Selasa, 24 Januari 2017

Sejarah Bandung (5): Banjir Bandang Sudah Dari Dulu; Situ Aksan ‘Meniru’ Situ di Depok

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Kota Bandung yang sekarang, sesungguhnya di masa lampau adalah area yang rawan banjir, namun kurang terinformasikan, sehingga seakan kota Bandung dipersepsikan sekarang sebagai daerah bebas banjir. Ketika baru-baru ini di Kota Bandung terjadi banjir seakan semua orang, termasuk saya yang ‘ngembang kadu’. Karena itu saya tergoda untuk menelusuri riwayat banjir di cekungan Bandung. Inilah hasil pelacakannya.

Situ Aksan, Bandung (foto 1933)
Artikel ini adalah artikel kembar, artikel yang satu lagi tentang riwayat Situ Aksan. Banjir dan situ Aksan memiliki keterkaitan, bukan dari sudut pandang alamiah, melainkan yang satu terhadap yang lainnya dibutuhkan. Situ Aksan adalah buatan manusia sedangkan banjir (baca: air berlebih) adalah ‘anugerah alam’. Banjir yang sudah kerap sejak di masa lampau menyebabkan di sani-sini banyak ditemukan rawa-rawa. Situ Aksan yang merupakan eks ‘kampong Lio’ fase rawa-rawa menjadi katup pengaman untuk sebagian dari banjir di Bandoeng.

Bandung Rawan Banjir Sejak Doeloe

Pada awal pembentukan pemerintahan di Preanger Regenschappen (1829), Pemerintah Hindia Belanda sempat berpikir untuk memilih Bandoeng sebagai ibukota Preanger, karena letaknya di tengah-tengah wilayah Preanger (Tjiandoer, Sumedang, Limbangan dan Bandoeng). Hal itu diurungkan karena area cekungan Bandoeng dianggap tidak sehat (untuk orang Eropa/Belanda) karena banyak rawa-rawa. Lantas dipilih Tjoandjoer. Keutamaan lainnya Tjiandjoer karena lebih dekat dengan pemerintah pusat (Batavia dan Buitenzorg).

Kantor/rumah controleur Bandoeng (1880)
Keengganan Pemerintah Hindia Belanda untuk segera menempati cekungan Bandung, juga menjadi alasan bagi penduduk Preanger sejak dari dulu tidak bertempat tinggal di tengah-tengah Kota Bandung yang sekarang. Sebelum datangnya Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda), penduduk Preanger membuat lintasan perjalanan bukan melalui pusat Kota Bandung yang sekarang, melainkan ke area yang lebih tinggi ke utara yang membentuk ruas jalan antara Baybang (Radja Mandala) dengan Sumedang yang melewati tempat-tempat seperti Tjipaganti dan Odjoeng Brong. Ibukota Regentschap (kabupaten) Bandoeng sendiri justru berada di Dajeh Kolot, tempat pertemuan sungai Tjikapoendoeng dengan sungai Tjitaroem. Jalan poros (untuk moda transportasi pedati) dari Dajeh Kolot ke Tjiandjoer melalui sisi sebelah barat sungai Tjitaroem ke Tjiandjoer. Hanya jalan setapak antara Bandung utara (Tjipaganti) dengan Bandung selatan (Dajeh Kolot).   

Kota Bandoeng di Kabupaten Bandoeng menjadi ibukota Preanger Regenschappen baru terjadi pada tahun 1871. Namun demikian, Kota Bandoeng sendiri sudah mulai dibentuk sejak 1829 yakni ketika seorang controleur (semacam camat) untuk kali pertama ditempatkan di Bandoeng. Tempat dimana pemerintah (dalam hal ini controleur) berkendudukan maka tempat itulah yang menjadi ibukota (hoofdplaats). Ibukota atau tempat dimana controleur berkedudukan (rumah/kantor) yang dipilih adalah sekitar aloen-aloen yang sekarang (persisnya di lokasi yang sama dengan Hotel Preanger). Dari sinilah kota Bandoeng berkembang (hingga kota Bandung yang sekarang telah mencakup seluruh cekungan Bandung).

Pada saat pembangunan jalan pos trans-Java (yang lebih dikenal jalan pos Daendels) pada tahun 1811 rutenya adalah mengikuti area yang lebih tinggi ke utara di Tjipaganti. Rute ini kemudian digeser ke tengah, area yang lebih datar, sehingga jalan pos yang baru menjadi via Tjimahi, Bandoeng (tempat controleur) hingga ke Odjoeng Brong. Land clearing dalam pembangunan jalan pos yang baru ini dilakukan oleh para militer, dimana sebelumnya sudah ditempatkan tangsi/garnisun militer di Tjimahi pada tahun 1828. Dengan kata lain, hanya militer (karena memiliki peralatan yang lengkap) mampu membuka rawa-rawa Bandoeng menjadi jalan dan membuka lokasi tempat controleur (yang menjadi cikal bakal Kota Bandoeng yang sekatang).

Tjoeroeg Tjikapoendoeng Bandung  (lukisan 1861)
Area cekungan Bandoeng, utamanya yang berada di tengah (di tempat controleur) yang di sana-sini rawa-rawa lambat laun air berlebih (banjir) dapat dikendalikan. Aliran air (sungai) dari utara (area yang lebih tinggi) tidak hanya sungai Tjikapoendoeng tetapi juga terdapat sungai-sungai kecil yang jumlahnya cukup banyak. Kantor/rumah controleur sendiri berada di dekat sungai Tjikapoendoeng namun dipilih di suatu titik dimana lebar sungai Tjikapoendong cukup sempit (dalam) yang memungkinkan para militer bagian zeni lebih mudah membangun jembatan.

Rawa-rawa ini secara bertahap difungsikan untuk mencetak sawah-sawah yang luas di bawah kepemimpinan Bupati Bandoenh, Raden Adipati Wira Nata Koesoema. Kanal-kanal dibuat, pengembangan irigasi dilakukan. Salah satu kanal yang pertama dan yang terkenal adalah kanal yang melalui Pieterspark hingga ke aloen-aloen tempat dimana controleur berkedudukan (pembangunan kanal ini terjadi ketika asisten residen ditempatkan di Bandoeng, 1846).   

Sawah di Bandug (1880), kini telah menjadi pemukinan kota
Oleh karena sifat alamiah cekungan Bandoeng yang di sana-sini penuh dengan rawa-rawa, maka sejak controleur berkedudukan, kota Bandoeng berkembang ke arah utara (area yang lebih tinggi di sisi utara jalan pos). Sementara ke arah selatan (sisi selatan jalan pos) perkembangan kota sangat pelan perkembangannya, karena air berlebih (banjir) cekungan yang dulunya membentuk rawa-rawa sutut secara perlahan-lahan. Pencetakan sawah-sawah oleh pemerintah (controleur dan Bupati) mempercepat terjadinya pengeringan area. Namun, kelak sawah-sawah yang luas ini habis terpakai untuk pengembangan kota (reklamasi lahan).

Sitoe Aksan Merujuk ke Sitoe di Depok

Sistem drainasi awal kota Bandoeng bertumpu pada pembuatan kanal-kanal dan pencetakan sawah-sawah beririgasi. Namun itu tidak cukup, karena ‘anugerah alam’ hujan lebat yang kerap hadir adakalanya menyebabkan banjir, terutama karena dipicu oleh sungai-sungai (termasuk sungai-sungai kecil) yang semakin sering terhalang oleh kayu-kayu yang hanyut akibat penggundulan hutan di hulu (pembukaan perkebunan dan kemudian menjadi pemukiman baru). Salah satu upaya untuk mengendalikan banjir adalah memfungsikan lahan-lahan yang lebih rendah menjadi waduk (semacam reservoir). Salah satu waduk itu dan yang terkenal adalah Sitoe Aksan.

Posisi Sitor Aksan (1920)
Sitoe Aksan awalnya adalah sawah-sawah yang memiliki ‘anugerah alam’ lainya berupa tanah liat yang cocok untuk pembuatan batu bata untuk bangunan. Areal sawah di tempat dimana kelak muncul situ (Aksan) lambat laun menjadi muncul cekungan akibat penggalian tanah liat untuk pembikinan batu bata. Area semacam ini disebut lio dan kampong yang terbentuk di sekitarnya disebut kampong Lio.  Ke bekas area lio inilah sebagian sungai disodet/dialirkan untuk mengendalikan banjir.

Sitoe Aksan yang merupakan eks lio di Bandoeng, sesungguhnya sudah ada lebih dahulu di Depok. Sitoe eks lio di Depok ini disebut Sitoe Besar (eks lio yang memasok batu bata ke Batavia sejak era VOC). Sitoe di Depok ini seperti halnya Sitoe Aksan, dulunya dijadikan sebagai tempat pembuangan air berlebih/banjir Kali Baroe (kanal yang bersumber dari Empang Bogor).

Asal-usul Sitoe Aksan, sebagaimana dikisahkan sebagai sisa masa purba (era letusan Tangkoeban Prahoe) tidak relevan. Sitoe Aksan muncul belakangan sebagai bagian dari perencanaan kota (memanfaatkan eks lio). Sitoe Besar di Depok tidak dikaitkan penduduk dengan apa-apa, Namun penduduk di sekitar sitoe juga tidak ada yang menanyakannya. Artikel boleh jadi menjadi jawaban jika ada yang menanyakan Sitor Besar di Depok.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar