Senin, 05 September 2022

Sejarah Jambi (18): Jambi Era Portugis dan VOC/Belanda; Simpul Sejarah Zaman Kuno Nusantara dan Sejarah Modern Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Perbedaan waktu adalah unit analisis dalam penyelidikan sejarah. Namun satuan unit analisis waktu ini harus dibedakan dalam skala (interval waktu) ukuran tahun, windu, decade, paruh/abad dan era/zaman. Semakin jauh di masa lampau, ukuran waktu yang digunakan dalam analisis harus ukuran makro, sebaliknya semakin dekat ke masa kini ukuran waktu yang digunakan, bahkan kalua bisa dalam satuan unit waktu tahun/an. Dalam hal ini kita ingin memahami sejarah Jambi dari sudut kurun waktu abad yang sinonim dengan era/zaman, yakni era Portugiis/VOC(Belanda) yang dibedakan dengan era modern (Pemerintah Hindia Belanda).


Dalam penyelidikan sejarah, para penulis narasi sejarah hendaknya bisa menggunakan satu waktu sejarah secara baik dan benar. Kita tidak bisa menggabungkan ukuran waktua abad den tahun dalam satu fikus analisis. Harus dibedakan secara tegas. Secara teknis tidak terlalu dibutuhkan penanggalan yang tepat (dd/mm/yy) pada analisis sejarah dengan ukuran abad (era/zaman kuno), tetapi itu menjadi penting dalam analisis penulisan sejarah yang lebih modern (sejak era Pemerintah Hindia Belanda). Hal ini semata-mata karena faktor ketersediaan data. Sumber data sejarah zaman kuno antara lain teks yang langka (prasasti dan bentuk medium lain seperti kulit kayu/lempengan meta;), sketsa/peta dan dan sumber tertulis lainnya. Ini berbeda dengan era Portugis dan VOC/Belanda (yang dianggap awal narasi sejarah modern) yang sudah tersedia dokumen dalam berbagai jenis dan bentuk teks apakah surat kabar. Jurnal, buku-buku dan jenis dokuman lain seperti plakaat. Oleh karena itu dalam narasi sejarah Jambi, juga wilayah lainnya, ada baiknya dibedakan antara era Portugis/VOC dengan era Hindia Belanda. Era sebelum Portugis/VOC dikategorikan sendiri sebagai era zaman kuno, dan setelah era Hindia Belanda dalam kategoro era Republik Indonesia.

Lantas bagaimana sejarah era Portugis dan VOC/Belanda di Jambi? Seperti yang disebut di atas, wilayah Jambi adalah satu bagian dari sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia, Pada artikel ini focus pada era Portugis dan VOC/Belanda. Pada artikel berikut focus pada era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah era Portugis dan VOC/Belanda di Jambi?. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 04 September 2022

Sejarah Jambi (17): Orang Jambi dan Orang Minangkabau di Sumatra; Simpul Peradaban Melayu di Daerah Aliran Sungai Batanghari


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini  

Pada era Hindia Belanda nama Melayu secara generik diterapkan sebagai Melayu Minangkabau dan Melayu Jambi. Namun dalam perkembangannya orang Minangkabau menolak label Melayu dalam Minangkabau dan lebih memilih nama Minangkabau (saja). Apakah pada masa ini Orang Melayu Jambi lebih memilih dengan nama Orang Jambi (saja). Okelah itu satu hal. Hal yang dibicarakan dalam hal ini adalah simpul peradaban Melayu di daerah aliran sungai Batanghari: Orang Minangkabau di wilayah hulu dan Orang Jambi di wilayah hilir.


Suku Jambi atau Melayu Jambi merupakan suku bangsa pribumi yang berasal dari provinsi Jambi. Mereka mendiami wilayah kota Jambi, kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung, Batanghari dan Bungo-Tebo. Dusun-dusun mereka saling berjauhan dengan rumah-rumah yang dibangun di pinggiran sungai besar atau sungai kecil.  Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi khususnya Suku Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan jaman, kerajaan-kerajan ini perlahan terlupakan dan sisa-sisa reruntuhan atau peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut masih dalam proses penyelidikan dan penelitian lebih lanjut. Dalam sejarah kerajaan di Nusantara, Jambi dulu merupakan wilayah Minanga Kamwa (nama Minangkabau Kuno 1 M) adalah tanah asal pendiri kerajaan Melayu dan Sriwijaya dari wilayah Minanga Kamwa inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yang berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia di negeri Jambi ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa lalu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Orang Jambi dan Orang Minangkabau Sumatra Barat? Seperti yang disebut di atas, pada masa ini dibedakan Orang Jambi dan Orang Minangkabau di daerah aliran sungai Batanghari. Orang Minangkabau di wilayah hulu dan Orang Jambi di wilayah hilir. Dimana simpul peradaban Melayu di daerah aliran sungai Batanghari? Lalu bagaimana sejarah Orang Jambi dan Orang Minangkabau Sumatra Barat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jambi (16): Orang Kubu Berbahasa Melayu, Apakah Penduduk Asli di Jambi? Sebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Persebaran populasi  penduduk adalah bagian dari sejarah, sejarah yang panjang bahkan sejak zaman kuno. Pulau Sumatra termasuk wilayah Nusantara yang memiliki catatan sejarah yang terbilang awal. Dalam hal ini wilayah Sumatra bagian tengah menjadi satu wilayah tersendiri di Sumatra tenntang persebaran populasi. Terbentuknya (peradaban) Melayu, khususnya di pantai timur Sumatra menjadikan wilayah Jambi yang sekarang menjadi penting. Dalam perkembangannya Orang Kubu berbahasa Melayu, pada masa ini menjadi terpinggirkan dalam peradaban baru.


Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu. Oleh karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina. Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Sebagian kecil ada di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal. Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada agama tradisional. Akan tetapi, beberapa keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas Sumatra telah beragama Kristen atau Islam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik provinsi Jambi tahun 2010, dari 3.205 jiwa orang Rimba yang tercatat, sebanyak 2.761 jiwa atau 86,15% menganut kepercayaan leluhur, kemudian sebanyak 333 jiwa (10,39%) menganut agama Kristen dan sebanyak 111 jiwa (3,46%) menganut agama Islam. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Orang Kubu berbahasa Melayu, apakah penduduk asli Jambi? Seperti yang disebut di atas, Orang Kubu dibedakan dengan etnik lainnya di wilayah Sumatra khususnya di wilayah Jambi. Lalu bagaimana sejarah Orang Kubu berbahasa Melayu, apakah penduduk asli Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 03 September 2022

Sejarah Jambi (15): Muara Sabak di Tanjung Jabung Timur di Kabupaten Pintu Gerbang Jambi Sungai Batanghari;Kapal Hang Tuah?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Seperti pada artikel sebelum ini, kabupaten Tanjung Jabung (kini terbagi Tanjung Jabung Timur ibu kota di Muara Sabak dan Tanjung Jabung Barat di Kuala Tungkal) adalah pintu gerbang provinsi Jambi di perairan Laut Jawa dan Laut Cina (Selatan). Meski Kuala Tungkal berada di pantai, namun yang menjadi pelabuhan utama provinsi Jambi di Muara Sabak (pelabuhan sungai di daratan di DAS Batanghari, jauh di belakang pantai, di hilir Kota Jambi). Satu hal yang menarik di wilayah Tanjung Jabung Timur ditemukan sisa zaman kuno yang ada yang menduga itu adalah kapal Hang Tuah. Benarkah?   


Muara Sabak adalah ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Awalnya Muara Sabak adalah sebuah kecamatan. Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah salah satu kabupaten yang berada dibagian paling timur provinsi Jambi. Kabupaten ini hasil dari pemekaran Kabupaten Tanjung Jabung (2000). berada di tepi pantai, dan berbatasan dengan provinsi Kepulauan Riau (kabupaten Lingga), dan juga provinsi Sumatra Selatan (kabupaten Banyuasin). daerah hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor. Wilayah perairan laut kabupaten ini merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan internasional. Wilayah kabupaten berada ketinggian 0-100 m dpll dimana kota-kota kecamatan dalam kabupaten berkisar antara 1–5 m dpl. Batas wilayah di utara Selat Berhala; di timur Laut Cina Selatan; di selatan Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Banyuasin; di barat Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi. Topografi daerah pada umumnya dataran rendah terdiri dari rawa/gambut dengan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut air laut. Berdasarkan hasil studi, semua elevasi di daerah rawa-rawa sepanjang Sungai Batanghari dinyatakan dalam acuan ketinggian yang sama. Tanah yang selalu dipengaruhi oleh air, yaitu tanah-tanah yang berumur muda dan tanah organik atau tanah gambut. Gambut sendiri terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan. Pada daerah cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya, Sementara itu potensi gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tersebar di Kecamatan Mendahara dan Kecamatan Dendang. Pada masa ini lahan sebagian besar tanaman yang ada adalah tanaman sawit. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Muara Sabak di Tanjung Jabung Timur, berada di hilir Kota Jambi daerah aliran sungai Batanghari? Seperti yang disebut di atas, Muara Sabak kini menjadi pelabuhan utama provinsi Jambi. Kota Muara Sabak juga menjadi ibu kota kabupaten Tanjung Jabung Timur. Lalu bagaimana sejarah Muara Sabak di Tanjung Jabung Timur, berada di hilir Kota Jambi daerah aliran sungai Batanghari? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jambi (14): Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Luar Batang Hari Jambi;Selengkuh Dayung Serentak Ketujuan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Nama Jambi kini menjadi nama provinsi di Sumatra: Provinsi Jambi. Suatu provinsi yang identik dengan daerah aliran sungai Batanghari. Suatu sungai berhulu di pegunungan Bukit Barat sebelah barat Sumatra, dan bermuara di pantai timur Sumatra (di Tanjung Jabung Timur). Satu kabupaten dengan menggunakan nama Tanjung Jabung (kabupaten Tanjung Jabung Barat) seakan terpencil sendiri. Wilayah kabupaten tidak berada di daerah aliran sungai Batanghari; ibu kota kabupaten di Kuala Tungkal seakan membelakangi Kota Jambi (ibu kota provinsi). Apakah karena itu motto kabupaten ‘Selengkuh Dayung Serentak Ketujuan’.


Kota Kuala Tungkal adalah kota letak pusat pemerintahan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Wilayah kota ini berada di dalam lingkup Kecamatan Tungkal Ilir. Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung. Batas Wilayah di utara Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau; di timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Selat Berhala; di selatan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi; di barat Kabupaten Tebo. Sejarah Indonesia bermula tahun 1946 pulau Sumatra di bagi menjadi 3 provinsi. Provinsi Sumatra Tengah, salah satu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Batanghari dan Sarolangun Bangko. Pada tahun 1957, Keresidenan Jambi menjadi Provinsi terdiri dari: Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Kerinci. Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu: Kabupaten Batanghari dengan Ibu kota Kenaliasam dan Kabupaten Tanjung Jabung dengan Ibu kotanya Kuala Tungkal. Kabupaten Tanjung Jabung terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal Ilir dan kecamatan Muara Sabak. Pada tahun 1999 pemekaran wilayah kabupaten menjadi dua wilayah yaitu: 1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebagai kabupaten induk dengan Ibu kota Kuala Tungkal dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai kabupaten hasil pemekaran dengan Ibu kota Muara Sabak. Wilayah kabupaten memiliki masyarakat yang heterogen. Suku Melayu, Banjar, Jawa, Bugis, Batak, Minangkabau, Melayu Palembang, Tionghoa, Melayu Kerinci dan berbagai etnis berbaur di kabupaten yang terkenal dengan julukan kota bersama ini. Kekayaan minyak bumi dan gas yang saat ini dikelola oleh perusahaan asing juga merupakan kekayaan asli dari daerah ini. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Kuala Tungkal di Tanjung Jabung Barat, kabupaten berada di luar daerah aaliran sungai Batanghari di Jambi? Seperti yang disebut di atas, Kuala Tungkal seakan berada membelakangi Jambi. Ibu kota kabupaten Tanjung Jabung Barat yang berada di luar daerah aliran sungai Batanghari. Lalu bagaimana sejarah Kuala Tungkal di Tanjung Jabung Barat, kabupaten berada di luar daerah aaliran sungai Batanghari di Jambi? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 02 September 2022

Sejarah Jambi (13): Pegunungan 30, Sisa Zaman Kuno dan Penduduk Asli; Taman Nasional Orang Utan Harimau Gajah Badak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Salah satu penanda zaman kuno di pantai timur Sumatra, khususnya di wilayah provinsi Jambi yang sekarang adalah Pegunungan 30 (Bukit Tigapuluh). Sejumlah pulau-pulau sebelum terbentuk dataran rendah Jambi yang mana salah satu pulau tersebut kini dikenal Pegunungan 30. Tentu saja saat itu bukan habitat hewan besar Sumatra (yang berbeda dengan masa ini). Wilayah Pegunungan 30 adalah sisa Zaman Kuno yang kini ditetapkan menjadi Taman Nasional yang sesui ecositem flora danm fauna khususnya hewan besar Sumatra.


Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (juga disebut Bukit Tigapuluh) adalah taman nasional yang terletak di Sumatra, Indonesia. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh terletak pada lintas provinsi dan kabupaten, yaitu di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir di provinsi Riau, dan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat di provinsi Jambi. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ditetapkan sebagai kawasan taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 539/KPTS-II/1995. Taman ini memiliki luas kira-kira 143.143 hektare dan secara ekologi, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan kawasan yang memiliki tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah, sehingga mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan hampir seluruh spesies flora dan fauna di Pulau Sumatera, terdapat di kawasan taman nasional ini. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan tempat terakhir bagi spesies terancam seperti orang utan sumatra, harimau sumatra, gajah sumatra, badak sumatra, tapir asia, beruang madu dan berbagai spesies burung yang terancam. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh juga merupakan tempat tinggal bagi Orang Rimba dan Orang Talang Mamak.(Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah pegunungan 30 sisa zaman kuno dan penduduk asli Sumatra? Seperti yang disebut di atas, wilayah Pegunungan 30 atau Bukit 30 kini dijadikan sebagai Taman Nasional yang sangat berguna untuk habitat orang utan, harimau, gajah, badak dan tapir. Tman nasional juga menjadi ekologi bagi penduduk asli. Lalu bagaimana sejarah Pegunungan 30 sisa zaman kuno dan penduduk asli Sumatra? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.