Jumat, 23 September 2022

Sejarah Bangka Belitung (5): Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka; Prasasti-Prasasti Berasal Abad ke-7 di Pantai Timur Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini 

Banyak sumber sejarah berasal dari zaman kuno di pulau Bangka, seperti geomorfologi pulau Bangka dan keberadaan timah di pulau. Sumber sejarah lainnya secara tertulis antara lain prasasti Kota Kapur yang ditemukan di suatu pulau kecil di pulau Bangka yang sekarang (daerah aliran sungai Mendoe). Pulau kecil dimana berada prasasti di zaman kuni, kini telajh menyatu dengan daratan pulau Bangka.


Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh JK van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Kedatuan Sriwijaya. Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coédes-lah yang kemudian mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 M, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah prasasti Kota Kapur di pulau Bangka? Seperti disebut di atas, prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari sejumlah praasasti sejaman berasal abad ke-7 di pulau Sumatra. Lalu bagaimana sejarah prasasti Kota Kapur di pulau Bangka? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka; Prasasti-Prasasti Berasal Abad ke-7 di Pulau Sumatra

Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka, pada dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan dua prasasti pertama (Kedoekan Boekit dan Talang Tuwo) dan prasasti kedua (Telaga Batu, Pasemah dan Karang Brahi). Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hyang Nayik, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Di dalamnya berulang disebutkan kata çrivijaya. Berikut ini isi lengkap dari Prasasti Kota Kapur, sebagaimana ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Coédes. Terjemahan:


Keberhasilan! Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah! Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak; yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha [editor: setara dengan 28 Februari 686 Masehi], pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya’.

Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka disebut di dalam teks dibuat pada tahun 686 M. Prasasti Kedoekan Bioekit dibuat pada tahun 682 M dan prasasti Talang Tuwo dibuat pada tahun 684 M. Prasasti Telaga Batu (Palembang), prasasti Pasemah (Lampong) dan prasasti Karang Brahi (Jambi) tidak disebut tahun, tetapi karena isinya kurang lebih sama dengan prasasti Kota Kapur maka tiga prasasti tersebut diduga dibuat pada tahun 686 M (sama dengan prasasti Kota Kapur).


Satu yang membedakan isi prasasti Kota Kapur dengan prasasti-prasasti lainnya tersebut, di dalam teks prasasti Kota Kapur disebut tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bumi Jawa. Sebaliknya di dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) disebutkan pasukan yang dipimpin Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga. Keberangkatan dari Minanga ini pada hari ketujuh bulan April dan tiba di Matajap hari kelima bulan Mei. Dalam hal ini jarak perjalanan pasukan selama satu bulan kurang dua hari. Perjalanan ini tentulah sangat jauh dan ada beberapa pemberhentian di tengah perjalanan. Dimana posisi GPS Matajap diduga di tempat dimana ditemukan prasasti (Palembang). Lalu dimana posisi GPS Minanga? Jika perjalanan dilakukan dengan sampan, yang harus ditempuh hampir satu bulan tentu saja Minanga adalah tempat yang jauh. Apakah itu kini berada di kota Binanga (daerah Padang Lawas. Tapanuli) yang sekarang?

Namun perlu diperhatikan jika prasasti Kedoekan Bukit (Palembang) dibuat tahun 682 M dan prasasti Talang Tuwo pada tahun 684 M (Palembang) dan prasasti Kota Kapur tahun 686 M, sebenarnya tahun berapa prasasti Telaga Batu, prasasti Karang Brahi dan prasasti Pasemah dibuat? Apakah pada tahun 686 M? Jika di Matajap tiba Dapunta Hyang Nayik dan pasukan pada tahun 682 M (Palembang), maka ada jarak empat tahun Dapunta Hyang Nayik di Palembang (682-686) dimana pada tahun 684 di Palembang dibuat prasasti Talang Tuwo. Dalam hal ini apakah prasasti Telaga Batu juga dibuat pada tahun 686 M? Sesuai isi prasasti Kota Kapur?


Jika pasukan berangkat dari Kota Kapur (Bangka) pada tahun 686 ke Jawa, besar kemungkinan melalui Lampung dimana ditemukan praasti Pasemah. Dalam hal ini prasasti Pasemah dibuat setelah prasasti Kota Kapur. Lalu bagaimana dengan prasasti Telaga Batu dan prasasti Karang Brahi?

Ada kemungkinan prasasti Telaga Batu dan prasasti Karang Brahi dibuat sebelum prasati Kota Kapur, tetapi setelah prasasti Kedoekan Bukit dan prasasti Talang Tuwo dibuat. Itu berarti antara tahun 684-686 M. Dalam hal ini prasasti Telaga Batu dibuat terlebih dahulu baru prasasti Karang Brahi.


Secara geomorfologis tempat dimana ditemukan prasasti Karang Brahi di sungai Merangin (Bangko) diduga pada saat itu masih berada di pantai. Sementara Palembang (Kedokan Boekit, Telaga Batu dan Talang Tuwo) adalah pulau-pulau yang berdekatan. Sedangkan Bangka dan Pasemah adalah dua pulau yang berjauhan, Secara geomorfologi Kota Kapur saat itu masih berada di pantai (Pulau Bangka), sedangkan Palas, Pasemah masih berada di panyai (pulau/gunung Raja Basa).

Dalam prasati Kota Kapur disebut pasukan menyerang Jawa. Besar dugaan pasukan ini berangkat melalui Palas, Pasemah (prasasti Pasemah) lalu terus ke pantai utara Jawa di muara sungai Tjitarum, dimana terdapat pusat kerajaan Tarumanegara. Posisi kraton Tarumanagera ini kini berada di candi (Jiwa) Batujaya, Karawang yang sekarang. Mengapa menyerang Jawa? Kerajaan Sriwijaya ekspansi ke Jawa ke wilayah pengaruh Hindu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Prasasti-Prasasti Berasal Abad ke-7 di Pulau Sumatra: Memiliki Isi Mirip Prasasti Kota Kapur dengan Telaga Batu (Pelembang), Pasemah (Lampung) dan Karang Berahi (Jambi)

Pada masa ini Kota Kapur adalah sebuah desa di pantai barat Bangka yang masuk kecamatan Mendo Barat, kabupaten Bangka, provinsi Bangka Belitung. Pusat des aini kini seakan berada di pedalaman, tetapi posisinya pada zaman doeloe diduga kuat berada di pantai, di suatu teluk (menghadap ke utara, sejajar pantai yang sekarang). Kota/kampong Kota Kapur kuno ini berada di sisi timir gunung/bukit Mendoe.


Pada awalnya ke dalam teluk (sebut saja Teluk Mendoe) bermuara sejumlah sungai. Termasuk sungai Mendoe. Dalam perkembangannya, terjadi proses sedimentasi di teluk yang membentuk daratan baru. Dua sungai yang lebih besar, yakni sungai Mendoe dan sungai Kota Waringin masing-masing memimpin arus sungai menemukan jalan ke pantai seperti kondisi yang sekarang. Posisi sungai Mendoe di area eks teluk berada agak jauh dari kampong Kota Kapur di arah utara. Hal itulah mengapa pusat perkampongan Kota Kapur seakan berada di pedalaman, jauh dari pantai dan jauh dari sungai (Mendoe) tetapi tetap berada di sisi timur gunung/bukit Mendoe. Pada Peta 1897 kawasan eks teluk Mendoe yang berbatasan langsung dengan laut di pantai barat Bangka ditandai dengan peta jenis tanah alluvial (daratan terbentuk endapan tanah/lumpur). Sedangkan kawsan kampong Kota Kapur dan gunung Mendoe berjenis tanah kwarsa (tanah berpasir). Besar dugaan lumpur yang terbawa arus sungai dari pedalaman sebagai akibat dari aktivitas penambangan (diduga tambang timah). Pada Peta 1897 kawasan pedalaman dimana sungai Mendoe berhulu adalah Kawasan yang diidentifikasi sebagai Kawasan granit (yang mengandung banyak butiran timah). Peta 1897

Kota Kapur di masa lampau (pada abad ke-7) adalah kota pelabuhan, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan di (pulau) Bangka. Letaknya yang strategis di teluk aman dari angin/badai dari Laut Jawa dan Laut Cina, yang menghadap kea rah barah dimana terdapat pulau-pulau lain yang lebih kecil dan pantai timur Sumatra di pegunungan Bukit Barisan. Seperti halnya teluk Mendoe yang kemudian menjadi daratan, perairan sisi timur Sumatra dimana terdapat pulau-pulau juga dalam perkembangannya terjadi proses sedimentasi jangka panjang, sehingga garis pantai awalnya di Merangin (tempat ditemukan prasasti Karang Brahi) terus bergeser, lalu mencapau Kota Kedoekan Boekit (Palembang) hingga kini telah mendekati pulau Bangka. Dalam konteks inilah prasasti Kota Kapur, prasasti-prasasti di Kota Palembang dan prasasti Karang Brahi dibuat pada abad ke-7. Kedoekan Boekit sendiri saat itu masih sebuah pulau. Boleh jadi tiga nama kota itu, secara geomorfologis adalah nama-nama kuno sesuai toponimi yakni Kota Kapur (kota di lereng bukit kapur); Kota Kedoekan Boekit (kota berada di bukit) dan kota Karang Brahi (kota di sekat  karang).


Pada era Hindia Belanda, ada beberapa peneliti yang menduga wilayah pantai timur Sumatra antara wilayah Lampong dan Jambi adalah suatu teluk besar (Kota Kapur berada di suatu teluk kecil di pulau Bangka), yang mana ke dalam teluk besar Sumatra itu bermuara sejumlah sungai besar seperti sungai Batanghari, sungai Tebo, sungai Tembesi, sungai Merangin dan lainnya. Kota Karang Brahi ini berada di pantai di muara sungai Merangin (pesisir timur pulau Sumatra). Sementara di tengah perairan laut/teluk besar tersebut terdapat sejumlah pulau termasuk pulau Kedoekan Boekit (Palembang) yang menyebar hingga ke kepulauan Bangka/Belitung. Tiga kota kuno ini (Karang Brahi, Kedorekan Boekit dan Kota Kapur) menjadi pusat pemerintahan tiga daerah yang berbeda. Dalam hubungannya Kerajaan Sriwijaya membentuk cabang pemerintahan dengan mengangkat para datu yang baru mewakili tiga wilayah (plus Lampong di Pasemah) dengan mengikat penduduk dalam suatu hukum sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Kota Kapur, Telaga Batu (Palembang), Karang Brahi (Merangin/Jambi) dan Palas/Pasemah, Lampung. Prasasti-prasasti ini memiliki isi yang kurang lebih sama (pengakiuan dan hukum). Dalam hubungan ini muncul pertanyaan: dimana posisi GPS pusat Kerajaan Sriwijaya? Di Minanga? Apakah prasasti Tanjore (1030 M) dapat menjelaskannya?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar