Senin, 08 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (221): Pahlawan Nasional Wanita; Martha C Tiahahu Asal P. Nusa Laut, Cut Nyak Dien Asal Aceh Barat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada sebanyak 17 orang Pahlawan Naisonal wanita Indonesia. Ada yang yang sudah berumur dan ada yang masih belia. Ada yang berasal dari zaman lampau dan ada yang muncul pada era perang kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan senjata, ada yang berjuang lewat pendidikan dan pengembangan masyarakat. Empat Pahlawan Nasional dari wilayah berbeda antara lain adalah Martha Christina Tiahahu (Saparua, Maluku), Cut Nyak Dien (Aceh, Sumatra) Raden Ajeng  Kartini (Jepara, Jawa) dan Maria Walanda Maramis (Minahasas, Sulawesi), Empat Pahlawan Nasional ini dibuat dalam dua artikel.

Banyak tokoh perempuan Indonesia yang berasal dari masa lampau hingga masa ini. Mereka berjuang di berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Hingga sejauh ini baru sebanyak 17 orang yang ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Martha Christina Tiahahu dari Nusa Laut, Maluku dan Cut Nyak Dien dari Atjeh disebut pahlawan wanita cerdas di jamannya. Selanjutnya tokoh perempuan Indonesia yang memiliki pendidikan Eropa terawal adalah Alimatoe’Sadiah di Padang dan kemudian disusul RA Kartini di Jepara. Diantara para tokoh perempuan yang berpendidikan ini terdapat sejumlah orang yang mencapai pendidikan tinggi. Salah satu yang mencapai pendidikan tinggi meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Belanda, Ida Loemongga Nasution tahun 1930. Ida Loemongga Nasution, putri Alimatoe’Sadiah, adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar akademik tertinggi (doktor) di Indonesia.

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional wanita Indonesia? Seperti disebut di atas, terdapat sebanyak 17 orang yang sudah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Dalam hal ini akan diperhatikan empat diantara Pahlawan Nasional yang mewakili pulau yang berbeda yakni Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Raden Ajeng  Kartini dan Maria Walanda Maramis yang dideskripsikan dalam dua artikel. Lalu bagaimana sejarah Martha Christina Tiahahu asal Nusa Laut, Maluku dan Cut Nyak Dien dari sungai Woyla, Aceh di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional Wanita Asal Pulau Nusa Laut, Maluku: Martha Christina Tiahahu (Bersama Sang Ayah dan Kapiten Pattimura)

Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional Indonesia termuda (usia 17 tahun), salah satu Pahlawan Nasional wanita. Martha Christina Tiahahu lahir 4 Januari 1800 di Abubu, Nusa Laut (meninggal 2 Januari 1818 di Laut Banda). Martha Christina Tiahahu berjuang bersama sang ayah, yang satu era dengan Kapiten Pattimura dari Saparua (juga telah ditabalkan Pahlawan Nasional). Martha Christina Tiahahu ditabalkan Pahlawan Nasional tanggal 20 Mei 1969.

Pulau Nusa Laut, pulau Saparua dan pulau Haruku sudah dikenal sejak era Majapahit (lihat teks Negarakertagama 1385). Di pulau-pulau yang berdekatan di sebelah timur Amboina terjadi perlawanan penduduk terhadap kehadiran orang-orang Belanda (untuk menggantikan orang-orang Inggris).. Perlawanan penduduk ini diberitakan pada tahun 1817 (lihat  's Gravenhaagsche courant. 10-12-1817). Disebutkan Kolonel Sloterdyk (menggantikan Kolonel Dietz) di pulau Honima, Haroekoe dan Saparoea menjadi komandan skuadron dengan kapal de Evertts, kapal de Nassau, fregat Maria Reigersberg dan corvet Iris dengan kekuatan 300 orang yang mana 50 pasukan dari kaspal Nassau dipimpin letnan Scheidius, Ryk dan Lish de Jeuda dan kadet Anemaet dan 75 pasukan dari de Everts dipimpina letnan Munter dan de Jong serta 50 orang Eropa dan 100 orang Jawa yang dipimpin chef majoor artileri Beetjes, kapten Staalman dan letnan dua Verbrugge pada tanggal 21 Mei pukul 9 pagi bergerak. Dalam berita ini juga disebut Berkhout, Residen Banda disebut meninggal apakah ikut perang tidak begitu jelas.

Berdasarkan berita 's Gravenhaagsche courant. 10-12-1817 perang di tiga pulau di Maluku (yang dipimpin oleh Kapten Pattimura) dapat dikatakan bukan perang kecil. Surat kabar  Bataviasche courant, 21-02-1818 merangkum perang yang dilakukan pada ekspesisi pada tanggal 2 November dengan kemenangan besar. Disebutkan dalam perang itu yang dipimpin Major Meijer juga dengan menyertakan satu korvet Zualuv dan kapal sewaan Dispatch (milik Inggris?). Dalam perang ini dibantu oleh Alifurun ( penduduk asli Maluku) dan orang Eropa di Ambon. Perang dimulai di Kailolo dan Pelau di Harokoe tanggal 2 dan 3 November dan tangal 8 menuju Saparoea. Pada tanggal 11 di Oelat dan Ouw menghadapai lawan dalam jumlah besar. Pada akhirnya Para pemimpin perlawanan Thomai, Matuleisie, Antonie Reebok dan Pattie van Tiouw dapat ditangani dan para tahanan dengan armada kora-kora Ternate (para pemimpin Ternate yang menyertai ekspedisi ini telah memberikan banyak jasa) dibawa ke Loehoe untuk dihukum.

Hubungan Belanda dengan kerajaan Ternate sudah sejak lama bahkan sejak era awal VOC (setelah pelaut-pelaut Belanda menaklukkan Portugis di Amboina pada tahun 1605). Pada aakhir VOC, pulau Ternate satu-satunya sisa VOC yang tidak berhasil ditaklukkan oleh Inggris (ketika Prancis di Jawa/Batavia). Pada saat pendudukan Inggris (1811-1816), Ternate juga masih eksis dengan orang-orang Belanda. Ketika kekuasanan Hindia kembali kepada (kerajaan) Belanda pada tahun 1816, kembali Belanda tahun 1817 datang ke Amboina, Haroekoe dan Saparua hingga terjadi perlawanan penduduk pada bulan Mei dan pada bulan November 1817.

Major Meijer yang memimpin ekspedisi ke pulau-pulau di timur Amboina ini juga disebutkan meninggal setelah mengalami luka-luka yang diperolehnya di Saparoea (lihat Bataviasche courant, 28-03-1818).

Dalam konteks inilah Martha Christina Tiahahu disebutkan berjuang bersama sang ayah di pulau Nusa Laut. Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional Indonesia termuda (usia 17 tahun), salah satu Pahlawan Nasional wanita. Martha Christina Tiahahu lahir 4 Januari 1800 di Abubu, Nusa Laut (meninggal 2 Januari 1818 di Laut Banda).disebutkan menjinggal muda usia 17 tahun pada tanggal 2 Januari 1818 di Laut Banda.

Pahlawan Nasional Wanita Asal Sungai Woyla, Aceh Barat di Pantai Barat Sumatra: Cut Nyak Dhien (Bersama Suami Teuku Umar dan Sang Potra Radja Batak)
 
Di pantai barat Sumatra di wilayah Aceh perang terhadap Pemerintah Hindia Belanda digalang oleh para pemimpin perlawanan di Aceh. Salah satu diantaranya adalah Teuku Umar, namun sikapnya pasang sarut (gonta-ganti di pihak mana: Belanda dan penduduk Aceg). Pada saat mana Teuku Umar di pihak penduduk Aceh, dalam pertempuran di Meulaboh awal tahun 1899, Teuku Umar gugur (tanggal 11 Februari 1899). Sejak wafatnya Teuku Umar, sang istri Cut Nyak Dhien meneruskan perjuangan.

Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien pada tahun 1880, Almarhum suaminya Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Teuku Umar berdamai dengan pemerintah pada tahun 1883. Pada tahun 1884 kapal Inggris Nicero terdampar dan disandera oleh raja Teunom dan menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda. Namun ekspedisi yang pimpin oleh Teuku Umar berhasil disergap Trumon. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. uku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah. Pada Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya dan dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh (lihat Wikipedia).

Sebelum gugur, Teuku Umar sempat menemui istrinya Cut Nyak Dhien (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-01-1899). Disebutkan Teuku Umar baru diketahui bahwa dia, dengan ditemani sekitar 70 orang bersenjata, telah pergi dari Tereunom ke Paseh-Atjeh di sungai Wojla untuk mengunjungi istrinya Tjoet Din disana, Seperti kita lihat nanti, dari kampong istrinya, Cut Nyak Dien di Waijla berhasil mengumpulkan sebanyak 500 pucuk senjata (lihat  Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 21-03-1899).

Dalam berita ini juga disebutkan bahwa pada tanggal 13 hari ini, Rajah Tereunom, yang menemani Gubernur ke Meolaboh, membatalkan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya dibuat olehnya kepada Pemerintah dan kesepakatan itu ditandatangani dengan Gubernur Laging Tobias pada tahun 1884. kontrak baru ditandatangani dan disumpah. Berbagai pemimpin Meulaböh dipanggil secara tertulis untuk melaporkan diri kepada Dewan disana untuk membahas kepentingan mereka. Namun, mereka tidak merespon karena takut ditipu oleh massa Teukoe Umar. Dato dari Lamno di Daja, yang mencari perlindungan Kroeng Sabil telah ditetapkan di tanah ini oleh Oelebalang karena bantuan yang ia berikan kepada T. Imeum Radja Moeda Tereuuom, ia sangat takut diserang oleh Teuku Umar, sehingga ia mundur ke dalam hutan dan meminta bantuan Belanda. Semua Oeleëbalang di Pantai Barat diberitahu secara tertulis tentang larangan membawa senjata.

Dalam upaya Teuku Umar ke Meulaboh, pemerintah telah mengantisipasi (sejak tanggal 3 Februari). Batalyon Keenam dibagi menjadi lima kompi, salah satunya menempati bivak di Marit di sungai Merbau sedangkan empat kompi lain dan Brigade Marechaussee maju melawan Umar. Gubernur dan Ajudannya juga pergi ke Melaboe (lihat Deli courant, 22-02-1899). Di pantai timur sendiri sudah mulai kondusif karena kereta api sudah dibangun dari Medan ke Sigli. Pemerintah sudah banyak membentuk cabang pemerintahan, Hanya tinggal yang tersisa di pantai barat dimana Teuku Umar akan datang (pemerintah tinggal menunggu perangkap). Menurut pers begitu sering pemerintah ditipu, kini gilirannya. Teuku Umar terjebak dan tertembak. The Last Mochican van West Atjeh tamat.

Limburger koerier, 28-02-1899: ‘Hindia Belanda. Kami diberitahu kemarin bahwa Teuku Umar dimakamkan pada tanggal sepuluh hari ini. Laporan di majalah kami ini ditentang oleh korespondensi dari Batavia ke Rotterdammer yang baru dan dengan telegram ke N. v.d. D. keduanya menunjukkan tanggal sembilan belas sebagai hari penguburan. Jadi sepertinya reporter kami tidak diberi tahu dengan benar apakah ada kesalahan yang menyusup ke dalam telegram. Belakangan dikabarkan bahwa janda Teuku Umar, Tjoet Nja Din. Berada di Langgo. Tjoet Nja Din adalah seorang wanita yang sangat cerdas, yang, seperti yang dikehendaki, tahu bagaimana menjaga Teuku Umar tetap di bawah kendali. Dia adalah keponakan Teuku Umar dan saudara perempuan dari kepala VI Mukim (selatan stelling). Karena saudara ini bodoh, Tjoet Nja Din sebenarnya menguasai lanskap itu dan dia memerintah dengan tangan yang kuat. Ini seharusnya tidak mengejutkan, karena pemerintahan perempuan sering terjadi’. Teuku Umar dimakamkan pada tanggal 19 Februari di Mogat dimana ibunya dimakamkan (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 28-02-1899). Disebutkan mata-mata melaporkan bahwa Teuku Umar telah terbunuh atau terluka parah demikian telegram yang kami distribusikan pada tanggal 15.

Teuku Umar telah tiada. Hanya tinggal satu lagi yang yang memimpin perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yakni Sisingamangaradja XII di Tanah Batak. Tampaknya Tjoet Nyak Dien melanjutkan perjuangan sang suami, Tjoet Nyak Dien sendiri adalah pemimpin di kampongya (mengambil peran saudara-saudaranya). Dalam hal ini Tjoek Nyak Dien adalah dari pemimpin dan tetap pemimpin, Deli courant, 01-03-1899 melaporkan pasukan Van der Dussen ditarik kembali ke Meulaboh dan sekarang akan dilanjutkan melawan Tjut Nja Din, yang merupakan bagian dari komplotan di hulu Sungai Merbau.

Sisingamangaradja XII di Tanah Batak sejak 1876 tidak pernah bekerjasama dengan Belanda dan terus menentang Pemerintah Hindia Belanda. Seperti Teuku Umur ruang geraknya hanya tersisa di Meulaboh, Sisingamangaradja XII ruang geraknya hanya tersisa di barat laut danau Toba (Dairi) wilayah yang langsung terhubung dengan Acheh (bagian barat daya). Sisingamangaradja XII dalam suatu pengejaran dan pengepungan tertembak dan gugur pada tangga 17 Juni 1907.

Tjut Nja Din telah bergabung dengan sisa pasukan Teuku Umar (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad. 11-03-1899). Disebutkan Radja Batak, putra Tjoet Nja Din, telah bertindak sebagai pemimpin perlawanan, di bawah asuhan Teungkoe Itarn Tabor, Said Manoet dan Panglima Harom, sementara Teungkoe Kabla dan Habib Hoesin bertindak sebagai penasihat. Sementara di sisi lainnya Teungkoe Gedong, putra sulung mendiang Toekoe Umar mengklaim kekuasaan di Melaboeh dengan sangat kuat.

Tampaknya tidak terinformasikan bahwa selama ini Tjoet Nyak Dien tehubung dengan (orang) Batak. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia (boru tulang). Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun.  Apakah ibu kandung dan suami pertama Tjoet Nyak Dien (Teuku Ibrahim Lamnga) adalah orang Batak? Dalam peta-peta lama, bahkan di daerah aliran sungai Kroeeng di wilayh hulu di dekat Indrapoeri terdapat nama kampong (district) Batak. Di kampong/district Batak ini terdapat seorang pemimpin Islam yang cukup berpengaruh dalam Perang Aceh yang pertama (1874). Bagaimana orang Batak di Atjeh sejak zaman kuno dapat dilihat pada serial sejarah Aceh dalam blog ini.

Bagaimana Raja Batak memimpin perang, atas persetujuan, sang ibu Tjut Nyak Dien tentulah sangat menarik. Sebab perang pantai barat Aceh dapat dikatakan adalah perang keluarga. Sang suami telah gugur pada tanggal 11 Februari. Kini Tjut Natk Dien sebagai istri melanjutkan perang dengan menunjuk sendiri panglimanya, yang notabene putranya sendiri, Radja Batak. Apakah bentuk perlawanan baru keluarga Tjut Nyak Dien ini terhubung dengan perlawanan tidak henti di tetangga sebelah yang dipimpin oleh Radja Sisingamangaraja XII?

Bagaimana Teuku Umar gugur dalam perang disarikan oleh surat kabar yang terbit di Padang, Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 21-03-1899 (melengkapi berita Deli Courant edisi 27 Februari 1899). Sumber ini diperoleh dari surat seorang penulis dengan nama Batavus (besar dugaan seorang Batak; sebagaimana diketahui pasca perang Aceh pertama banyak guru-guru asal Angkola Mandailing ditempatkan di pantai barat Aceh). Disebutkan bahwa pasukan Teuku Umar dari Wailah (Woyla) di Boven Meulaboh kampong istrinya Tjut Nyak Dien dengan kekuatan 500 senjata. Sementara itu pada tanggal 3 militer Hindia Belanda mulai melakukan operasi dibawah Overste van den Dussen dari Meulaboh ke Boeboen dan Wailah. Di Kroeng-Sabil pasukan (colonne) Schmidt dan Mayor van der Wedden gelisah duduk bersama pasukannya di Beunga, jangan sampai Teuku Umar mengetahui dan melarikan diri ke Pedir. Pada tanggal 10 malam apa yang diharapkan akan bentrok. Pada pukul setengah delapan. Di bawah komando Jenderal, Letnan Verbrugh dengan detasemennya dikirim ke front, letnan yang pernah bertugas di Melaboe sebelumnya, sehingga mengetahui medan dengan sempurna. Pukul sepuluh mereka mencapai Udjong- Kala dan menunggu sampai jam satu pagi sebelum sesuatu terjadi. Benar kemudian beberapa carabao (kerbau pengangkut logistik) lewat diikuti oleh para penyerang Teuku Umar yang dipimpin oleh Said Panoet.  Lalu dalam situasi gelap, militer Hindias Belanda menembakkan mortir yang menyebabkan wilayah sekitar menjadi terang. Pasukan pendahulu Teuku Umar ini ditempak dan sebagian melarikan diri. Memahami situasi yang tidak terduga, Teuku Umar dan Panglima Laoet beringsut ke front untuk menyelidiki apa yang terjadi dan bagaimana situasi pasukan pendahulu. Pada saat inilah tembakan dilancarkan dan Teuku Umar tertembak di dada yang akan membunuhnya. Panglima Laoet yang masih berumur di bawah umur dan rekan-rekannya yang terluka dan kemudian melarikan diri. Pasukan Verbrugh meninggalkan yang tewas di lapangan dan harus kembali untuk membawa orang hidup itu ke tahanan, tiba di benteng pukul 3 pagi dan maju kembali lagi pukul 4 pagi dengan harapan bisa menangkap mayat musuh, Pada pukul lima lewat 30 menit Verbrugh sendiri yang berada di depan bertemu dan terjadi perkelahian dengan tiga orang yang ingin menguburkan orang mati di Oedjoeng-Kala dan yang lain melarikan diri ke bawah pepohonan hutan. Mereka terbunuh, tetapi dalam perkelahian itu Verbrugh menerima pukulan di pergelangan tangan kiri. Saat ini Verbrugh tidak mengetahui bahwa Teuku Umar (telah) terbunuh sebelumnya sebab tidak bisa melihat apa pun dalam kegelapan dan hanya ditemukan mayat di semak-semak antara pukul tiga dan empat pagi. Itulah sebabnya ajudan letnan JL Spruyt yang melakukan patroli ke Bocboen di pagi hari, hanya menemukan mayat orang tidak penting di medan perang (para pemimpin yang tewas terkmasuk Teuku Umar telah dievakuasi pasukannya dan menemukan saat terjadi penguburan). Jenazah Teuku Umar telah dibawa ke tempat yang aman oleh Said Panud yang kembali datang untuk mencari komandannya Teuku Umut dan menemukan dan dibawa ke kebun lada terdekat (yang mana Verbrugh bertemu dan terjadi perkelahian). Pada sore hari tanggal 13 sisa jenazah Teuku Umar dievakuasi diangkut ke sungai Merbau dan menghindari bivak di Marit, lalu membawanya ke daerah atas, dimana Tjoet Nja Din menerimanya pada tanggal 13 itu. Tjoet Nja Din sendiri telah bergerak dengan tiga ratus orang bersenjata melalui Luboen Atas ke Betong, dimana kabar duka disampaikan kepadanya. Menurut wartawan jenazah Teuku Umar dikebumikan pada pukul 7 malam tanggal sembilan belas di hadapan beberapa orang terpilih. Di Lango di Boven Meulaboh, di bawah presidium Tjut Nyak Dien telah memberi mandat dan mengangkat Radja Batak sebagai kepala perlawanan dan menyusun langkah-langkah untuk melanjutkan perang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar