Jumat, 07 Desember 2018

Sejarah Kota Padang (57): Djamaloedin Rasad dan Mahasiswa Asal Sumatra di Belanda, 1905; Peran Dja Endar Moeda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini 

Djamaloedin atau lengkapnya Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad bukanlah orang biasa, tetapi pemuda luar biasa, mahasiswa pertama asal Kota Padang yang kuliah jauh di negeri Belanda. Djamaloedin tiba di Amsterdam, Belanda pada tahun 1903. Sementara itu mahasiswa pertama Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah Raden Kartono yang tiba di Belanda tahun 1896. Raden Kartono adalah abang dari Raden Adjeng Kartini.

Buku Djamaloedin (1920)
Djamaloedin sebelum berangkat studi ke Belanda adalah asisten redaktur majalah dwimingguan Insulinde yang terbit di Padang (1901-1902). Djamaloedin adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (kini Bukittinggi). Majalah Insulinde terbit kali pertama tahun 1900.

Nama Djamaloedin kurang dikenal, padahal Djamaloedin adalah mahasiswa pertama asal Kota Padang di Belanda. Soal popularitas adalah masalah lain, tetapi bagaimana Djamaloedin tiba di Belanda dan melanjutkan studi di perguruan tinggi menjadi hal yang penting. Saat Djamaloedin tiba di Belanda jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda masih hitungan jari. Untuk menambah pemahaman kita mari kita telusuri siapa dan bagaimana (Who is Who) kiprah Baginda Djamaloedin.

Majalah Insulinde di Padang

Dr. AA Fokker adalah orang Belanda yang fasih berbahasa Indonesia (baca: bahasa Melayu). Dengan kemampuannya berbahasa Melayu, Dr. AA Fokker mendirikan majalan dwimingguan di Belanda, Bintang Hindia yang oplahnya hingga ke Indonesia. Namun dalam perkembangnya Dr. AA Fokker merasa perlu memperluas sirkulasinya di Indonesi. Untuk itu Dr. AA Fokker datang ke Indonesia menjajaki kemungkinan untuk kolaborasi dengan orang Indonesia. Dr. AA Fokker berhasil menemukan tiga orang Indonesia yang giat menulis, yakni Dja Endar Moeda, Abdul Rivai dan Djamaloedin.

Setelah berkunjung ke Batavia dan Bandoeng lalu dilanjutkan ke Padang pada tahun 1903 Dr. AA Fokker menemukan dua partner yang potensial yakni guru Dja Endar Moeda di Padang dan Dokter Abdul Rivai di Batavia. Dja Endar Moeda akan membantu pemasaran di Sumatra dan sekaligus kontributor berita-berita dari Indonesia. Dr. Abdul Rivai akan mengambil peran sebagai pemimpin editor di Bintang Hindia. Lalu pada tahun 1903 Dja Endar Moeda dan Dr. Abdul Rivai diundang ke Amsterdam di Belanda. Dr. Abdul Rivai berangkat sendiri melalui Singapura, sedangkan Dja Endar Moeda berangkat bersama dengan asistennya di majalah Insulinde di Padang. Asisten majalah Insulinde ini adalah Djamaloedin yang berangkat ke Belanda sekitar bulan Agustus (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-08-1903). Sebelumnya, artikel Djamaloedin pernah dimuat di Bintang Hindia edisi ketiga percobaan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-09-1902). Disebutkan artikel ditulis oleh Djamaloedin, seorang guru Melayu di Padang. Secara reguler edisi pertama tahun pertama bulan Januari 1903.

Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904
Setelah beberapa lama di Amsterdam, Dja Endar Moeda kembali ke Padang. Sementara Abdul Rivai dan Djamaloedin tetap tinggal di Belanda. Abdul Rivai dan Djamaloedin telah menjadi pemimpin redaksi Bintang Hindia dan sebagai asistennya Djamaloedin. Kedua pemuda ini sangat menikmati perannya di Amsterdam Belanda.

Di sela-sela pekerjaan baru sebagai asisten editor di Bintang Hindia, Djamaloedin membuat suatu gebrakan yang belum pernah terjadi selama ini. Djamaloedin yang beralamat di Prinsengracht 667 memasang uiklan di surat kabar yang terbit di Amsterdam, Het nieuws van den dag: kleine courant, 13-01-1904 menawarkan jasa mengajar bahasa Melayu. Untuk anggota Oost en West di Belanda atau pemasang iklan di Bintang Hindia mendapat korting 25 persen..

Tidak lama kemudian, Soetan Casajangan, guru di Padang Sidempoean dan Djamaloedin di Belanda meminta mengundurkan diri menjadi guru karena ingin melanjutkan studi. Permintaan itu disetujui (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904). Djamaloedin langsung memulai di tingkat persiapan Rijks-Landbouwschool. Djamaloedin satu kelas dengan Raden Mas Soemardji dari Kediri. Sementara Soetan Casajangan melakukan persiapan di Padang Sidempoean sebelum berangkat ke Belanda (antara lain les privat bahasa Belanda).

Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah swasta di Padang. Gagasan ini muncul karena tudak semua penduduk usia sekolah tertampung di sekolah pemerintah. Dja Endar Moeda, seorang pensiunan guru yang telah menulis sejumlah buku pelajaran dan buku umum serta beberapa buah roman (novel) pada tahun 1897 diangkat menjadi ediot surat kabar berbahasa Melayu di Padang, Pertja Barat. Pada tahun1900 Dja Endar Moeda diketahui telah mengakuisisi surat kabar Perja Barat beserta percetakannya. Sementara Dja Endar tetap sebagai editor Pertja Barat, dan juga telah memiliki toko buku, juga pada tahun itu (1900) memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oeli dan majalah dua mingguan Insulinde. Dja Endar Moeda menjadi editor untuk ketiga media tersebut, yang mana asistennya untuik majalah Insulinde direkrut Djamaloedin. Dalam hubungan tersebut di atas, Soetan Casajangan dan Baginda Djamaloedin terhubung karena peran Dja Endar Moeda.

Soetan Casajangan (duduk tengah) di Belanda 1908
Pada bulan Juli 1905 Soetan Casajangan tiba di Belanda untuk studi keguruan. Soetan Casajangan adalah seorang guru yang telah bedinas selama 15 tahun di Padang Sidempoean. Bagaimana Soetan Casajangan ingin melanjutkan studi untuk meraih gelar sarjana pendidikan di Belanda diduga kuat juga karena adanya komunikasi yang intens antara Soetan Casajangan dan Dja Endar Moeda.

Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900 menggagas didirikannya organisasi kebangsaan yang diberi nama Medan Perdamaian. Sebagai presidennya yang pertama adalah Dja Endar Moeda. Organisasi ini merupakan organisasi kebangsaan Indonesia pertama (organisasi kebangsaan Boedi Oetomo baru berdiri Mei 1908). Organisasi Medan Perdamaian sangat peduli pendidikan pribumi. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian bahkan memberi sumbangan sebanyak f14.000 untuk peningkatan pendidikan pribumi di Semarang. Sumbangan ini diteruskan melalui Direktur Pendidikan Pribumi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkus) Charles Adrian van Ophuijsen. Pada tahun 1903 organisasi kebangsaan juga didirikan di Medan. Penggagasnya dan sekaligus presiden pertama adalah Mangaradja Salamboewe, kepala editor surat kabar berbahasa Melyu di Medan, Pertja Timor. Organisasi ini (juga) bersifat multi etnik yang terdiri dari Jawa, Mandailing en Angkola dan Melayu (lihat De Sumatra post, 14-09-1903). Organisasi ini adalah organisasi kebangsaan yang kedua setelah Medan Perdamaian di Padang.

Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean, lulus tahun 1884. Setelah berdinas menjadi guru di berbagai tempat yang dimulai di Batahan seperti di Airbangies dan Singkel lalu menunaikan ibadah haji kemudian menetap di Padang. Dua adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, lulus tahun 1887 dan Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe, Setelah berdinas menjadi guru cukup lama, Soetan Casajangan melanjutkan studi untuk mendapat gelar sarjana pendidikan di Belanda. Charles Adrian van Ophuijsen adalah guru Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan dan Mangaradja Salamboewe di Kweekschool Padang Sidempoean. Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru di Kweekschool Padang Sidempoean selama delapan tahun, yang mana lima tahun terakhir menjabat sebagai direktur Kweekschool Padang Sidempoean sebelum diangkat menjadi Direktur Pendidikan Pribumi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust).

Mahasiswa Asal Sumatra

Baginda Djamaloedin dan Abdul Rivai datang ke Belanda yang tiba di Belanda tahun 1903 awalnya hanya untuk bekerja. Mereka pada dasarnya di tanah air sudah memiliki pekerjaan. Baginda Djamaloedin setelah lulus sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock bekerja sebagai guru dan Abdul Rivai setelah lulus sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavia bekerja sebagai dokter. Untuk sekadar catatan: gaji mereka cukup menggiurkan. Untuk asisten redaktur gajinya berada di atas gaji seorang letnan militer Belanda.

Djamaloedin gelar Baginda Djamaloedin memulai pendidikan menengah di Kweekschool Fort de Kock. Djamaloedin mengikuti ujian akhir pada tanggal 28 hingga 30 Januari dan tanggal 1 Februari 1897. Djamaloedin yang berasal dari Padangsch Benedenlanden termasuk yang dinyatakan lulus dan mendapat akte guru (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-02-1897). Djamaloedin gelar Baginda Djamaloedin diangkat menjadi guru di Padang. Setelah mengajar lebih dari satu tahun Djamaloedin gajinya dinaikkan f5 menjadi f25 (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 06-08-1898). Dalam berita ini juga disebutkan Dja Endar Bongsoe guru di Singkil, setelah tiga tahun tidak mengalami kenaikan gaji mendapat kenaik f5 menjadi f55. Dja Endar Bongsoe adalah adik kandung Dja Endar Moeda. Dja Endar Bongsoe lulus tahun 1891 di sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean. Djamaloedin kelak mengubah penyebutan namanya menjadi Djamaloedin bin Mohamad Rasad.

Yang benar-benar datang ke Belanda untuk maksud studi adalah Raden Kartono. Raden Kartono sudah tiba di Belanda pada tahun 1896. Raden Kartono mengikuti program diploma di politeknik di Delft.

Raden Mas Kartono diterima di HBS Semarang tahun 1891 (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891). Dalam daftar ini hanya Kartono dari golongan pribumi. RM Kartono naik dari empat ke kelas lima (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1895). Raden Mas Pandji Sosno Kartono lulus ujian HBS (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi Indologi ke politeknik di Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Di antara 63 kandidat untuk Korps Mahasiswa Delft juga ada seorang pangeran Hindia, Raden Mas Pandje Sono Kartono (Algemeen Handelsblad, 15-09-1896). Namun sayang, RM Kartono gagal di Delft. RM Kartono diketahui melanjutkan ke universitas di Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi (Algemeen Handelsblad, 25-08-1901). Raden Mas Kartono adalah abang dari Raden Ajeng  Kartini (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1902).

Raden Kartono datang ke Belanda adalah satu-satunya pemuda Indonesia yang benar-benar memenuhi persyaratan masuk perguruan tinggi (PT) karena Raden Kartono adalah satu-satunya lulusan HBS (sekolah yang kompatibel dengan syarat masuk PT di Belanda). Setelah Raden Kartono, lulusan HBS yang menyusul kemudian adalah  Husein Djajadiningrat ke Belanda tahun 1904. Untuk melanjutkan studi, lalu pada tahun 1905 datang Soetan Casajangan.

Soetan Casajangan, bukan lulusan HBS, tetapi lulusan sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1887. Lulusan HBS, karena bahasa pengantar Bahasa Belanda dengan sendirinya memenuhi syarat bahasa untuk masuk PT di Belanda. Raden Kartono dan Husein Djajadiningrat adalah lulusan HBS lima tahun (setingkat SMA). Soetan Casajangan dengan pengalaman guru selama 15 tahun tidak sepenuhnya memenuhi syarat bahasa (semacam TOEFL pada masa ini). Oleh karenanya Soetan Casajangan harus memulai studi pada tingkat matrikulasi (semacam magang dulu) beberapa bulan (De Sumatra post, 08-11-1905). Sementara melakukan persiapan masuk perguruan tinggi, Soetan Casajangan menjadi anggota dewan redaksi majalah berbahasa Melayu di Amsterdan, Bintang Perniagaan (lihat Pertja Timor yang dikutip De Sumatra post, 28-02-1906). Berita ini (yang bersumber dari Pertja Timor) juga dilansir surat kabar di Soerabaja dan surat kabar di Belanda. Ini menunjukkan komunikasi antara Soetan Casajangan dan Mangaradja Salamboewe terus berlangsung. Dalam perkembangannya, Abdul Rivai mengikuti langkah yang dilakukan oleh Djamaloedin dan Soetan Casajangan. Lalu mereka bertiga berurutan memulai studi di perguruan tinggi. Djamaloedin di sekolah pertanian Rijks-Landbouwschool di Wageningen; Soetan Casajangan di sekolah keguruan Rijkskweekschool di Haarlem; dan Abdul Rivai di fakultas kedokteran di Universiteit Amsterdam. Inilah awal tiga mahasiswa pertama asal Sumatra di Belanda: Soetan Casajangan van Tapanoeli; Abdul Rivai van Bengkoelen; dan Djamaloedin van Padang.

Setelah Raden Kartono, Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan, lalu kemudian pemuda Indonesia yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi adalah Abdul Rivai dan Djamaloedin (yang keduanya selama ini bekerja di Bintang Hindia). Raden Kartono, Soetan Casajangan dan Abdul Rivai dalam hal umur tergolong senior, karena rata-rata umur mereka sudah mencapai tiga puluh tahun. Soetan Casjangan lulus kweekschool tahun 1887, Abdul Rivai lulus Dokter Djawa School tahun 1894, sedangkan Djamaloedin baru lulus kweekschool tahun 1897.

Penanggung Jawab Bintang Hindia (Dr. AA Fokker) kembali mendatangkan pemuda Indonesia untuk bekerja di Bintang Hindia untuk menggantikan peran Abdul Rivai dan Djamaloedin yang telah memasuki kuliah. Mereka yang datang tersebut adalah dua dari Sumatra dan satu dari Jawa. Mas Socngkono tiba tahun Februari 1906 di Belanda, kemudian menyusul Samsoeddin Rassat pada bulan Mei 1906 serta disusul kemudian Amaroellah pada bulan September 1906 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-12-1907). Seperti halnya Soetan Casajangan, juga Amaroellah adalah pensiunan guru (masih muda usia, 21 tahun, terakhir di Idi, Atjeh). Amaroellah gelar Soetan Mangkoeta pada tahun 1903 di Medan termasuk anggota pengurus organisasi kebangsaan yang dipimpin oleh Mangaradja Salamboewe. Mas Soengkono tidak memenuhi syarat lalu akan dipulangkan ke kantor pusat Bintang Hindia di Hindia Belanda di Bandoeng pada bulan Februari tahun 1907. Akan tetapi Mas Soengkono tidak bersedia dan mengundurkan diri dari Bintang Hindia. Mungkin karena dipengaruhi oleh Soetan Casajangan, Mas Soengkono tidak pulang tetapi melanjutkan studi di Wageningen mengikuti jejak Djamaloedin. Namun, Mas Soengkono tidak kuat, lalu sakit dan meninggal tahun 1907. Pemuda Indonesia yang kemudian menyusul adalah JE Tehupeiory dan WK Tehupeiory (alumni Dokter Djawa School) yang mengikuti jejak Abdul Rivai. Namun JE Tehupeiory juga dikabarkan meninggal tahun 1908 (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 25-12-1908).

Jumlah pemuda Indonesia yang datang ke Belanda dari waktu ke waktu semakin bertambah. Pemuda yang beberapa waktu sebelumnya telah berada di Belanda sudah memasuki perguruan tinggi dan tengah sibuk mengikuti perkuliahan. Sementara Djamaloedin dan Abdul Rivai terus sibuk dengan kuliah masing-masing, Soetan Cajasangan dikabarkan telah lulus ujian dan mendapat akte LO pada tanggal 22 Mei di Haarlem (Lager Onderwijs) (lihat Algemeen Handelsblad, 23-05-1907)

Soetan Cajasangan dan Djamaloedin sama-sama lulusan sekolah guru (kweekschool) sedangkan Abdul Rivai lulusan Docter Djawa School. Ada perbedaan antara kweekschool dengan Docter Djawa School. Kweekschool lama studinya tiga tahun, sedangkan Docter Djawa School lima tahun. Oleh karena itu, lulusan kweekschool dianggap setara dengan lulusan SPG sedangkan lulusan Docter Djawa School setara dengan Diploma. Di Belanda, Soetan Cajasangan dan Djamaloedin harus menyelesaikan program diplomanya dulu sebelum lanjut ke pendidikan sarjana (Mr, Dr. atau Ir.). Abdul Rivai langsung mengikuti program sarjana. Sementara Soetan Cajasangan sudah selesai program diplomanya di Rijkskweekschool di Haarlem, sedangkan Djamaloedin masih belum selesai program diplomanya di Rijks Hoogere Land-Tuin- en Boschbouwschool dan Abdul Rivai juga belum selesai program sarjananya di fakultas kedokteran di Universiteit Amsterdam. Dalam perkembangannya, seperti kita lihat nanti, Abdul Rivai berhasil meraih gelar sarjana kedokteran (Dr) tahun 1908 dan Soetan Cajasangan berhasil meraih gelar sarjana keguruan tahun 1911. Djamaloedin hanya sampai lulus program diploma pertanian, tidak melanjutkan ke program sarjana.

Organisasi Mahasiswa di Belanda: Indische Vereeniging (1908)

Soetan Casajangan awalnya hanya ingin studi ke Belanda untuk meraih diploma (LO). Akan tetapi setelah lulus tahun 1907 Soetan Casajangan berubah pikiran dan ingin melanjutkan ke program sarjana (Mr). Oleh karena itu, Soetan Casajangan tidak segera pulang ke tanah air, tetapi tetap bertahan di Belanda untuk mengikuti program sarjana. Djamaloedin masih terus berjuang untuk mendapat akta diploma pertanian di Wageningen.

Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908
Pada tahun 1908 Abdul Rivai, kelahiran Bengkoelen berhasil meraih gelar sarjana kedokteran (Dr) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908). Tidak lama kemudian, masih pada tahun 1908 WK Tehupelory juga dinyatakan berhasil meraih gelar sarjana kedokteran. (lulus 1908). Sementara itu Ph. Laoh masih belum selesai dan sebagaimana diketahui nanti, Ph. Laoh baru berhasil lulus tahun 1909. Ketiga lulusan Docter Djawa School ini sama-sama mengikuti pendidikan dokter di Universiteit Amsterdam.

Pengurus Indisch Vereeniging di Belanda, 1908
Soetan Casajangan mengundang semua mahasiswa dan sarjana baru untuk datang ke tempat tinggalnya. Dalam pertemuan yang digagas oleh Soetan Casajangan ini diputuskan untuk mendirikan organisasi mahasiswa Indonesia dengan nama Indisch Vereeniging. Dalam pertemuan yang diadakan pada tanggal 25 Oktober 1908 ini juga disepakati yang menjadi presiden pertama adalah Soetan Casajangan. Sementara yang menjadi sekretaris adalah Raden Mas Soemitro, bendahara adalah Ph. Laoh. Sedangkan komisaris adalah Abdul Rivai.

Organisasi kemahasiswaan ini di Belanda digagas oleh Soetan Casajangan bukanlah bersifat spontan. Hal yang mendasar dibentuknya organisasi mahasiswa nasional ini sebagai respon terhadap didirikannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang akan melakukan kongres pertama di Djogjakarta pada tanggal 2-5 Oktober 1908. Misi Boedi Oetomo dalam hal ini bersifat kedaerahan. Di dalam statuta Boedi Oetomo hanya terbatas untuk kepentingan Jawa dan Madura. Misi Boedi Oetomo ini bertentangan dengan misi Medan Perdamaian di Padang dan misi organisasi kebangsaan di Medan yang mengusung misi nasional. Hal inilah yang mendorong Soetan Casajangan mengikat semua mahasiswa Indonesia di Belanda dalam persatuan nasional. Kesadaran nasional yang mengemuka dalam pikiran Soetan Casajangan, sebagaimana Dja Endar Moeda di Padang dan Mangaradja Salamboewe di Medan. Kebetulan Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan dan Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean,

Djamaloedin dalam studinya cukup lancar di Rijks-Landbouwschool. Setelah berhasil pada tingkat persiapan tahun 1905, berhasil naik ke tingkat dua tahun 1906. Djamaloedin bersama RM Soemardji berhasil lulus ujian akhir tingkat dua pada bulan Juli 1907 (lihat Algemeen Handelsblad, 10-07-1907). RM Soemardji Widjojosiwajo, asal Trenggalek, Kediri dinyatakan lulus tahun 1908 (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 14-07-1908). Dalam daftar kelulusan ini tidak ada nama Djamaloedin. Lantas, apa yang terjadi? RM Soemardji Widjojosiswojo langsung pulang ke tanah air dengan kapal ss Konings Willem III  dari Amsterdam 14 November 1908 (lihat Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 14-11-1908).

Ada perbedaan sekolah keguruan dengan sekolah pertanian. Pada sekolah keguruan bisa akselerasi karena adanya pengalaman sebagai guru, seperti Soetan Casajangan yang masuk tahun 1905 sudah lulus untuk akte LO pada tahun 1907. Sementara Djamaloedin yang mengubah haluan dari keguruan ke pertanian harus mulai dari nol yakni dari tingkat persiapan pada tahun 1904.

Pada tahun 1909 Djamaloedin masih berada di Wageningen. Disebutkan bahwa Djamaloedin sebagai mahasiswa di Hoogere Landbouwschool (lihat Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 21-08-1909). Besar dugaan Djamaloedin setelah lulus tingkat dua langsung ke perguruan tinggi (Hoogere Landbouwschool).

Pada tahun 1909 Djamaloedin beberapa kali menulis artikel di Het Koloniaal Weekblad ‘Oost en West’. Semua artikel tentang pertanian di Hindia khususnya di Pantai Barat Sumatra. Djamaloedin juga pernah menulis artikel pertanian yang dimuat di buletin Ceres, orgaan der studenten aan de Rijks Hoogere Land-Tuin- en Boschbouwschool te Wageninegn pada akhir 1909 dan awal 1910.

Sejak akhir 1909 Djamaloedin tidak lagi di Wageningen tetapi sudah beberapa kali pindah di kota lain untuk praktek di bidang pertanian seperti di Rotterdam. Besar dugaan pada tahun 1910 Djamaloedin telah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma pertaniannya. Djamaloedin tengah mempelajari beberapa lembaga pertanian di Landbouwbank en Handelsvereeniging di Lonneker (Het Centrum, 04-06-1910). Tidak lama kemudian Djamaloedin diangkat sebagai Staf Departement van Landbouw in Indie di 's-Gravenhage dan menjadi assistent laboratorium botani di bahah departement di Amsterdam bersama Dr. AAL Rutgers (Arnhemsche courant, 05-10-1910).

Nederlandsche staatscourant, 06-10-1910: ‘Berdasarkan resolutie van den Minister van Koloniën, 4 Oktober 1910, bagian D, No. 47, Djamaloedin gelar Baginda Djamaloedin telah ditempatkan di Gouverneur-Generaal van Nederlandsch Indie, untuk sementara bekerja di departemen pertanian di Belanda’.

Djamaloedin bin Mohamad Rasad

Djamaloedin kembali ke tanah air pada bulan Desember 1910. Djamaloedin menumpang kapal Grotius dari Amsterdam tanggal 21 Desember ke Batavia (De Maasbode, 23-12-1910). Selesai sudah perjuangan dan studi Djamaloedin di Belanda. Lantas bagaimana kisah selanjutnya.

Sementara itu Dr. Abdul Rivai pada tahun 1910 kembali ke tanah air. Sedangkan Soetan Casajangan masih menyelesaikan pendidikan sarjananya. Soetan Casajangan lulus dan meraih gelar sarjana pendidikan tahun 1911. Soetan Casajangan tidak langsung pulang tetapi masih melakukan sejumlah kegiatan di Belanda terutama yang terkait dengan masalah upaya peningkatan pendidikan pribumi di Hindia Belanda dengan para ahli yang tergabung dalam Oost en West. Setelah menyelesaikan buku yang diterbitkan di Barn pada tahun 1913, Soetan Casajangan kembali ke tanah air..

Setelah tiba di tanah air, Djamaloedin awalnya bekerja di Departmen Lanndbouw di Batavia lalu kemudian ditempatkan di Provinsi Sumatera Westkust. Pada tahun 1912 setelah Tweede Kamer membahas sejumlah nama, nama Djamaloedin termasuk yang ditetapkan untuk diusulkan naturalisasi (Algemeen Handelsblad, 21-05-1912). Keputusan resmi Djamaloedin berstatus naturalisasi baru terjadi bulan Juli 1912.

Staatsblad No. 226, 15den Juli 1912: ‘Kami WILHELMINA, oleh kasih karunia Tuhan, Ratu Belanda, Putri Oranye-Nassau, dll. Semua orang yang akan melihat atau mendengar pembacaan ini, melakukan salut! Jadi Kami telah mempertimbangkan bahwa Baginda Djamaludin bin Mohamad Rasad telah menyerahkan kepada kami permintaan untuk naturalisasi, dengan penyerahan bukti yang dimaksud dalam Art 3 Staatsblad No. 268 (12 December 1892) sebagaimana yang diubah dalam Staatsblad No. 216 (15 Juli 1910) tentang kewarganegaraan dan residensi Belanda. Dengan demikian adalah bahwa Kami, setelah mendengar Raad van State, dan dengan kesepakatan bersama dari Staten-Generaal, telah menyetujui dan memahami, sebagaimana Kami menyetujui dan memahami dengan ini diberikan kepada Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad, lahir di Priaman (Gouvernement Sumatra’s Westkust) 1 Desember 1881, ahli agronomi, sebelumnya berada di Den Haag, Provinsi Holland Selatan, saat ini berada di Provinsi Pantai Barat Sumatera (Gouvernement Sumatra’s Westkust). Sehubungan dengan itu memerintahkan bahwa ini akan ditempatkan dalam Lembaran Resmi, dan bahwa semua Departemen Departemen, Pihak Berwenang, Akademi dan Pejabat, siapa pun yang bertanggung jawab untuk ini, akan tetap pada penerapan yang akurat. Diberikan di Paleize het Loo, 15 Juli 1912. WILHELMINA. De Minister van Justitie, Ditetapkan pada tanggal tiga-puluh Juli 1912. De Minister van Justitie.

Soetan Casajangan dan Trio Sumatra

Soetan Casajangan setelah lulus dan mendapat gelar sarjana keguruan di Belanda kembali ke tanah air tahun 1913.Soetan Casajangan pulang ke tanah air pada bulan Juli 1913. Soetan Casajangan guru berlisensi Eropa langsung ditempatkan di Fort de Kock. Surat penempatannya (resolutie van den minister van kolonien) di Fort de Kock sudah keluar pada bulan April (De Preanger-bode, 19-04-1913).

Sambil menunggu penempatan di Fort de Kock, Soetan Casajangan sempat menjadi guru Eropa di Buitenzorg. Tidak lama, karena harus segera ke Fort de Kock, Di kota hujan inilah Soetan Casajangan bertemu dengan, Sorip Tagor, kelahiran Padang Sidempoean, yang bekerja sebagai asisten dosen di Veeartsen School. Sementara di Fort de Kock, Soetan Casajangan bertemu dua guru muda, alumni Kweekschool Fort de Kock, Dahlan Abdoellah dan Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka.

Pada akhir tahun 1913 tiga pemuda berangkat studi ke Belanda, satu dari Buitenzorg dan dua dari Fort de Kock. Tiga pemuda ini sudah barang tentu telah bertemu dengan Soetan Casajangan. Dari Fort de Kock, Dahlan Abdoellah berangkat studi ke Belanda pada bulan Oktober 1913 lalu kemudian disusul oleh Tan Malaka. Pada bulan Desember, Sorip Tagor berangkat ke Belanda. Trio, kader Soetan Casajangan di Belanda nantinya akan membuat gebrakan baru dalam bidang organisasi mahasiswa.

Sorip Tagor Harahap di Belanda mendaftar di  sekolah kedokteran hewan (Veeartsen School) di Utrecht sesuai dengan bidangnya di Buitenzorg. Sorip Tagor adalah mahasiswa Indonesia pertama di Utrecht. Tan Malaka, juga mengambil bidang keguruan seperti bidangnya di Fort de Kock. Tan Malaka kuliah di kampus dimana Soetan Casajangan lulus di Haarlem. Dahlan Abdoellah mengambil bidang bahasa di Universiteit Leiden. Trio Sumatra ini di Belanda langsung menjadi bagian dari Indisch Vereeniging. Saat itu presiden Indisch Vereeniging adalah Husein Djajanegara (Presiden pertama tahun 1908 adalah Soetan Casajangan).

Tidak lama setelah trio Sumatra ini di Belanda, menyusul seorang lagi pemuda bernama Zainoeddin Rasad. Dari marganya Rasad mirip dengan Djamaloedin Rasad. Iya, betul. Baginda Zainoeddin Rasad adalah adik kandung Baginda Djamaloedin Rasad (sohib dari Soetan Casajangan). Baginda Zainoeddin Rasad tiba di Belanda pada tahun 1915.

Beberapa tahun sebelumnya dua pemuda Sumatra, asal Padang Sidempoean tiba di Belanda. Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon pada tahun 1910. Lalu tahun berikutnya 1911 tiba di Belanda Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeg Moelia. Keduanya masih tergolong belia lulusan ELS (sekolah dasar Eropa). Setelah menyelesaikan pendidingan menengah di Belanda Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia sama-sama mengambil bidang hukum. Pada tahun 1915 (yang bersamaan kedatangan Zainoeddin Rasad) tiba Raden Pandji Soerachman. Jika Zainoeddin Rasad mengambil bidang pertanian di Wageningen, Soerachman mengambil bidang teknik (kimia) di Delft. Pada  tahun 1930 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke Belanda untuk studi doktoral di bidang pendidikan dan meraih gerlar doktor (Ph.D) tahun 1933. Kelak, pada era kabinet Perdana Manteri Soetan Sjahrir, tiga pemuda ini menjadi menteri: Ir. Soerachman menjadi Menteri Kemakmuran, Mr. Soetan Goenoeng Moelia menjadi Menteri Pendidikan; dan Ir. Zainoeddin Rasad menjadi Menteri Pertanian. Pada era pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1949) Soetan Goenoeng Moelia (guru besar UI) adalah besan dari Soerachman (Rektor UI pertama).   

Zainoeddin mengambil bidang studi pertanian, seperti udanya Djamaloedin Rasad. Zainoeddin pada tahun berikut lulus dan naik ke tingkat dua di Middelbare Koloniale Landbouwschool di Deventer (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 17-07-1916).

Pada tahun 1903 didirikan Landbouwschool di Buitenzorg. Pada tahun 1912 Landbouwschool ini ditingkatkan menjadi Middelbare Landbouwschool. Lulusan pertama Middelbare Landbouwschool di Buitenzorg tahun 1914 adalah Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan. Sementara Veeartsen School Buitenzorg didirikan pada tahun 1907 dan lulusan pertama adalah Sorip Tagor pada tahun 1912. Sorip Tagor adalah lulusan Veeartsen School Buitenzorg pertama yang melanjutkan studi ke Belanda (sebagaimana Soetan Casajangan adalah lulusan pertama kweekschool yang melanjutkan studi ke Belanda). Landbouwschool di Belanda terakhir tahun 1904 sebelum diubah menjadi Middelbare Landbouwschool. Djamaloedin Rasad adalah angkatan terakhir Landbouwschool di Belanda.

Setelah lulus Middelbare Landbouwschool di Deventer, Baginda Zainoeddin Rasad melanjutkan ke tingkat studi lebih lanjut di Landbouw Hoogeschool di Wageningen. Pada tanggal 7 November 1918 Zainoeddin lulus tingkat persiapan (propadeutisch) di Landbouw Hoogeschool di Wageningen (lihat De Maasbode, 07-11-1918).

Sorip Tagor mempelopori didirikannya ‘Persatoean Anak Sumatra’ di Utrecht, Belanda sebagai wujud perlawanan atas berdirinya Jong Java. Pada tanggal 1 Januari 1917, persatuan anak Sumatra resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Todeong Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota komisaris (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka. Tentu saja Zainoeddin Rasad menjadi anggota. Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra  (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Meski anak-anak Sumatra telah mendirikan Sumatra Sepakat, tetapi visi persatuan nasional Indonesia tetap dijunjung. Mereka juga tetap bagian dari Indisch Vereeniging. Para anggota ‘Soematra Sepakat’ juga turut berpartisipasi dalam Kongres Mahasiswa Hindia Belanda (Indisch Studentencongres) yang pertama diadakan pada bulan November 1917 dan  dalam kongres mahasiswa Hindia Belanda kedua tahun 1919.

Zainoeddin Rasad lulus dan mendapat akte diploma Landbouwkundige (De Maasbode, 29-09-1919). Setelah mendapat gelar diploma, Zainoeddin Rasad kembali ke tanah air dengan kapal Insulinde dari Rotterdam pada tanggal 7 Februari 1920 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 08-02-1920). Dalam kapal yang besar ini yang menampung ratusan penumpang ke Hindia hanya Zainoeddin yang prubumi. Teman-temannya sesama Sumatra belum selesai kuliah.

Di Wageningen, sekolah pertanian terbagi dua tingkat yakni tingkat sekolah menengah Middelbare Landbouwschool atau juga disebut Rijkslandbouwschool dan tingkat sekolah tinggi yang disebut Rijks Hogere Land-, Tuin- en Bosbouwschool en Landbouwhogeschool. Di perguruan tinggi ini dibagi kedalam beberapa program: Nederlansch Lambouw; Nederlansch Boschbouw; Koloniale Landbouw; dan Indisch Landbouw. Zainoeddin memulai studi Middelbare Landbouwschool di Deventer dan melanjutkan ke Hoogeschool di Wageningen. Sedangkan abangnya, Djamaloedin Rasad dulu memulai studi di Landbouwschool (sebelum ditingkatkan menjadi Middelbare Landbouwschool). Zainoeddin adalah Koloniale Landbouw.

Sorip Tagor baru beberapa bulan kemudian di Rijksveeartsenijschool, Utrecht lulus dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Dahlan Abdoellah lulus ujian sarjana dengan acte MO vóór de Maleis che taal en letterkunde bulan Juni 1920 (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923), Gelar ini merupakan gelar yang sama diperoleh Soetan Casajangan pada tahun 1911.

Sarjana (diploma) pertanian pertama adalah Djamaloedin Rasad yang memulai pendidikan tahun 1904 dan selesai tahun 1909 (empat tahun). Sementara sarjana (diploma) pertanian kedua adalah Zainoeddin Rasad yang memulai pendidikan pada tahun 1915 dan selesai tahun 1919 (empat tahun). Pada era Djamaloedin masih berbasis Landbouwschool, sedangkan pada era Zainoeddin sudah berbasis Middelbarelandbouwschool. Terjadi pergeseran level. Juga terjadi pada bidang keguruan jika sebelumnya di Indonesia Kweekschool lalu bergeser menjadi Normaal School. Hal ini harus dibedakan dengan di Belanda unutuk akte LO (diploma) dan akte MO (sarjana). Pada  era modorn, jika sebelumnya untuk menjadi guru besar (profesor) bisa hanya sarjana, tetapi kini harus pendidikan doktoral.

Pembangunan di Sumatra: Soetan Casajangan Tampil di Forum Lagi

Sejak kepulangan Soetan Casajangan ke tanah air (1913) dan sejak hadirnya kader-kader Soetan Casajangan dari Sumatra di Belanda, sudah dua kali diadakan kongres mahasiswa asal Hindia Belanda (baca: Indonesia). Kongres mahasiswa pertama Kongres Mahasiswa Hindia Belanda (Indisch Studentencongres) diadakan pada bulan November 1917. Sorip Tagor dan Dahlan Abdullah turut memberikan pendapat dalam kongres tersebut (lihat Algemeen Handelsblad, 24-11-1917). Kongres Indonesia ini meliputi seluruh mahasiswa-mahasiswa adal Hindia Belanda yang terdiri dari Indo (Belanda kelahiran Indonesia), Tionghoa dan pribumi.

Kongres kedua mahasiswa Indonesia dilakukan pada tahun 1919 (yang namanya juga disebut Indonesisch Verbond) yang mana mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra juga turut memberi pendapat (lihat Algemeen Handelsblad, 02-02-1919). Diantara yang memberikan pendapat Dahlan Abdullah dan Zainoedin Rasad (saat ini presiden Indische Vereeniging adalah Dahlan Abdullah).

Soetan Casajangan, selain tetap mengajar juga sejak 1917 Soetan Casajangan diperbantukan menjadi asisten JH Nieuwenhuys dan DA Rinkes (penasehat urusan pribumi) di Directeur van Binnenlandsch Bestuur. Soetan Casajangan akan berakhir tugasnya pada tanggal 7 Fevruari 1920 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Soetan Casajangan akan dipromosikan sebagai Wakil Direktur Normaal School di Meester Cornelis.

Sumatranen Bond (Sumatra Sepakat) di Belanda 1 Januari, 1917
Sumantranen Bond didirikan pertama kali tahun 1 Januri 1917 di Belanda dengan nama Sumatra Sepakat yang diketuai oleh Sorip Tagor. Lalu kemudian di Batavia juga didirikan Sumantranen Bond dengan nama Jong Sumatranen Bond tanggal 9 Desember 1917 oleh mahasiswa STOVIA T. Mansoer (ketua), Abdul Munir Nasution (wakil) dan M. Amir (sekretaris). Kongres pertama Sumatranen Bond diadakan pertama, bulan Mei 1919 di Padang dengan ketua panitia M. Amir dan pembina kongres Dr. Abdul Hakim Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang, Setelah kongres pertama, pada bulan November didirikan Bataksch Bond di Batavia (lihat De Sumatra post, 15-11-1919). Ketua terpilih Bataksch Bond adalah Abdul Rasjid Siregar (alumni STOVIA, adik kandung Mangaradja Soeangkoepon). Anggota Bataksch Bond boleh merangkap menjadi anggota Sumatranen Bond (sebagaimana Sumatra Sepakat di Belanda boleh merangkap dengan anggota Indisch Vereeniging). Ketua pertama Indisch Vereeniging adalah Soetan Casajangan; ketua pertama Sumatranen Bond adalah Sorip Tagor; dan ketua Bataksch Bond adalag Abdul Rasjid. Ketiganya kebetulan sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek dari Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto).

Djamaloedin Rasad terus berkiprah di West Sumatra. Djamaloedin di Priaman telah berhasil membangun perusahaan pertanian bersama masyarakat (De Sumatra post, 22-03-1919). Ilmunya tidak hanya dibaktikan kepada pemerintah tetapi juga kepada rakyat. Djamaloedin Rasad dari Priaman juga memperluas gerakan kelembagaan pertanian ini ke Fort de Kock (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1919). Tan Malaka menjadi guru di Deli dan Soetan Goenoeng Meolia menjadi kepala HIS di Kotanopan. Zainoeddin Rasad bekerja di Departemen Pertanian di Batavia; dan Sorip Tagor bekerja sebagai pengawas (dokter hewan) di Istana Gubernur Jenderal di Batavia. Dahlan Abdullah masih di Belanda.  

Di Pematang Siantar pada tahun 1920 didirikan bank pribumi yang diberi nama Bataksch Bank oleh Mengaradja Soeangkoepon, Dr. Mohamad Hamzah (alumni Docter Djawa School tahun 1902, saudara sepupu Soetan Casajangan), Dr. Alimoesa Harahap (alumni Veeartsenschool, 1914, adik kelas Sorip Tagor) dan Hasan Harahap gelar Soetan Paroehoem (lulus notaris 1917, notaris pribumi pertama di Sumatra). Tujuan pendirian bank ini untuk memfasilitas pribumi yang sulit akses ke Java Bank (Belanda) dan Bank Kesawan (Tionghoa). Misinya kirang lebih sama dengan yang dilakukan Djamaloedin Rasad mendirikan perusahaan pertanian di Priaman untuk nmemfasilitasi pribumi mengembangkan pertanian). Masih pada tahun 1920, Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan, alumni pertama Middelbare Lanbouwschool di Buitenzorg menedirikan sekolah pertanian swasta di Loeboek Sikaping (sekolah pertanian pertama swasta di Hindia Belanda).

Soetan Casajangan, setelah bekerja untuk pemerintah selama enam tahun lebih, sejak bulan Februari 1920 diberikan cuti selama delapan bulan ke Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Saat inilah kembali bertemu Soetan Casajangan di Belanda dengan Dahlan Abdullah (yang telah menjadi ketua Indisch Vereeniging). Selama di Belanda, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Oost en West) untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920. Soetan Casajangan berbicara di dalam forum bergengsi tersebut dengan makalah 19 halaman yang berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam forum ini juga diundang dan dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Soetan Casajangan, sebagaimana dulu pernah berbicara di forum yang sama tahun 1911, tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidato Soetan Casajangan:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan..

Pidato ini selain terkait dengan pendidikan pribumi juga terkait dengan telah dibukanya THS di Bandoeng. Sebagaimana terjadi ternyata dalam penerimaan pertama THS bandoeng hanya tiga mahasiswa pribumi yang diterima. Tampaknya Soetan Casajanga menyimak perdebatan yang terjadi di kongres mahasiswa di Belanda tahun 1917 dan 1919.

Pada kongres pertama Dahlan Abdfullah dan Sorip Tagor menginginkan perbaikan pendidikan di Hindia. Pada kongres kedua Zainoeddin menghaapkan sudah waktu peningkatan mutu sekolah pertanian di Hindia.

Jika kembali pada pidato Soetan Casajangan pada forum 1911 dengan pidato yang sekarang erdapat hubungan yang konsisten tema-tema yang disuarakan Soetan Casajangan di dalam bidang pendidikan. Saat itu, Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). 

..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Pidato Soetan Casajangan pada tahun 1920 diduga kuat menjadi pemicu awal peningkatan mutu pendidikan tinggi di Hindia dan kemudian direalisasikannya perguruan tinggi (THS) di Bandoeng tahun 1920. Pemerintah Hindia Belanda selalu mendengar dan berupaya merealisasikan rekomendasi dari Vereeniging Moederland en Kolonien. Soetan Casajangan sendiri dalam pidatonya itu meski diutarakan dengan sangat santun tetapi memberi makna yang dalam yang menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda.

Kutipan pidato Soetan Casjangan pada tahun 1911 tersebut dikutip dan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya menjadi paham mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan. Hal serupa berulang di tahun 1920. Dalam pidaro 1920, Soetan Casajangan dengan tegas menyatakan politik etik sudah usang. Dua pidato Soetan Casajangan ini tidak pernah diungkap oleh penulis-penulis sejarah di Indonesia. Padahal inti dua pidato tersebut adalah tekanan yang dilancarkan Soetan Casajangan untuk meningkatkan kesadaran Belanda dalam membangun dan memperkuat fondasi pendidikan Indonesia ke depannya.

Jika tema-tema pendidikan Soetan Casajangan, Djamaloedin Rasad dan Dahlan Abdoellah ditrace ke masa lampau sejatinya terdapat hubungan yang bersifat continuum sejak era Dja Endar Moeda. Dengan kata lain, perjuangan pendidikan di Indonesia telah berlangsung secara estafet dan tidak berdiri sendiri (melainkan yang satu yang lebih awal dirujuk oleh yang lainnya yang menyusul kemudian).

Dja Endar Moeda, meski sudah beralih ke dunia pers, guru tetaplah guru. Pada tahun-tahun awal Dja Endar Moeda antara lain pernah mengusulkan: Pendidikan menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar di sekolah agar siswa lebih mudah memahami dan lebih luas (Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898); Tidak setuju penghematan dalam pendidikan, dapat memperburuk pendidikan pribumi (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898);  Mendorong rakyat untuk maju agar tidak tertinggal (Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899);  menerbitkan majalah Insulinde yang memuat artikel-artikel pembangunan (pendidikan, pertanian, kesehatan) (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 25-03-1901). Editornya Dja Endar Moeda dan asistennya Djamaloedin Rasad; Mendorong media pribumi lebih banyak agar rakyat lebih berpengetahuan (De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901); Kurikulum pendidikan pribumi harus diperluas agar setara dengan orang-orang Eropa/Belanda (De Sumatra post, 27-01-1903);   

Dja Endar Moeda tidak hanya berbicara di tingkat publik, Dja Endar Moeda juga melaksanakan sendiri pada tingkat keluarga. Putrisnya, Alimatoe Sa’diah adalah perempuan Indonesia pertama yang mendapat pendidikan Eropa (jauh sebelum RA Kartini). Cucu Dja Endar Moeda (putri sulung Alimatoe Sa’diah) bernama Ida Loemongga kelhairan Padang 1904, kelak diketahui adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D). Ida Loemonggo meraih gelar Ph.D di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1931.

Setelah semuanya penjuangan pendidikan telah mulai direalisasikan dan berlangsung baik, satu per satu pendekar pendidikan Indonesia tersebut lengser ke prabon. Dja Endar Moeda setelah mulai menua tidak lama kemudian diketahui meninggal dunia di Kota Radja (kini Banda Aceh) pada tahun 1926. Lalu kemudian, Soetan Casajangan saat menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara) setelah mengalami saki sebulan meninggal dunia tahun 1929. Posisi yang ditinggalkan oleh Soetan Casajangan ini kemudian dijabat oleh Soetan Goenoeng Moelia.

Pada tahun-tahun meninggalnya Dja Endar Moedan dan Soetan Casajangan generasi kedua telah memainkan peran yang signifikan seperti Mangaradja Soengkoepon menjadi anggota dewan pusat (Volksraad) di Pedjambon. Juga adiknya Dr. Abdul Rasjid menjadi anggota Volksraad. Mangaradja Soeangkoepon mewakili ‘dapil’ Oostkust van Sumatra (Sumatra Timur) dan Dr. Abdul Rasjid dari ‘dapil’ Noor Sumatra (Tapanoeli en Atjeh). Pada tahun 1934 Soetan Goenong Moelia (setelah meraih gelar Ph.D di Belanda) juga menjadi anggota Volksraad (mewakili golong pendidikna). Sebelumnya, di West Sumatra, Djamaloedin Rasad sempat bersaing dengan Abdoel Moeis untuk kandidat ke Volksraad (De Preanger-bode, 22-02-1923). Namun akhirnya yang terpilih Abdoel Moeis. Saat itu Djamaloedin Rasad adalah konsulen pertanian di Wesy Sumatra yang juga merangkap untuk Residentie Palembang.

Dahlan Abdullah menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Djamaloeddin Rasad sayang tersandung kasus (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-01-1926). Disebutkan Baginda Djamaloedin Rasad Kepala Sekolah HIS di Priaman dijatuhi hukuman (Verbeterd Vonnis) dengan vonnis satu bulan penjara atau denda f200. Tidak diketahui jelas kasusnya apa. Apakah ada orang yang iri dengan kiprah Djamaloedin Rasad? Entahlah! Setelah nama Djamaloedin Rasad menghilang, Zainoeddin Rasad menggantikan posisi yang ditinggalkan Djamaloedin di West Sumatra. Zainoeddin Rasad yang juga adik Djamaloedin Rasad diangkat sebagai konsulen pertanian di West Sumatra (De Indische courant, 29-05-1929). Zainoeddin Rasad juga diperbantukan sebagai pengajar di OSVIA di Fort de Kock.

Last bun not least: Setelah generasi pertama habis dan generasi kedua mulai menua lalu muncul generasi ketiga. Mereka ini tidak lagi berjuang dalam peningkatan pendidikan tetapi telah bergeser ke bidang politik. Mereka itu adalah Parada Harahap, Mohamad Hatta, Soetan Sjahrir, Mohamad Jamin, Amir Sjarifoeddin dan Radjamin Nasution. Dalam hubungan ini pidato Soetan Casajangan tahun 1911 bertema pendidikan dan pada tahun 1920 pidato yang beraroma politik sudah mulai dijalankan oleh mahasiswa generasi ketiga asal Sumatra.

Pada tahun 1919, saat kongres pertama Sumatranen Bond di Padang, Parada Harahap dan Mohamad Hatta mulai saling mengenal. Parada Harahap, pendiri dan editor surat kabar yang terbit di Padang Sidempoean Sinar Merdeka datang ke kongres mewakili pemuda-pemuda dari Tapanoeli (saat itu Mohamad Hatta masih MULO). Selepas kongres kedua di Padang tahun 1921, Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda dan Parada Harahap hijrah ke Batavia. Pada tahun 1923 Parada Harahap dan Dr. Abdul Rivai mendirikan surat kabar Bintang Hindia (nama majalah dulu yang digawangi oleh Abdul Rivai dan Djamaloedin Rasad di Belanda). Setelah Abdul Rivai mulai lelah (menua), pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena (bersama WR Supratman) dan pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer. Saat inilah Parada Harahap, seorang revolusioner dari Padang Sidempoean ‘mengolah’ Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno menjadi revolusioner. Surat kabar Bintang Timoer yang juga kepala ediotornya kerap memberitakan kiprah Mohamad Hatta dkk di Belanda sebagai pemimpin Perhimpoenan Indonesia (nama baru dari Indisch Vereeniging). Surat kabar Bintang Timoer juga kerap memuat artikel Ir. Soekarbno dari Bandoeng. Pada tahun 1927, Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond menggagas pendidirian supra organisasi kebangsaan yang disebut Permofakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (yang disingkat PPPKI). Organisasi supra ini didirikan di rumah Husein Djajadinibgrat yang juga dihadiri Soetan Casajangan dan Mangarada Soeangkoepon (mereka berempat ini adalah pentolan Indisch Vereeniging di Belanda). Singkat kata: setelah pergumulan politik setelah berdirinya PPPKI, yang dipicu karena Soekarno ditahan dan pers pribumi dibreidel, Parada Harahap gerah dan memimpin tujuh revolusioner ke Jepang pada bulan November 1933. Dalam rombongan ini termasuk Abdullah Lubis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (editornya saat itu Djamaloedin alias Adinegoro, adik Mohamad Jamin); Mr. Samsi Widagda, Ph.D (teman kuliah Dahlan Abdullah di Univeristeit Leiden) dan Mohamad Hatta yang baru tiba di tanah air setelah lulus sarjana ekonomi di Universiteit Riotterdam Belanda. Saat kembali rombongan ini di tanah air di pelabuhan Tnadjong Perak Soerabaja tanggal 13 Januari 1934, pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari Tandjong Priok untuk diasingkan ke Flores. Pada bulan Februari semua anggata rombongan ditangkap PID. Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia dan Samsi Widagda ditangkap di Bandoeng. Oleh karena kesaksian Konsulat Jepang di Batavia, para tokoh revolusioner dibebaskan. Namun tidak lama kemudian pentolah Partai Pendidikan Indonesia ditangjkap karena terkait selebaran di majalah Daulat Ra’jat enam bulan sebelumnya. Setelah diadili para pentolah Partai Pendidikan Indonesia ini, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir diasingkan ke Digoel. Tidak lama kemudian, juga dua tokoh Partai Indonesia Mohamad Jamin (kepala cabang Soerabaja) dan Amir Sjarifoenddin Harahap )kepala cabang Batavia) akan diasingkan ke Digoel. Namun para pegiat pendidikan termasuk Prof. Husien Djajadingrat (guru besar di Recht Hoogesschool) serta anggota Volskrad (MH Thamrin, Soetan Goenoeng Moelia dan Mangaradja Soangkoepon) meminta Gubernur Genderal mengurungkan dengan alasan kedua pemda kadel Soekarno tersebut masih muda dan sedang menyelesaikan kuliah di Recht Hoogesschool).     

Pada tahun 1938 muncul gagasan dari orang-orang Revolusioner untuk memindahkan tiga tokoh yang diasingkan di Flores dan Digoel ke Sumatra. Namun Mohamad Hatta dan Sjahrir tidak dikabulkan karena alasan Moahamad Hatta dan Sjahrir orang Sumatra, tetapi keduanya  hanya dipindahkan ke Banda. Pada saat pemindahan Sorkarno ke Bengkulu sempat dibatalkan, anggota Volksraad yang dipimpin MH Thamrin melakukan protes ke Gubernur General. Akhirnya Ir. Soekarno dipindahkan ke Bengkoelen dengan (permintaan) jalan darat. Dalam perjalanan, Soekarno (yang dikawal PID) berhasil ditemuai Dr. Radjamin Nasution (anggota gemeenteraad Soerabaja); di Batavia Soekarno dikunjungi Parada Harahap dan MH Thamrin. Di Telok Betong Soekarno dikunjungi oleh Gele Haroen (ahli hukum lulusan Unioversiteit Leiden, Adik Ida Loemongga yang notabene cucu dari Dja Endar Moeda). Dari Telok Betong dengan kereta api ke Lahat dan selanjutnya ke Bengkoelen dengan naik bis.

Selama di Bengkoelen, Ir. Soekarno kerap dikunjungi Gele Haroen dari Telok Betong; dan Egon Hakim dari Padang (anak Dr. Abdul Hakim Nasution, wakil wali kota Padang; Egon Hakim juga adalah menantu MH Thamrin). Pada tahun 1938 Abdul Haris Nasution ditempat sebagai guru di Bengkoelen. Namun tidak lama kemudian, Abdul Haris Nasution mengundurkan diri guru dan mendaftar untuk dilatih menjadi perwira KNIL di Bandoeng. Apakah Ir. Soekarno yang meminta Abdul Haris Nasution masuk militer? Besar dugaan iya. Sebab, setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan Ir. Soekarno dan Abdul Haris Nasution tidak terpisahkan hingga meletusnya G 30 S/PKI tahun 1965.     

Pada tahun 1942 saat terjadi chaos (pendudukan Jepang), semua orang Belanda di pantai barat Sumatra merangsek ke Padang untuk dievakuasi ke Australia. Dalam evakuasi ini termasuk Soekarno dan keluarga dari Bengkoelen. Di Padang, Ir. Soekarno diculik Egon Hakim Nasution dari pengawasan Belanda. Egon Hakim kemudian membawa Soekarno ke Fort de Kock (Bukittinggi) tempat dimana markas militer Jepang didirikan. Sementara, Mohamad Hatta dan Sjahrir dari Banda dievakuasi ke Soekaboemi (akses menuju Pelabuhan Ratoe di selatan Jawa untuk dievakuasi ke Australia). Di Soekaboemi, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap telah setahun membuka firma hukum. Di Soekaboemi juga, setelah pensiun, Sorip Tagor sudah lama berdiam. Sedangkan pentolan-pentolan revolusioner dari Medan hijrah ke Firt de Kock (termasuk Adinegoro, editor Pewarta Deli). Sebagai penjaga gawang di Batavia masih ada Parada Harahap, Zainoeddin Rasad dan Dahlan Abdullah (MH Thamrin sudah meninggal tahun 1940).

Mereka inilah kemudian yang berkolaborasi dengan pemerintahan militer Jepang di Batavia (kecuali Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menentangnya). Ketua Dewan pusat di Batavia Ir. Soekarno dan sebagai wakil Mohamad Hatta. Parada Harahap sebagai Koordinator media. Walikota Batavia diangkat Dahlan Abdullah; dan Walikota Soerabaja diangkat Dr. Radjamin Nasution. Untuk pimpinan di West Sumatra diangkat Adinegoro. Sebagai pembangkang, selama pendudukan Jepang, Amir Sjarifoeddin ditahan di penjara Jepang di Malang (baru dilepaskan setelah proklamsi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945).

Pada saat persiapan kemerdekaaan Indonesia, pemerintah militer Jepang di Batavia membentuk BPUPKI yang mana sejumlah nama sebagai anggota diantaranya: Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. Samsi Widagdo, Ph.D dan Parada Harahap. Akhirnya, Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tiga tokoh utama dalam kabinet baru adalah Ir. Soekarno sebagai Presiden, Drs. Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan/Menteri Pertahanan. Dalam daftar ini tentu saja termasuk Abdul Haris Nasution, sebagai perwira militer yang dapat diandalkan. Demikian kiprah pemdua asal Sumatra di pentas nasional, mulai dari awal kebangkitan bangsa hingga kemerdekaan Indonesia. Ibarat kata: sesuatu itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sejatinya dimulai dari nol di masa lampau.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar