Sabtu, 31 Maret 2018

Sejarah Semarang (22): Teka-Teki Sungai Semarang, Warga Menjadi Gagal Paham; Havenkanaal, Kanal Barat, Lawang Sewu

* Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini

Area yang menjadi Kota (lama) Semarang di masa lampau adalah pertemuan luapan air bah (air banjir) dan luapan air pasang (rob). Pada era Pemerintahan Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) mulai dirintis kanal-kanal agar persaingan antar banjir dan rob dapat dikendalikan seperti halnya di Amsterdam. Namun ternyata itu tidak mudah. Akhirnya Kota Semarang gagal menjadi replika Kota Amsterdam.

Sungai Semarang (1880)
Sungai Semarang adalah situs paling kuno di Semarang. Sungai ini sejatinya pada masa ini berada di tengah-tengah Kota Semarang. Namun karena adanya upaya kanalisasi, situs sungai Semarang yang asli malah menjadi hilang bentuk. Situs baru yang terbentuk adalah pelabuhan kanal Havenkanaal dan Banjir Kanal Barat. Situs sungai Semarang lambat laun hilang tak berkesan. Popularitas Havenkanaal dan Banjir Kanal telah menenggelamkan riwayat sungai Semarang sendiri.

Bagaimana sungai Semarang menghilang jarang terinformasikan. Padahal situs sungai Semarang justru sangat banyak menyimpan artefak-artefak kuno. Hal ini karena di sungai inilah pada masa lampau terjadi lalu lintas perdagangan yang intens antara penduduk asli di pedalaman (Jawa) dan para pedagang-pedagang Melayu, Tionghoa, Arab dan lainnya. Oleh karena itu, ada baiknya sejarah situs sungai Semarang perlu dihidupkan kembali agar warga Kota Semarang tidak gagal memahami kota yang indah ini. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sungai Semarang dan Sungai Tjiliwong

Sungai Semarang adalah sungai yang secara alamiah telah terbentuk sejak jaman kuno. Sebagaimana sungai-sungai alamiah (bentukan alam) wujudnyaberbelok-belok mengikuti hukum alam: air menurun ke tempat yang lebih rendah dan air mengalir sampai jauh. Gambaran ini dalam peta di atas, sungai Semarang tampak sebelah barat. Sedangkan yang tampak sebelah timur adalah Havenkanaal yang wujudnya berbentuk lurus menuju pantai. Havenkanaal adalah suatu kanal yang dibuat untuk menghubungkan sungai Semarang dengan pelabuhan baru di pantai. Pelabuhan-(pelabuhan) lama berada di sepanjang sungai Semarang mulai dari pintai hingga ke titik dimana sungai Semarang disodet (menjadi Havenkanaal). Sejak adanya Havenkanaal ini sungai Semarang di hilir secara perlahan namanya menghilang. Pada masa ini, Havenkanaal dianggap sungai Semarang, padahal sungai Semarang sudah lama hilang dari sistem navigasi (sistem navigasi yang muncul adalah Havenkanaal).

Sungai Semarang, Kanal Barat dan Havenkanaal (1880)
Tidak hanya warga Semarang pada masa ini yang gagal paham sungai Semarang, juga warga Jakarta pada masa ini juga gagal paham tentang sungai Ciliwung. Pada era VOC, sungai Tjiliwong disodet di sekitar Masjid Istiqlal yang sekarang dengan membentuk kanal ke arah barat hingga ke Harmoni dan berbelok ke utara (melalui jalan Hayamwuruk/Gajah Mada masa ini). Lalu pada fase berikutnya, masih di era VOC, sungai Tjiliwong disodet lagi (di tempat sodetan pertama) ke arah timur melalui kanal pasar Baru dan berbelok ke utara ke Antjol. Lambat laun debit air sungai Tjiliwong dari tempat sodetan mengecil (banjir di Batavia atau di sekitar Sawah Besar berkurang). Namun dalam perkembangannya, sodetan sungai Tjiliwong (kanal) ke arah timur/utara di Antjol menimbulkan banjir baru sehubungan dengan pemindahan pelabuhan dari Kali Besar ke Antjol dan kemudian dipindahkan lagi ke Tandjong Priok). Untuk mengatasinya, kanal yang menuju Antjol disodet dan membuat kanal baru menuju sungai Tjiliwong di Mangga Doea. Lalu, sungai Tjiliwong antara tempat sodetan utama di sekitar Masjid Istiqlal/stasion Juanda yang sekarang dan Mangga Doea ditutup (untuk selamanya). Warga Jakarta masa kini melihat sungai Tjiliwong seakan melihat sungai dari Istiqlal/Juanda melalui Pasar Baru dan Jalan Gunung Sahari lalu ke Mangga Dua. Padahal sungai Tjiliwong adalah antara Istiqlal/Juanda melalui Sawah Besar menuju Mangga Dua. Pada saat pembangunan kereta api (1860an) di atas sungai Tjiliwong yang dimandulkan itu dibuat rel kereta api (rel antara stasion Juanda dan stasion Mangga Dua melalui stasion Sawah Besar), Intinya, sebelum warga Semarang gagal paham, sudah lebih dahulu warga Jakarta gagal paham. Hal yang mirip juga terjadi bagi warga Surabaya. Sungai Soerabaja telah diluruskan dengan membentuk kanal Kalimaas. Kalimas ini dianggap warga Surabaya sebagai sungai Soerabaja yang asli. Padahal bentuk asli sungai Soerabaja tersamar menjadi kanal Kalimas.    

Sungai Semarang, Rawayatmu Dulu; Havenkanaal, Rawayatmu Kini

Sungai Semarang yang asli pada masa ini sejatinya masih berwujud tetapi sangat kecil. Namun nama sungai Semarang bukan menunjukkan sungai yang asli tetapi merujuk pada Havenkanaal. Sungai Semarang ini dulunya sangat lebar dapat dilalui perahu-perahu besar, tapi kini sungai selain menyempit, juga tampak dangkal dan airnya terkesan kotor (akibat pembuangan limbah rumahtangga dan limbah industri).

Havenkanaal Semarang, 1880
Ini beberda dengan sungai Ciliwung di Jakarta sudah ditutup sama sekali (di atasnya rel kereta api). Sedangkan di Surabaya, sungai Soerabaja yang merujuk pada kanal Kalimas tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar.   

Setali tiga uaang, Havenkanaal yang kini (juga) disebut Sungai Semarang juga airnya terkesan kotor. Jika banjir muncul (banjir kiriman dan banjir rob), air kotor di sungai Semarang (eks Havenkanaal) terangkat yang dapat menjadi sumber penyakit.

Sungai Semarang dan Gedung Lawang Sewu

Lantas apa hubungan sungai Semarang dengan pembangunan gedung pusat kereta api tempo doeloe (Hoofdkantoor van de Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij). Gedung ini kini lebih dikenal sebagai Lawang Sewoe. Satu hal, bahwa di bagian bawah Lawang Sewoe terdapat genangan air. Mengapa?

Gedung Lawang Sewoe, 1907
Gedung Hoofdkantoor van de Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij alias Gedung Lawang Sewu dibangun pada tahun 1904 dan selesai tahun 1907. Gedung ini adalah salah satu maha karya Belanda di Hindia Belanda yang dibangun di Kota Semaramg.

Pada saat pembangunan gedung Lawang Sewoe ini, kondisi sungai Semarang masih bersifat alamiah, besar dan airnya masih bersih. Ada kalanya sungai meluap di waktu banjir. Tinggi permukaan air tanah di lokasi dimana gedung akan dibangun cukup tinggi, sementara gedung yang akan dibangun sangat besar. Akibatnya, konstruksi gedung yang akan dibangun harus mempertimbangkan rembesan air sungai Semarang pada struktur pondasi gedung dengan menyediakan ruang (space) kosong dan saluran pembuangan.

Sketsa 1904 (merah-rel kereta api; hitam=sungai Semarang)
Struktur pondasi gedung dibuat pada titik terendah permukaan air tanah di musim kemarau. Lalu kemudian di atasnya dibangun lantai dasar gedung yang berada di atas permukaan air tertinggi pada saat musim hujan (jika terjadi banjir besar). Oleh karenanya antara struktur pondasi dengan lantai pertama gedung seakan-akan terdapat ruang kosong yang kerap terisi (rembesan) air tanah. Untuk mengurangi tinggi air di ruang kosong ini dibuat saluran besar (semacam kanal kecil) menuju sungai Semarang.

Ruang kosong di bawah gedung Lawang Sewu yang berisi air dan saluran pembuangan (kanal kecil) pada masa ini diinterpretasi bermacam-macam. Padahal secara teknis dua hal itu dibuat di masa lampau untuk adaptasi terhadap perilaku (banjir) sungai Semaranng dengan keberadaan gedung mega proyek tersebut. Pembangunan kanal barat sendiri tidak menyelesaikan semua persoalan di dalam Kota Seamarang termasuk rencana konstruksi gedung Lawang Sewu. Konstruksi gedung Lawang Sewu jika dilihat dari dalam tanah seakan mengikuti pola pembangunan rumah panggung di pinggir pantai..

Persoalan banjir di sungai Semarang sudah pernah ditangani dengan pembangunan kanal di hulu sungai Semaramg yang disebut Badjir Kanal (bandjirkanaal). Kanal besar ini mulai beroperasi pada tanggal 23 Januari 1879 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-03-1885). Kanal barat bersamaan dibangun dengan bendungan Simongan,

Kanal barat hanya menyelesaikan sebagian persoalan banjir di hilir. Dalam pembangunan konstruksi gedung Lawang Sewu, rembesan air di area gedung Lawang Sewu hanya mengatasi sebagian permasalahan. Sebagian yang lain sesungguhnya juga akibat tekanan air laut di bawah permukaan tanah pada musim kemarau. Persoalan banjir di Semarang tidak hanya kontribusi air dari pegunungan tetapi juga air dari lautan. Pembangunan konstruksi pondasi gedung Lawang Sewu adalah cara adaptasi pembangunan gedung ala Semarang di masa lampau.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar