Minggu, 17 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (177): Makam Raja Raja Kerajaan Aru; Makam Tua Islam di Barus dan Makam Tua di Padang Lawas

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Makam tua terdapat di berbagai tempat di Indonesia. Pada artikel sebelumnya tentang makam tua di Gresik yang diduga bertarih 1082 M, yang mana makam tua Islam disebut sebagai makam tertua di Jawa. Di Sumatra bagian utara ditemukan makam tua Islam yang lebih tua yang bertarih 665 M. Namun yang belum terlaporkan adalah keberadan makam-makam pada era kerajaan-kerajaan kuno seperti Kerajaan Aru, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit.

Di wilayah ibu kota kerajaan-kerajaan kuno yang ditemukan bukan tanda-tanda makam. Yang ditemukan adalah berbagai tanda-tanda zaman kuno seperti candi, prasasti dan arca plus gerabah dan keramik. Pada era dimana terdapat vkomunitas Islam umumnya yang ditemukan adalah nisan-nisan makam. Di sejumlah tempat ditemukan tanda-tanda makam kuno seperti di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tanda-tanda makam ini di Jawa hanya merujuk pada makan-makam Islam. Makam-makam kuno juga ditemukan di wilayah Padang Lawas (wilayah dimana ditemukan sejumlah candi dan prasasti). Makam-makam tua di Padang Lawas ini sudah dilaporkan sejak Schnitger, 1935. Makam tua di Padang Lawas yang sudah diidentifikasi antara lain makam tua Soetan Nasinok di Padang Garugur, kecamatan Batang Onang (Padang Lawas) dan makam tua Lobu Dolok yang terdapat di desa Aek Tolong, kecamatan Padang Bolak.

Lantas bagaimana sejarah makam-makam tua di Padang Lawas? Seperti disebut di atas tidak ada laporan makam-makam dari Kerajaan Aru. Yang jelas ditemukan makam Islam yang cukup tua di Baroes (pelabuhan Kerajaan Aru tempo doeloe). Lalu bagaimana sejarah makam-makam tua di Padang Lawas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Makam Raja Raja Kerajaan Aru; Makam Tua Islam di Barus

Apakah (penduduk) Kerajaan Aru di Sumatra bagian utara telah ada yang beragama Islam pada era Hindoe-Boedha? Yang paling dimungkinkan adalah raja-raja (kerajaan) Aru telah mengizinkan terbentuk komunitas Islam di pantai barat Sumatra di Barus (seperti halnya Kaisar Tiongkok era dinasti Tang mengizinkan kumunitas Islam di Canton.pantai timur Tiongkok). Raja-raja Aru di pantai barat dan pantai timur Sumatra masih menjalankan ajaran Hindoe (dan Boedha) yang ditandai dengan indikasi yang terdapat pada candi tua Simangambat (di Angkola Mandailing). Candi Simangambat ini yang dibangun pada abad-8 bentuk dan motifnya mirip dengan candi-candi di Jawa (Mendut, Sewu dan Plaosari). Indikasi lainnya candi-candi di Padang Lawas yang merujuk pada Boedha. Candi-candi di Padang Lawas mulai dibangun abad ke-11.

Pusat awal Kerajaan Aru di Sumatra bagian utara berada di pertemuan sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis di Angkola-Mandailing. Pusat kerajaan Aru ini ditandai dengan pembangunan candi Simangambat (Hindoe/Boedha). Barus adalah pelabuhan utama Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra. Dalam perkembangannya Kerajaan Aru membukan pelabuhan di pertemuan sungai Baroemoen dan sungai Batang Pane di pantai timur Sumatra yang berada di Binanga. Kota pelabuhan Binanga dipantai timur Sumatra berada di sebelah timur pusat Kerajan Aru (candi Simangambat) yang dibatasi oleh gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya). Pelabuhan Binanga ini menjadi hub perdagangan kerajaan Aru ke Tiongkok dan Jawa. Di sekitar Binanga inilah kemudian terbentuk candi-candi Boedha sejak abad ke-11. Keberadaan Binanga sebagai pelabuhan (Kerajaan Aru) dapat diperhatikan pada prasasti Kedukan Bukit 682 M. Candi Simangambat (Angkola Mandailingt) dan candi-candi di Binanga (Padang Lawas) terbilang candi-candi tertua di Sumatra.  

Komunitas Islam di wilayah Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra berada di Barus. Tanda komunitas itu diindikasikan temukan nisan orang Islam yang berasal dari tahun 665 M. Perluasan pengaruh Kerajaan Aru ke Sumatra bagian selatan dimulai pada tahun-tahun berikut (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M).

Dalam teks prasasti Kedukan Bukit (682 M) disebutkan bahwa Raja (Kerajaan Aru) Dapunta Hyang Nayik dengan 20.000 pasukan berangkat ke Upang (Bangka) untuk menabalkan raja Sriwijaya dengan gelar Dapunta Hyang Srinagajaya (lihat prasasti Talang Tuo 684 M). Ekspedisi Kerajaan Aru ke Kerajaan Sriwijaya dalam rangka invasi ke Jawa. Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Srinagajaya memimpin pasukan yang didukung pasukan Kerajaan Aru berangkat ke Jawa (lihat prasasti Kota Kapur 684 M). Sasaran invasi ini adalah pantai utara Jawa dimana terdapat kerajaan Tarumanagara dan kerajaan Kalingga.

Adanya pengaruh Islam di Sumatra bagian utara (pantai barat Sumatra di Barus) diduga menjadi salah satu faktor penrting kemudian dijadikan wilayah Sumatra bagian selatan (Sriwijaya) sebagai pusat pengembangan ajaran Boedha (lihat laporan-laporan I’tsing). Pusat kekuatan Sriwijaya yang bergeser ke Jawa bagian tengah (dinasti Dapunta Sjeilendra) menyebakan Sumatra bagian selatan (khususnya di Palembang) sebagai pusat pengembangan Budha (yang diapit oleh Kerajaan Sriwijaya di Jawa bagian tengah dan Kerajaan Aru di Sumatra bagian utara). Kerajaan Aru sendiri sudah sejak lama memiliki/mempertahankan rute navigasi pelayaran perdagangan dari Sumatra bagian utara (pantai barat di Barus dan pantai timur di Binanga) ke pantai timur Tiongkok di Canton melalui pantai timur Vietnam (Champa).

Dalam hal perdagangan, persaingan antara Islam dan Boedha terjadi di wilayah utara khatulistiawa antara Sumatra bagian utara dan pantai timur Tiongkok. Dalam hal ini diperankan antara pedagang-pedagang Kerajaan Aru yang Boedha dengan pedagang-pedagang Islam yang berasal dari Jazirah Arab. Sementara persaingan perdagangan di wilayah selatan khatulistiwa diperankan oleh pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya yang Boedha dengan kerajaan-kerajaan Hindoe di Jawa. Antara dua wilayah navigasi pelayaran perdagangan (utara – selatan) terjadi pertukaran (econmic exchange) yang mana andalan dari utara khatulistiwa yang diperankan oleh pedagang-pedagang Kerajaan Aru adalah produk kamper, kemenyan dan emas dari Sumatra bagian utara dan barang industri dari Tiongkok, sementara dari selatan yang diperankan oleh pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya adalah produk tanaman pangan terutama beras dari Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Makam-Makam Tua di Padang Lawas

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar