Sabtu, 23 September 2023

Sejarah Bahasa (35): Bahasa Bima - Aksara di Pulau Sumbawa, Antara Pulau Moyo dan Pulau Sangeang;Kamus Bahasa Bima (1893)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Bima atau Mbojo adalah kelompok etnis mendiami Pulau Sumbawa bagian timur. Istilah "Mbojo" untuk menyebut kata 'Bima' dalam bahasa Bima (nggahi Mbojo), juga sebagai istilah orang Mbojo (dou Mbojo). Orang Bima terdiri kelompok penduduk asli (dou Donggo) dan kelompok orang Bima (dou Mbojo). Dou Donggo di bagian barat teluk, di gunung dan lembah, memiliki kesamaan ciri Sasak Bayan rambut pendek gelombang, keriting, kulit agak gelap. Dou Mbojo di kawasan pesisir pantai, campuran dengan orang Bugis-Makassar dengan ciri rambut lurus.


Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan oleh Suku Mbojo (masyarakat Bima) di Pulau Sumbawa. Bahasa Bima (Bima-Dompu) memiliki jenis sistem tanda grafis tertentu (aksara) yang disebut dengan aksara Mbojo. Aksara Mbojo memiliki 18 karakter utama. Aksara Mbojo memiliki hubungan kesamaan atau kaitan dengan aksara Bugis. Hal ini menjadi salah satu tanda keterkaitan hubungan sejarah antara daerah Bima dengan Bugis. Aksara Mbojo diperkirakan telah digunakan sejak abad ke-14. Aksara Mbojo digunakan untuk menulis buku dan catatan kerajaan di Kerajaan Bima. Kemudian ketika pada abad ke-17, masyarakat Bima mulai menggunakan bahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Arab. Hal ini disebabkan pada saat itu masyarakat Bima telah memeluk agama Islam. Orang Bima (Dou Mbojo), dalam hal memperindah penggunaan bahasa, senantiasa menggunakan pantun kahs Bima atau disebut Patu Mbojo atau Kapatu Mbojo. Sebaran bahasa Bima secara besar terdapat di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Bahasa Bima terdiri dari empat dialek, yaitu: Serasuba; Wawo; Kolo; dan Kore. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bima dan aksara di Sumbawa, antara pulau Moyo dan pulau Sangeang? Seperti disebut di atas, bahasa Bima dituturkan oleh kelompok populasi orang Bima di teluk Bima. Kamus bahasa Bima (1893). Lalu bagaimana sejarah bahasa Bima dan aksara di Sumbawa, antara pulau Moyo dan pulau Sangeang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Bima dan Aksara di Sumbawa, Antara Pulau Moyo Lombok dan Pulau Sangeang; Kamus Bahasa Bima (1893) 

Bima di pulau Sumbawa berada tepat diantara ragam budaya ke barat (Jawa), ke timur (Flores) dan ke utara (Sulawesi). Bahasa Jawa makin ke timur makin sedikit pengaruhnya hingga ke Bima. Bahasa Sumbawa, Sasak dan Bali cenderung lebih dekat ke Jawa. Bagaimana dengan bahasa Bima di pulau Sumbawa? Ada pengaruh Melayu.


Sejumlah kosa kota elementer, seperti ibu dan ayah dalam bahasa Bima adalah ‘ina’ dan ‘ama’ (lihat kamus Bahasa Bima oleh JCG Jonker, 1893). Kosa kata ini tidak dapat ditemukan bahasa-bahasa semakin ke barat ke Jawa. Kosa kata ina dan ama sama dengan bahasa Bugis (Sulawesi) dan bahasa-bahasa di Timor dan sekitar. Ompu bahasa Bima adalah kakek. Dalam bahasa Bugis kakek adalah opu. Ompu, ama dan ina adalah kakek, ayah dan ibu dalam bahasa Batak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kamus Bahasa Bima (1893): Pulau Sumbawa Masa ke Masa 

Pada masa ini Tanah Bima disebut Mbodjo (land Bima). Bima sendiri adalah tempat utama di bagian dalam teluk Bima. Orang Bima atau penduduk di Tanah Bima (Mbodjo) disebut Dou Mbodjo. Nama Bima sendiri sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365). Sebagai suatu nama tempat, Bima sudah dikenal sejak masa lampau.


Dalam peta pelaut Portugis tidak didientifikasi nama Bima. Nama yang diidentifikasi pada peta no 21 (peta-peta 1511-1513) adalah nama Lombok, Soerabaja dan Solor serta Timor. Nama Bima baru diidentifikasi pada peta-peta Belanda (era VOC).

Salah satu pananda navigasi sejarah kuno di wilayah Bima adalah teks prasasti Wadu Tunti. Teks yang diduga berbahasa Kawi ini sudah dibaca oleh Balai Arkeologi Denpasar. Dari prasasti Wadu Tunti, tidak ada nama Bhima. Yang ada dalam teks adalah nama raja Sang ngaji dan nama tempat (kerajaan) Sapalu dan Hanipuh. Nama raja dan nama tempat ini tampaknya nama yang mirip kita kenal pada masa ini sebagai nama Sangaji dan nama Saparua dan Manipa. Hanya itu saja yang dapat diinterpretasi dari teks tersebut. Lalu, apakah ada hubungan nama raja Sang Haji dan nama Saparua dan Manipa dengan wilayah Tanah Bima (Mbodjo)?


Namun jika diperhatikan secara cermat secara kontekstual (di luar teks), Kerajaan Bima (sesuai namanya) awalnya beragama Hindoe, tetapi kini sudah memiliki hubungan dengan raja dari Saparua yang sudah Islam dan bergelar haji. Kerajaan Saparua akan membantu kerajaan Bima jika ada yang bermaksud jahat kepada (kerajaan) Bima. Dimana kerajaan Saparua berada? Pada teks Negarakertagama (Kern) hanya disebut nama-nama tempat di wilayah Maluku yang sekarang adalah Hutan Kadarli (Buru), Ambuwan (Amboina), Muar, Ceram (Seram), Wandan (Banda), Gurun, Maloko. Nama Muar tepat pada pulau Saparua yang sekarang (di tenggara pulau Haruku). Boleh jadi pada era Majapahit Saparua (Negarakertagaa) masih diidentifikasi Muar tetapi pada era prasasti Wadu Tunti namanya sudah menjadi Saparua. Sementara nama Hanipuh dalam teks Wadu Tunti adalah pulau Manipa yang sekarang. Kelak pada era VOC nama Manipa terkenal karena nama Kaptein Jonker, putra Sangaji. Dalam hubungan ini, raja Saparua adalah Sang Haji dari Manipa. Nama Muar diduga terkait dengan orang Moor, pedagang-pedagang Islam dari Eropa Selatan. Nama Muar juga ditemukan di pantai barat Semenanjung Malaka. Orang-orang Moor sudah lama ada di pantai timur Sumatra.Ini terindikasi utusan Moor, Ibnoe Batutah pada tahun 1345 mengunjungi pantai timur Sumatra. Artinya semasaMajapahit orang Moor sudah sampai ke Maluku. Dalam Mendes Pinto (1537) orang-orang Moor menjadi mitra strategis Kerajaan Aroe Batak Kingdom di pantai timur Sumatra. Jika Muar mengaju pada nama Moor, Moer dan Moear, lalu apakah nama Haruku merujuk pada nama Kerajaan Aru (H-aru-ku). Di selatan pulau Muar, Saparua (Sap-aru-a) dan Haruku (H-aru-ku) terdapat pulau Aroe. Berdasarkan prasasti Batugana, dari empat raja (federasi) Kerajaan Aru dua diantaranya bergelar Kadhi (pemimpin agama Islam) yang mana salah satu bergelar haji. Jadi sangat masuk akal raja Saparua beragama Islam dengan gelar haji. Lantas mengapa teks yang digunakan pada prasasti Wadu Tunti aksara dan bahasa Jawa Kuno dengan campuran bahasa Bima, sebab saat itu lingua franca dalam navigasi pelayaran di wilayah selatan Jawa Kuno di wilayah utara Melayu Kuno (yang keduanya berasal dari lingua franca yang lama Sanskerta).

Tanah Bima setelah era Majapahit tampaknya terhubung dengan wilayah Maluku (Saparua dan Manipa). Wilayah Saparua dan Haruku diduga terhubung dengan pedagang Moor dan kerajaan Aroe di pantai timur Sumatra. Lantas hubungan tersebut yang menyebabkan kosa kata elementer dalam bahasa Bima (ompu, ama dan ina) terhubung dengan bahasa di kerajaan Aroe?


Pedagang-pedagang Moor sudah lama diketahui keberadaannya di Bima. Salah satu yang terkenal pada era VOC adalah Codja Roeboe. Berdasarkan catatan kasteel Batavia (Daghregister) tanggal 8 Oktober 1675 disebutkan Codja Roeboe dari Bima membawa surat dari ondercoopman Paulus de Bock. Dua bulan kemudian Daghregister 13 Desember 1675 surat dari Radja Bima diterjemahkan (ke dalam bahasa Belanda) yang dibawa oleh sabandhar Codja Roeboe. Koja adalah gelar diantara orang-orang Moor di Hindia. Pada era VOC di Batavia ada nama kampong Koja, kampong orang Bima di Batavia. Besar dugaan yang membawa agama Islam ke Bima adalah orang-orang Moor dari wilayah Maluku. Pengaruh Islam dari kerajaan Demak (di Jawa) didiga hanya mencapai Lombok (pantai utara dan teluk Lombok di timur). Islam di pulau Sumbawa sudah lama (dari timur, Saparua dan kemudian dari utara Makassar).

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar