Senin, 20 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (123): Sejarawan Gusti Asnan dan Generasi Emas Pasaman; Rao di Pantai Barat Sumatra hingga 1906

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Gusti Asnan, kini lebih dikenal sebagai salah satu sejarawan Indonesia (lihat Wikipedia). Boleh dikatakan Gusti Asnan adalah penerus generasi sejarawan Indonesia seperti Prof. Anhar Gonggong dan Prof. Sartono Kartodirdjo. Lantas bagaimana Gusti Asnan menjadi sejarawan Indonesia? Tentu saja pertanyaan ini idem dito dengan Sartono Kartodirdjo dan Anhar Gonggong. Sartono Kartodirdjo meneliti tentang pemberontakan petani di Banten (1888) dan Anhar Gonggong begitu paham tentang sejarah tragedi Westerling di Sulawesi Selatan.  Lalu, bagaimana dengan Gusti Asnan? Juga meneliti sejarah masa lampau dengan judul ‘Trading and Shipping Activities: The West Coast of Sumatra, 1819–1906’.

Gusti Asnan, bukan Gusti dari Bali, tetapi Gusti Asnan dari wilayah Rao, Pasaman (Lubuk Sikaping), lahir bulan Agustus 1962 (tempat lahir dan usia 11 dan 12 dengan saya). Orang tua Gusti Asnan (ASyiah dan SyahmiNAN) menyekolahkan sang putra mahkota di Lubuk Sikaping sampai tamat SMA sebelum akhirnya di perguruan tinggi di Padang (Universitas Andalas). Setelah tamat dari Jurusan Sejarah pada tahun 1986, Gusti Asnan melanjutkan studi ke Universitas Bremen, Jerman. Selanjutnya Gusti Asnan mengikuti program doktoral dan mendapat gelar doktor tahun 1998 dengan desertasi berjudul Trading and Shipping Activities: The West Coast of Sumatra, 1819–1906’.

Lantas bagaimana sejarah sejarawan Gusti Asnan? Seperti disebut di atas, Gusti Asnan adalah salah satu sejarawan Indonesia masa kini yang meneliti sejarah masa lalu di pantai barat Sumatra. Tentu bagaimana sejarah beliau sudah ada yang menulisnya. Mungkin itu sudah cukup. Namun bagaimana latar belakang Gusti Asnan sehingga menjadi sejarawan tampaknya kurang terinformasikan. Apakah itu terkait dengan riwayat kampong halaman dan tema yang menjadi desertasinya. Dalam hal ini, Gusti Asnan adalah salah satu generasi generasi baru sejarawan Indonesia. Lalu bagaimana kita bisa mengenal Gusti Asnan? Yang jelas beliau begitu paham sejarah kegiatan perdagangan di pantai barat Sumatra. Apa pentingnya perdagangan pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Rao dan Gusti Asnan: Zaman Kuno hingga 1906

Gusti Asnan menulis desertasi berjudul ‘Trading and Shipping Activities: The West Coast of Sumatra, 1819–1906’. Tentu saja judul tersebut diduga ingin membicarakan dua hal yakni aktivitas perdagangan dan pengapalan di wilayah pantai baratt Sumatra. The West Cost of Sumatra itu berarti pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) dari Indrapoera hingga Singkil. Rentang waktu yang dipilih antara 1819 hingga 1906 itu berarti ingin membatasi hanya pada era Residentie/Province Sumatra’Westkust. Sebab sejak 1905 telah dimaklumkan bahwa province Sumatra’s Westkust dilikuidasi sehubungan dengan pemisahan Residentie Tapanoeli (menjadi bersifat otonom). Tahun 1819 mengindikasikan awal pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra (pasca era pendudukan Inggris 1811-1816). Oleh karena kekuatan Inggris masih ada di Bengkoeloe dan Padang, maka ibu kota Residentie Sumatra’s Westkust pertama ditetapkan di (kampong) Tapanoeli (sejak 1819).

Saat permulaan pembentukan cabang pemerintahan di pantai barat Sumatra (sejak 1819) definisi wilayah adminitratif belum begitu jelas. Dalam perkembangannya, ibu kota pantai barat direlokasi dari Tapanoeli ke Padang. Hal ini sehubungan dengan setelah orang-orang Inggris evakuasi dari Padang (dan sekitar) ke Bengkoeloe. Pasca Tractaat London 1824, wilayah Bengkoeloe dipisahkan dari wilayah Sumatra’s Westkust dengan membentuk residentie Bengkoeloe. Lalu dibentuk Residentie Padangsche Benelanden dan Residentie Padangsche Boveklanden. Sehubungan dengan berakhirnya Perang Padri, diebntuk residentie baru (Residentie Air Bangis) yang kemudian pada tahun 1838 tiga residentie ini disatukan dengan membentuk province yang mana gubernur pertama adalah Kol AV Michiels. Namun tidak lama, Residentie Air Bangis dilikuidasi sehubungan dengan pembentukan Residentie Tapanoeli, yang mana eks afdeeling-afdeeling Residentie Air Bangis sebagaian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli (Afd Mandailing en Angkola dan afd Natal) dam ke Residentie Padangsche Benelanden (Afd. Airbangis dan Afd. Rao). Resident pertama Tapanoeli tahun 1845 Luit Kol A van der Hart. Sejak itu konfigurasi wilayah tidak pernah berubah di (province) Sumatra’s Westkust hingga tahun 1905.

Oleh karena awal rentang waktu sejak 1819, maka Sumatra’s Westkust masih termasuk wilayah (Residentie) Bengkoeloe, maka pantai barat Sumatra dalam hal ini minus (wilayah) Lampoeng dan (wilayah) Atjeh. Lantas apa keutamaan wilayah Sumatra’s Westkust (1810-1906)? Yang jelas aktivitas perdagangan di kawasan ini sudah berlangsung sejak era VOC dimana silih berganti terdapat tiga kekuatan Eropa (Belanda, Inggris dan Prancis). Pada era Pemerintah Hindia Belanda (1819-1906) dianggap wilayah ini salah satu yang terpenting di Hindia Belanda.

Kawasan ini sebelumnya adalah wilayah perdagangan Portugis yang kemudian digantikan oleh Atjeh. Sejak 1665 pedagang-pedagang Belanda (VOC) yang hilir mudik, lalu setelah penetrasi militer Inggris dari India (Madras dan Calcutta) sejak 1779 pedagang-pedagang Belanda (VOC) menyingkir ke (pulau) Jawa. Nah, pada tahun 1819 dapat dianggap fase kedua Belanda di wilayah pantai barat Sumatra. Sejak 1824 wilayah ini secara keseluruhan (minus wilayah Atjeh) menjadi wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengintensifkan budidaya kopi bagi penduduk untuk mendukung perdagangan pemerintah. Lantas apakah setelah 1906 kawasan ini tidak penting lagi? Kita lihat nanti.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Generasi Rao Pasaman: Prof. Gusti Asnan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar