Senin, 29 Juni 2020

Sejarah Lombok (23): Narmada, Salah Satu dari Tujuh Tempat Peristirahatan Radja Bali Selaparang; Kini Dikenal Taman Narmada


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Narmada, tempo doeloe adalah salah satu dari tujuh tempat peristirahatan radja Bali Selaparang di Mataram, Lombok. Tempat peristirahatan tersebut kini lebih dikenal sebagai Taman Narmada. Tempat ini bukan tempat tua, tetapi tempat yang dibangun baru. Tempat peristirahatan yang dianggap paling tua adalah Goenoeng Sari (di sebelah utara kota Mataram). Goenoe Sari bahkan lebih tua dari tempat peristirahatan di Tjakranegara.

Peta 1894
Nama Narmada kini ditabalkan sebagai nama kecamatan di kabupaten Lombok Barat. Sementara Taman Narmada pada masa ini berada di desa Lebuak, kecamatan Narmada. Letaknya tidak jauh di sisi kanan jalan trans-Lombok antara Ampenan (Mataram) dan Laboehan Hadji (Selong), sekitar 10 Km dari Kota Mataram. Di dalam taman ini masih dapat diidentifikasi gerbang utama, dua telaga, beberapa balai yang salah satu diantaranya tempat peristirahatan raja dan pura. Pura Narmada bentuknya mirip punden berundak dan pada undak tertinggi dianggap paling suci. Di bagian lembah yang terendah terdapat  terdapat telaga. Sumber air di taman ini tempo doeloe berasal dari tiga sungai yang berhulu di gunung Rindjani. Di taman ini juga tempo doeloe terdapat taman.

Bagaimana taman Narmada terbentuk tempo doeloe? Yang jelas awalnya dibangun sebagai tempat peristirahatan. Lalu secara bertahap wilayah sekitar dikembangkan untuk tujuan tertantu, seperti pura, kebun buah-buahan dan sebagainya. Sebagai situs tua dan masih eksis hingga ini hari, tentu saja tetap menarik untuk diketahuai sejarahnya. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Taaman Narmada, desa Lebuak, kecamatan Narmada (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Narmada di Lombok

Kapan nama Narmada muncul? Tidak diketahui secara pasti. Yang jelas dalam laporan Heinrich Zollinger (1847) tidak pernah mengidentifikasi nama Narmada. Bahkan nama Tjakranegara tidak ditemukan dalam laporan. Heinrich Zollinger hanya menyebut nama-nama ke arah timur dari Mataram seperti Karang Assam, Pagassangan, Pagoetan, Pringa Rata dan Batoe Kliang. Ke arah utara Heinrich Zollinger menyebut nama Goenoeng Rata (4 pal dari Mataram).

Berdasarkan laporan Heinrich Zollinger (1847) Goenoeng Rata berada di kaki gunung, suatu taman yang cukup besar yang di dalamnya terdapat rumah kecil untuk peristirahatan, kamp rusa, kebun indah yang berisi pohon buah-buahan. Di perbukitan ada perhutanan yang dibuat. Menurut Heinrich Zollinger, raja memiliki beberapa kebun jambu di Goenoeng Rata.

Goenoeng Rata adalah salah satu tempat peristirahatan pangeran (radja) Bali Selaparang yang tertua. Radja Bali Selaparang yang beribukota di Mataram baru menjadi raja tunggal di (pulau) Lombok tahun 1838 setelah menaklukkan Raja dan menghancurkan kerajaan Karangasem Lombok. Dalam laporan Heinrich Zollinger (1847) nama Karangasem masih eksis, meski kraton kerajaan Karangasem sudah terbakar dan rata dengan tanah. Naa Goenoeng Rata kemudian disebut Goenoeng Sari.

Rumah di Narmada, Jabalpur, India, 1860
Pada dekade itu nama Narmada hanya ditemukan di India, suatu sungai di India sebelah barat dekat Gujarat, yang sangat dihormati. Nama Narmada tidak ditemukan di Hindia Belanda apakah di pulau Jawa atau pulau-pulau lainnya. Nama Narmada di Lombok baru muncul kemudian.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Situasi dan Kondisi di Lombok

Menurut perhituangan Heinrich Zollinger (1847) di pulau Lombok terdapat empat orang Eropa, satu orang Indo dan sebanyak 10 atau 12 orang Cina.  Penduduk asli terdiri dari 5.000 orang Bugis, 20.000 orang Bali dan sebanyak 380.000 orang Sassak. Seorang Eropa tinggal di Pidjoe, sisanya di Ampenan. Secara keseluruhan populasi dibagi ke berbagai bagian pulau sebagai berikut: di wilayah utara pegunungan sebanyak 40.000 jiwa; di pegunungan di sekitar selatan sebanyak 10.000. Untuk wilayah dataran di bagian barat sebanyak 220.000 dan di bagian timur sebanyak 135.000.

Menurut Heinrich Zollinger bahwa seluruh orang Bali tinggal di Mataram dan daerah sekitarnya, seperti di Ampanan, Karang Assem, dan lainnya. Orang Bali sangat hati-hati, tidak menyebar terlalu jauh di pulau ini, hal ini karena jika terjadi serangan mereka akan berdekatan satu sama lain untuk dapat mempertahankan persatuan.

Gambaran di atas mengindikasikan bahwa orang Bali di Lombok hanyalah sebagian kecil dari populasi di Lombok. Jika seluruh orang Bali berada di bagian barat, populasi orang Bali juga masih minoritas (20.000 versus 135.000). Populasi orang Bali ke arah timur hanya sampai di Karangasem (suatu eks kerajaan yang telah dikalahkan oleh Mataram pada tahun 1838). Lantas muncul pertanyaan kapan tempat peristirahatan Narmada dibangun, sementara Tjakranegara belum ada. Dalam hal ini, ketika Heinrich Zollinger berada di Lombok pada tahun 1847, nama Tjakranegara dan Narmada belum ada.

Sejak kehadiran GP King di Lombok dan pasca perang saudara antara Mataram dan Karangasem pada tahun 1838 hingga kedatangan Heinrich Zollinger (1847) pangeran (Radja) Mataram telah menjadi kaya raya. Harta kekayaan pangeran Mataram yang berasal dari warisan sang ayah (raja yang tewas dalam pertempuran 1838) juga telah memiliki harta pampasan perang dari radja Karangasem yang dikalahkan. Kerjasama antara pangeran Mataram dengan GP King dala hal perdagangan (di Ampenan) serta pajak-pajak dari penduduk Sasak telah menjadikan pangeran menjadi raja tunggal adikuasa di Lombok.

Radja Bali Selaparang (yang naik tahta pada tahun 1828) sangat hati-hati kepada orang asing terutama orang-orang yang terkait dengan Pemerintah Hindia Belanda. Selain hati-hati, radja juga terkesan menyebunyikan sesuatu. Hal ini terindikasi ketika Heinrich Zollinger menanyakan kepada radja untuk menyalin semua teks hukum (perundangan-undang) yang diberlakukan di seluruh Lombok, radja tampaknya menolak secara halus: ‘tanpa Anda minta, saya akan berikan, bahkan kepada Gubernur Jenderal, tetapi Anda harus memahami disini semuanya berjalan baik dan keadilan’. Heinrich Zollinger melongo, karena fakta, temuannya di lapangan tidak demikian. Heinrich Zollinger juga mulai paham dan mulai membatasi pertanyaan-pertanyaan baik kepada para pangeran maupun kepada GP King tentang perihal yang sensitif.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tempat Peristirahatan Narmada

Heinrich Zollinger tentu saja telah melaporkan hasil ekspedisinya ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia dan publik juga dapat menyimak sebagian dari laporannya di majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847. Perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Radja Bali Selaparang pada bulan Juni 1846 sedang diuji.

Dalam laporan Heinrich Zollinger ada indikasi begitu banyak senjata dan yang tampak kasat mata jumlah meriam di seputar kota Mataram lebih dari pada jumlah yang dibutuhkan kerajaan untuk mempertahankan diri. Senjata-senjata itu menurut Heinrich Zollinger mengalir dari Singapoera.

Pemerintah Hindia Belanda lambat laun mulai gerah dengan situasi dan kondisi yang berkembang di pedalaman Lombok (lingkungan kerajaan dan wilayah penduduk Sasak). Beberapa laporan mengindikasikan bahwa kerajaan Bali Selaparang (Mataram) telah mengingkari perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Bali Selaparang pada tahun 1846.

Dalam perjanjian tersebut yang dilanggar adalah soal menjaga perdamaian di (pedalaman) Lombok dan perihal pelanggaran impor senjata dari luar (Inggris di Singapoera). Tentu saja tidak hanya itu, tetapi soal kemanusian. Dalam berbagai pemberitaan muncul pernyataan yang mana pasukan Sasak yang memberontak ketika sudah menyerah dan meletakkan senjata, bukannya ditangkap dan diadili dan dihukum, tetapi ditembak hingga mati. Dengan kata lain perang telah bergeser ke tindakan pembunuhan.

Pada tahun 1888 beberapa perwira kapal perang menemui radja di Lombok, namun tidak di Mataram dan juga tidak di Tjakranegara, tetapi di suatu tempat yang lebih jauh di Narmada, taman kesenangan sang pangeran yang diterima dengan sangat baik dan diterima oleh pangeran sendiri (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-02-1888). Saat inilah orang asing mengetahui kali pertama nama Narmada.

Tjakranegara (Peta 1895)
Mengapa penerimaan orang asing (yang dalam hal ini boleh dikatakan sebagai utusan Pemerintah Hindia Belanda) dilakukan oleh pangeran jauh di Narmada? Sulit dipahami. Yang jelas, radja Bali Selaparang yang sudah mulai menua kurang banyak terlibat untuk urusan dalam negeri maupun luas negeri tingggal di puri yang baru di Tjakranegara. Sementara pangeran yang lebih banyak mewakili sang ayah, menerima tamu di Narmada. Tampaknya (kota) Tjakranegara telah menjadi pusat persenjataan Bali Selaparang. Pengamatan Heinrich Zollinger pada tahun 1847 tentang persenjataan di Mataram, kini hanya sekadar biasa-biasa saja. Seperti kita lihat nanti, Tjakranegara telah dirancang lebih kuat dari Mataram dan Tjakranegara telah memiliki persenjataan yang lengkap dan lebih baik. Boleh jadi inilah alasan mengapa tamu negara diterima jauh di pedalaman di Narmada. Narmada (Peta 1899). Nama yang doeloe dikenal Karangasem (Zollinger, 1847) kini disebut Tjakranegara. Desain tata kota Mataram kurang lebih sama dengan Tjakranegara. Di Tjakranegara disebut ada pasar.

Pada awal bulan Juni 1894 muncul pemberitaan tentang persiapan ekspedisi militer ke Lombok. Persiapan tersebut dari hari ke hari semakin matang. Jumlah personil yang akan diberangkatkan sangat banyak di bawah komandan setingkat Generaal Majoor. Tentu saja pasukan ekspedisi diperhitungkan dengan kekuatan yang terdapat di Lombok. Intelijen sudah barang tentu telah bekerja bertahun-tahun.

Narmada (Peta 1899)
Dalam suatu pemberitaan surat kabar yang terbit di Makasar yakni Makassaarsch handelsblad, edisi 21-06-1894 terungkap bahwa para pangeran lebih suka berdiam berlama-lama dari pada di Mataram di antara salah satu dari tujuh tempat peristirahatan yang berada tidak jauh dari Mataram yakni di Narmada, Lingsar, Goenoeng Sari, Bogawati, Andana, Pringgarata dan Tjakranegara. Disebutkan bahwa sepanjang jalan dari Mataram ke Tjakranegara terdapat 47 buah artileri. Narmada (Peta 1899).

Mengapa Makassar begitu memahami situasi dan kondisi di pedalaman Lombok daripada Boeleleng (Residentie Bali en Lombok). Hal ini dapat dihubungkan dengan kahadiran pasukan Sumbawa yang sebelumnya turut membantu penduduk Sasak dalam perang melawan kerajaan Bali Selaparang. Residen di Makassar telah meminta Radja Soembawa untuk menarik pasukkannya di Lombok dan menghalangi keterlibatan di Lombok. Boleh jadi dari pasukan-pasukan Sumbawa inilah residen di Makassar mendapat berbagai keterangan tentang soal apa pun di Lombok. Tentu saja masukan Residen di Makassar yang secara ruang keraja terhubung dengan raja-raja di pulau Soembawa turut memberikan masukan ke Batavia untuk bahan pertimbangan bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum memutuskan untuk pengeriman ekspedisi militer ke Lombok.

Dalam hal ini orang asing lebih kerap menyebut nama Karangasem daripada Tjakranegara. Nama Tjakranegara kali pertama diketahui publik pada tahun 1892 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-01-1892). Disebutkan dua tempat yang dipersenjatai Mataram dan Tjakranegara. Tampaknya nama Tjakranegara kurang dikenal orang asing kecuali Karangasem. Karangasem pada tahun 1847 sebagaimana dilaporkan Zollinger belum dibangun (dan masih terlihat reruntuhan sejak 1838). Kota Karangasem diduga dibangun antara tahun 1847 dan 1888,

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar