Sabtu, 15 April 2017

Sejarah Kota Padang (12): Sejarah Pecinan di Padang; Tionghoa di Pedalaman Kali Pertama Dilaporkan di Angkola (1701)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Hampir setiap kota ada pecinan (China Town), termasuk di Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan. Eksistensi orang-orang Tionghoa di Kota Padang yang menjadi cikal bakal pecinan sudah ada sejak dari doeloe. Sebagaimana di kota-kota lain, orang-orang Tionghoa di Padang awalnya berdatangan karena tujuan berdagang. Orang-orang Tionghoa di Kota Padang bahkan lebih dahulu hadir jika dibandingkan di Kota Medan. Mereka awalnya melakukan aktivitas berdagang keliling lalu kemudian terbentuk homebase dan lalu menetap yang kemudian terbentuk perkampungan orang-orang Tionghoa. Perkampungan orang-orang Tionghoa ini kini disebut pecinan.

Winkelstraat di Padang 1890 (Jalan Niaga)
Pecinan di Kota Padang terdapat di Pondok. Jauh sebelumnya sudah ada pecinan di tempat lain. Di Batavia terdapat di Bidara Tjina (sekitar Meester Cornelis) dan Tangerang. Dua pecinan pertama ini terbentuk karena eksodus dari Batavia pasca peristiwa pembantaian Cina oleh Belanda di sekitar Benteng Batavia (casteel Batavia) tahun 1740. Setelah Bidara Tjina, Tangerang dan Pondok Tjina muncul pecinan baru di Buitenzorg (Soekasari) dan kemudian muncul di Tjiandjoer dan terakhir di Bandoeng. Perkampungan Tjina di Buitenzorg menjadi lebih besar karena para koeli Tjina yang didatangkan dari Tiongkok oleh para planter VOC sebagian tidak kembali dan bergabung dengan orang-orang Tionghoa yang sudah ada. Tipikal pecinan Buitenzorg ini kurang lebih sama yang kemudian terjadi di Medan (Kesawan). Pecinan tipikal pasar.

Kedatangan Orang Tionghoa di Padang

Pada tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat orang-orang Tionghoa. Jumlahnya sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias, Melayu, Bengalen dan lainnya. Jumlah orang-orang Tionghoa terus bertambah dan sudah memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein dan Letnan Chinezen. Pada tahun 1869 populasi orang-orang Tionghoa di Kota Padang sekitar 300 orang. Orang-orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500 orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.

Komunitas-komunitas orang Tionghoa diduga awalnya berdiam di perkampungan-perkampungan di pinggir pantai baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Baros (Tapanoeli), di Laboehan (Deli), di Moeara (Padang) dan Bengcoelen. Mereka ini tersebar dan terhubung oleh pedagang besar dari kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang memiliki homebase di Penang, di Malaka, Singapoera, Pulau Onrust (teluk Jakarta) dan Batavia (Jakarta).

Menurut laporan Netscher (Resident Riaou) yang melakukan ekspedisi di Deli tahun 1863, di Laboehan ditemukan Maleijers, Atjeh, Batak. Selain itu terdapat sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran.   

Klenteng Tionghoa di Padang, 1880
Kapan orang-orang Tionghoa di Kota Padang muncul tidak diketahui persis. Orang-orang Tionghoa yang memasuki pedalaman Sumatra tidak pernah terlaporkan. Meski demikian, orang-orang Tionghoa di kota-kota pantai sudah ada yang yang memiliki skala dagang besar. Di Kota Padang pada tahun 1862 dilaporkan keberadaan pedagang besar Tionghoa, namanya Li Thong (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 14-06-1862). Bahkan pedagang-pedagang besar Tionghoa di Padang ini sudah mendapat kontrak-kontrak dari pemerintah untuk distribusi ke pedalaman sebelum terjadinya Perang Bonjol (Padri) tahun 1837. Namun untuk urusan ke pedalaman tetap di tangan orang-orang setempat baik di Padangsche Boevenlanden maupun Mandailing dan Angkola.

Sumber pertama keberadaan orang Tionghoa di pedalaman Pantai Barat Sumatra dicatat oleh Dagh Register di Batavia. Orang Tionghoa yang melaporkan itu telah berdagang selama 10 tahun di Angkola sejak 1690. Selama dia berada di Angkola, juga mondar-mandir antara Angkola dengan Malaka/Singapoera. Pada tahun 1701 ia dan keluarganya hijrah ke Batavia (menikah dengan putri Angkola dan dikaruniai seorang putri berumur empat tahun). Untuk menuju Batavia, mereka berangkat dari Angkola ke Baros selama 11 hari perjalanan. Di Baros mereka menumpang kapal orang Tionghoa dan singgah di Padang lalu melanjutkan pelayaran ke Batavia. Orang Tionghoa dan keluarganya yang baru tiba dua hari di Batavia melaporkan pada tanggal 27 Maret 1701 di Casteel Batavia yang dicatat di dalam Dagh Register.

Untuk meningkatkan kinerja ekonomi penduduk, pemerintah mendorong pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk melakukan aktivitas perdagangan ke pedalaman. Penyebaran orang-orang Tionghoa ini dari kota-kota pantai, seperti Padang, Painan, Pariaman, Sibolga dan Singkel ke pedalaman seperti Fort de Kock, Solok dan Padang Sidempuan diduga kuat sejak tahun 1860an ketika terjadi booming kopi.

Pecinan di Kota Padang

Chinese Kamp te Padang 1890
Dengan semakin meningkatnya jumlah orang Tionghoa di Kota Padang, pemerintah mulai menata pemukiman berdasarkan kluster. Penataan ini didasarkan atas dikeluarkannya Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Cina di Kota Padang.

Ke utara: sepanjang jalan Cantioe hingga Poeloekaram dan batas-batas utara persi no. 1531, 1530 dan 166, ke timur dan perbatasan utara-timur kiri persil no. 1561, batas antara Poeloe Ayer dan Kampong Palinggam; selatan, sungai besar Batang Arau; ke barat Kali Ketjil, pipa waterleiding garis yang ke arah barat sejauh seratus meter dari sisi barat dari jalan P'oeloe Karam dan melalui Pondok ke tempat itu garis jalan melalui Kampong Sablah dan lebih lanjut.

Oleh karena populasi Tionghoa terus meningkat dan demikian dengan orang asing lainnya, peraturan tahun 1884 tersebut kemudian diperbarui berdasarkan Beslit No. 34 tangga 3 Februari 1891 yang mengatur batas-batas baru.

Peta Kota Padang (1867)
Dalam beslit ini perkampungan orang-orang Tionghoa di Wijk-2 adalah sebagai berikut: Ke utara: jalan Kamping Djawa Dalam; Ke timur: jalan Kampong Jawa, mulai dari persimpangan jalan melalui Kampong Jawa Dalam dengan jalan memotong di sekitar Blakang Tangsi; Ke selatan, dari persimpangan jalan dari Kampong Djawa di sekitar Blakang Tangsi hingga ke sebelah jembatan di atas pipa waterleiding Blakang Tangsi; Ke barat: Sepanjang pipa waterleiding belakang kuburan orang Eropa dari jembatan hingga Blakang Tangsi ke persimpangan dengan jalan dari Kampong Jawa Dalam.

Untuk lingkungan orang-orang Arab, Kling, Hindu dan India lainnya baru diatur kembali berdasarkan beslit tanggal 20 Maret 1902, yaitu: Batang Araurivier mulai dari jembatan dekat Javabank hingga jembatan besar, jalan yang menuju Emmahaven; jalan ini ke arah barat sampai Gantingweg, Ranah, Alang-Lawas, Koeboeran-Dagang, Old-Kantineweg, Pasar Ambatjang, Goeroen-Ketjil ke jembatan batu di Gereja Katolik Roma dan dari sana sepanjang Kolangleiding hingga jembatan belakang Javabank. Sisa daerah ini, ditutup sebagaimana dalam keputusan terdahulu No, 758 tanggal 30 Oktober 1884 yang akan ditunjuk sebagai lingkungan bagi Chiueezen untuk selanjutnya. Selain itu, bagian dari lingkungan Poeroes, ke utara dari jalan utama ke Oedjoeng Karang persil 628 dan persil 297 hingga ke tepi laut; ke timur: jalan besar Oedjoeng-Kaiang; ke selatan: jalan besar persil 1495 dan 1565; ke barat adalah laut.

Pecinan Lainnya di Sumatra’s Westkust

Pecinan tidak hanya di Kota Padang. Pengaturan lingkungan orang-orang Tionghoa diatur hingga kota-kota kecil seperti Painan, Batang Kapas, Air Bangies, Poelau Tello, Pariaman, Fort de Kock, Padang Pandjang, Fort van der (Japellen, Pajakumbu dan Solok. Selanjutnya pengaturan juga dilakukan di Sibolga, Batang Toru, Singkel, Goenoeng Sitoli, Natal, Padang Sidempuan dan Panjaboengan.

Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 juga mengatur tentang wilayah pecinan seperti di Padang Sidempuan dan Fort de Kock. Pengaturan ini di Padang Sidempuan meliputi ke utara yakni sisi barat dan sisi timur sejauh 100 meter jalan besar dari Padang Sidempuan menuju Sibolga. Ke timur sepanjang sisi jalan sebelah utara sejauh 200 meter hingga ke benteng. Ke selatan sebelah sisi Aek Sibontar hingga jembatan Aek Rukare. Sementara di Fort de Kock adalah sebagi berikut: ten Noorden en ten Westen de weg loopende van af den weg van Pajakombo tot aan den tembok; ten Oosten de pasar en de weg, die vandaar loopt tot aan den weg naar Pajakombo; ten Zuiden de lijn getrokken van de tembok tot aan het telegraafkantoor en vandaar tot op de pasar.

Pengaturan pecinan ini tidak terlalu jelas, kecuali pengaturan lingkungan untuk orang-orang Eropa/Belanda. Lingkungan komunitas sesungguhnya terbentuk secara alamiah baik bagi penduduk pribumi maupun penduduk Tionghoa, Arab, Kling dan lainnya.Yang jelas lingkungan orang-orang Eropa/Belanda yang terus berkembang justru penggusuran yang terjadi. Penetapan zona untuk Tionghoa malahan lebih bermotif pembatasan orang-orang Tionghoa yang di satu sisi agar lebih mudah diawasi dan di sisi lain tidak berbaur dengan penduduk pribumi yang jumlahnya jauh lebih besar. Boleh jadi pengawasan ini dilakukan karena khawatir terjadinya kerusuhan sepeerti yang pernah terjadi di Batavia dan Crawang di era sebelumnya.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar