Minggu, 08 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (578): Pahlawan Indonesia-Bahasa Melayu di Indonesia;Beda Bahasa Indonesia vs Malaysia Sejak 1824

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pengukuhan bahasa kebangsaan di Indonesia dimulai pada tahun 1928 (Putusan Kongres Pemuda 1928). Bahasa Melayu (pasar) sejak 1928 diidentifikasi dan dikukuhkan dengan nama Bahasa Indonesia. Sementara pondasi Bahasa Indonesia yang merujuk pada bahasa Melayu pasar telah dimulai sejak satu abad sebelumnya pada tahun 1824. Tahun-tahun sekitar 1824 inilah dianggap sebagai awal perpisahan bahasa Melayu yang dipakai di negara Malaysia (bahasa Melayu Malaysia) dengan bahasa Melayu pasar yang menjadi rujukan Bahasa Indonesia (1928).

Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Prasasti Telaga Batu (pantai timur Sumatrea), catatan bahasa Melayu terawal dengan aksara Pallawa, berasal dari abad ke-7 Masehi. Catatan bahasa Melayu ini juga terdapat di beberapa tempat termasuk (prasasti) di Jawa. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Dokumen cetakan mulai intens dari abad ke-18. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu: Bahasa Melayu Kuno (abad ke-7 hingga abad ke-13); Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15); Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20). Penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui pengkreolan. Portugis dari abad ke-16 menganggap  perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk perdagangan mereka. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka. Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini. Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Dalam masa 20 tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu di Indonesia? Seperti disebut di atas, Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu pasar yaang sejak 1824 mulai terpisah dengan bahasa Melayu di Malaysia. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia - Bahasa Melayu di Indonesia; Sejak 1824 Bahasa Indonesia Beda Bahasa Malaysia

Sebelum terbentuk Bahasa Indonesia (yang berbeda dengan bahasa Malaysia) terjadi proses yang panjang yang secara definitif dimulai pada tahun 1824 (satu abad sebelum Kongres Pemuda Indonesia 1928). Tahun 1824 melalui suatu perjanjian antara Inggris dan Belanda yang mana wilayah Indonesia (baca: Hindia Belanda) dan wilayah Malaysia (baca: Hindia Inggris) dipisahkan secara tegas dengan garis batas yurisdiksi yang dipetakan. Wilayah Semenanjung (plus pulau Singapoera dan pulau Penang masuk wilayah yurisdiksi Inggris). Dengan perjanjian itu, prinsip kepabeanan mulai diterapkan, penduduk pulau Bintan (Hindia Belanda) ke (pulau) Singapoera harus diregister, demikian sebaliknya, penduduk Singapoera ke Bintan harus diregister (dicatat di pelabuhan).

Awal pemisahan (batas yurisdiksi Indonesia vs Malaysia) sebelum 1824 bermula sejak 1641. Saat itu terjadi persaingan yang ketat diantara pelaut-pelaut Eropa. Pada tahun 1641 pelaut Belanda/VOC mengusir pedagang-pedagang Portugis di Malaka. Sisa pos perdagangan Portugis hanya di (pulau) Timor sebelah timur dan Makap (pantai timur Tiongkok). Spanyol sudah terlebih dahulu terusir dari Maluku dan hanya menguasao pulau-pulau di wilayah Filipina yang sekarang. Kedigdayaan Belanda/VOC mulai mendapat saingan dari pelaut-pelaut Inggris yang berbasis di India yang kemudian disusul kehadiran pelaut-pelaut Prancis. Pertarungan pelaut tiga  kerajaan tersebut terjadi di wilayah pantai barat Sumatra. Ini dimulai ketika tahun 1666 para pemimpin di Padang bekerjasama dengan Belanda/VOC mengusir (pengaruh) Atjeh dari pantai barat Sumatra. Lalu Belanda memperluas pos perdagngan di Baroes dan Indrapoera. Inggris di India melihat celah dan memperluas wilayah perdagangan di pantai barat Sumatra di Priaman tetapi mendapat penentangan dari Belanda/VOC di Padang. Akhirnya Inggris mendapat posisi di wilayah Bengkoelen dan pada tahun 1714 membangun benteng Mar'lborough. Sempat ada penentangan dari penduduk Bengkoelen tahun 1719 tetatp berhasil dipulihkan Inggris. Inggris yang semakin stabil dan kuat di Bengkoelen mulai ekspnasi dengan membuka pos perdagangan di Natal dan Tapanoeli tahun 1752. Baroes menjadi terisolir dari Belanda di Padang dan Priaman, Prancis yang cukup kuat di Afrika mulai datang ke Hindia Timur dan melihat peluang dengan membangun pos perdagangan di Air Bangies (antara Priaman-Belanda dan Natal-Inggris). Tiga kekuatan di pantai barat Sumatra ini berseteru. Pada tahun 1779 Inggris melancarkan invasi di pantai barat Sumatra dengan memindahkan skuadron Inggris di Madras ke Bengkoeloen. Misi Inggris ini tidak hanya untuk mengusir pengarih Belanda di pantai barat Sumatra, tetapi juga untuk mendekatkan diri ke koloni Inggris yang baru di Australia sejak 1779 (setelah Inggris terusir dari Amerika Serikat tahun 1774). Belanda lalu terusir dari seluruh pos perdagangannya di pantai barat Sumatra yang kemudian Inggris memindahkan ibukota (pos perdagangan utama) dari Bengkoelen ke Padang. Prancis di Air Bangis terancam dan akhirnya hengkang. Akan tetapi Prancis melihat peluang lain dan pasukan Prancis menyerbu Jawa (Belanda/VOC) yang kemudian menyebabkan VOC bangkrut dan dibubarkan tahun 1799. Perjanjian Belanda dan Prancis menyebabkan kerajaan Belanda mengakuisi properti VOC di Jawa dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda tahun 1800. Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal yang tangguh ditempatkan di Jawa yakni Daendels. Saat mana Inggris yang semakin kuat di pantai barat Sumatra dan Australia menyerang Belanda/Prancis di Jawa tahun 1811. Tamat Belanda dan hanya menyisakan sisa VOC di Ternate.Daendels digantikan oleh Rafless. Tetapi dengan perjanjian Belanda/Prancis dengan Inggris, Jawa dikembalikan sepenuhnya kepada Belanda tahun 1816. Inggris tetap bertahan di pantai barat Sumatra dimana Rafless kembali ke Bengkoelen. Oleh karena Indrapoera, Padang, Priaman hingga Baroes/Singkil adalah hasil aneksasi Inggris, lalu dikembalikan kepada Belanda. Praktis hingga tahun 1824 Inggris hanya tersisa di Bengkoelen. Selama proses transisi Inggris di Jawa dan Sumatra, Inggris masih tersisa pos perdagangan Inggris di Borneo serta di pulau Penang dan pulau Singapoera plus di pantai timur Tiongkok. Dalam proses transisi inilah Belanda ingin menyabu bersih Inggris di Sumatra. Satu-satunya alat bargaining Belanda adalah wilayah Malaka di Semenanjung. Perjanjian London 1824 antara Belanda dan Inggris dilakukan tukar guling Bengkoelen dan Malaka dimana Belanda harus membayar sejumlah konpensasi. Akhirnya wilayah Semenanjung (plus Penang dan Singapoera serta Borneo Utara) menjadi utuh wilayah yurisdiksi Inggris dan Sumatra oleh Belanda. Sejak inilah wilayah Semenanjung (yang kini menjadi negara Malaysia/Singapoera) plus Borneo Utara terpisah dengan wilayah Indonesia (Hindia Belanda) di Sumatra dan (kepulauan) Riau serta sisa Borneo (barat, selatan dan timur). Garis batas di Borneo antara Inggris dan Belanda baru dilakukan pada tahun 1875. Sejak 1824 inilah dapat dikatakan semua penduduk dan semua kebijakan pemerintah di wilayah Hindia Belanda (baca: Indonesia) memusat ke satu pemerintahan yang berpusat di Batavia. Kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan penduduk tersebut meliputi perdagangan, transportasi, pemerintahan lokal dan perjanjian-perjanjiab, pendidikan, kesehatan, misionaris, pariwisata pers dan penyelidikan geologi, botani, bahasa dan etnologi. Dalam konteks inilah bajhasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah Hindia Belanda membangun jalannya sendiri dimana pemerintah Hindia Belanda bertanggungjawab. Secara perlahan, bahasa Melayu di wilayah yurisdiksi Inggris (Semenanjung dan Borneo Utara) mulai berbeda dengan bahasa Melayu di di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda.  

Pemisahan antara Indonesia (Hindia Belanda) dan Malaysia (Hindia Inggris) sejak 1824 menandai awal terpisahnya bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia dan di Indonesia. Peran Pemerintah Hindia Belanda mulai memiliki pengaruh yang besar dalam terpolanya bahasa Melayu ke arah pembentukan varian bahasa Melayu (yang kelak dikenal bahasa Indonesia).

Pada tahun 1809 era Gubernur Jenderal Daendels pembagian wilayah dalam pembentukan pemerintahan lokal dimulai. Pembagian wilayah dan pengaturan pemerintahan lokal pada era Inggris (1811-1816) semakin disempurnakan namun masih terbatas pada wilayah di (pulau) Jawa. Setelah Inggris menyerahkan kembali Jawa kepada Belanda tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda baru mulai tahun 1826 dilakukan reorganisasi pemerintahan (termasuk pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda) sejak terjadinya tukar guling Bengkoelen dan Malaka tahun 1824. Reorganisasi cabang-cabang pemerintahan tidak hanya di Jawa, juga di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Perjanjian-perjanjian dan aturan perundang-undangan pemerintah yang ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang digunakan adalah bahasa Melayu yang dipahami (berkembang) di pusat Hindia Belanda di Batavia.

Seiring dengan pembentukan cabang-cabang pemerintahan Hindia Belanda (reorganisasi wilayah (administrasi) pemerintahan)), dijalankan program pendidikan modern (dengan menggunakan aksara Latin) dengan pendirian sekolah-sekolah pemerintah. Dalam hubungan ini bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat digunakan bahasa Melayu dengan buku-buku yang ditulis oleh guru-guru Belanda dalam bahasa Melayu.

Sejak era Portugis boleh jadi bahasa Melayu diperkaya oleh orang Portugis dari bahasa Portugis dan bahasa Tiongkok. Karena orang Portugis telah lebih dari satu abad di Nusantara dengan ibu kota utama di Malaka. Namun seperti disebut di atas, sejak 1641 pengaruh Portugis di Nusantara semakin berkurang dan kemudian digantikan oleh orang-orang Belanda (VOC). Ibu kota orang Belanda awalnya di Ambon dan kemudian sejak 1619 relokasi ke Batavia. Dalam membangun Batavia, VOC mendatangkan orang dari berbagai daerah terutama dari Ambon, Banda, Ternate, Bali dan Jawa termasuk dari daerah-daerah Melayu di Hindia. Mereka inilah yang menjadi agen pembentukan bahasa Melayu di Jawa khususnya di Batavia. Bahasa Melayiu di Batvia ke dalam memebntuk bahasa (daerah) Betawi dan keluar terbentuk bahasa Melayu umum (pasar). Pengaruh yang kuat dalam pembentukan bahasa Melayu umum (pasar) ini di Batavia dalah orang-orang yang berasal dari Ambon, Bugis, Makassar dan Bali (pengaruh dari Semenanjung relatif kecil). Hal itulah mengapa bahasa Melayu umum (pasar) terkesan mengikuti langgam bahasa Melayu dari Ambon yang diartikulasdikan orang-orang Belanda dalam berbahasa Melayu, seperti contoh puisi yang dimuat dalam surat kabar yang terbit di Batavia Java government gazette, 30-01-1813.

Pada waktu yang relatif bersamaan kegiatan misionaris juga mengambil bagian, termasuk dalam penulisan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu. Tentu saja bahasa Melayu yang digunakan oleh orang Belanda (guru, pejabat dan misionaris) adalah bahasa Melayu umum (pasaran) yang berlaku di Hindia Belanda (khususnya di Batavia).

Bahasa Melayu yang berkembang di Indonesia (baca: Hindia Belanda) tidak berdasarkan bahasa Melayu yang dipertuturkan penduduk asli seperti di Sumatra, kepulauan Riau, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, Nusan Tenggara dan Jawa (secara khusus di Betawi), tetapi bahasa Melayu umum (pasaran) yang umumnya banyak digunakan di kota-kota pelabuhan besar seperti Batavia, Semarang, Padang, Soerabaja) yang kemudian diperkaya dengan masuknya kosa kata asing (khususnya Belanda) dan kosa kata bahasa daerah (khusunya Soenda dan Jawa), Bahasa Melayu umum (pasaran) ini juga adalah bahasa Melayu umum yang telah sejak lama menyerap bahasa asing khususnya bahasa Portugis dan bahasa-bahasa daerah). Hal itulah mengapa bahasa Melayu umum (pasaran) yang telah diperkaya bahasa Belanda/daerah menjadi mulai berbeda dengan bahasa Melayu asli (berbagai dialek bahasa Melayu di Hindia Belanda).  .

Kehadiran surat kabar berbahasa Melayu di Hindia Belanda menjadi begitu strategis dalam penyebarluasan bahasa Melayu di tengah masyarakat. Dalam hal ini surat kabar menjadi salah satu medium terpenting terbentuknya bahasa Melayu ala Indonesia di Hindia Belanda. Surat kabar berbahasa Melayu pertama terbit di Soerabaja pada tahun 1854. Sejak itu semakin banyak surat kabar berbahasa Melayu yang diterbitkan tidak hanya di Soerabaja, juga di Batavia, Semarang dan Padang. Bahasa Melayu yanng digunakan dalam surat kabar di Hindia dapat diperbandingkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Melaysia yang sekarang (lihat contoh bahasa iklan yang dimuat dalam De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 26-12-1855).

Surat kabar berbahasa Belanda di Hindia sudah ada sejak era VOC. Sejak Pemerintah Hindia Belannnda (GG Daendels) tahun 1810 surat kabar berbahasa Belanda tidak pernah putus. Dalam surat kabar tersebut kerap pengumuman atau sumbangan tulisan dari pembaca ditulis dalam bahasa Melayu (yang ada juga ditambahkan terjemahannya dalam bahasa Belanda). Dalam hal ini surat kabar adalah medium yang lain dalam bersemainya bahasa Melayu di Hindia Belanda yang menambah daftar yang sudah ada seperi buku, lembaran peraturan peundang-undangan dan sebagainya.

Dengan hadirnya surat kabar berbahasa Melayu di kota-kota besar Hindia Belanda dan pencetakan buku-buku sekolah dan buku peraturan perundang-undangan maka, sebenarnya sudah lama tidak terhubung lagi perkembangan bahasa Melayu umum (pasat) di Hindia Belanda dengan bahasa Melayu di daerah-daerah bahkan bahasa Melayu di wilayah yurisdiksi Inggris seperti Semenanjung dan Borneo Utara

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Melayu di Indonesia: Bahasa Nasional vs Bahasa-Bahasa Daerah

Sulit mengatakan dimana bahasa Melayu tumbu berkembang. Prasasti-prasasti di pantai Timur Sumatra sudah mengindikasikan bahasa Melayu. Juga terdapat pada prasasti-prasasti di Jawa. Dalam hal ini penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca sudah begitu luas di Nusantara. Sampai sejauh ini tidak/belum ditemukan bukti-bukti tertua adanya penggunaan bahasa Melayu di Semenanjung.

Kerajaaan-kerajaan besar dengan armadanya yang kuat dan banyak yang melakukan navigasi pelayaran perdagangan besar kemungkinan di ibukotanya pekermbangan bahasa Melayu itu terjadi, seperti halnya di ibu kota Sriwijaya atau di ibu kota Malaka dan ibu kota Madjapahit. Sebab kerajaan yang bertahan lama yang dapat secara konsisten dapat mencapai kestabilan bahasa. Sebagaimana laporan Portugis Mendes Pinto (1537) Kerajaan Aroe (di pantai timur Sumatra) beberapa kali menyerang Malaka dan Malaka selalu khawatir terhadap Kerajaan Aroe. Dalam hal ini Kerajaan Aroe sebagai representasi kerajaan kuat semasa di pantai timur Sumatra haruslah dipandang sebagai wilayah yang melestarikan bahasa Melayu sejak lama (meneruskan era Sriwijaya).

Pada era Portugis, Malaka hanyalah salah satu pusat perdagangan yang penting. Nama-nama lain sejaman antara lain Banten, Atjeh, Demak/Djapara, Makassar, Brunai dan Amboina. Mengikuti sebaran bahasa Melayu sejak zaman kuno, tentu di pusat-pusat perdagangan tersebut terus berkembang penggunaan bahasa Melayu. Oleh karenanya dimana bahasa Melayu itu terus lestari dan terus dikembangkan tidak lagi dapat menunjukkan pada satu titik.

Satu-satunya tempat yang telah berkembang di Semenanjung sebelum munculnya Malaka adalah Kedah, yang masih sejaman selama Sriwijaya eksis. Catatan ini dapat dibaca pada prasasti Tanjore (1030). Selain Kedah dan Sriwijaya banyak nama-nama lain di pantai timur Sumatra yang dicatat seperti Panai dan Lamuri. Oleh karena itu bahasa Melayu wilayah cakupannya begitu luas, terutama di tempat-tempat utama di seputar pantai diantara pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Borneo dan Sulawesi.

Pada masa kehadiran Belanda (sejak era VOC) banyak kejadian yang mempengaruhi situasi alam Nusantara. VOC yang telah berpusat di Batavia (Jawa) sejak 1619 berhasil mengusir Portugis dari Malaka tahun 1641, Dengan demikian hubungan antara Batavia dan Malaka menjadi intens. Kedah sendiri sebagai kekuatan lain di Semenanjung memiliki relasi yang kuat dengan Atjeh (yang menjadi musuh VOC). Pada fase inilah para migran dari pulau-pulau besar menjadikan Semenanjung sebagai tujuan. Hal itu karena di Semenanjung menjadi wilayah sengketa (VOC vs Atjeh) dan juga banyak tempat yang masih kosong dalam arti dimungkinkan para pendatang menubuhkan kekuasan,

Pada tahun 1669 menjadi malapetaka bagi Kerajaan Gowa, kerajaan yang sangat kuat di Sulawesi, VOC berhasil menaklukkan kota pelabuhan dan pusat kraton Gowa. Meski kalah,  para pengeran Gowa tidak ingin menyerah. Para pangeran dengan banyak pengikut mencari jalan keluar menemukan tempat-tempat dimana kehidupan baru dimulai. Tempat-tempat tujuan itu antara lain tenggara Maluku, selatan Sulawesi di [ulau-pulau Nusantara, bagian utara Sulawesim pantai-pantai pulau Borneo bahkan hingga pantai timur Sumatra dan Semenanjung. Hal itulah mengapa begitu kuat orang Bugis/Makassar di kepulauan Riau dan pantai-pantai Semenanjung antara lain di Selangor dan Djohor (kelak para pengeran Bugis/Makassar inilah yang mendirikan kerajaan-kerajaan di Semenanjung. Sebelum itu sudah sejak lama pula hubungan Kerajaan Pagaroejoeng di pantai timur Sumatra dengan wilayah tertentu di pantai barat Semenjung (kelak terbentuk Negeri Sembilan). Jika mundur ke belakang sudah sejak lama hubungan Jawa dengan pulau Singapoera dan Malaka. Tentulah para pendatang ini akan ikut memperkaya bahasa Melayu di Semenanjung.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda wilayah Semenanjung (yang telah menjadi wilayah yurisdiksi Inggris) menjadi tujuan pelarian dari para pemimpin lokal dan pengikutnya yang berasal dari berbagai pulau seperti dari Sumatra. Perang Padri 1803-1838 telah menjadi faktor penting banyak penduduk Sumatra dari Minangkabau dan Angkola/Mandailing eksodus ke wilayah yang aman di Semeanjung/Inggris dari kejaran militer Belanda di Sumatra. Wilayah Negeri Sembilan dan wilayah Selangor menjadi tempat yang aman mendirikan kampong-kampong baru di pedalaman Semenanjung bagi migran Minangkabau dan Angkola/Mandailing (sementara Bugis/Makassar berada di garis pantai). Dalam konteks ini bahasa Melayu di Semenanjung semakin diperkaya dengan kahdiran migran baru.

Sumber bahasa Melayu di Semenanjung yang dapat dibaca berasal dari kronik Kerajaan Malaka. Teks dari konik Malaka ini jika dibandingkan teks yang dapat dibaca dalam buku-buku maupun surat kabar di Sumatra sekitara paruh kedua abad ke-19 sudah terdapat perbedaan yang signifikan. Sementara teks yang bersumber dari pertengahan abad ke-19 di Riau terkesan ada perbedaan dengan teks sejaman dari Semenanjung. Dalam hal ini dapat dikatakan bahasa Melayu yang terlah tumbuh berkembang sejak zaman kuno telah mengalami variasi antara daerah di wilayah dimana bahasa Melayu digunakan. Besar dugaan perbedaan ini semakin melebar sejak dilakukannya pemisahan garis batas yurisdiksi antara Belanda Inggris tahun 1824.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar