Jumat, 03 Desember 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (271): Pahlawan Indonesia Assaat; Presiden RIS Soekarno di Djakarta, Presiden RI Assaat di Jogjakarta

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada satu masa dimana dua Republiken sama-sama menjabat Presiden pada waktu yang sama. Ir Soekarno sebagai Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) dan Mr Assaat sebagai Presiden RI (Republik Indonesia). Mengapa bisa begitu? Nah, itu dia. Orang Indonesia saat itu terbelah. Sebagian pemimpin Indonesia ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia dan sebagian yang lain tetap ingin Republik Indonesia eksis. Semua itu karena pecah belah Belanda (NICA). Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta sempat sebentar ‘mengingkari’ Republik Indonesia dan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS. Para Republiken sejati di Jogjakarta ogah bersentuhan dengan negara-negara federal (yang memisahkan diri dari Republik Indonesia). Oleh karena itu untu tetap mempertahankan eksistensi Republik Indonesia di Djogjakarta dibentuk pemerintahan Republik Indonesia (RI) yang mana Presidennya Mr Assaat, Perdana Menteri Dr Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoek Hakim Harahap.

Assaat gelar Datuk Mudo (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia. Assaat menikah dengan Roesiah dari Sungai Puar, Agam di Rumah Gadang Kapalo Koto pada tanggal 12 Juni 1949. Dari pernikahan ini ia dikaruniai dua orang putra dan seorang putri. Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Batavia. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS. Dari AMS, Assaat melanjutkan studinya ke Rechtshoogeschool te Batavia. Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, dalam gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda. Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dan beberapa tokoh lainnya. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum. Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sekembalinya ke tanah air pada tahun 1939 Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang ia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia Mr Assaat? Seperti disebut di atas, Mr Assaat adalah Presiden Republik Indonesia pada saat yang sama Ir Soekarno sebagai Presiden RIS (Republik Indonesia). Memang ada bedanya? Nah, itu dia. Lalu bagaimana sejarah Mr Assaat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia Mr Assaat: Presiden RIS Soekarno di Djakarta

Assaat mengawali pendidikan di sekolah kedokteran di STOVIA di Batavia (lihat De Indische courant, 14-05-1926). Disebutkan di di STOVIA lulus ujian dari kelas tiga tingkat persiapan naik ke kela satu tingkat medik. Satu kelas dengan Assaat antara lain Abdoel Abbas Siregar, Soekiman dan Djaidin Poerba. Di bawah mereka satu tahun antara lain Armijn Pane, Abdoel Gani, Sjamsoedin, R Mohamad Roem dan Soedarsono. Di atas mereka satu tahun antara lain Soleiman Siregar, Pang. Siregar, Soepeno dan Nazir. Pada tingkat terkahir (naik ke kelas tujuh medik) antara lain Abdoel Moerad, Diapari Siregar.

Lama studi di STOVIA adalah 11 tahun yang mana tiga tahun pertama sebagai persiapan dan delapan tahun di tingkat medik. Siswa yang diterima adalah lulus sekolah dasar (HIS atau ELS). Sejak 1927 status sekolah kedokteran STOVIA ditingkatkan menjadi falutas Geneeskundige Hoogeschool (yang mana siswa yang diterima lulusa AMS atau HBS lima tahun dengan lama studi lima tahun).   

Assaat masuk STOVIA tahun 1923. Jika menghitung mundur kelahirannya tahun 1904 seperti disebut di atas, berari 19 tahun masuk STOVIA (suatu umur yang lebih tua). Pada tahun 1927 Assaat naik kelas satu ke kelas dua tingkat medik (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1927).

Tampaknya Assat tidak melanjutkan studinya di STOVIA tetapi meninggalkannya, lalu masuk sekolah menengah umum (AMS). Dari STOVIA Assaat transfer ke AMS Afdeeling B kelas lima di Weltevreden (Jalan Hospitalweg 32). Pada tahun 1928 Assaat di AMS naik dari kelas lima ke kelas enam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-05-1928). Tidak hanya Assaat, juga Abdoel Abbas dan Djaidin Poerba serta Soedarsono. Pada kelas yang lebib rendah juga transfer ke AMS yakni Mohamad Roem dan Soekiman di kelas empat lalu naik kelas lima). Pada kelas empat yang naik kelas lima juga ada nama Parlindoengan Lubis. Mengapa mereka pindah? Besar dugaan karena ingin melanjutkan studi ke fakultas (Rechthogeschool dan Geneeskundige Hogesschool). Sementara itu pada tahun 1928 Armijn Pane tidak ada lagi di STOVIA dan juga tidak melanjutkan ke AMS, tidak diketahui. Yang jelas abangnya Sanusi Pane setelah lulus sekolah keguruaan di Batavia langsung berangkat ke India (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-12-1928). Pada tahun 1929 diketahui Armjin Pane masuk di AMS Afdeeling Letteren di Solo (lihat De nieuwe vorstenlanden, 04-05-1929 ). Disebutkan naik dari kelas empat ke kelas lima.

Pada tahun 1929 Assaat lulus ujian akhir di AMS afd, B Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-05-1929). Setelah lulusu AMS tidak diketahui kemana Assaat melanjutkan studi. Akan tetapi diketahui pada tahun 1930 Assaat pulang kampung dengan naik kapal van der Wijck (lihat Sumatra bode, 25-04-1930. Pada tahun 1933 diketahui Assaat sudah kuliah di Rechthogeschool (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1933). Disebutkan Assaat lulus ujian kandidat pertama. Itu berarti Assaat baru masuk Rechthogeschool pada tahun 1932. Dalam hal ini Assaat kehilangan dua tahun setelah lulus AMS pada tahun 1929.

Pada tahun 1934 Assaat dan Abdoel Abbas lulus ujian kandidat dua di Rechthogeschool (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-08-1934). Pada bulan April 1937 Assaat dan M Soedja lulus ujian tingkat doktoral pertama (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-04-1937).

Dalam perkembangannya Assaat meninggalkan Rechthogeschool di Batavia dan diketahui telah mengikuti pendidikan di Universiteit Leiden (lihat De Maasbode, 02-11-1939). Disebutkan Assaat lulus ujian doktoral Indisch Recht di Leiden pada tanggal 1 November. Tidak diketahui mengapa Assaat pindah studi ke Belanda. Yang jelas Assaat kehilangan waktu lagi satu tahun karena di Belanda harus ujian ulang untuk tingkat doktoral. Untuk mendapat gelar Mr, Assaat normalnya paling cepat satu tahum (1940), Namun sebagaimana diketahui bahwa pada bulan Mei 1940 Jerman menduduki Belanda. Besar dugaan Assaat berhasil menyelesaikannya, Meski invasi Jerman ini melumpiuhkan Belanda tetapi pendidikan masih berjalan (hanya terganggu beberapa waktu).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mr Assaat dan KNIP: Soetan Sjahrir hingga Mr Amir Sjarifoeddin Harahap

Setelah UUD ditetapkan lalu diangkat Ir Soekarno sebagai Presiden dan Drs Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden serta pembentukan konstituante. Dalam hal ini di pusat (Djakarta) dibentuk Badan Kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 31-10-1945). Disebutkan sebagai ketua adalah Soetan Sjahrir dan wakil ketua Amir Sjarifoeddin Harahap dan sekretaris Soewandi.

Pada tanggal 2 September 1945 diumumkan nama-nama anggota kabinet. Dalam daftar kabinet yang diumumkan ini posisi Menteri Penerangan adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Dalam daftar ini tidak ada jabatan Menteri Pertahanan. Dalam berbagai berita posisi ini langsung dijabat oleh Presiden Soekarno. Uniknya kabinet ini diumumkan sementara Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sendirri masih berada di penjara militer Jepang di Malang (dan baru dibebaskan dan tiba tanggal 1 Oktober di Djakarta).

Badan Kerja ini dibentuk tanggal 16 Oktober 1945. Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sendiri terdiri dari 137 orang, dimana yang bertindak sebagai pimpinan adalah Mr Kasman Singodimedjo (Ketua);  Mas Sutardjo Kertohadikusumo (Wakil Ketua I); Mr J. Latuharhary (Wakil Ketua II); dan Adam Malik (Wakil Ketua III). Anggota Badan Kerja KNIP sesuai yang diberitakan Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 31-10-1945 adalah sebagai berikut:

Dr. Soedarsono, Mr Sjafroeddin Prawiranagara, Dr Soenaria Kolopaking, Dr Abdoel Halim, Adam Malik, kepala kantor berita republik, Antara; Hindromartono, mahasiswa kedokteran Tajoeddin, Soepeno, S Mangoesarkoro, Wahid Hashim dan perwakilan dari Cina, Mr Tan Ling Djie. Tidak ada ekstremis radikal (komunis) di badan kerja. Anggota paling kiri adalah Adam Malik; Tan Ling Djie adalah anggota yang paling moderat.

Dalam perkembangannya keanggotaan badan kerja ini diubah. Keaanggotaan baru ini selanjutnya akan terdiri dari 25 anggota yang mana delapan diantaranya ditambahkan dari masing-masing perwakilan delapan daerah (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-11-1945). Diantara 17 orang antara non daerah itu antara lain adalah Soedarsono, Adam Malik, Soebadijo, Sjafroedin Prawiranagara, Soekarni, Abdoel Halim, Assaat, Soepeno, mej. Soesilowati, dari golongan Islam Natsir dan J Wibisono, golongan Kristen Johannes Leimena, empat dari nationaal-democraten Mangoensarkoro, Soetan Makmoer, Soenarjo en Pardi dan satu orang mewakili Chineesche Tan Lieng-djie.

Perubahan keanggotaan badan kerja KNPI ini diduga ada kaitannya dengan perubahan sistem pemerintahan (kabinet) dari presidensial (berpusat pada Presiden Soekarno) ke bentuk parlementer (ditentukan oleh komposisi dan pengarih dari partai pengusung). Sebagaimana diketahui bahwa Presiden Soekarno telah menunjuk Soetan Sjahrir untuk membentuk kabinet (baru).

Setelah perubahan ini hanya tinggal Mr Amir Sjarifoeddin Harahap anggota badan kerja yang menjadi anggota kabinet. Dalam badan kerja hanya satu perempuan (ny. Soesilowati) sedangkan yang termuda adalah Abdoel Halim (lahir 1911) dan Adam Malik lahir 1917 (28 tahun). Perubahan komposisi badan kerja ini dilakukan setelah kabinet baru dibentuk (menggantikan kabinet presidensil yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden).

Sebagaimana diketahui pada tanggal 14 November 1945 kabinet baru dibentuk yang mana sebagai Perdana Menteri Soetan Sjahrir. Dalam kabinet baru ini hanya Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang tetap bertahan. Posisinya tetap sebagai Menteri Penerangan dan juga secara definitif merangkap sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan Rakyat (posisi yang sebelumnya dijabat oleh Presiden Soekarno). Dalam hal ini Soetan Sjahrir juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Lantas bagaimana Mr Assaat menjadi bagian dari keanggotaan badan kerja KNIP? Tentulah ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dua matahari di dalam pemerintahan, meski berada di dalam perahu yang sama, Partai Sosialis Soetan Sjahriri daan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Jika Dr Abdoel Halim cukup dekat dengan Soetan Sjahrir, dalam hal ini Mr Assaat cukup dekat dengan Mr Amir Sjariefoeddin Harahap. Jadi dalam hal ini masuknya Mr Assaat dalam badan kerja lebih pada untuk memperkuat barisan yang sudah lama terbentuk sebelum perang (pada era Pemerintah Hindia Belanda).

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan, lalu kemudian eks kader-kader PNI terbelah menjadi dua kubu yang masing-masing membentuk partai-partai sendiri. Mr Satono membentuk Partai Indonesia (Partindo) yang mana ketua cabang Batavia adalah Amir Sjarifoeddin Harahap dan cabang Soerabaja adalah Mohamad Jamin. Kedua tokoh Partindo ketua cabang ini adalah sama-sama mahasiswa Rechthogeschool Batavia. Sebagaimana disebut di atas, ketika Partindo ini dibentuk, Assaat adalah mahasiswa baru di Rechthogeschool Batavia. Sementara itu eks kader PNI lainnya membentuk partai baru yang dimotori Soetan Sjahrir dkk dengan membentuk partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Setelah Ir Soekarno keluar dari penjara (setelah pengurangan hukuman) lebih memilih berafiliasi dengan Partai Indonesia (sedangkan Mohamad Hatta setelah pulang studi dari Belanda) lebih memilih Partai Pendidikan Nasional. Representasi inilah yang muncul kemudian ketika Soetan Sjahrir dan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap membentuk partai di era Republik Indonesia (Partai Sosialis Indonesia) yang mana kelompok ini terbilang mendominasii Badan Kerja KNIP, seperti disebut di atas Soetan Sjahrir ketua dan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai wakil ketua. Meski Dr Abdoel Hakim terbilang non-partai lebih condong ke kubu Soetan Sjahrir, sementara Mr Assaat lebih condong ke kubu Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Menurut kawan saya, antara Dr Abdoel Halim dan Mr Assaat masih terbilang berkerabat dekat (tetapi berbeda orientasi).

Dalam perkembangannya, struktur kepemimpinan di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah. Tidak lagi susunan Mr Kasman Singodimedjo, Mas Sutardjo Kertohadikusumo, Mr J. Latuharhary dan Adam Malik, tetapi dengan komposisi baru. Mr Kasman Singodimedjo adalah salah satu bagian dari program strategis Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kini, Mr Kasman akan fokus pada urusaan pertahanan (militer/TNI).

Pada saat Menteri Pertahanan masih berada di tangan Presiden Soekarno (semasih kabinet Presidensial), peran Menteri Pertahanan secara defaktor berada di tangan Mr Amir Sjariefoeddin Harahap. Dalam situasi inilah Mr Amir Sjarifoeddin meminta Letnan Jenderal Oerip untuk merekrut sejumlah sarjana pintar yang masih muda-muda untuk dilatih secara militer (akademi militer di Djogjakarta) yang lalu bebera hari kemudian dibentuk organisasi tentara Indonesia (TRI) pada tanggal 5 Oktober 1945. Letnan Jenderal Oerip merekrut 17 sarjana yang dilatih di akademi militer di Djogjakarta, Mereka ini kemudian diangkat dengan pangkat Overste (letnan kolonel) untuk mengurus berbagai fungsi strategis. Overste Dr Ibnoe Soetowo di kilang mintak Tjepoe (yang menjadi cikal bakal Pertamina; Overste Ir MO Parlindoengan di pabrik senjata dan mesiu di Bandoeng (cikal bakal PINDAD); Overste Mr Kasman untuk mengorganisir pembentukan struktur tentara Indonesia (cikal bakal TRI/TNI); Overste Mr Arifin Harahap untuk menangani masalah informasi startegis di Batavia yang diperbantukan di kemernterian penerangan; Overste Ir Tarip Abdoellah Harahap untuk membenhtuk fungsi transportasi dengan membentuk Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia (DAMRI) yang menjadi cikal bakal PT Damri; Overste Dr Eri Soedewo (dinas kesehatan di Bandoeng), Overste Dr Irsan Radjamin Nasution (dinas kesehatan di Soerabaja); Overste Dr Willer Hoetagaloeng (dinas kesehatan di Djogjakarta yang kemudian diposisikan mennjadi dokter pribadi Jenderal Soedirman). Ketika ibu kota pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Djakarta pada bulan Januari 1946 Overste Mr Arifin Harahap yang disisakan di Djakarta/Batavia sebagai komisaris atau semacam dubes. Dalam hal ini diduga kuat juga termasuk Overste Zulkifli Lubis (urusan intelijen) dan Overste Hamengkoeboewono sebagai pemimpin daaerah di Djogjakarta. Mereka ini semua tidak pernah terhubung dengan KNIL dan PETA. Secara dejure mereka inilah tentara Indonesia pertama (yang lain saat itu masih sebagai komandan-komandan perlawana di berbagai tempat seperti Soengkono, TB Simatoepang. AE Kawilarang, Moefreni Moekmin, Abdoel Haris Nasution dan Soedirman).

Salah satu dari kepemimpinan baru di KNIP adalah Mr Assaat (lihat Limburgsch dagblad, 19-08-1946). Tentu saja wakil dari barisan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap masih tetap eksis yang mana Mr Assaat menggantikan Adam Malik (yang mulai intens di kantor berita Antara, kantor berita Republik Indonesia bersama Mochtar Lubis). Mr Assaat berasal dari Partai Sosialis.

Adam Malik memulai karir politik di Partai Indonesia (Partindo). Pada saat terbentuknya Partinfo tahun 1931 dimana ketua cabang Batavia adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan ketua cabang Soerrabaja Mohamad Jamin, maka dalam perluasan partai ini dimulai di Sumatra. Partai PNI (baru) yang mana didalamnya ada Soetan Sjahrir dan Mohamad Hatta mengkapitalisasi lebih awal di Padang dan Fort de Kock. Sementara Partindo di Tapanoeli dan Sumatra Timur. Untuk wulayah Tapanoeli dibebankan kepada Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan di wilayah Sumatra Timur adalah Mohamad Jamin. Untuk kader di wilayah Tapanoeli muncul nama Adam Malik (Siantar Man!) yang justru masih muda belia (masih berumur 17 tahun). Pada tahun 1934 Adam Malik tersandung provokatif Partindo lalu ditangkap di Sipirok dan dipenjarakan di Padang Sidempoean. Namun kader Partindo lain terus bekerja yang di Sibolga diperankan oleh Mohamad Arief Lubis (seorang pemimpin redaksi di Sibolga). Untuk di Sumatra Timur Mohamad Jamin mengkader sejumlah tokoh termasuk adiknya Djamaloedin alias Adinegoro (pemimpin reedaksi surat kabar Pewarta Deli). Setelah Adam Malik keluar dari penjara (nyaris dibuang ke Digoel), Adam Malik hijrak ke Batavia yang kemudian pada tahun 1937 Adam Malik dkk mendirikan kantor berita Antara. Pada saat ini Partindo dibubarkan pemerintah tahun 1936, tetapi segera Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dkk membentuk partai baru Gerakan Rakyat Indoesia (Gerindo) pada bulan Mei 1937. Para pendidiri ini antara lain Mr Sartono, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Mr Mohamad Jamin dan Mr AK Gani. Beberapa bulan kemudian kantor berita Antara didirikan yang notabene organ dari Gerindo. Pada saat ini seperti disebut di atas, Assaat baru lulus ujian tingkat doktoral pertama di Recht Hogeschool (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-04-1937). Pada saat ini Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin belum lama dinyatakan luslus mendapat gelar Mr di Rechthogeschool.

Dalam fase inilah perundingan Linggarjati diadakan pada akhir tahun 1946. Dalam hal ini panitia kerja KNIP sangat strategis dalam menyiapkan keputusan-keputusan stratgeis. Keputusan di dalam badan kerja ini adakalanya dilakukan voting (yang pemenangnya sudah cukup dengan 13 suara). Ini yang terjadi dengan draft Perjanjian Linggarjati Hasil perundingan banyak yang menolak terutama dari Partai Masyumi. Soetan Sjahrir dalam tekanan yang akhirnya ada pihak tertentu yang menculiknya di wilayah Solo. Hal itu membuat Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri BKR) marah besar dan berangkat ke Solo untuk membebaskan Soetan Sjahrir dkk yang ditahan/disembunyikan.

Perjanjian Linggarjati ini di dalam badan pekerja dibahas dan ditandatangani. Sebelum ditandatangani diadakan voting yang mana mayoritas (di atas 13 suara) menolak draft itu (yang diduga telah ditandatangani pada saat perundingan). Dalam fase ini ketua badan pekerja Mr Assaat, yang turut dalam voting tanggal 20 Januari itu menolak penentangan ini, sempat mau keluar seperti rekannya yang lain, namun karena ia adalah ketua sidang terpaksa tetap mengakomodir penolakan draft perjanjian itu (lihat Algemeen Indisch dagblad, 21-01-1947). Sidang badan pekerja ini dilakukan sebelum pertemuan KNIP berikutnya. Menjelang persidangan KNIP tersebut muncul peraturan presiden no 6 yang berisi tentang reorganisasi keanggota KNIP dan jumlahnya menjadi 413 orang (keanggotaan lama tidak berlaku lagi). Turunnya peraturan ini diangap berbagai pihak Presiden Soekarno tidak ingin bertanggungjawab hasil perjanjian karena KNIP akan menolak (Soekarno awalnya mendukung hasil perjanjian). Para pendukung perjanjian Linggarjati menolak keputusan presiden itu. Lalu badan pekerja melakukan sidang mendadak di Poerworedjo. Saat yang sama para kabinet melakukan sidang yang akhirnya memutuskan bahwa hal itu dianggap hak prerogatif Presiden. Rapat kabinet itu dihadiri 18 Menteri yang mana tujuh orang mendukung perjanjian Linggarjati. Dalam sidang badan pekerja juga mendukung pertaturan itu yang memang di dalam badan pekerja mayoritas terbilang adalah Masyumi dan PNI (yang sedikit berseberangan dengan PS). Dalam situasi ini semua pendukung perjanjian sebanyak tujuh orang meninggalkan sidang, kecuali Mr Assaat meski mendukung perjanjian tetapi tidak bisa meninggalkan sidang karena ia sendiri adalah ketua badan pekerja. Parlemen lama pendukung Perjanjian Linggarjati telah digantikan oleh parlemen baru (Dekrit Presiden No 6). Dalam sidang KNIP Lama di Malang yang diketuai oleh Mr Assaat, perwakilan Masjumi, partai nasionalis (PNI) dan ‘Barisan Banteng’ menyatakan bahwa menurut pendapat mereka tidak hanya panitia kerja, tetapi juga KNIP sendiri harus dibubarkan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-02-1947). Disebutkan pada saat yang sama juga di Malang diadakan pertemuan organisasi pekerja di Jawa dan Sumatra yang menyepakati mendukung dekrit presiden. Dalam sidang KNIPI tanggal 2 Maret di Malang, Perdana Menteri Soetan Sjahrir tetap mendukung kebijakannya. Dalam sidang ini juga disebutkan Mr Assaat kembali terpilih sebagai ketua KNIP (lihat De Volkskrant, 03-03-1947). Sebagai wakil adalah Soekardjo Wirjopranoto (non partai) dan Ki Hadjar Dewantoro.

Sementara itu Mr Assaat dan Dr Abdoel Halim masih berada di badan kerja KNIP. Mr Assaat yang terpilih kembali sebagai ketua KNIP tampak semakin akomadatif. Namun Dr Abdoel Halim memiliki hal tersendiri. Mr Assaat yang juga menjadi ketua badan pekerja KNIP (di Djogjakarta) terus bekerja dengan jumlah anggota sebanyak 47 orang (telah meningkat jika dibandingkan dari awal sebanyak 25 orang). Dalam rapat tertutup yang diadakan tanggal 12 April, diangkat wakil ketua pertama dan wakil ketua kedua yakni Tedjosoekmana (Sumatera) dan MA Latjoeba dari Masjumi (lihat Nieuwe courant, 21-04-1947).

Untuk mengamankan hasil perundingan Linggarjati, Dr Abdoel Halim ditempatkan di Batavia sebagai komisaris (semacam dubes) untuk menggantikan Mr Arifin Harahap. Namun hasil Linggarjati ini terus mendapat tekanan dari para Republiken yang mengusung NKRI 100 persen. Soetan Sjahrir menjadi mati langkah yang akhirnya Perdana Menteri Soetan Sjahrir mengundurkan diri. Lalu Presiden Soekarno menunjuk empat pemimpin partai untuk menyusun kabinet baru yakni Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (PS), Gani (PNI), Soekiman (Masjumi) dan Setiadjit (Partai Buru) (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 01-07-1947). Kabinet baru (diumumkan pada tanggal 3 Juli 1947) dengan Mr Amir Sjariefoeddin Harahap sebagai Perdana Menteri.

Situasi dan kondisi terkini menyebabkan Dr Abdoel Halim mengajukan permohonan kepada presiden untuk mengundurkan diri sebagai komisaris di Batavia. Lalu bagaimana dengan Mr Assaat? Tentulah masih aman, karena Mr Assaat adalah satu barisan dengan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (yang kemudian menjadi Perdana Menteri baru).

Dalam kabinet Amir Sjarifoeddin Harahap ini, terbilang diisi oleh barisan yang dipimpin oleh Mr Amir Sjarifoeddin Harahap antara lain menempatkan AK Gani sebagai salah satu wakil perdana menteri. Juga mengangkat Hadji Agus Salim sebagai Menteri Luar Negeri (Partai Masyumi). Mr Amir Sjarifoeddin Harahap juga mengangkat Mr Ali Sastoamidjojo (Partai PNI) sebagai Menteri Pendidikan (teman seperjuangan yang sama-sama dipenjara oleh militer Jepang di Malang). Juga Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mengangkat Ong Eng Die di dalam jajaran menteri keuangan. Mr Amir Sjarifoeddin Harahap juga mempertahankan rekan lamanya Soeltan Hamengkoeboewono yang sejak awal berempat nmendesain organisasi TNI (Amir, Oerip, Soeltan dan Zulkifli Lubis). Kabinet ini dapat dikatakan kabinet berwarna-warni (Bhinneka Tungal Ika).

Kabinet Mr Amir Sjarifoeddin Harahap terbilang sangat kuat, lebih-lebih di Badan Kerja masih banyak barisan apalagi salah satu ketua KNIP Mr Assaat masih barisan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Rapat kabinet terbatas diadakan (lihat Algemeen Indisch dagblad, 11-07-1947).

Disebutkan dalam rapat kabinet terbatas itu, Antara melaporkan dari Djokjakarta bahwa di kediaman Presiden hari ini para anggota delegasi Drs Setiadjid dan Dr Leimena melaporkan dan mengadakan pertemuan informal dengan Perdana Menteri Sjarifoeddin Harahap, Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dalam rangka persiapan perundingan dengan Belanda. Turut hadir dalam pertemuan ini Presiden Sukarno, mantan Perdana Menteri Sjahrir dan ketua panitia kerja KNIP, Mr Assaat. Kabinet juga akan menggelar rapat informal dengan panitia kerja KNIP selambat-lambatnya pada pukul 17.00 hari ini, dimana dalam rapat tersebut para anggota delegasi akan kembali melapor.

Pada bulan November 1947 Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mengubah sedikit komposisi kabinetnya diantaranya menambah satu posisi wakil perdana menteri yakni mengangkat Mr Sjamsoeddin (rekan lama di Rechthogeschool yang juga sekretaris Partindo yang kini menjadi anggota Partai PNI). Last but not least Mr Amir juga memanggil kembali Mohamad Roem untuk posisi Menteri Dalam Negeri (alumni Rechthogeschool)..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mr Assaat: Aman di KNIP, Presiden RI di Jogjakarta Era RIS, Ditangkap di PRRI

Seperti halnya perjanjian Linggarjati yang membuat Kabinet Sjahrir jatuh, demikian juga dengan Kabinet Amir jatuh karena perjanjian Renville. Lagi-lagi dua partai besar yang menekan PS yakni Partai Masjumi dan Partai PNI. Mr Amir Sjarifoeddin Harahap kemudian mengundurkan diri dan Kabinet Amir dibubarkan pada tanggal 23 Januari 1948. Proses politik berlangsung makin panas dan sambung menyambung hingga Belanda/NICA melakukan agresi dan menduduki ibu kota RI di Djogjakarta.

Saat sidang badan kerja dalam upaya memperjuangkan kebijakan pemerintah dalam mendukung hasil Perjanjian Linggarjati, anggota badan kerja KNIP dari PS walk-out karena kalah dalam sidang (lawan Masjumi dan PNI). Namun Mr Assaat yang juga (berasal dari PS) pendukung hasil perjanjian berdalih tidak bisa ikut meninggalkan sidang karena bertindak sebagai ketua. Mengapa bisa begitu? Mr Assaat adalah anggota PS dari barisan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Pada pemilihan ketua KNIP berikut Mr Assaat terpolih (yang juga tetap menjadi ketua badan kerja). Hal yang sama juga terulang pada saat tekanan pihak lain pada hasil perjanjian Renville yang menyebabkan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap pengundukan diri yang lalu kemudian Kabinet Amir dibubarkan. Mr Assaar tetap sebagai ketua KNIP dan badan kerja. Dalam situasi dan kondisi ini Soetan Sjahrir dan barisannya di PS memisahkan diri dengan membentuk partai baru Partai Sosialis Indonesia (PSI) (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 14-02-1948). Kelompok Soetan Sjahriri sendiri di PS hanya bagian kecil. Dalam perkembangannya sebagai besar PS diketahui telah menjadi partai dengan nama Front Demokratik Rakjat (FDR). Dalam situasi ini Mr Assaat yang meski masih PS barisan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap tetap sebagai ketua KNIP (juga ketua badan kerja). Mr Assaat dalam hal ini menjadi aman dan dianggap netral meski namanya masih sering disebut PS Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. SOBSI yang sebelumnya menjadi onderbouw PS dan Pesindo yang menjadi organisasi pemuda PS memilih berafiliasi dengan FDR Dalam hal ini PSI (eks PS) tidak memiliki kekuatan setara dengan FDR (eks PS). Mr Assaat, yang tidak berafiliasi dengan PSI tetap disebut sebagai PS barisan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Dalam peristiwa Madioen yang dipimpin Moeso dimana FDR ikut bergabung pada akhirnya terjadi penangkapan terhadap para pemimpin oleh Divisi Siliwangi termasuk Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Sebagian besar para pemimpin yang dihubungkan dengan peristiwa Madioen dieksekusi. Dalam hal ini, Mr Assaat kembali aman di KNIP (bahkan selama Kabinet Hatta hingga terjadinya Agresi Militer Belanda yang kedua yang menduduki Djogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948)..

Dalam pendudukan Djogja pada tanggal 19 Desember 1948, sejumlah pemimpim ditangkap termasuk Mr Assaat. Pada pagi sebelum ditangkap (saat pasukan KNIL baru menduduki lapangan terbang Magoewo), Jenderal Soedirman meminta para pemimpin terutama Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta mundur ke belakang (pindah dari Djogja) namun permintaan itu tidak digubris. Lalu Jenderal Soedirman meminta pasukan Siliwangi yang dipimpin Major Jenderal Abdoel Haris Nasution kembali ke Jawa Barat untuk berjuang (bergerilya).

Pada saat itu komposisi badan kerjan KNIP yang diketuai oleh Mr Assaat terdiridiri dari 43 orang. Komposisinya terdiri dari sebelas orang dari FDR, tujuh dari Masjumi, enam dari PNI, dan empat dari PSI. Mr Assaat termasuk anggota FDR.

Setelah itu Jenderal Soedrimarn dan pasukannya berangkat menuju selatan ke arah Poerworedjo. Sebelum meninggalkan Djogja, Jenderal Soedirman memberi maklumat yang isinya mendelegasikan Dewan Militer ke Bukittinggi dimana ada Major Jenderal Soehardjo. Lalu Jenderal Soedirman tahu diri memposisikan diri di bawah komando militer di Sumatra saat berangkat dari Djogjakarta memulai bergerilya membelakagni para pemimpin Indonesia yang tetap di Djogjakarta. Sejak inilah perselisihan Jenderal Soedirman berawal dengan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta.

Arnhemsche courant, 20-12-1948 memberitakan ‘bahwa kemarin malam (tanggal 18 Desember) Radio Boekittinggi (Port de Koek) mengumumkan pengumuman dari komisariat republik di Sumatera, yang ditujukan kepada semua dewan pertahanan daerah dan instruksi yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Hatta/Perdana Menteri Mohamad Hatta yang menyatakan bahwa mulai saat ini semua wilayah ditempatkan di bawah otoritas langsung dewan pertahanan. Para pejabat, sejauh mereka belum ditugaskan untuk mundur, harus tetap di tempat jika Belanda merebut kota-kota’. Tampaknya Mohamad Hatta telah memprediksi apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan (di Soematra). Mengapa maklumat itu tidak mengindikasikan berlaku di Jawa? Tentu saja keputusan Mohamad Hatta tidak disetujui oleh Jenderal Soedirman. Lalu pada pagi tanggal 19 Desember, ketika situasi yang diprediksi benar-benar terjadi dan sudah di depan mata, Jenderal Soedirman dengan keyakinanya, masih sempat meminta para pemimpin ikut ke wilayah pengasingan. Namun tetap tidak digubris. Boleh jadi Jenderal Soedirman berkesimpulan bahwa para pemimpin RI telah menyerah sebelum terjadi. Jenderal Soedirman juga telah meminta Kolonel TB Simatoepang untuk melakukan gerilya di bagian utara Djogjakarta (Jawa Tengah). Tiga komandan militer inilah yang check out dari Djogjakarta tidak mau menyerah dan lebih memilih perang gerilya. Foto (sebelum pendudukan Djogjakarta di Kaliorang) Mr Assaat, Ir Soekarno dan Konsul India.

Fase inilah yang disebut di Jawa Barat peristiwa Long March, pasukan Siliwangi harus bergegas ke Jawa Barat melalui berbagai rintangan hutan rimba menghindari patroli KNIL untuk sampai ke wilayah Jawa Barat yang akhirnya menemukan jalan ke wilayah barat Bandoeng, selatan Tjiandjoer dan Soekaboemi dimana menjadi pusat gerilya pasukan Siliwangi. Pada pukul tiga sore seluruh kota Djogjakarta jatuh ke tangan militer KNIL. Para pemimpin yang tetap berada di dalam kota ditangkap. Semua pemimpin Indonesia berada di bawah pengawasan yang dipusatkan di istana Soekarno dan tempat kediaman Mohamad Hatta di Djogjakarta. Mereka akan diperlakukan sesuai dengan pangkatnya, demikian diberitakan Arnhemsche courant, 20-12-1948 . Kini, para pemimpin Indonesia di Djogjakarta yang tengah menyerah (diinternir) menunggu hukuman (pengasingan?).

Dalam perkembangannya diketahui sejumlah anggota KNIP termasuk Mr Assaat juga diasingkan (lihat Indische courant voor Nederland, 24-12-1948). Pada berita lain disebutkan Mr Masdoelhak Nasution, Ph.D penasehat hukum pemerintah (Ir Soekarno dan Drs Mohamad Hatta) diciduk di rumahnya di Kalioerang dan dibawa ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah. Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan lain berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Apa yang menyebabkan pembunuhan ala fasis ini dilakukan? Pemerintah Belanda tampaknya tampaknya takut akan berjuang di dunia internasional dari sudut pandang hukum yang bisa menjatuhkan otoritas Belansda dalam kasus agresi militer Belanda di Djigjakarta. Masdoelhak Nasution meraih gelar doktor (Ph.D) di Utrecht pada tahun 1943 dengan predikat cum laude. Hal serupa inilah yang terjadi sebelumnya dengan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dieksekusi tanpa diadili yang dikhawatirkan dapat menjatuhkan otoritas pemerintahan di bawah pimpinan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Kasus Masdoelhak ini akhirnya bocor ke luar yang diumunmkan oleh perwakilan Indonesia di London. Sontak Dewan Keamanan PBB bereaksi keras atas dibunuhnya para intelektual muda Indonesia dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi segera (lihat De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Pemerintah Kerajaan Belanda menyikapinya dengan segera dan lalu melakukan sidang dan terbukti di pengadilan pihak Belanda telah melakukan kesalahan berat (lihat De waarheid, 25-02-1949). Sejumlah pers di Belanda menyebut tindakan ini sebagai tindakan keji dan menggunakan metode fasis (mungkin pers Belanda masih ingat bagaimana tentara NAZI Jerman saat menduduki Belanda tahun 1940 dan mengeksekusi sejumlah para pemimpin di Belanda).

Pada tanggal 16 Januari juru bicara Belanda di PBB memberitahukan langkah Amerika Serikat setelah mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di Indonesia merencanakan pembentukan Republik Indonesia Serikat di bawah pengawasan Dewan Keamanan PBB yang akan dimulai pembicaraannnya di Dewan Keamaan PBB pada Senin sore (lihat di De Nederlander, 17-01-1949). Tentu saja itu membuat kaget Belanda, karena hal internal Belanda sedang didalami di Belanda maupun di Batavia. Juga disebutkan Filipina bersuara keras hal yang terjadi di Indonesia yang akan dibicarakan di konferensi di New Delhi yang mengusulkan pengenaan sanksi dan pemutusan hubungan dengan Kerajaan Belanda sesuai Pasal 40 Piagam PBB dan pemberian dukungan material kepada orang Indonesia. Sementara di dalam negeri, di luar wilayah RI, pemimpin Indonesia di wilayah federal sibuk membicarakan negara federalis (BFO-Konsultasi Biro Federal) yang diketuai Soelan Hamid II dari Pontianak dengan anggotanya adalah Anak Agoeng (Indonesia Timoer), Ateng Kartanahardja (Pasoendan), Djoemhana Wiriamadjo (Jawa Timur) dan Kaliamsjah Sinaga (Sumatra Timur). Sebaliknya dari Djogjakarta mereka dengan tegas mengatakan tidak dapat menerima tanggung jawab atas langkah-langkah Belanda melawan Republik dan tidak dapat bekerja sama dengan Belanda. Dalam hal ini tampaknya terbagi menjadi dua pihak siapa yang terus berjuang dan siapa yang telah menghianati perjuangan (lebih-lebih para pemimpin Indonesia diasingkan dan sejumlah intelektual Indonesia dibunuh).

Di Dewan Keamandan PBB di Amerika Serikat Dr van Royen berbicara, namun dibantah oleh para perwakilan Indonesia (lihat De waarheid, 17-01-1949). Royen mengatakan bahwa para pemimpin Indonesia yang diasingkan dirawat dengan baik tetapi diprotes pihak Indonesia bahwa kenyataannya Roem, Hatta, Sastroamldjojo, Soeriadarma, Assaat dan Pringgodigo yang sedang ditawan di puncak bukit terpencil dekat Moentok (Bangka) disatukan dalam satu rumah yang dijaga ketat dan hanya mereka yang di dalam jika melihat keluar harus naik ke atap. Lagi-lagi terlihat metode fasis yang dilakukan seperti halnya di Pakem. Satu hal lagi bahwa diberitakan sebanyak 380 perwira yang berada di dalam catatan kementerian pertahaan (semasih Mohamad Hatta di Djogjakarta) telah membelot ke pihak Belanda (KNIL). Dalam konteks ini di luar para pemimpin di wilayah federal, ada empat faksi orang-orang RI (dibunuh, bergerilya, diasingkan dan membelot). Dua kelompok yang pertama dapat dikatakan sebagai Republiken sejati.

Dalam suatu pemungutan suara yang dilakukan oleh BFO dalam menentukan orang terkemuka Republik Indonesia (yang boleh jadi diajak bicara, di luar orang federalis) dilaporkan oleh De Nieuwsgier dan dilansir Nieuwsblad van het Noorden, 18-01-1949 Mr Assaat mendapat 10 suara. Disebutkan anggota BGO yang hadir  13 orang melakukan voting terhadap 27 kandidat. Nilai tertinggi 11 adalah Soetan Sjahrir, Soeltan Djokja, dan Agoes Salim, Di lapisan kedua dengan nilai 10 suara adalah Soekarno, Mohamad Hatta dan Supomo; pada lapisan ketiga dengan nilai 8 suara antara lain Assaat. Nilai paling rendah yang diumumkan dengan nilai 3 suara adalah Abdoel Hakim. Semakin tinggi nilai semakin mudah diajak bekerjasama dan semakin rendah nilai semakin sulit diajak kerjasama oleh BFO.

Abdoel Hakim Harahap adalah Resident Tapanoeli. Seperti halnya Jenderal Soedirman, Major Jenderal Abdoel Haris Nasution dan Kolonel TB Simatoepan lebih memilih bergerilya, hal itu juga yang terjadi dengan Residen Tapanoeli Abdoekl Hakim Harahap dengan wakilnya Binanga Siregar lebih memilih bergerilya berada di belakang TNI agar lebih memungkinkan tetap dekat dengan penduduk yang mengungsi di Tapanoeli ketika agresi militer Belanda yang dimulai pada tanggal 20 Desember di Tapanoeli yang dalam hal ini Residen bisa membantu logistik tentara Indonesia dan para laskar penduduk. Di wilayah Tapanoeli, Abdoel Hakim dikenal dezngan julukan Residen Perang. Khusus untuk kota Padang Sidempoean tempat kampong halaman Abdoel Hakim, penduduknya terbilang heroik saat kedatangan militer Belanda/KNI:L para penduduk membakar kota (aksi bumi hangus) agar tidak ada fasilitas yang dapat digunakan administrasi dan militer Belanda. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Bandoeng dua tahun sebelumnya dimana Kolonel Abdoel Haris Nasution berada sebagai Panglima Siliwangi (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Pada agresi militer kedua ini di Padang Sidempoean melakukan aksi bumi hangus (lihat Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949). Disebutkan ‘...Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan daripada di bagian utara’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-01-1949: ‘di seluruh Tapanoeli TNI dan laskar republik telah mundur ke gunung, disini tidak ada kebijakan bumi hangus yang diterapkan kecuali di Padang Sidempoean, Selatan Tapanoeli. Penduduk diminta meninggalkan kota, diancam dengan pembalasan jika mereka bekerja sama dengan Belanda’. Seperti halnya di Padangsche Bovenlanden (kampong halaman Mr Assaat), di wilayah Tapanoeli menjadi dua wilayah di Indonesia yang clear en clean dari kerjasama penduduk dengan pihak Belanda. Saat agresi ini kepala dinas perdagangan kota Padang Sidempoean adalah Kalisati Siregar yang juga ikut mengungsi (Kalisati Siregar adalah ayah dari Dr Hariman Siregar, ketua Dema UI dalam kasus Malari 1974).

Dalam perkembangannya untuk mencari solusi atas kebuntuan yang ada diadakan perundingan yang dari pihak Republik dipimpin oleh Mohamad Roem yang kemudian dikenal sebagai perundingan Roem-Royen yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan hasil perjanjian ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Batavia. Dalam fase perundingan ini sudah jelas yang mana pro Republik Indonesia dan yang mana yang membentuk negara federalis (memisahkan diri dari Republik Indonesia). Isi perjanjian itu pada dasarnya berisi gencatan senjata, pemulihan keamanan dan pengembalian pemimpin Indonesia ke Djogjakarta. Satu yang penting lagi adalah persiapan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan diadakan di Den Haag.

Berdasarkan perjanjian Roem Royen, di Djogjakarta, Soeltan yang tetap pro RI sangat kebingungan karena komandan militer yang dapat dipercaya tidak ada. Sebab sebelum kehadiran pemimpin Indonesia kembali ke Djogjakarta nantinya, proses evakuasi militer Belanda (KNIL) harus dilakukan. Soeltan Djogjakarta tentu khawatir akan terjadi bentrok antara militer Belanda yang mau keluar dan tentara RI yang akan masuk yang bisa jadi akan terjadi chaos. Soeltan Djogjakarta mengutus tim ke berbagai wilayah gerilya untuk menjumpai Jenderal Soedirman Namun rumor yang ada komandan militer terdekat hanya di selatan Kediri (Jenderal Soerdirman) dan TB Simatoepang di Banaran (selatan Semarang) dan sementara Abdoel Haris Nasution jauh di Soekaboemi selatan, Jawa Barat. Hanya tida kmandan ini yang sanhgat dipercaya Soeltan. Mengapa? Akhirnya TB Simatoepang ditemukan dan segera dengan pasukannya ke Djogjakarta. Soeltan Hamengkoeboewono lega.

Para pemimpin yang lebih awal datang ke Batavia/Djogjakarta dari pengasingan antara lain Mr Assaat. Pada akhir Mei, paling tidak Mr Assaat sudah diketahui berada di Batavia (lihat Nieuwe courant, 27-05-1949). Disebutkan ketika diwawancara wartawan Keng Po, Ketua KNIP, Assaat, menyatakan bahwa tidak ada kesulitan yang diharapkan dalam sidang Badan Kerja KNIP mendatang mengenai pengesahan perjanjian hasil perjanjian Roem-Royen. Menurut Mr Assaat bahwa Panitia Kerja KNIP akan diadakan di Djokja pada minggu pertama setelah kembalinya pemerintahan Republik. Mr Assaat menyatakan sidang dapat berlangsung memenuhi kuorum dengan setengah anggota ditambah satu menjadi 23 orang. Mr Assaat juga menyatakan bahwa badan kerja beranggotakan 43 orang, saat ini ada sembilan yang belum hadir yang mana dari FDR baru dua orang yang hadir. Siapa yang dua orang tersebut tidak diketahi secara pasti. Apakah  salah satu diantaranya Mr Assaat?

Mr Assaat tampaknya menanggung beban ganda dibanding pemimpin Indonesia lainnya. Mr Assaat tidak hanya diasingkan ke Bangka, juga istrinya sakit di Djogjakarta yang lalu dipindahkan ke Batavia untuk dirawat. Saat Mr Assaar lepas dari pengasingan, istrinya meninggal dunia di Batavia (lihat Nieuwe courant, 15-06-1949). Disebutkan hari Minggu yang lalu (12 Juni, red) istri Assaat ketua badan kerja KNIP meninggal dunia di Batavia dan telah dikebumikan.

Di Djogjakarta diketahui divisi terakhir militer Belanda hari Kamis pukul satu (KNIL) telah dievakuasi yang dipimpin Kolonel van Langen (lihat Nieuwe courant, 01-07-1949). Dengan demikian, kendali wulayah Djogjakarta kembali kepada Soeltan Hamengkoeboewono yang didampingi oleh Kolonel TB Simatoepang. Juga disebutkan Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo dan Ketua KNIP Mr Assaat akan terbang ke Bangka pada hari Jumat, dimana mereka akan menunggu dengan orang-orang terkemuka Republik disana sampai Soeltan mengundang mereka untuk datang ke Djokjakarta. Tentu saja di Djogjakarta Soeltan akan memerlukan beberapa hari untuk menyiapkan berbagai akomodasi dan sebagainya (sehubungan dengan ibu kota RI kembali ke Djogjakarta). Lalu beberapa hari kemudian tim ini (rombongan) akan kembali hari Rabu dari Bangka langsung menuju Djogjakarta (lihat Arnhemsche courant, 05-07-1949).

Embarkasi menuju Djogjakarta tampaknya dipusatkan di Bangka. Tentu saja para pemimpin dari Prapat juga menuju Bangka. Sementara itu disebutkan Dr Leimena, Mohamad Natsir dan Dr Abdoel Halim diutus hari Senin untuk menemui Sjafroedin Prawiranegara dkk di Bukittinggi. Namun tampaknya tidak mudah menemukannnya. Juga disebutkan Jenderal Soedirman diharapkan akan datang pada hari Rabu. Menteri Kasimo yang diketahui selama ini ikut bergerilya telah tiba di Djogjakarta. Tuan rumah Soeltan Hamengkoeboewono (plus Kolonel TB Simatoepang) tampaknya sudah siap dengan pemulihan ibu kota RI di Djogjakarta. Organisasi mahasiswa (yang dipimpin oleh Lafran Pane) telah bekerja siang dan malam untuk produksi lima puluh ribu bendera kertas untuk dibagikan kepada penduduk. Nieuwe courant, 06-07-1949 memberitakan Radio Republik Indonesia tadi malam dengan pidato Soeltan Djokja kembali mengudara, radio yang dibreidel sejak hari pertama agresi militer Belanda di Djogjakarta. Penduduk dan pedagang yang selama pendudukan menggunakan jalan belakang dan melewati sawah, ladang dan desa, sekarang menggunakan jalan utama lagi. Andong dan sepeda sudah ramai di jalanan. Sebagian besar toko Cina di kota telah dibuka kembali. Foto Natsir, Soeltan dan Simatoepang di Djogjakarta (Nieuwe courant, 06-07-1949).

Rombongan terakhir, yakni Sjafroeddin Prawiranegara dkk akhirnya tiba di Djogjakarta (lihat Nieuwe courant, 11-07-1949). Disebutkan Presiden PDRI itu akan menyerahkan mendat kepada Presiden Soekarno. Di bandara Mangoewo rombongan terakhir itu dijemput oleh Mohamda Hatta, Soeltan. Assaat dan lainnya. Juga disebutkan Sjafroeddin Prawiranegara dari lapangan terbang Padang hari Sabtu tiba di Kemajoran. Pada hari Minggu pagi rombongan berangkat ke Djogjakarta.

Tentu saja yang mulia Presiden Soekarno berada di istana di Djogjakarta untuk menerima Sjafroeddin Prawiranegara. Lantas bagimana dengan Jenderal Soedirman? Nah itu dia. Jenderal Soedirman yang tiba di Djogjakarta ogah menemui Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta. Mengapa? Jenderal Soedirman hanya berhenti di luar kota di batas kota Djogjakarta yang hanya disambut oleh Kolonel TB Simatoepang. Lalu apakah Soekarno dan Mohamad Hatta akan menemui Jenderal Soedirman? Tentulah tidak. Mohamad Hatta menjemput Sjafroeddin Prawiranegara di bandara karena Mohamad Hatta hanya Wakil Presiden sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara adalah Presiden (PDRI).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar