lukman Hakim, direktur Javasche Bank dan Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden (komisaris) yang baru Javasche Bank saling bahu membahu untuk menasionalisasi Javasche Bank dan menggantinya dengan nama yang baru, yakni Bank Indonesia. 

Sebagaimana diketahui, setelah perjanjian KMB, peran bank sentral di Indonesia dilakukan oleh Javasche Bank (karena kapabilitas bank yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini BNI belum mampu melakukan tugas fungsi bank sentral yang efektif. Javasche Bank, sebagai bank sentral di Indonesia selama era RIS, pemerintah telah mengeluarkan uang kertas RIS, paling tidak untuk menggantikan Oeang Republik Indonesia (yang dulu dikeluargkan di era perang di Djogjakarta). Ketika RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah NK(RI) tetap memberlakukan uang baru tersebut sebagaimana di dalam Undang-Undang tentang Mata Uang pada tahun 1951 (yang telah menggantikan undang-undang tentang mata uang kolonial Belanda yang berlaku sejak tahun 1912).

Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak mudah dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena keuangan Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini terkait dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda tidak terlalu meresponnya. Paralel dengan upaya nasionalisasi Javasche Bank, Pemerintah Indonesia juga semakin mengebu-gebu untuk membebaskan Irian Barat, sementara Pemerintah Belanda sebaliknya justru semakin memperkuat pertahahan dengan mengirim pasukan dan peralatan militer ke Irian Barat. Dalam hal ini, Lukman Hakim, direktur Javasche Bank telah berangkat ke Belanda dan tiba pada hari Jumat Sore tiba di Belanda untuk kunjungan delapan hari (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-05-1953).Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak mudah dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena keuangan Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini terkait dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda tidak terlalu meresponnya.


De vrije pers: ochtendbulletin, 24-01-1953:’Pada resepsi ulang tahun ke-123 Javasche Bank di Soerabaja, seorang pembicara mengatakan bahwa De Javasche Bank tidak dapat ditolak adalah Hadiah Nasional saat ini. De Javanshe Bank, meskipun nama Belanda, namun sudah menjadi Lembaga Nasional, yang bekerja untuk kepentingan Negara dan rakyat Indonesia. Keadaan ini berarti bahwa warga negara Indonesia masih memiliki Belanda dan para pegawai asing lainnya yang bekerja untuk Indonesia, tetapi meski sedang nasionalisasi bank mereka tetap bekerja keras, tetapi perkembangan ini membutuhkan profesionalisme, dan selama kita, sebagai warga negara terhormat dan warga negara ini (orangporang Belanda) diperbolehkan untuk terus bekerja untuk kepentingan Indonesia. Hanya ada satu tujuan: tindakan yang baik untuk melanjutkan dan menjaga bank (Javasche Bank) berjalan baik, meskipun bank (Javasche Bank) akan segera mengubah namanya, sebagai tanda keadaan baru yang berubah’.

Paralel dengan upaya nasionalisasi Javasche Bank, Pemerintah Indonesia juga semakin mengebu-gebu untuk membebaskan Irian Barat, sementara Pemerintah Belanda sebaliknya justru semakin memperkuat pertahahan dengan mengirim pasukan dan peralatan militer ke Irian Barat. Dalam hal ini, Lukman Hakim, direktur Javasche Bank telah berangkat ke Belanda dan tiba pada hari Jumat Sore tiba di Belanda untuk kunjungan delapan hari (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-05-1953).

De Telegraaf, 26-05-1953:’Direktur Javasche Bank. Mr. Lukman Hakim yang tiba di Djakarta dari Belanda dalam kunjungan delapan atau sembilan hari untuk membahas isu-isu rutin, sebagai tanggapan atas pertanyaan, menyatakan bahwa Mr. Lukman Hakim tidak pesimis tentang masa depan ekonomi-keuangan Indonesia. Suatu kondisi, bagaimanapun, adalah bahwa ada keseimbangan dalam anggaran. Ketentuan impor terbaru menghasilkan hasil yang baik dan oleh karena itu diharapkan akan lebih membaik di masa mendatang. Mr. Lukman menekankan bahwa sebagai akibat dari nasionalisasi Javasche Bank, para pegawai Belanda di Indonesia atau di Belanda akan diberhentikan. Dalam hal ini Lukman Hakim menyatakan bahwa tujuannya adalah Indonesia akan memiliki dua fungsi manajerial yakni fungsi yang lebih tingggi (komisaris) dan fungsi yang lebih rendah (direksi) yang ditempati oleh orang Indonesia. Menurut Lukman Hakim bahwa perubahan itu harus dilakukan tanpa terjadi guncangan bagi staf Belanda yang sekarang sekarang dalam bekerja dalam pelayanan di Javasche Bank dan diharapkan mereka akan tetap dapat melanjutkan kegiatan operasi secara normal. Juga Mr. Lukman Hakim membantah pemberitaan bahwa Indonesia melakukan pembayaran dengan kurs Europa sebagai akibat dari hubungan Indonesia dan Belanda yang akan segera berakhir. Mr. Lukman Hakim menambahkan bahwa skema yang ada sangat bagus, Mr. Lukman Hakim juga  mengatakan bahwa Javasche Bank akan membatasi pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Akhirnya, Mr. Lukman Hakim memberi tahu bahwa undang-undang nasionalisasi Javasche Bank akan segera ditandatangani oleh Presiden Soekarno, setelah itu pada tanggal 1 Juli sebuah nama bank akan secara resmi diubah menjadi Bank Indonesia’.

Sejak kepulangan direktur Javasche Bank Mr. Lukman Hakim dari Belanda, pemerintah dan otoritas bank sentral di Indonesia (Javasche Bank) terus melakukan konsolidasi. Undang-Undang Pokok Bank Indonesia telah diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1953. Ini sehubungan dengan tuntasnya upaya nasionalisasi Javasche Bank. Dengan diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia maka Mr. H. Teunissen, salah satu direktur di Javasche Bank yang merangkap wakil presiden terhitung tanggal 1 Juli harus mengundurkan diri dari jabatannya, Susunan pimpinan baru Bank Indonesia telah ditetapkan (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 14-07-1953). Disebutkan dewan eksekutif Bank Indonesia terdiri sebagai berikut: Gubernur: Sjafroeddin Prawiranegara; direktur adalah Mr. Lukman Hakim yang merangkap sebagai Wakil Gubernur dan Mr. Indrakoesoema.

Het nieuws: algemeen dagblad, 07-11-1951:’Sjafroeddin Prawiranegara. mantan menteri keuangan dan sekarang Presiden Javasche Bank (baca: Gubernur Bank Indonesia), menyatakan bahwa defisit 900 juta rupiah pada anggaran tahun 1951 adalah karena jumlah besar yang diperuntukkan untuk ‘biaya yang diperlukan’. Sebagai langkah-langkah untuk menutupi defisit, Sjafroeddin Prawiranegara mengusulkan kemungkinan ekonomi terbesar dalam pengeluaran dan menutupnya dengan pinjaman dalam negeri. Menurut Sjafroeddin Prawirangera kecenderungan inflasi, yang katakan di beberapa kalangan, pada kenyataannya tidak ada, Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar uang beredar, seperti diakui Sjafroeddin Prawiranegara, tetapi bagian penting dari uang ini dirahasiakan oleh penduduk dalam bentuk tabungan.

Sebelumnya berbagai kalangan sempat mengkhawatirkan fungsi bank sentral akan berantakan setelah pengunduran diri Dr. A Houwink.  Namun penunjukkan Sjafroeddin Prawiranegara untuk menggantikan Houwink secara perlahan mampu menghilangkan persepsi tersebut.

Kronologis susunan pimpinan Javasche Bank sebagai bank sentral Indonesia pada awalnya teridiri dari sebagai berikut. Dr. A. Houwink sebagai Presiden, H. Teunissen sebagai Wakil Presiden merangkap anggota. Mr. Lukman Hakim dan Mr. Indrakoesoemo masing-masing sebagai anggota. Pada tahun 1951 Dr. A. Houwink mengundurkan diri dan digantikan oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara. Pada jelang pemberlakukan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, H. Teunissen terpaksa mengundurkan diri. Susunan menjadi: Presiden Mr. Sjafroeddin Prawiranegara; Wakil Presiden yang merangkap anggota Mr. Lukman Hakim; dan Mr. Indrakoesoema sebagai anggota.

Setelah beberapa bulan berlangsung, pemerintah mulai menganggap Sjafroeddin Prawiranegara sebagai penerus yang baik dari Dr. A Houwink (Het nieuwsblad voor Sumatra, 31-12-1951). Javasche Bank tamat sudah setelah beroperasi di Indonesia (baca: Hindia Belanda) sejak 1824. Tahun 1953, Bank Indonesia (suksesi Javasche Bank) memulai babak baru dalam kebanksentralan di Indonesia yang mana semua posisi strategis telah diisi oleh 100 persen orang Indonesia.

Dalam hal nasionalisasi Javasche Bank dan pergantian namanya menjadi Bank Indonesia beberapa nomenklatur telah diubah. Sebelumnya di era Javasche Bank posisi Presiden (komisaris) dianggap sebagai pimpinan strategis. Setelah diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia, nomenklatur Presiden (komisaris) telah diubah namanya menjadi Gubernur. Untuk nomenklatur direktur tetap seperti sebelumnya. Ini berarti ketika Mr. Sjafroeddin Prawiranegara ditunjuk pemerintah sebagai Presiden Javasche Bank pada tahun 1951 tugas dan fungsi sejatinya tidak berubah ketika Mr. Sjafroeddin Prawiranegara ditunjuk (kembali) sebagai Gubernur Bank Indonesia tahun 1953 (sesuai undang-undang yang baru). Dengan demikian, pimpinan bank sentral di Indonesia seharusnya dicatat sebagai berikut: 1949-1951 Dr. A. Houwink (Javasche Bank); 1951-1953 Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (Javasche Bank); 1953-1958 Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (Bank Indonesia); 1958-1959 Mr. Lukman Hakim (Bank Indonesia); dan demikian seterusnya.

Dalam hal ini sejarah Bank Indonesia seharusnya dicatat sebagai berikut: pimpinan bank sentral Indonesia pertama (Javasche Bank) adalah Dr. A. Houwink (1949-1951); orang Indonesia pertama yang menjabat pimpinan bank sentral Indonesia adalah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (1951). Namun demikian yang juga perlu dicatat bahwa orang Indonesia pertama yang terlibat langsung dengan bank sentral Indonesia (Javasache Bank) adalah Mr. Lukman Hakim (sejak 1950). Dengan demikian, dalam sejarah Bank Indonesia, nama Mr. Lukman Hakim tidak boleh dibaikan, karena Mr. Lukman Hakim adalah pionir dan telah memainkan peran penting dalam membidani kelahiran Bank Indonesia.

De vrije pers: ochtendbulletin, 12-07-1949
Mr. Lukman Hakim lahir di   Tuban, 6 Juni 1914. Pada tahun 1948 (Kabinet Hatta I) di Djogjakarta, Mr. Lukman Hakim adalah Komisaris Keuangan Pemerintah (regeringscommissaris van financien) yang mana Menteri Kemakmuran dijabat oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-11-1948). Dalam Kabinet Hatta ini yang bertindak sebagai Menteri Keuangan adalah AA Maramis. Setelah terjadi Agresi Militer Belanda kedua yang dimulai 19 Desember, dalam posisi pemerintahan vakum karena Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta ditangkap lalu diasingkan, di Bukittinggi dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 dengan ketua Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 31-03-1949). Dalam kabinet darurat ini Mr. Lukman Hakim menjabat sebagai Menteri Keuangan (sementara AA Maramis sebagai Menteri Luar Negeri). Lalu setelah gencatan senjata dalam persiapan KMB, para kabinet darurat ini tiba di Kemajoran untuk menuju Djogjakarta (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 12-07-1949). Dalam foto Mr. Sjafroeddin Prawiranegara tampak paling depan dan Mr. Lukman Hakim tampak paling kanan. Lalu di Djogjakarta, Perdana Menteri Mohamad Hatta membentuk Kabinet Hatta II (Het nieuws : algemeen dagblad, 04-08-1949). Dalam komposisi kabinet, Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana Menteri dan Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan. Sepulang dari KMB terjadi pecah kongsi di Djakarta dibentuk Kabinet RIS dan di Djogjakarta dibentuk Kabinet RI. Mohamad Hatta menjadi Perdana Menteri RIS dan dan Susanto menjadi Perdana Menteri RI. Dalam dua kabinet ini Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet RIS, sedangkan Mr. Lukman Hakim menjadi Menteri Keuangan pada Kabienet RI. Pada tanggal 6 September 1950 Kabinet RIS dibubarkan dan dibentuk Kabinet NK(RI) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Natsir. Mr. Sjafroeddin Prawiranegara diangkat sebagai Menteri Keuangan, sementara Mr. Lukman Hakim diangkat sebagai direktur Javasche Bank (yang berfungsi sebagai bank sentral Indonesia). Setelah Kabinet Natsir dibubarkan pada tanggal 27 April 1951 dan digantikan Kabinet Sukiman, Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dalam posisi menganggur. Sementara Mr. Lukman Hakim tetap dalam posisi jabatannnya sebagai direktur Javasche Bank (bank sentral Indonesia). Pada saat Presiden Javasche Bank. Dr. A. Houwink mengundurkan diri lalu pada tanggal 4 Juli 1951 sidang kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden Javasche Bank. Ini berarti Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dan Mr. Lukman Hakim bekerja kembali dalam satu tim.

Lukman Hakim memulai pendidikan tinggi di Rechts Hoogeschool di Batavia. Pada tahun 1937 Lukman Hakim lulus ujian kandidat pertama (De Indische courant, 12-08-1937). Lukman Hakim lulus ujian kandidat kedua (De Indische courant, 19-08-1938). Lukman Hakim lulus ujian doktoral pertama (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-11-1939). Lukman Hakim lulus ujian doktoral kedua (Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1940). Lukman Hakim lulus ujian doktoral ketiga dan berhak mendapat gelar Mr (Bataviaasch nieuwsblad, 28-08-1941). Pada tahun 1942 Mr. Lukman Hakim menjadi wakil inspektur Keuangan di Semarang, ia menjabat sebagai Inspektur Keuangan antara tahun 1942-1945 di Kantor Pusat Departemen Pajak di Jakarta (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 14-09-1950). Setelah kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) pada kabinet ketiga Perdana Manteri Sjahrir, diangkat sebagai Menteri Keuangan adalah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dari Masjumi dan Wakil Menteri Keuangan Mr. Lukman Hakim dari PNI (De waarheid, 02-10-1946). Pada kabinet kedua Sjharir sebelumbnya Mr. Sjafroeddin Prawiranegara menjabat sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada kabinet berikutnya (Kabinet Amir Sjarifoeddin I) posisi Menteri Keuangan adalah AA Maramis dan Menteri Muda Keuangan Ong Eng Die. Posisi keduanya tetap pada Kabinet Amir Sjarifoeddin II. Sebagaimana telah disebutkan di atas pada Kabinet Hatta I, Menteri Kemakmuran dijabat oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dan Mr. Lukman Hakim menjabat sebagai Komisaris Keuangan Pemerintah

Bank Indonesia, setelah penerapan Undang-Undang Bank Indonesia 1953, semakin leluasa mengambil keputusan. Sebelumnya, pengambilan keputusan masih berbau Belanda, karena para investor Belanda masih memiliki suara dan paling tidak pada level pimpinan (setingkat direktur) masih terdapat orang Belanda. Tapi kini, saham Bank Indonesia telah dimiliki oleh pemerintah 100 persen dan para pimpinannya juga 100 persen orang Indonesia. Tahun 1953 baru boleh dikatakan Bank Sentral di Indonesia yang dalam hal ini Bank Indonesia benar-benar berdaulat penuh di Indonesia.

Sejak Indonesia berdaulat dalam hak kebanksentralan, tidak ada lagi keragu-raguan para pimpinannya untuk mengambil keputusan. Sistem operasi Bank Indonesia telah berjalan normal sesuai prinsip-prinsip dasar yang telah dinyatakan dalam undang-undang Bank Indonesia 1953. Satu hal yang penting dalam tahun-tahun awal Bank Indonesia adalah tiba waktunya Gubernur Bank Indonesia selesai masa jabatannya selama tiga tahun yang berakhir pada tanggal 15 Juli 1953. Oleh karena itu Sjafroeddin Prawiranegara tidak lagi masuk kerja sejak tanggal tersebut (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-07-1956). Disebutkan pertemuan dewan moneter diadakan Jumat pagi di kantor Menteri Keuangan yang dihadiri oleh dewan gubernur Bank Indonesia. Dalam hal ini Menteri Keuangan adalah Prof. Sumitro Djojohadikusumo (Kabinet Wilopo).

Mengapa tidak segera ditentukan posisi Gubernur Bank Indonesia? Apakah menunjuk kembali Mr. Sjafroeddin Prawiranegara atau digantikan oleh yang lain? Semua itu tampaknya wait en see. Sebab Kabinet Wilopo tengah demisioner. Menteri Keuangan Prof. Sumitro Djojohadikusumo hanya bisa berkoordinasi dengan jajaran dewan gubernur Bank Indonesia yang bersifat independen. Selama tidak ada jabatan Gubernur Bank Indonesia, fungsi kebanksentralan tetap dijalankan oleh para direktur, termasuk Mr. Lukman Hakim.

Kabinet Wilopo telah mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953 Tanggal 3 Juni 1953. Siapa yang menjadi Gubenur Bank Indonesia akan ditentukan oleh parlemen. Sementara siapa yang ditunjuk menjadi formatur pembentukan kabinet baru belum berhasil menyusun anggota kabinet. Penyusunan anggota kabinet sangat dipengaruhi oleh (komposisi) parlemen. Penentuan Gubernur Bank Indonesia hanya prioritas kedua, karena itu jabatan Gubernur Bank Indonesia untuk sementara dalam posisi lowong.

Kabinet Wilopo akhirnya dibubarkan dan telah terbentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang diresmikan pada tanggal 30 Juli 1953. Kabinet masih dipimpin oleh PNI. Namun demikian, Menteri Keuangan Prof. Sumitro Djojohadikusumo tergusur dan digantikan oleh menteri keuangan yang baru Dr. Ong Eng Die. Keharmonisan antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia adalah sangat penting dalam membangun perekonomian Indonesia.

Dr. Ong Eng Die bukanlah orang baru. Dr. Ong Eng Die, pernah menjabat sebagai Menteri Muda Keuangan pada era Kabinet Amir Sjarifoeddin II (11 November 1947-29 Januari 1948). Antara Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Eng Eng Die sejatinya terdapat persaingan. Keduanya adalah begawan di bidang ekonomi. Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah doktor ekonomi (Ph.D) lulusan Rotterdam dan Dr. Eng Eng Die adalah doktor ekonomi (Ph.D) lulusan Amsterdam. Dua sekolah ekonomi elit ini di Belanda memiliki mazhab yang berbeda (kerakyatan vs kapitalis). Tidak banyak doktor ekonomi Indonesia, boleh dibilang hanya tiga orang. Satu lagi adalah Dr. Tan Goan Po dari Rotterdam yang menjadi sahabat dekat Prof. Sumitro Djojohadikusumo sesama pengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Lantas apakah Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Tan Goan Po yang akan dinominasikan untuk jabatan Gubernur Bank Indonesia. Ternyata tidak. Yang diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia adalah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (untuk jabatan periode kedua). Meski demikian, antara Prof. Sumitro Djojohadikusumo (PSI) dan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (Masyumi) cukup dekat satu sama lain. Dr. Eng Eng Die sendiri adalah seorang PNI. Pertarungan para begawan ekonomi dimulai lagi.

Gubernur Bank Indonesia tetap dijabat oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (untuk jabatan periode kedua). Ini menunjukkan bahwa selain Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dianggap berhasil, boleh jadi tidak ada kandidat lain yang kapabel. Mr. Sjafroeddin Prawiranegara adalah seorang Masyumi, sementara pemerintah yang berkuasa adalah PNI (Kabinet Ali).

Posisi Mr. Sjafroeddin Prawiranegara semakin kuat pada kabinet berikutnya, yakni Kabinet Boerhanoeddin Harahap. Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) telah digantikan oleh Kabinet Boerhanoeddin Harahap (Masyumi). Namun kemudian Kabinet Boerhanoeddin Harahap digantikan dan kembali PNI berkuasa yang dipimpinan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Kabinet Ali II).

Pada kabinet ini, masa jabatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara berakhir. Namun kembali Mr. Sjafroeddin Prawiranegara diangkat kembali (De Telegraaf, 04-01-1957), Mr. Sjafroeddin Prawiranegara melakukan kembali tugas-tugas rutin.

Sebelum pengangkatan kembali Mr. Sjafroeddin Prawiranegara ada dua hal yang penting yang mendahuluinya. Pada tanggal 1 Desember 1956 Wakil Presiden Mohamad Hatta telah mengundurkan diri (dan telah disetujui oleh parlemen). Tidak lama kemudian pada tanggal 20 Desember 1956 telah terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi. Beberapa lama kemudian Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno karena tidak tahan dengan tekanan yang dilancarkan oleh partai oposisi. Perdana Menteri yang baru ditunjuk Ir, Djoanda yang memulai pemerintahan pada bulan April 1957.

Beberapa tugas Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara yang dianggap penting adalah turut menghadiri pembukaan cabang Bank Indonesia di Ampenan, Lombok pada tanggal 1 September yang akan dibuka oleh Perdana Menteri Djoanda (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957). Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara pada akhir September menghadiri konferensi Bank Dunia di Washington (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-09-1957).

Pada tanggal 20 November di Djakarta diadakan rapat Dewan Monter Indonesia, Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, dan Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara (Trouw, 22-11-1957), Satu hal yang terpenting dalam rapat tersebut adalah kemungkinan pemutusan hubungan dagang dengan Belanda, dalam kasus perdebatan di PBB tentang Irian Barat yang tidak menguntungkan untuk Indonesia. Pemerintah juga memberikan peringatan kepala maskapai pelayaran Belanda, KPM yang telah ketahuan membawa senjata dan telah dilucuti. Atas peristiwa itu juga pemerintah untuk tetap maskapai melakukan layanan normal. Ini sehubungan dengan kebijakan manajemen KPM yang akan mengurangi layanan dengan alasan membawa kapal untuk perbaikan ke Hongkong.
   
Pada awal bulan Desember 1957 Mr. Sjafroeddin Prawiranegara menghadiri rapat tertutup tentang konstruksi nasional (Nieuwsblad van het Noorden, 05-12-1957). Dalam rapat ini turut dihadiri oleh Presiden Soekarno dan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Sjafroeddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa kita akhir-akhir ini dalam mencoba untuk pemulihan Irian Barat telah melakukan hal-hal yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap ketentuan konstitusi kita. Sebagai contoh disebutkannya telah terjadi pengambilalihan sewenang-wenang perusahaan asing di Djakarta. Lebih buruk lagi masih terjadi di Surabaya, dimana masyarakat lokal melakukan semacam concentratiekamp yang mana keberadaan komunitas Belanda seperti hidup dalam suasana konsentrasi dan sepuluh gudang tembakau dibakar. Sjafaoeddin Prawiranegara mengatakan bahwa konsekuensi kacau dari aksi pendudukan perusahaan-perusahaan asing oleh para pekerja sudah mulai memicu ada gangguan pada perbankan Belanda terhadap jumlah uang beredar, stagnasi impor dan ekspor serta harga beras melonjak. Sjafroeddin Prawiranegara dalam sesi penutupan rapat tersebut membantah untuk membela kepentingan Belanda. Saya hanya ingin mengingatkan Anda bahwa semua tindakan kita harus dilakukan dalam batas-batas konstitusi. Sjafroeddin Prawiranegara  meminta Soekarno dan Hatta untuk membujuk orang-orang agar kembali ke hukum’.

Setelah rapat tertutup konstruksi nasional ini keberadaan Sjafroeddin Prawiranegara tidak diketahui. Pada pertengaan bulan Desember Sjafroeddin Prawiranegara dikabarkan berada di Sumatra Tengah. Menurut majalah nasionalis Soeloeh Indonesia, sebuah pertemuan para politisi, yang menyatakan diri menentang pemerintah pusat di Djakarta, baru-baru ini terjadi di Padang di Sumatra Tengah. Mereka akan mempersiapkan proklamasi. Di antara para politisi adalah: Kolonel Zulkifli Loebis, Sjafroedin Prawiranegara dan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo,

Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia, yang telah berlibur di Sumatera sejak pertengahan Desember, menurut laporan di Jakarta, mengirim surat kepada pemerintah Indonesia, dimana ia menyatakan bahwa ia ingin mundur sebagai gubernur Bank Indonesia (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 18-01-1958). Disebutkan alasannya adalah pemecatan terhadap semua ahli Belanda di Bank Indonesia oleh pemerintah, yang mana Sjafroeddin Prawiranegara sendiri tidak setuju. Semua karyawan staf Belanda yang jumlahnya 24 orang telah diberhentikan terhitung dari tanggal 1 Januari 1958.

Algemeen Handelsblad, 31-01-1958: ‘Kabinet Indonesia memutuskan untuk mengabaikan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia, karena meninggalkan jabatannya dan tidak mengikuti panggilan pemerintah untuk kembali ke Djakarta. Pemerintah sekarang telah mempercayakan bank kepada Wakil Gubernur pertama, Mr. Lukman Hakim. Menteri Keuangan, Sutikno Slamet, mengatakan bahwa pemerintah belum membahas masalah penggantinya Sjafroeddin Prawiranegara. Sementara itu dari pihak pimpinan Masyumi meminta Perdana Menteri Djoeanda agar pemerintah lebih menahan diri dari mengambil tindakan terhadap Sjafroeddin Prawiranegara. Dr. Sukiman, Wakil Ketua Masyumi mengatakan bahwa dewan partai Masyumi sendiri masih membahas pertanyaan seputar Sjafroeddin Prawiranegara’.

Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang dideklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Ini mengindikasikan, Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara yang tetap berada di Sumatra Tengah, posisinya sebagai Gubernur Bank Indonesia berakhir sudah. Lalu Wakil Gubernur Bank Indonesia, Mr. Lukman Hakim diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Sebagaimana diketahui, Mr. Lukman Hakim adalah pionir di bank sentral Indonesia yang sebelumnya bernama Javasche Bank kemudian menjadi Bank Indonesia.

Bank BRI dan Bank BNI

Bank sentral Indonesia sudah lahir sebelum tanggal 1 Juli 1953. Bank sentral Indonesia secara dejure diperankan oleh Javasche Bank sejak pengakuan kedaulatan Indonesia  oleh Belanda (sejak 27 Desember 1949). Sejak itu bank sentral Indonesia ‘Javasche Bank’ bertugas hanya untuk Indonesia dan kepentingan Indonesia di luar negeri (sesuai perjanjian KMB). Secara defacto bank sentral Indonesia Javasche Bank baru dimulai ketika orang Indonesia pertama ditempatkan di Javasche Bank pada bulan September 1950. Lalu berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, nama bank sentral Indonesia Javasche Bank diganti namanya menjadi bank sentral Indonesia ‘Bank Indonesia’ (sesuai UUD 1945 pada bagian penjelasan). Lantas mengapa sekarang bank sentral Indonesia ‘Bank Indonesia’ menetapkan hari lahirnya pada tanggal 1 Juli 1953. Ini berarti hari lahir bank sentral Indonesia telah dikorting beberapa tahun, entah untuk maksud apa.

Sebaliknya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) sejatinya lahir pada tahun 1946 (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946). Namun BRI menetapkan hari lahirnya pada pada tanggal 16 Desember 1895 yang merujuk pada tanggal pendirian sebuah bank di masa lampau di Poerwokerto. Padahal pendirian bank di Poerwokerto tersebut tidak terkait dengan maksud pendirian BRI yang sejatinya dimulai pada tahun 1946. Yang sedikit masuk akal adalah penetapan hari lahir Bank Negara Indonesia (BNI) yang dimulai tahun 1946. Untuk itu bahkan BNI memastikannya dengan nama BNI 1946 (BNI 46). Hal ini karena, BNI memang didirikan pada tahun 1946. Lantas bagaimana BRI menyebut hari lahirnya tahun 1895 padahal BRI baru ditetapkan pada tahun 1946. Jika kita mengikuti pola penetapan hari lahir BRI ini dan diterapkan ke penetapan hari lahir Bank Indonesia, maka Bank Indonesia sudah lahir sejak 1828 (awal pendirian Javasche Bank). Jika hari lahir Bank Indonesia tahun 1828 tentu salah, karena faktanya secara dejure Javasche Bank baru dideklarasikan sebagai bank sentral Indonesia ketika kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda. Penetapan hari lahir Bank Indonesia tahun 1953 juga tentu saja tidak benar. Jika Bank Indonesia telah melakukn korting terhadap penetapan hari lahirnya, sebaliknya BRI telah melakukan ‘markup’ terhadap hari kelahirannya. Yang benar-benar tepat menetapkan hari lahirnya adalah BNI.

Bank Rakyat Indonesia (disingkat BRI) didirikan pada tahun 1946 (Het nieuws: algemeen dagblad, 10-04-1946). Disebutkan untuk membangun kembali Indonesia, beberapa bulan yang lalu Bank Rakyat Indonesia dibuka dan sekarang memiliki tidak kurang dari 70 unit cabang di Jawa dan Madura dan mendukung republik dalam perjuangan, konstruksi dan ekonomi. Pendirian Bank Rakyat Indonesia ini sesuai dengan isi Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1946.

Apa yang menjadi pangkal salah tafsir soal penetapan hari lahir Bank Rakyat Indonesia berasal dari isi Pasal-1 Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946. Disebutkan pada pasal satu tersebut bahwa ‘Bank Rakyat Indonesia yang dahulu berturut-turut bernama Algemeene Volkscredietbank dan Syumin Ginko adalah Bank Pemerintah’. Boleh jadi dari sini BRI mencari leluhurnya sebelum adanya Syumin Ginko dan sebelum adanya Algemeene Volkscredietbank. Lalu ketemulah sebuah bank yang dahulu didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja di Poerwokerto pada tanggal 16 Desember 1895 yang disebut dengan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden. Padahal sudah jelas dinyatakan ‘Bank Rakyat Indonesia yang dahulu berturut-turut bernama Algemeene Volkscredietbank dan Syumin Ginko adalah Bank Pemerintah’. Artinya, bank pemerintah yang disebut Bank Rakyat Indonesia dimulai pada saat penetapan tanggal 22 Februari 1946. Bandingkan dengan negara Indonesia yang dimulai saat diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nyatanya tidak ada yang mencari-cari Indonesia itu dulunya adalah Hindia Belanda (Nederlansche Indie). Setali tiga uang dengan penetapan hari lahir Universitas Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950 dan nyatanya tidak ada yang mencari-cari Universitas Indonesia itu dulunya adalah Universiteit van Indonesie.

Beberapa bulan setelah pendirian Bank Rakyat Indonesia (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1946) muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tentang pendirian Bank Negara Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1946. Disebutkan dalam pasal satu bahwa ‘Dengan nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah Bank kepunyaan Republik Indonesia untuk mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas Bank dengan harga yang tetap’. Pimpinan Bank Negara Indonesia adalah Margono Djojohadikoesoemo sebagai Presiden (Nieuwe courant, 17-10-1946). Margono Djojohadikoesoemo adalah ayah dari Dr. Sumitro Djojohadikoesoemo.

Pendirian Bank Negara Indonesia adalah sebagai bank sentral Indonesia. Bank sentral dalam hal ini boleh mengeluarkan uang baru. Uang baru yang dikeluarkan disebut Oeang Republik Indonesia atau ORI. Bank sentral hanya satu, karena itu disebut bank sentral. BRI bukan bank sentral tetapi bank pembangunan, Akan tetapi bank sentral juga diizinkan untuk berfungsi sebagai bank pembangunan. Ketika disepakati pengakuan Indonesia oleh Belanda (perjanjian KMB), BNI meski secara dejure sudah berhak, tetapi secara defacto belum bisa menjalankan fungsi bank sentral seperti yang diinginkan perjanjian KMB. Oleh karena itu, Javasche Bank menjadi bank sentral Indonesia (yang dalam prakteknnya masih berfungsi sebagai bank pembangunan). Bank sentral Indonesia Javasche Bank mengeluarkan uang Oeang Republik Indonesia Serikat dan tidak lagi menggunakan mata uang ORI maupun  mata uang Gulden. Bank BNI sendiri hanya difungsikan sebagai bank pembangunan sebagaimana fungsi BRI. Sesuai amanat UUD 1945, negara Indonesia harus memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia, maka satu-satunya yang memungkinkan untuk mencapai semua tujuan adalah menasionalisasi (aset) Javasch Bank dan mengubah namanya menjadi Bank Indonesia. Setelah berhasil menasionalisasi Javasche Bank baru namanya bisa diubah menjadi Bank Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 1 Juli 1953. Tanggal ini menjadi salah satu tonggak perubahan nama bank sentral Indonesia, tetapi fungsi bank sentral Indonesia yang diperankan oleh Javasche Bank sudah berlangsung jauh sebelumbnya (secara defacto sejak September 1950).

Bank sentral Indonesia, yang dalam hal ini, Bank Indonesia adalah bank pemerintah yang menaungi bank-bank pemerintah lainnya dan bank-bank swasta Indonesia lainnya. Sejauh ini bank pemerintah baru tiga buah. Selain Bank Indonesia adalah BRI dan BNI.

Sementara Presiden BNI dijabat oleh Margono Djojohadikoesoemo, pada tahun 1954 pimpinan BRI diganti dengan presiden direktur BRI yang baru yakni RS Soeria Atmadja (De vrije pers: ochtendbulletin, 15-06-1954). Disebutkan RS Soeria Atmadja dilantik oleh Menteri Economische Zaken (Menteri Perekonomian: Iskak Tjokroadisurjo). Soeria Atmadja hingga tahun 1957 masih menjabat sebagai Presiden Direktur BRI (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-09-1957).

Bank Swasta di Era Kolonial Belanda

Pada dasarnya penerapan bank sentral di Indonesia baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang diperankan oleh Javasche Bank. Saat Javasche Bank dibebankan sebagai penanggungjawab fungsi bank sentral, Javasche Bank sendiri adalah bank swasta. Javasche Bank ini sudah berumur lebih satu abad ketika difungsikan sebagai bank sentral Indonesia pada tahun 1950.

Javasche Bank didirikan pada bulan Desember 1827 dan dipublikasikan pada tanggal 24 Januari 1828 di Batavia. Pada tahun 1829 cabang Javasche Bank dibuka di Semarang dan Soerabaja. Cabang-cabang Javasche Bank terus bertambah seperti di Bandoeng, Padang, Medan dan lainnya. Selain Javasche Bank ban swasta lainnya yang terkenal adalah Escompto Bank yang dibuka tahun 1857. Di era kolonial Belanda juga terdapat bank asing seperti bank dari Australia, China, Hongkong, Jepang dan lainnya. Bank HSBC (Hongkong and Shanghai Banking Corporation) sudah beroperasi sejak tahun 1884, Bank of China tahun 1915 Mitsui Bank tahun 1925 dan lain sebagainya.

Selain bank asing juga muncul bank lokal yang diperankan baik oleh orang-orang Tionghoa maupun orang-orang pribumi. Bank Vereeniging Oey Tiong Ham yang didirikan tahun 1906 sangat terkenal di Semarang, Chunghwa Shangjeh Maatschapij muncul di Medan bulan April 1913 dan Batavia Bank tahun 1918 di Batavia.

De Telegraaf, 28-12-1920
NV Chungwha Shangyeh Maatschappij yang kelak banknya disebut Bank Kesawan di Medan telah menjadi pilihan terbaik bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa di Sumatra Timur, Untuk investor perkebunan asal Eropa/Belanda sudah cukup banyak pilihan seperti Javasche Bank, Chartered Bank dan sebagainya. Untuk golongan pribumi difasilitasi oleh sejumlah orang-orang Mandailing dan Angkola dengan mendirikan NV Bataksche Bank di Pematang Siantar pada tahun 1920. Yang bertindak sebagai Presiden dari bank tersebut adalah Dr. Alimoesa. Sedangkan para pendiri lainnya adalah Muhamad Hamzah, Soetan Pane Paroehoem, dan Soetan Hasoendoetan (lihat De Telegraaf, 28-12-1920). Bataksche Bank adalah tergolong sebagai bank pribumi pertama di Hindia Belanda.

Jika kita kembali ke awal, BRI bermula dari suatu bank di Poerwokerto yang bernama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden sesungguhnya tidak dapat ditelusuri pada surat-kabar sejaman. Berbeda dengan bank di Poerwokerto, bank yang berbasis di Pematang Siantar, Bataksche Bank dapat ditelusuri dengan jelas dan bahkan masih berkiprah hingga jelang pendudukan Jepang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar