Senin, 09 Maret 2020

Sejarah Jakarta (112): Sejarah Condet dan Perkebunan Salak; Posisi Kampong Tengah, Antara Kampong Makassar-Kampong Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Salak Condet sangat terkenal, dikenal sejak tempo doeloe karena banyak kebun salak. Condet tidak jauh dari gunung Salak. Namun tidak diketahui secara pasti apakah salak Condet berasal dari gunung Salak. Yang jelas nama Condet sudah dikenal sebelum munculnya perkebunan salak. Orang yang pertama menguasai wilayah Condet adalah Kapitein Makassar berdasarkan Hooge Regeering tahun 1656 (lihat De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java, 1878).

Kawasan Condet (Peta 1724)
Nama Condet tidak pernah dicatat sebagai nama kampong, tetapi dicatat sebagai suatu kawasan (area) yang berada diantara sungai Tjiliwong dan sungai Tjililitan. Nama Condet diduga berasal dari nama sungai kecil Tji Ondet. Tidak seperti Tjiliwong, Tjililitan, Tjipinang dan Tjidjantoeng, nama Tji Ondet mereduksi menjadi Tjondet. Nama-nama kampong terawal di sekitar kawasan Tjondet adalah kampong Makassar dan kampong Djawa. Kampong Makassar berada di timur di sungai Tjipinang dan kampong Djawa di barat di sungai Tjiliwong. Lalu dalam perkembangannya di kawasan Tjondet muncul nama kampong yang ketiga yang disebut kampong Tengah (kampong antara kampong Makassar dan kampong Djawa). Di kawasan Tjondet kemudian terbentuk dua pemukiman baru yang disebut Tjondet Bale Kambang dan Tjondet Batoe Ampar. Pada masa ini wilayah Condet meliputi Kampung Tengah, Balekambang dan Batu Ampar. Nama Tjondet tidak ditabalkan sebagai nama kesatuan wilayah administratif apakah nama kelurahan atau nama kecamatan. Mengapa?
.
Sebagai kawasan terkenal (bahkan sejak tempo doeloe), sejarah Condet sudah barang tentu telah banyak ditulis. Namun artikel ini tidak bermaksud untuk menulis ulang yang sudah ada, tetapi lebih pada upaya menambahkan yang belum ada dan meluruskan yang keliru. Sejarah tetaplah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kawasan Tjondet (Peta 1901)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Kapitein Makassar dan Fort Tandjoeng

Sejarah Condet haruslah dimulai dari suatu titik origin terpenting yakni benteng (fort) Tandjoeng. Benteng ini berada di suatu tanjung (lekukan) sungai di sisi timur sungai Tjiliwong. Posisi GPS dari Fort Tandjoeng ini kini berada di belakang Rindam Jaya di jalan Raya Condet. Fungsi benteng ini dibangun adalah untuk pertahanan dan pos pemantauan lalu lintas di sungai Tjiliwong. Benteng Tandjoeng diperkirakan dibangun setelah ekspedisi tahun 1687 dan sebelum ekspedisi kedua tahun 1703.

Posisi Fort Tandjoeng (Peta 1901 dan Now)
Benteng Tandjoeng adalah benteng penghubung antara benteng Meester Cornelis (lokasinya di Berlan yang sekarang) dan Fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong (lokasinya di istana Bogor yang sekarang). Benteng ini diduga dibangun bersamaan dengan benteng Tjilengsi (sungai Bekasi/Tjilengsi), benteng Sampoera (sungai Tjisadane di Serpong) dan benteng Tandjoengpoera (Karawang, sungai Tjitaroem). Benteng Padjadjaran dibangun pada tahun 1687 ketika ekspedisi pertama dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Sersan Scipio. Ekspedisi ini dilakukan setelah tahun 1684 Majoor Saint Martin diberi hadiah lahan atas prestasinya di Banten. Lahan yang diberikan pemerintah VOC tersebut berada di Pondok Terong (kini Tjitajam) dan Tjinere. Sersan Scipio adalah anak buah Majoor Saint Martin.

Pada ekspedisi kedua tahun 1703 dipimpin oleh Abraham van Riebeeck ke hulu sungai Tjiliwong (hingga ke Priangan). Rute yang ditempuh dari (pelabuhan) Tjililitan, Tandjoeng, Serengseng, Pondok Tjina, Depok, Ponndok Terong dan Bodjong Manggis (Bojong Gede). Pada tahun 1695 Cornelis Chastelein telah membuka lahan pertanian di Serengseng. Sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan di Serengseng, sejak 1656 Kapitein Makassar dan pasukannya telah ditempatkan di Tjondet. Kapitein Makassar adalah komandan pasukan pribumi asal Makassar yang mendukung militer VOC/Belanda. Sudah barang tentu, benteng ini dibangun pemerintah VOC dengan mengandalkan pasukan asal Makassar yang ditempatkan di Tjondet. Mereka inilah yang kemudian yang menjaga benteng ini. Bersamaan dengan penempatan pasukan Kapitein Makassar (untuk mengawal benteng Meester Cornelis), pasukan Kapitein Abdul Latif asal Malajoe ditempatkan di Gandaria di arah hulu (sungai) Grogol (benteng Vijfhooek, kini Jembatan Lima). Pasukan Kapitein Tjakra Djaja asal Bali ditempatkan di Petodjo di sungai Kroekoet (benteng Riswijk). Pasukan asal Bali yang lain dibawah pimpinan Kapitein Goesti Badoele ditempatkan di sekitar Pesing untuk mengawal benteng Angke (di sungai Angke).

Benteng Tandjoeng dibangun untuk menggantikan posisi benteng Meester Cornelis di Berlan. Berdasarkan Peta 1724 benteng Tandjoeng sama pentingnya dengan benteng Angke, benteng Sampoera (Serpong), benteng Riswijk dan benteng Noorwijk (posisinya kini tepat di masjid Istiqlal). Benteng Tandjoeng, benteng Sampoera, benteng Tjilengsi dan benteng Tandjoengpoera berada pada posisi sejajar (ring-2 untuk mengawal Batavia).

Benteng pada ring-1 terdapat enam benteng dalam posisi lingkaran yang terdiri dari benteng Jacatra, benteng Riswijk, benteng Noorwijk, benteng Angke, benteng Antjol dan benteng (pulau) Onrust. Dua benteng pendukung lainnya berada di hilir sungai Tjitaroem di muara sungai Bekasi dan di hilir sungai Tjisadane di Tangerang. Benteng Tangerang terhubung dengan benteng Angke dan benteng Bekasi terhubung dengan benteng Antjol.

Benteng-benteng ini di satu sisi untuk mempertahankan ibu kota (stad) Batavia, di sisi lain benteng-benteng ini juga untuk memberi ruang wilayah untuk pengembangan pertanian. Pemerintah VOC mulai memberikan hak penuh bagi pedagang VOC untuk membangun lahan pertanian sendiri untuk mendukung komodiri ekspor (gula, lada dan minyak kelapa). Hak lahan yang diberikan sebagai tanah partikelir (land).

Sementara untuk para pemimpin lokal yang berada di pedalaman dibuat kerjasama untuk penanaman kopi. Kerjasama ini sudah dilakukan sejak era ekspedisi Abraham van Riebeeck ke Priangan (Preanger) yang berpusat di Tjiandjoer.

Sehubungan dengan pembangunan benteng Tandjoeng di Tjondet, diduga area antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjipinang dibebaskan. Pasukan Makassar di Tjondet diduga kuat telah direlokasi ke timur sungai Tjipinang. Untuk menggantikan orang-orang Makassar dalam menjaga benteng Tandjoeng di Tjondet. Oleh karena orang-orang Makassar sudah ada di sisi timur sungai Tjipinang, orang-orang Jawa ini diduga telah membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Hal inilah yang menyebabkan munculnya perkampongan Makassar di sisi timur sungai Tjipinang yang diidentifikasi sebagai Kampong Makassar dan kampong Djawa di sisi barat sungai Tjiliwong (dekat stasion Pasar Minggu yang sekarang). Dalam perkembangannya area Tjondet antara sungai Tjipinang dan sungai Tjiliwong telah diberikan kepada Pangeran Poerbaja.

Pangeran Poerbaja adalah anggota keluarga kesultanan Banten yang bekerjasama dengan VOC/Belanda ketika Soeltan Banten digulingkan pada tahun 1682. Pemberian lahan ini semacam hadih yang diberikan oleh pemerintah VOC kepada yang berjasa dalam membantu kepentingan pemerintah VOC. Hadiah lahan ini sebelumnya tahun 1684 telah diberikan kepada pahlawan VOC di Banten Majoor Saint Martin berupa dua persil lahan di Pondok Terong dan Tjinere. Juga hadiah lahan diberikan kepada Hendrik Lucasz Cardeel di sisi timur Tjinere. Hendrik Lucasz Cardeel sebelum perang adalah orang yang banyak membantu Kesultanan Banten yang mana putrinya Helena menikah dengan Soeltan Banten. Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Lahan (milik) Hendrik Lucasz Cardeel ini kemudian disebut land Ragoenan (berasal dari Wira Goena?). Antara Pangeran Poebaja (di Tjondet) dan Hendrik Lucasz Cardeel (di Ragoenan) sudah saling kenal sejak dari Banten.

Pangeran Poerbaja di Tjondet membuka perkampongan di dekat benteng Tandjoeng. Perkampongan tersebut berada di antara kampong Makassar di timur dan kampong Djawa di barat. Besar dugaan perkampongan keluarga Poerbaja ini yang kemudian disebut kampong Tengah. Tiga kampong ini diduga tiga kampong terawal di sekitar Tjondet (sekitar benteng Tandjoeng).

Tanah Partikelir (Land) dan Jalan Oosterweg

Setelah sejumlah lahan ditetapkan pemerintah VOC sebagai hak lahan partikelir (land) di sejumlah titik, penetapan lahan partikelir secara perlahan ditambah untuk menambah pemasukan (uang) pemerintah. Penetapan lahan partikelir ini dimulai dari lahan-lahan yang subur yang memiliki (sumber) pengairan yang cukup. Lahan Tjondet tidak termasuk lahan yang subur karena lahannya yang berada di atas permukaan air sungai.

Lahan Tjondet mengalir sungai kecil Tjondet. Di sebelah barat mengalir sungai besar Tjiliwong. Antara sungai Tjondet dan sungai Tjipinang mengalir sungai Tjililitan. Sungai Tjidjantoeng yang berada di arah hulu (selatan) jatuh ke sungai Tjiliwong sebelum benteng Tandjoeng.

Penetapan lahan Tjondet sebagai lahan partikelir baru dimulai pada tahun 1753. Pemilik land pertama lahan Tjondet ini adalah FW Freijer. Posisi rumah kediaman (landhuis) dari pemilik land (landheer) Tandjoeng dibangun tidak jauh dari benteng Tandjoeng. Land baru di area Condet sekitar benteng Tandjoeng ini kemudian dikenal sebagai land Tandjoeng.

Sebelum land Tjondet/land Tandjoeng terbentuk, sudah terbentuk sejumlah land di hulu sungai Tjiliwong seperti land Campong Baroe, land Kedong Badak, land Tjiloear (Kedong Halang), land Tjimanggis, land Tjitrap dan land Tjibinong. Land Kampong Baroe kemudian berganti nama menjadi land Bloeboer (kelak menjadi kota Buitenzorg/pusat kota Bogor yang sekarang). Land yang sudah terbentuk di sisi barat sungai Tjiliwong (sebelum terbentul land Tandjoeng) adalah land Serengseng,  land Depok, land Tjinere, land Ragoenan, land Simplicitas (Pondok Laboe), land Pondok Terong (Tjitajam) dan land Bodjong Manggis (Bodjong Gede).

Dalam pembangunan land-land ini dibangun sejumlah bendungan dan kanal irigasi. Untuk mengairi land Kedong Badak dibangun kanal dengan menarik aliran sungai Tjipakantjilan (yang sebelumnya jatuh ke sungai Tjisadane) dengan membangun kanal melalui kampong Paledang (Jembatan Merah yang sekarang); untuk mengairi land Tjiloear dan land Tjibinong dibuat bendungan di Katoelampa (sungai Tjiliwong) dengan membangun kanal di sepanjang jalan poros (Oosterweg). Kanal ini kemudian disebut Oosterslokkan; untuk mengairi land Depok dibangun bendungan dan kanal Pitara.  

Setelah beberapa tahun land Tandjoeng dikapitalisasi sebagai land partikelir, lahan di sisi barat sungai Tjiliwong juga dikapitalisasi sebagai land baru. Oleh karena land baru ini dekat dengan benteng Tandjoeng, maka nama land disebut land Tandjoeng West (sementara land Tandjoeng kemudian diidentifikasi sebagai land Tandjoeng Oost.

Landhuis Tandjoeng (Oost en West) (Peta 1901)
Siapa yang memiliki kali pertama Land Tandjong West tidak diketahui jelas. Jan Andries Duurkoop membeli dari pemilik sebelumnya. Saat kepemilikan land ini ada di tangan Jan Andries Duurkoop, Jhos Rach mengabadikan Land Tandjong West lewat beberapa lukisan (1760-1780). Land Tandjong West bukan lahan yang subur karena air berada di bawah (sungai Tjiliwong dan Kali Bata). Land Tandjong West adalah padang alang-alang dan semak belukar yang sangat luas. Di lahan inilah pemilik sebelum Jan Andries Duurkoop mendirikan peternakan untuk menghasilkan daging dan susu.

Dalam Peta 1774 (jaringan jalan) di sisi timur sungai Tjiliwong hingga Tandjoengpoera teridentifikasi nama land(huis) Tandjoeng (Oost). Landhuis lainnya yang berdekatan dengan landhuis Tandjoeng (Oost) adalah landhuis Tjililitan, landhuis Tjidjantoeng, landhuis Tjisalak, landhuis Dykt van de Velde (kampong Makassar) dan landhuis Pondokgede.

Land Tandjoeng (Peta 1774)
Dalam Peta 1774 ini juga teridentifikasi empat anak sungai Tjiliwong yakni satu buah di sisi timur sungai Tjidjantoeng dan tiga buah di sisi barat sungai Serengseng, sungai Beres dan sungai Tjileboet. Dari empat anak sungai ini yang terpanjang adalah sungai Tjidjantoeng yang bermuara di Tjidjantoeng (sebelum benteng Tandjoeng). Sungai Serengseng mengalir di tengah UI yang sekarang dan bermuara ke sungai Tjiliwong di Serengseng. Sungai Beres bermuara di Badjonggede, Sungai Tjileboet bermuara di Tjilieboet. Kelak, sungai Serengseng dialirkan ke Setoe Serengseng sehubungan dengan pembangunan rel kereta api Batavia-Buitenzorg. Hal yang sama juga dilakukan dengan mengalihkan aliran sungai Tjileboet dengan membangun kanal ke sungai Beres di land Bodjong Gede dan aliran sungai Beres dialihkan dengan membangun kanal ke land Pondok Terong (Tjitajam). Di land Pondok Terong aliran air kanal ini dipecah ke arah barat menuju land Tjinere dan ke arah timut menuju land Depok.

Seperti di land-land lainnya, pembangunan kanal irigasi juga dibangun di land Tandjoeng Oost. Sungai Tjondet tidak mampu mensuplai kebutuhan air yang meningkat untuk land Tandjoeng Oost. Sementara sungai Tjililitan airnya berada di bawah land Tandjoeng Oost. Satu cara yang digunakan adalah mengalihkan aliran sungai Tjidjantoeng yang jatuh ke sungai Tjiliwong dengan membangun kanal menuju land Tandjoeng Oost.

Bersamaan dengan pembangunan kanal ini dibangun setu Tjidjantoeng. Air permukaan yang lebih tinggi di setoe Tjidjantoeng dialirkan menuju sungai Tjililitan di land Tandjoeng Oost. Dari kanal penghubung ini dibangun kanal-kanal irigasi untuk mengairi pencetakan sawah dan perkebunan yang diusahakan di land Tandjoeng Oost. Sisa aliran air irigasi ini diteruskan (kembali) ke sungai Tjililitan/sungai Tjidjantoeng. Sehubungan dengan pengalihan aliran sungai Tjidjantoeng, aliran air menuju muara sungai Tjidjantoeng di sungai Tjiliwong dimatikan (yang diduga menjadi asal-usul nama kampong Kalimati di (kelurahan Kali Pasir yang sekarang).

Land Tandjoeng Oost dan Land Tjondet

Land Tandjoeng Oost kemudian diketahui telah dimekarkan menjadi dua land: land Tandjoeng Oost dan land Tjondet. Tidak diketahui kapan pemekaran ini dilakukan apakah pada era VOC atau pada era Pemerintah Hindia Belanda (atau pada era Prancis atau era Inggris). Satu alasan pemekaran ini (biasanya seperti land-land pemekaran yang lain) karena pemilik baru merasa perlu menjual sebagian land Tandjoeng Oost karena land Tjondet dianggap tidak produktif (tidak subur karena tidak memiliki pengairan yang baik). Land Tjondet tidak mendapat aliran irigasi dari kanal sungai Tjidjantoeng dan land Tjondet baru mendapat pengairan aliran irigasi setelah era Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris).

Bataviasche courant, 27-03-1824
Pada era Gubernur Jenderal Daendels, bersamaan dengan pembangunan jalan pos Trans-Java juga dibangun kanal irigasi sebagai lanjutan dari kanal yang sumber airnya dari (bendungan) Katoelampa. Untuk menambah suplai air di kanal Buitenzorg-Batavia tersebut sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang disodet dan dialirkan ke kanal. Pada tahun 1824 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan intruksi (semacam peraturan) untuk pengawasan dan penggunaan air dari kanal (lihat Bataviasche courant, 27-03-1824).

Dengan selesainya perbaikan kanal Buitenzorg-Batavia ini dimungkinkan land Tjondet mendapat aliran irigasi (karena debit kanal sudah memadai). Namun muncul persoalan bagaimana mengalirkan air irigasi ke land Tjondet? Sementara itu, land Tandjoeng Oost juga mendapat pasokan tambahan dari kanal. Satu cara yang dilakukan adalah membangun tanggul dari kanal ke land Tjondet yang mana di atas kanal Tjidjantoeng dibangun tali air/jembatan air (seperti di Kedoeng Halang).

Hal yang dialami oleh land Tjondet dilakukan di land Tandjoeng West. Usaha peternakan di land Tandjong West telah lama berlalu. Land Tandjoeng West telah menjualnya pada tahun 1816. Oleh pemilik baru di land Tandjoeng West akan diusahakan pertanian (pengganti peternakan). Cara yang dilakukan adalah dengan membangun bendungan di Serengseng (setoe Babakan) dan mengalirkan airnya dengan membangun kanal ke land Tandjoeng Oost pada tahun 1830. Kanal ini masih terlihat hingga ini hari di bawah stasion Lenteng Agung.

Land Tjondet makin lama makin berkembang (juga land Tandjoeng West makin lama makin berkembang). Lahan tadah hujan di dua land tersebut telah menjadi lahan beririgasi. Nama land Tjondet lambat laun semakin dikenal. Dalam kondisi yang baik land Tjondet telah dijual oleh pemiliknya (lihat Bataviasche courant, 15-11-1826). Disebutkan dijual, land Landlust atau Tjondet yang berada diantara Tjililitan dan Tandjong Oost, yang berminat hubungi DCH van Riemsdijk. Di bawah iklan Tjondet tersebut terdapat iklan dari Ament, pemilik land Tandjoeng Oost. Siapa yang membeli land Tjondet tidak diketahui secara jelas.

Bataviasche courant, 15-11-1826
Siapa DCH van Riemsdijk dan siapa pula Ament? Pertanyaan ini terkesan sepele, tetapi keduanya saling terhubung. Pada tahun 1821 Willem Vincent Helvetius Riemsdijk yang juga pemilik land Tjiampea menjual land Tandjong Oost kepada seorang pengusaha asal Chirebon, Ament. Ayah dari Willem Vincent Helvetius Riemsdijk adalah Jeremis van Riemsdijk (Gubernur Jenderal VOC 1775-1777), Dalam hal ini DCH van Riemsdijk adalah salah satu anak dari Willem Vincent Helvetius Riemsdijk. Keponakannnya anak dari Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk menikah dengan putri bungsu Ament. Dalam perkembangannya land Tandjoeng Oost diteruskan anaknya yakni (Ament Jr). Pada tahun 1847 Ament Jr kenyataannya tidak membeli kembali eks lahan milik DCH van Riemsdijk (land Tjondet) melainkan membeli land Tjiboeboer.

Yang jelas adalah bahwa perbaikan kanal antara Buitenzorg-Batavia baru sampai land Tandjong Oost. Pada tahun 1831 diumumkan akan dilakukan perbaikan kanal ruas Tandjong Oost dan Batavia dengan lebar kanal menjadi empat meter (lihat Javasche courant, 26-05-1831). Sehubungan dengan perbaikan ruas kanal ini jalur lalu lintas ditutup dan kendaraan (pedati) yang berasal dari Buitenzorg diinstruksikan hanya sampai di Tandjoeng Oost.

Kanal Buitenzorg-Batavia (Peta 1824)
Selama penutupan, kendaraan pengangkut barang menurunkan muatan di Tjondet atau di Pasar Tandjoeng Oost, untuk diangkut dengan perahu melalui sungai Tjiliwong ke Weltevreden dan sebaliknya (lihat Javasche courant, 31-05-1831). Persiapan transportasi melalui Tjiliwong sudah selesai dan penutupan jalan akan dimulai pada akhir bulan ini (lihat Javasche courant, 18-12-1832). Namun terjadi penundaan dan baru akan terlaksana penutupan  pada tangga 20 Januari 1834 (lihat Javasche courant, 18-01-1834). Kanal ruas Tandjoeng Oost Batavia ini berada di sisi jalan Oosterweg melalui Bidara Tjina, Pasar Meester Cornelis, Salemba, Kramat dan Pasar Senen yang selanjutnya terhubung dengan kanal Soenter (lihat Peta 1824),

Pada tahun 1836 land Tjondet kembali dijual oleh pemiliknya (lihat Javasche courant, 18-06-1836). Disebutkan bahwa sebidang lahan tertentu yang disebut Tjondet, menjadi bagian reguler yang terletak sekitar 4 jam ke arah selatan di luar kota. Pembelinya adalah Tjong Aliok namun kemudian lahan itu dieksekusi karena Aliok bangkrut (lihat  Javasche courant, 27-04-1839). Disebutkan dalam eksekusi tersebut termasuk bangunan batu, pabrik minyak goreng, penggilingan padi, kerbau, kuda, babi dan perabotan. Dalam perkembangannya pemilik baru land Tjondet telah menggabungkan dengan miliknya di land Ragoenan, Nama dua land tersebut diberi nama land Ragoenan en Tjondet. Nama land Ragoenan en Tjondet paling tidak, sudah diketahui pada tahun 1848 (lihat Particuliere landerijen, 1848). Yang membeli (kembali) land Tjondet diduga adalah keluarga Cina.

Javasche courant, 18-06-1836
Pada tahun 1854 land Tjondet sendiri dilaporkan populasinya sebagai berikut: pribumi sebanyak laki-laki dewasa 121 dan perempuan dewasa 128 jiwa dan anak-anak 257 jiwa; orang Cina satu dewasa laki-laki dan satu dewasa perempuan dan empat anak (lihat Tijdschrift der Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indië, 1854).

Penutupan (awalnya karena pembangunan kanal) dan terutama di musim hujan pedati dari ruas Tandjong Oost dan Batavia masih diberlakukan hingga tahun 1855. Selama penutupan tersebut angkutan barang dari Batavia dan Buitenzorg sebaliknya melalui jalur sungai Tjiliwong di Tjondet dan Weltevreden. Sementara untuk pejalan kaki telah dibangun jalan setapak di sisi timur sungai.

Pada tahun 1855 pemerintah mengalihkan jalan setapak dari sisi timur sungai ke sisi barat sungai mulai dari jembatan Kampong Malajoe hingga Tjondet (lihat  Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-08-1855). Pada Peta 1824 jalan setapak di sisi barat sungai Tjiliwong ini belum ada. Besar dugaan jalan setapak inilah yang menjadi cikal bakal jalan yang sekarang (jalan Gudang Peluru, jalan Pangadegan Timur, Rawajati Timur). Di land Tjondet jalan setapak ini dihubungkan dengan jembatan (kayu) di atas sungai Tjiliwong. Dimana posisi GPS jembatan ini diduga yang menjadi cikal bakal jembatan gantung di dekat stasion Pasar Minggu yang sekarang. Catatan: Jalan Pasar Minggu yang sekarang adalah jalan kuno yang sudah eksis lama (Westerweg). Area sekitar antara jalan Westerweg dan jembatan Tjondet ini diduga muncul keramaian (pasar). Area ini sudah sejak lama dikenal sebagai kampong Djawa. Suatu area yang strategis yang dengan sendirinya menghubungkan arah dari utara Batavia/kampong Malajoe (Pasar Senen), arah dari selatan sisi barat Depok/Buitenzorg (Pasar Lenteng Ahoeng/Pasar Pondok Terong, kini Pasar Tjitajam) dan sisi timur Tandjoeng Oost/Buitenzorg (Pasar Rebo) dan dari arah barat land Simplicitas/Pondok Laboe (Pasar Simplicitas). Kelak pasar yang muncul ini disebut Pasar Minggu (pasar di hari Minggu).

Garis dari simpang jalan kuno (Westerweg) dan jalan ke arah jembatan dan jalan ke arah Simplicitas menjadi batas land Tandjoeng West (sebelah selatan) dan land Ragoenan (sebelah utara). Pasar yang muncul ini dikelola oleh pemilik land Tandjoeng Wesr. Sejak tahun 1854 land Tandjoeng West diketahui sudah dimiliki oleh seorang Cina Lie Ing Lie (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1854). Besar dugaan landheer Lie Ing Lie yang mengelola dan mengembangkan pasar yang kemudian disebut Pasar Minggoe. Land Tandjoeng West sudah sangat berkembang sejak 1830 saat mana dimulai dibangun bendungan Setoe Babakan dan kanal irigasi menuju land Tandjoeng West.

Pada tahun 1865 land Ragoenan en Tjondet diketahui telah dimiliki oleh Said Mohamad bin Aboe Bakar Aidit, Cs dengan komoditi utama yang diusahakan padi dan kelapa. Sementara itu land Tandjoeng Oost telah dimiliki oleh Erven Riemsdijk dan land Tjiboeboer dimiliki oleh T Ament. Sedangkan land Tandjong West masih tetap dimiliki oleh Lie Eng Lie.

Land Ragoenan en Tjondet pada tahun 1871 masih dimiliki oleh Said Mohamad bin Aboe Bakar Aidit, Cs (lihat Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar, 1871). Kongsi ini juga diketahui pemilik land Lenteng Agoeng. Dalam hal ini land Ragoenan en Tjondet dan land Lenteng Agoeng barada dalam satu area (menyatu),

Pada tahun 1870 pembangunan jalur kereta api dari Batavia-Buitenzorg untuk ruas Meester Cornelis hingga Buitenzorg dimulai. Dalam hubungan ini pada jalur ini dibangun halte di Pasar Minggoe dan di Lenteng Agoeng. Nama halte mengacu pada nama pasar (bukan nama land). Jalur kereta api mulai dioperasikan pada bulan Januari 1873.

Setelah adanya pasar di sisi barat sungai Tjiliwong di perbatasan antara di land Ragoenan en Tjondet dan land Tandjoeng Oost, di area sisi timur sungai/jembatan mulai makin ramai sebagai pemukiman. Area yang semakin ramai ini kemudian dikenal sebagai Tjondet Balekambang. Catatan: jembatan penghubung di atas sungai Tjiliwong (jembatan kayu) hanya terdapat di empat titik: Kwitang, Matraman, Meester Cornelis dan Buitenzorg (kini di Warung Jambu). Untuk jembatan penyeberangan yang terbuat dari bambu paling tidak teridentifikasi di empat titik di Balekambang dan di Serengseng (kini disebut jembatan ala Indiana Jones) serta di Depok (di lokasi Jembatan Panus yang sekarang) dan Pondok Terong. Di Pondok Tjina tidak ada jembatan tetapi tempat penyeberangan dengan menggunakan getek.

Land Tjondet: Tjondet Batoe Ampar dan Tjondet Bale Kambang

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

3 komentar:

  1. Izin meminta datanya, untuk konten sejarah condet di instagram @aksaracondet. Terima kasih

    BalasHapus