Jumat, 13 November 2020

Sejarah Kalimantan (75): Pamarangan di Sungai Jembayan, Pernah Menjadi Ibu Kota Kutai Kuno (Kutai Martapura Kertanegara)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini

Pusat kerajaan di daerah aliran sungai Mahakam tidak hanya di Moera Kaman, Koetai Lama dan Tenggarong, tetapi juga disebut pernah berada di Pamarangan (Marangan). Namun yang menjadi pertanyaan mengapa ibu kota ini dipilih dan kemudian ditinggalkan. Padahal secara geologis paling aman dari banjir. Besar dugaan faktor lalu lintas perdagangan di daerah aliran sungai Mahakam yang menyebabkan terjadinya relokasi.

Marangan atau Pamarangan berada di daerah aliran sungai (muara) Jembayan. Kawasan muara sungai Jembayan ini terletak diantara Kutai Lama (Samarinda) dan Tenggarong. Muara sungai Jembayan sendiri dari Samarinda ke arah hulu berada di sisi kiri sungai Mahakam. Sungai ini berhulu di kabupaten Penajam Paser Utara. Satu yang khas daerah aliran sungai Jembayan ini tempo doeloe termasuk pertambangan batubara yang penting.

Bagaimana sejarah Pamarangan? Apa pentingnya? Seperti disebutkan di atas, Marangan atau Pamarangan pernah menjadi pusat kerajaan. Oleh karena itu, meski kini nama Pamarangan tidak begitu penting, tetapi sebagai bagian dari sejarah kerajaan di masa lampau haruslah dianggap penting. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Koetai Martapoera: Marangan atau Pamarangan

Secara teoritis, dipercaya bahwa di Muara Kaman pada jaman lampau terdapat kerajaan kuno. Salah satu radjanya di era Boedha-Hindoe yang terkenal adalah Mulawarman. Dimana lokasi kerajaan tersebut berada di sungai besar (Mahakam) tepat berada dimana sungai Kaman bermuara (Muara Kaman). Kerajaan ini mengambil tempat di kawasan daratan (tepat berada di seberang muara sungai Kaman).

Ketika kerajaan kuno ini eksis (Radja Mulawarman) tentu saja tidak dikenal nama sungai Kaman. Nama kerajaannya sendiri tidak diketahui. Kerajaan ini berada di suatu pantai di sebuah danau besar di pedalaman. Ke dalam danau inilah bermuara sejumlah sungai seperti sungai Howang, sungai Daha dan sungai Basapa.

Dalam perkembangannya di hilir sungai Koetai (sungai antara danau dan laut) di pantai (laut) terbentuk kerajaan baru (kerajaan). Kerajaan baru ini beragama Islam (besar dugaan adalah kerajaan Koetai Kertanegara). Sedangkan kerajaan lama di pedalaman adalah Kerajaan Koetai Martapoera. Kerajaan Kertanegara ini kemudian menaklukkan kerajaan Martapoera.

Danau di pedalaman diduga telah jebol. Air permukaan danau menuru sehingga rata dengan permukaan sungai Koetai. Sungai Basapa diduga telah menemukan jalan ke sungai Koetai di dalam eks kawasan danau yang kemudian disebut sungai Kaman. Akibat bandjir besar terjadi proses sedimentasi di muara sungai Koetai.

Akibat proses sedimentasi jangka panjang di muara sungai Koetai, maka terbentuk sejumlah pulau. Ibu kota Koetai Kertanegara menjadi tidak sehat karena kerap terjadi banjir (pulau-pulau sedimentasi menghalangi arus air ke laut). Untuk menemukan tempat yang aman, ibu kota Koetai Kertanegara relokasi ke wilayah hulu di Marangan (muara sungai Jembayan).

Sehubungan dengan semakin meningkatnya arus perdagangan di daerah aliran sungai Koetai, ibu kota kerajaan di Marangan relokasi lagi ke ibu kota lama (Koetai Lama). Hal ini karena jalan-jalan sungai di muara semakin dalam. Namun sungai yang menyepit akibat terjadinya proses sedimientasi jangka panjang. Kotai Lama menjadi kerap terjadi banjir. Ibu kota Koetai Kertanegara kembali relokasi, tidak memilih di Marangan tetapi ke arah hulu di Tenggarong.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Koetai Kertanegara: Koetai Lama dan Tenggarong

Marangan atau Pemarangan menjadi ibu kota Kerajaan (kesultanan) Koetai diperkirakan pada akhir abad ke-17 dan pada paruh pertama abad ke-18 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1929).

Nama Koetai dengan nama Coty paling tidak sudah diidentifikasi pada Peta 1659. Dalam peta ini Koetai berada di suatu teluk, dimana di dalam teluk terdapat pulau besar dan beberapa pulau kecil di sekeliling pulau besar ini. Pulau besar ini memanjang dari sekitar muara sungai Koetai ke laut. Besar dugaan pada peta ini ibu kota Koetai tepat berada di pantai. Hal ini karena disebuitkan bahwa ibu kota Koetai baru relokasi ke Marangan pada akhir abad ke-17.

Apa yang menyebabkan ibu kota relokasi ke Marangan diduga karena di pantai tidak aman. Selain itu Kotai Kertanagara (di pantai) telah menaklukkan Kota Martapoera di danau pedalaman). Dalam peta-peta Portugis pada era ini diidentifikasi wilayah pantai timur pulau Borneo sebagai wilayah yang sering diserang bajak laut. Kapal-kapal Eropa (Portugis dan VOC Belanda) menghindari kawasan ini (lebih memilih jalur navigasi di pantai barat pulau Borneo. Pada Peta 1724 pulau di teluk masih seperti pada Peta 1659.

Kerajaan Koetai Kertanagara relokasi ke Marangan tertolong karena terjadi banjir besar karena danau di pedalaman jebol. Memperhatikan pulau Borneo bukan wilayah gempa (vulkanik maupun tektonik) maka satu-satunya faktor terbawanya bahan lumpur dan sampah (pohon-pohon) dari hulu ke teluk karena akibat banjir besar. Hal inilah yang menyebabkan terjadi proses sedimentasi yang hebat sehingga seluruh teluk menjadi pulau-pulau yang banyak dan hanya tersisa jalan-jalan sungai Koetai menemui laut. Sementara itu di kawasan hulu (eks danau) menjadi rawa-rawa besar dan tersisa sejumlah genangan yang membentuk danau-danau yang lebih kecil seperti danau Djempang dan danau Semajang (kini danau Melintang).

Setelah paruh pertama abad ke-18, ibu kota Koetai Kertanegara di Marangan relokasi lagi ke Kotai Lama. Hal ini karena sudah lebih aman karena tertutup dari pulau-pulau dari lautan (ancaman dari bajak laut). Kerajaan (kesultanan) Koetai semakin kuat dan semakin besar. Hal ini karena kahadiran orang-orang Boegis.

Beberapa jejak tersisa dari ibu kota di Marangan ini adalah sejumlah kuburan, kebanyakan tersembunyi di dalam hutan kayu dan semak belukar sehingga tidak terlihat dari sungai, Praktis kuburan-kuburan tersebut yang menjadi satu-satunya sisa. Area ini telah dikunjungi oleh H Witkamp sebagaimana dapat dibaca pada laporannnya yang dimuat pada Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1929. Disebutkannya sejauh 120 meter dari sungai dapat mencapai bukit kecil, tingginya sekitar 5 meter, yang tampaknya merupakan sisa dari teras sungai dan yang, karena jauh lebih kering daripada tepian tepian, yang banjir pada permukaan air yang tinggi, tampaknya dipilih untuk pembangunan kuburan. Lebih jauh 40 meter lagi, ditemukan dua kuburan marmer bertuliskan huruf Arab, tempat peristirahatan Pangeran Anom Pandji Mendapa dan istrinya. Pada nisan pertama nama Pangeran Anoem Pandji Mendapa dipahat. Kedua batu nisan tersebut relatif baru dan menggantikan nisa kayu ulin tua, yang prasasti-prasasti tersebut menjadi tidak jelas. Pangeran Anom memerintah Koetai sekitar 1730 dan tinggal di Marangan. Pangeran Anoem yang berkedududkan di Koetai terkenal sebagai penakluk para Markamanners sekitar tahun 1635, dimana dimakamkan karena Marangan didirikan kemudian. Siapa yang dimaksud Markamanner diduga adalah orang-orang yang tinggal di Moera Kaman (Koetai Martapoera).

Kehadiran orang-orang Boegis di Koetai diduga sebelum terjadi penaklukan Moeara Kaman tahun 1635. Besar dugaan orang-orang Boegis ikut membantu kesultanan Koetai (Kertanegara) dengan menaklukkan orang Moara Kaman (Koetai Martapoera). Lalu orang-orang Boegis yang ditempatkan di arah hulu (Samarinda) menjadi pelaku perdagangan ke wilayah hulu dengan orang-orang Dayak.

Hal serupa diduga telah terjadi di muara sungai Doesoen. Kerajaan baru yang terbentuk (Bandjarmasin) menaklukkan kerajaan Nagara dan kerajaan Martapoera yang juga dibantu oleh orang-orang Boegis. Setelah tahun 1705 Kesultanan Bandjarmasin relokasi ke Martapoera. Sementara orang-orang Boegis menjadi pelaku perdagangan ke hulu sungai Doesoen dan hulu sungai Kapoeas dengan orang-orang Dayak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar