Rabu, 29 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (18): Awal Pariwisata di Bali; Jawa Masa Lalu (Preanger), Sumatra Masa Kini (Danau Toba), Bali Masa Depan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini 

Sebelum dikenal (pulau) Bali sebagai destinasi pariwisata sudah dikenal Priangan (Preanger) dan danau Toba (meer Toba) sebagai destinasi pariwisata manca negara. José Miguel Covarrubias seorang pelancong asal Meksiko yang sudah lama bermukim di New York yang memperkenalkan (pulau) Bali sebagai pulau yang eksotik ke internasional lewat bukunya berjudul Island of Bali yang terbit di New York pada tahun 1937.

Orang-orang Belanda sadar tidak sadar, gemar menganalogkan sesuatu wilayah berdasarkan tahapan waktu. Setelah dibubarkan VOC tahun 1799, orang-orang Belanda di awal Pemerintah Hindia Belanda menyebut Maluku masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatra adalah masa depan. Hal ini karena perdagangan rempah-rempah dari Maluku telah digantikan ekonomi gula dan kopi di Jawa. Saat itu satu kerajaan lagi masih terisa dan masih independen di Sumatra (Atjeh), pertanian dan pertambangan sudah mulai menguntungkan di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Oleh karena itu muncul cadangan (ekonomi perdagangan) Sumatra sebagai masa depan. Seiring dengan masa pertumbuhan ekonomi tersebut, orang-orang Belanda mulai banyak yang melancong yang mempromosikan wilayah Priangan sebagai destinasi terdekat dari Batavia. Dalam perkembangannya setelah mulai populer danau Toba muncul promosi wisata bahwa danau Toba pada masa kini. Ini juga sehubungan dengan kemajuan yang fantastik di kota Medan (paket wisata Medan-Meer Toba). Ketika, José Miguel Covarrubias memperkenal pulau Bali, orang-orang Belanda di Hindia Belanda mulai mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata masa depan.

Lantas bagaimana sejarah awal pulau Bali menjadi destinasi wisata yang mengundang perhatian para wisatawan di Jawa dan para pelancong manca negara? Yang jelas itu dipicu oleh José Miguel Covarrubias. Dia sangat mencintai Bali dan ketika ia ingin berbulan madu, ida kembali ke Bali dengan istirinya. Okelah. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Buku Island of Bali dan José Miguel Covarrubias

Sebelum José Miguel Covarrubias lewat bukunya Island of Bali memperkenalkan keindahan sejumlah tempat di pulau Bali ke dunia internasional, sudah ada program pariwisata yang mempromosikan sejumlah tempat di pulau Jawa dan pulau Sumatra. Program di kota-kota di Jawa dan kota-kota Sumatra ini dilakukan oleh warga kota.

Pada tahun 1925 di Bandoeng, sejumlah orang memprakarsai didirikannya klub pecinta Bandoeng dengan nama Vereeniging Bandoeng Vooruit (Sarikat Bandung Maju). Klub ‘sadar kota’ ini adalah seperti klub-klub social lainnya, seperti Societeit Concordia, klub Paroekoenan. Namun klub Bandoeng Vooruit lebih focus pada upaya promosi kota agar kunjungan para wisatawan lebih meningkat lagi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1925). Nama sarikat serupa ini juga muncul di sejumlah kota di Sumatra seperti Vereeniging Brastagi Vooruit werd door de Landschappen in de Karolanden (De Sumatra post, 12-03-1926). Soekaboemi vooruit. Koetaradja vooruit dan lainnya.


Dalam buku José Miguel Covarrubias tidak ada indikasi yang mengajak pembaca untuk datang ke pulau Bali. José Miguel Covarrubias hanya fokus untuk menampilkan cara berperilaku yang baik orang Bali dan situs-situs yang begitu menakjubkan baginya yang membuat dirinya begitu mencintai Bali. Buku ini ditulis José Miguel Covarrubias sebagai kecintaannya pada pulau Bali. Buku ini dilengkapi oleh foto-foto hasil pemotretan yang dilakukan oleh istrinya menjadikan pembaca begitu dekat melihat Bali, yang sadar tidak sadar membuat pembaca kagum dengan perilaku penduduk dan keindahan alam Bali. Buku yang ditulis dalam bahasa Inggris menyebabkan buku ini memiliki jangkaun yang luas (internasional).

Oleh karena buku ini ditulis dalam bahasa Inggris, para pembaca muncul banyak dari orang-orang non Belanda terutama yang berbahasa Inggris (Anglo-saxon). Orang-orang Belanda awalnya nyinyir merespon kehadiran buku ini. Tampaknya orang Belanda tidak terlalu menginginkan Bali sebagai tujuan wisata. Orang-orang Belanda memahami bahwa orang Bali tidak terlalu respek terhadap Belanda (karena pengalaman dan berbagai peristiwa di Bali yang belum lama berselang). Oleh karena itu meski buku ini bukan ditujukan untuk mendatangkan wisatawan, tetapi bagi pembaca isi buku dianggap telah menjadi undangan untuk datang (wisata) ke Bali. Para pembaca Belanda tampaknya terbelah lalu muncul pro kontra.

Orang Belanda yang pro, sedikit lebih realistis. Para pegiat pariwisata di Soerabaja segera melakuk pro-aktif untuk mempromosikan Bali. Pemerintah daerah di Soerabaja juga mendukung langkah para pegiat pariwisata Soerabaja. Program pertama para pegiat parawisata itu adalah dengan menyelenggarakan sutau pameran dan diskusi tentang Bali di Museum Simpang, Soerabaja. Program ini dimulai tanggal 29 September (lihat De Indische courant, 29-09-1938). Program ini dapat dikatakan sebagai program pariwisata Bali. Sebaliknya, José Miguel Covarrubias, seperti dilihat nanti, menyesali ada perbedaan antara yang diinginkannya dengan yang diharapkan oleh para pegiat pariwisata dan para wisatawan. José Miguel Covarrubias sangat khawatir Bali akan rusak karena para wisatawan. Bali dalam dilema. José Miguel Covarrubias tampaknya ingin mewakili perasaan orang Bali setelah Bali menjadi targget dan destinasi wisata yang baru.


Pegiat pariwisata dan pemerintah akan diuntungkan dengan program baru ini karena akan menambah devisa karena kunjungan wisata mancanegara. Program ini menjadi prakondisi untuk memarakkan tahun-tahun awal kunjungan wisata ke Bali (domestik) sebelum wisatawan mancanegara berdatangan (internasional).


Apa yang terjadi di Bali, lebih dari seabad yang lalu ketika Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) membangun jalan pos trans-Java melalui Priangan (Preanger). Jalan akses ini bertemu dengan keindahan alam pegunungan Priangan. Orang-orang Batavia melihat Priangan sebagai destinasi wisata (sebagai perluasan destinasi wisata di Buitenzorg). Popularitas Priangan sebagai destinasi wisata menyebabkan orang asing dari Eropa (manca negara) juga turut mengincar Priangan. Keutamaan Priangan dari Buitenzorg, selain keindahan alam sikap friendly penduduk juga karena di Priangan para wisatawan masih bisa berburu rusa dan menikmati alam yang sejuk, segar dan berbagai hasil pertanian yang baik. Preanger menjadi terbuka.


Berita-berita tentang adanya danau pegunungan yang begitu luas di pedalaman (pulau) Sumatra mulai menjadi viral. Lebih-lebih setelah terbitnya peta wilayah Tapanoeli yang beredar pada tahun 1852. Danau ini diidentifikasi dala peta, karena FW Junghuhn pada tahun 1840-1843 melakukan studi ilmiah di Tanah Batak (geologi dan botani). FW Junghuhn adalah orang asing pertama yang disebut melihat danau ini. Sejak masa lampau danau ini tidak pernah ada yang mebicarakannnya di pantai teluk Tapanoeli. Orang Batak selalu menyembunyikan danau itu dan terus merahasiakannya hingga FW Junghuhn menemukannya sendiri.

Seorang wistawan asal Austria yang tiba di Batavia pada tahun 1852 tidak membaca berita-berita karena dia sudah beberapa tahun dalan perjalanan melancong ke berbagai negara hingga tiba di Batavia (Hindia Belanda). Ketika seorang pedagang buku menawarkan lebaran peta terbaru, mebuat gadis Austria bernama Ida Pheiffer tertarik untuk melihatnya. Ida Pheiffer langsung tertuju pandangannya melihat ada danau (meer) di pedalaman Sumatra. Setelah mendapatkan berbagai keterangan di Batavia, Ida Pheiffer tertantang untuk melihat danau (meer) Toba. Ida Pheiffer adalah perempuan pertama Eropa yang melihat danau Toba.


Satu-satunya tujuan Ida Pheiffer ke Sumatra hanya semata-mata untuk melihat danau Toba. Ida Pheiffer berangkat ke Padang dengan kapal layar. Lalu dari Padang dengan menunggang kuda sendirian (lone ranger) hingga tiba di kota Padang Sidempoean. Controleur Hammer coba menghalangi niat Ida Pheiffer untuk meneruskan perjalanan ke danau Toba karena khawatir tentang keamanannya. Jalannya sangat sulit dan juga masih jauh. Kota Padang Sidempoean adalah tempat orang Eropa terjauh di pedalaman Tanah Batak. Mr Hammes sendiri sudah pernah ke danau Toba. Namun Ida Pheiffer ngotot untuk berangkat sendiri ke danau Toba (sudah kepalang basah melalui perjalan jauh hingga tiba di Padang Sidempoean. Mr Hammer mengalah dan lalu mencari pemandu terbaik di sekitar Padang Sidempoean dan menemukan Dja Pangkat yang tinggal di kampong Sajoermatinggi, orang yang ikut mendampingi FW Junghuhn melakukan ekpesisi tahun 1840an. Sebelum berangkat ke danau Toba, Mr Hammer membekali Ida Pheiffer surat kepada sejumlah kepala kampong (hoeta) yang akan dilalui ke danau Toba dan juga sejumlah kosa kata Batak yang diperlukan selama di perjalanan. Akhirnya Ida Pheiffer berhasil melihat danau Toba dari perbukitan dan segera kembali ke Padang Sidempoean dan seterusnya ke Padang untuk berlayar kembali ke Batavia. Setiba di Batavia, Ida Pheiffer menulis kisah perjalanannya itu di Batavia pada tanggal 12 Oktober 1852 dan kemudian dikirimkan ke surat kabar dan dimuat oleh surat kabar Batavia dan juga dilansir surat kabar di Belanda, Algemeen Handelsblad edisi 09-05-1853. Berita ini kemudian menjadi viral di Eropa. Rahasia penduduk Batak mulai diincar oleh para pelancong Batavia dan manca negara.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Keindahan Pulau Bali dan Presiden Soekarno

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar