Sabtu, 31 Agustus 2019

Sejarah Kota Palembang (4): Belanda Absen 30 Tahun dalam Penemuan Sriwijaya 1920; Konsentrasi di Jawa dan Abai di Tapanuli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini Klik Disini

Baru-baru ini budayawan Ridwan Saidi membuat penyataan yang kontroversi: ‘Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif’. Ridwan Saidi bersikukuh kesimpulan itu berdasarkan analisis yang dilakukannya bertahun-tahun. Tentu saja banyak yang terperanjat, sebab penemuan kerajaan Sriwijaya sudah paten bahkan sejak era Pemerintahan Hindia Belanda. Budayawan Vebri Lintani akan melaporkan Ridwan Saidi. Vebri Lintani membantah keras pernyataan Ridwan Saidi, Vebri Lintani meminta Ridwan membuktikan pernyataannya.

Petunjuk S Beal (1887) dan candi Padang Lawas (1920)
Banyak kerajaan-kerajaan kuno di nusanatra (baca: Indonesia).  Namun tidak semua terdefinisi dan terdata dengan baik. Yang datanya sudah banyak ditemukan dan telah dianalisis dengan baik paling tidak ada dua buah: Sriwijaya dan Majapahit. Keberadaan kerajaan Purnawarman yang data awalnya terdapat dalam prasasti Tugu agak kurang mendapat perhatian, seakan mengalami jalan buntu. Peninggalan-peninggalan kuno berupa artefak, candi atau bangunan dan infrastruktur lainnya masih banyak yang terabaikan. Sejumlah candi di Jawa dan Sumatra telah dipelihara dengan baik (dipugar) seperti Borobudur, Prambanan, Muara Takus dan Padang Lawas, tetapi tidak sedikit bekas candi yang tersungkur di tanah atau terbenam di dalam tanah. Semua itu adalah tanda-tanda kejayaan Indonesia (baca: nusantara) di masa lampau. Seorang pemerhati peradaban Belanda pernah mengatakan: kita orang Belanda hanya Eropa sentris yang hanya melihat kejayaan Venesia, padahal di depan mata kita disini (Hindia Belanda) ada peradaban yang sejajar dengan Venesia.    
.
Apakah Ridwan Saidi dan Vebri Lintani memiliki kapasitas untuk urusan teliti meneliti? Artikel ini tidak dalam konteks itu. Akan tetapi lebih pada seluk beluk penemuan awal situs-situs kuno tersebut oleh para pemerhati dan peneliti. Penemuan awal ini kemudian kita ketahui menjadi jalan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mendalami, mendefinisikan, menganalisis dan tentu saja merekonstruksi kembali situs-situs tersebut.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Petunjuk Samuel Biel: Kerajaan Besar Berlokasi di Moesi

Hingga tahun 1920 tidak ada sedikit pun tercetus nama Sriwijaya. Memori kolektif warga Palembang kosong soal adanya Sriwijaya. Pendapat umum di Hindia Belanda, soal kekaisaran di nusantara selalu menganggap Sumatra berada di belakang Jawa. Penemuan candi Borobudur oleh Raffles tahun 1814 telah menghipnotis orang-orang Belanda bahwa peradaban dan kekaisan agung di jaman kuno hanya ada di Jawa: Madjapahit.

Penemuan candi di Padang Lawas, Tapanoeli tahun 1843 juga tidak digubris. Padahal yang menemukan dan melaporkan pertama kali adalah seorang geolog terkenal Jung Huhn. Meski, lukisan candi Padang Lawas sudah dipublikasikan oleh pelukis terkenal Rosenberg (1857) tetap tidak mendapat perhatian. Konsentrasi orang-orang Belanda hanya tertuju di Jawa (khususnya Borobudur dan Prambanan).

Seorang peneliti Inggris, S. Beal menemukan arah suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang berada. S. Beal adalah Sinoolog yang telah lama melakukan riset di Tiongkok. Kegundahan S. Beal memberanikan diri untuk menyurati lembaga ilmu pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) di Batavia pada tahun 1887. Dalam suratnya, Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang. Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.

Wakil Presiden van den Raad van Indie yang juga anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP Groenevelt menjawab surat dan dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan menganggap hipotesis Beal tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu pengetahuan tertinggi di Batavia tersebut tidak memiliki alasan untuk mengabulkan permintaannya.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannnya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Buddha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie (tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar di Banka dan karena itu mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’.

Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja.  Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.

Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920 - 25 Mei 1921), bukanlah seorang peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media menyindiri mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.

Surat S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan penemuannya (1920).

Uniknya, setelah penemuan Mr LC Westenenk, peneliti-peneliti Belanda tidak hanya memulai langkah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut temuan awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung Huhn tahun 1843 tentang keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan dibicarakan serius. Area percandian di Padang Lawas sangat luas yang berpusat di (kampong) Binanga (pertemuan sungau Batang Pane dengan sungai Baroemoen) dan kampong Pertibie (sungai Batang Pane). Nama-nama Binanga (Minanga); Pane (Panai), Baroemoen (aroe=sungai) dan Pertibie (Pritivi=dunia) diduga kuat berasal dari India.

Langkah inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah  seorang arkeolog bernama FM Schnitger.

Puluhan titik lokasi candi di Padang Lawas
Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).

Simangambat, Pertibi dan Binanga (Peta 1919)
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.

Pada tahun 1935, Schnitger seorang arkeolog melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14.

Candi Simangambat
Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe (dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935). Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’. Candi Simangambat

Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.

Isi laporan Schnitger, 1935: Simangambat abad ke-8
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).

Para Ahli Sriwijaya

Samuel Beal adalah orang pertama yang dapat dimasukkan pada jajaran para peneliti Sriwijaya. Samuel Beal adalah orang pertama yang meyakini, meski belum menyebut Sriwijaya, ada suatu kerajaan besar yang (pernah) beribukota di Palembang. Keyakinan itu diteruskannya dengan mengirim surat ke lembaga ilmu pengetahuai Hindia Belanda di Batavia tahun 1887.

Samuel Beal bukanlah orang sembarangan. Samuel Beal adalah seorang sarjana Inggris yang kompeten. Samuel Beal lahir di Devonport, Devon, Britania pada tanggal 27 November 1825. Samuel Beal memperoleh gelar sarjana dari Trinity College, Cambridge pada tahun 1847. Sebelum menjadi kapten kapal laut Inggris, Samuel Beal adalah pejabat perguruan tinggi. Setelah bertugas di China dan pensiun dari angkatan laut Inggris tahun 1877, Samuel Beal kemudian diangkat sebagai Professor of Chinese di University College, London. Samuel Beal pernah menjadi rektor di Falstone, Northumberland 1877–80 dan rektor di Wark, Northumberland sejak 1880. Saat menjadi rektor inilah Samuel Beal mengirim surat tentang kerajaan besar (Sriwijaya) ke lembaga ilmu pengetahuan di Batavia tahun 1887. Dua tahun sebelum menulis surat ke Batavia ini tahun 1885i, Samuel Beal telah mendapat penghargaan DCL (Durham) sebagai pengakuan terhadap hasil penelitiannya tentang Chinese Buddhism. Samueal Beal seorang yang memiliki reputasi dan telah menghasilkan banyak karya terutama terkait dengan Chinese Buddhists di India dari abad kelima hingga abad ketujuh. Bukunya tentang Buddhism telah menjadi buku referensi para ahli. Samuel Beal meninggal pada tanggal 20 August 1889 di Greens Norton, Northamptonshire, Britania.

Orang kedua yang dapat dimasukkan sebagai peneliti sejarah Sriwijaya adalah Mr LC Westenenk, sebab dialah yang kali pertama menemukan bukti-bukti awal tentang keberadaan sejarah Sriwijaya. Louis Constant Westenenk adalah seorang sarjana Indologi, lulusan Delf. Sebagai sarjana Indologi yang menjadi pejabat Hindia Belanda, tentu saja dia telah memhami metologi riset dan sangat tertarik tentang sejarah awal Hindia Belanda lebih-lebih dirinya adalah putra daerah (Hindia Belanda) kelahiran Semarang. Setelah penemuan awalnya tahunn 1920 tentang bukti Sriwijaya di Palembang, Mr LC Westenenk pada tahun 1922 telah menerbitkan laporan tentang aksara Rencong (Kerinci).

Mr LC Westenenk memiliki keberanian dan banyak kepandaian. Mr LC Westenenk menguasai sejumlah bahasa nusantara diantara bahasa Kerinci dan bahasa Minangkabau. Mr LC Westenenk diduga memhami bahasa Armenia (masih masuk wilayah Turki) karena pernah menjadi perwakilan Belanda di Armenia sebelum menjadi Residen di Palembang. Mr LC Westenenk, selain karya aksara Rencong  juga menghasilkan sejumlah karya lainnya.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar