Kamis, 25 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (796): Kenduri Swarnabhumi; Sungai Batanghari, Hulu di Sumatra Barat, Hilir Jauh di Muaro Jambi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kenduri adalah satu haal, sungai Batanghari adalah hal lain lagi. Sejarah sungai Batanghari adalah sejarah yang panjang. Sungai Batanghari berhulu di Solok Selatan (Sumatra Barat) dan berhilir di Muaro Jambi dan Tanjung Jabung (Jambi). Dalam konteks inilah muncul gagasan kenduri Swarnabhumi.


Sungai menjadi bagian penting bagi manusia. Sungai merupakan jalur transportasi yang menghubung-rangkaikan satu lokasi dengan lokasi Dengan demikian, sungai bukan hanya berupa aliran air dari hulu ke hilir, melainkan bersamanya turut mengalirkan peradaban manusia. Satu di antara sungai yang dimaksud adalah sungai Batanghari, sungai Batanghari merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatra. Panjangnya lebih kurang 800 km yang melintasi dua provinsi, yaitu Sumatra Barat dan Jambi, serta melewati sekian banyak kabupaten/kota, di antaranya adalah Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya, Bungo, Tebo, Batanghari, Kota Jambi, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur. Sungai Batanghari mencatat perjalanan panjang sejarah kemelayuan di Sumatra hingga kawasan semenanjung. Setidaknya, hal tersebut telah ditapaki pada abad ke-7 hingga 13 Masehi dengan menjadi jalur perdagangan yang ramai. Tidak hanya para pedagang nusantara yang meramaikannya, melainkan juga dari Cina, India, Persia, hingga Arab dengan berbagai bahan perdagangannya. Maka, tidak mengherankan jika kemudian kita mendapati tinggalan arkeologi dan peninggalan penting lainnya yang menunjukkan adanya suatu peradaban atau pola hidup akuatik di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Prasasrti, candi/situs, area permukiman, perahu kuno, keramik, hingga arsitektur bangunan. Kembali mengingat pentingnya sungai Batanghari bagi peradaban kemelayuan di nusantara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) bersama 14 pemerintah daerah menginisiasi kegiatan Kenduri Swarnabhumi. Kenduri Swarnabhumi ini mengangkat tajuk utama: Peradaban Sungai Batanghari: Dulu, Kini, dan Nanti. Slogan kegiatan tersebut adalah “Cintai budaya kita lestarikan sungai, Cintai sungai kita lestarikan budaya”.(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Lantas bagaimana sejarah kenduri Swarnabhumi? Seperti disebut di atas, gagasan kenduri itu dalam kontek sejarah sungai Batanghari, hulu di Sumatra Barat dan hilir di Muaro Jambi. Lalu bagaimana sejarah kenduri Swarnabhumi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kenduri Swarnabhumi; Sungai Batanghari, Hulu di Sumatra Barat, Hilir di Muaro Jambi

Festival Kenduri Swarnabhumi, suatu kenduri masa kini yang memiliki banyak makna. Seperti dikutip di atas, kenduri Swarnabhumi itu, telah mengingatkan kita untuk Kembali ke masa lalu di zaman kuno. Namun yang perlu dicatat disini, kenduri Swarnabhumi masa kini adalah satu hal, bagaimana peristiwa sejarah di masa lampu/zaman kuno adalah hal lain lagi. Antara keduanya tidak bisa otomotis dihubungkan.


Pada masa ini ada narasi sejarah kita (Nusantara/Indonesia) yang sudah tuntas (layak dibukukan, diajarkan), tetapi ada narasi sejarah kita yang belum sepenuhnya tuntas, dalam arti lain, fakta dan data di satu sisi dan analisis dan interpretasi masih sulit dipastikan (masih kerap diperdebatkan). Semakin jauh di masa lampau apalagi zaman kuno, ketidakpastiannya semakin tinggi. Hal itu karena data yang tersedia sangat minim dan pendekatan analisis yang dilakukan masih terbatas. Persoalan penyelidikan sejarah bahka pada era yang lebih baru banyak yang masih samar-samar, katakanlah sejumlah isi sejarah sejak kemerdekaan Indonesia (interval belum satu abad). Isu sejarah zaman kuno, yang berabad-abad di masa lampau, sudah barang tentu lebih banyak yang samar-samar.

Swarnabhumi adalah nama kuno untuk (pulau) Sumatra. Tentu saja banyak nama lain untuk pulau Sumatra, ada nama Andalas, ada nama Emas dan sebagainya. Sejak zaman doeloe, Sumatra umumnya dibagi dua Sumatra bagian utara dan Sumatra bagian selatan. Bahkan ada peneliti pada era Hindia Belanda menyatakan bahwa pulau Sumatra itu awalnya terdiri dari dua pulau, pulau sebelah utara dan pulau sebelah selatan yang kemudian menyatu sama lain seiring dengan waktu, menjadi satu pulau yang kemudian disebut pulau Sumatra atau dengan nama-nama yang lainnya..


Ada perbedaan antara nama Sumatra dengan nama Jawa. Jika Sumatra disebut Swarnadwipa dan Jawa disebut Jawadwipa. Dalam perkembangannya muncul nama populasi, di pulau Jawa disebut orang Jawa, di Sumatra disebut orang Sumatra. Orang Dalam perkembangannya, orang Sunda menolak disebut orang Jawa, tetapi lebih memilih orang Sunda atau paling tidak orang Jawa Barat. Lalu bagaimana dengan orang Sumatra? Yang jelas yang muncul adalah orang Melayu, orang Minangkabau, orang Batak dan sebagainya. Pada era Hindia Belanda muncul nama Sumatra, Utara, Sumatra Barat, Sumatr Selatan dan Sumatra Timur. Pada awal era RI muncul nama wilayah Sumatra bagian utara, Sumatra bagian selatan dan Sumatra bagian tengah. Pada masa kini, berbeda dengan (pulau) Jawa, pulau Sumatra adalah pulau Sumatra, tidak ada lagi orang Sumatra dalam arti sosiologis. Nama Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan hanya diartikan sebagai nama-nama wilayah saja, tidak lebih dari itu (hanya berdasarkan ilmu geografis, bukan dikaitkan dengan nasionalistik).    

Nama Suvarṇabhūmi atau variasinya awalnya ditemukan dalam beberapa sumber pada masa lampau utama di India pada era Hindoe/Boedha. Swarnabhumi diartikan sebagai pulau/daratan Emas. Ptolomeus abad ke-2 mengartikulasi nama itu dengan nama Aurea Chersnesus. Namun dimana tempat yang sebenarnya Swarnabhumi itu masih belum pasti. Ini mengindikasikan bahwa nama Swarnadwipa belum bisa diklaim sepenuhnya sebagai Sumatra. Yang jelas nama Sumatra hanya merujuk pada pulau Sumatra.


Lokasinya tetap menjadi salah satu toponim yang paling sering dijadikan mitos dan diperdebatkan dalam sejarah Asia. Dalam sebuah studi dari berbagai sumber sastra mengenai lokasi Suvarnabhumi, Saw Mra Aung menyimpulkan bahwa tidak mungkin untuk menarik kesimpulan yang mutlak mengenainya, dan bahwa hanya penelitian ilmiah menyeluruh yang akan mengungkap mana dari beberapa versi Suvarnabhumi adalah orisinal (lihat Wikipedia).

Dalam konteks Kenduri Swarnabhumi yang dikutip di atas, fokusnya berada pada keberadaan sungai Batanghari. Sebab sungai inilah yang terbilang satu-satunya penghubung yang nyata antara wilayah Sumatra Barat dan wilayah Jambi yang sekarang. Nama Batanghari ini menjadi penting karena di daerah aliran sungai inilah kemudian disebut berada kerajaan-kerajaan termasuk diantara kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Dharmasraya.


Nama Sriwijata pertama kali disebut dalam prasasti Kedoekan Boekir 682 M. Nama Sriwijaya juga disebut dalam prasasti Tanjore 1030 M. Nama Sriwijata terakhir kali hanya ditemukan dalam prasasti Tanjore tersebut. Nama-nama negeri yang disebut dalam teks prasasti Tanjore antara lain yang Namanya mirip dengan nama-nama di wilayah Padang Lawas” Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Langga Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola); Madamalingam (Mandailing). Semua nama-nama tersebut pada masa ini adalah nama-nama yang masih eksis di Padang Lawas. Tapanuli Selatan (daerah aliran sungai Baroemoen). Untuk sekadar menambahkan nama tempat yang disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) yakni Minanga mirip dengan nama Binanga di wilayah Padang Lawas. Nama ini juga mirip yang ditemukan dalam prasasti Laguna (900 M).

Pada masa invasi Chola, dalam catatan Tiongkok disebutkan bahwa pada tahun 1082 ada utusan dari Chen-pi sebagai bawahan San-bo-tsi dan dari Po-lin-fang. Dalam hal ini antara pantai timur Sumatra dan pantai timur Tiongkok sudah terbentuk hubungan timbal balik. Ini diduga bermula sejak era I’tsing pada abad ke-7.


Dimana itu (kerajaan-kerajaan) yang utusannya diterima di Tiongkok, Chen-pi, San-fo-tso dan Pa-lin-fong. Meski nama-nama itu masih terus diperdebatkan, boleh jadi nama-nama tersebut adalah Jambi (Chen-pi); Palembang (Pa-lin-fong); dan Tambusai (San-bo-tsi). Dimana Jambi dan Palembang sudah cukup jelas. Bagaimana dengan nama Tambusai? Nama tempat itu berada di wilayah Padang Lawas (Tapanuli bagian selatan). Apakah dalam hal ini nama San-bo-tsi juga adalah Tembesi? Mungkin tidak, karena Jambi dan Tembesi berada di wilayah yang sama.

Nama Sriwijaya sudah lama tamat (terakhir 1030 M). Yang muncul ke permukaan adalah nama San-bo-tsi. Setelah invasi Chola muncul kerajaan Mauli. Seperti kita lihat nanti, nama Mauli disebut pertama dalam prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand.


Dalam catatan Tiongkok tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-bo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung Malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda).

Nama kerajaan San-bo-tsi diduga kuat adalah nama kerajaan yang menggantikan nama kerajaan Sriwijaya. Selama invasi Chola, negeri San-bo-tsi tidak termasuk yang ditaklukkan. Oleh karenanya negeri-negerinya berada lebih banyak di sekitar Laut China. Negeri-negeri yang disebut dalam prasasti Tanjore seperti Panai telah melemah.


Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian pada tahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco yang berada di Dharmasraya, kerajaan ini beribu kota dibhumi malayu, sebagai hadiah untuk Kerajaan Singhasari. Nama Mauli disebut dalam prasasti Padang Roco tahun 1286 dimana disebutkan raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa  mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Dharmasraya dalam Pararaton disebut ibu kota dari negeri Bhūmi Mālayu. Apakah dalam hal ini kerajaan Mauli telah pindah dari Luat China ke pantai timur Sumatra?

Kerajaan Singhasari di Jawa kemudian digantikan oleh kerajaan Majapahit. Radja Kertanegara meninggal tahun 1292. Menurut FM Schnitger (1936) bahwa ada kedekatan kerajaan Singhasasi di Jawa dengan kerajaan-kerajaan di Padang Lawas. Hal itu karena ada candi di Singhasari yang mirip dengan candi-candi di Padang Lawas. FM Schinitger diduga adalah salah satu pendukung agama Boedha Batak sekte Bhirawa. Kerajaan-kerajaan di Padang Lawas ini diduga antara kerajaan Panai (sebagaimana disebut dalam prasasti Tanjore 1030).


Nama-nama yang berada di wilayah Tapanuli Selatan yang bersumber dari teks Negarakertagama (1365) adalah Pane, [Padang] Lawas dan Mandailing (plus Rokan dan Baroes). Tampaknya nama Pane dan Mandailing masih eksis sejak prasasti Tanjore 1030 M. Nama Lawas adalah nama wilayah Padang Lawas (berbatasan dengan Angkola dan Mandailing) dimana terdapat sungai Batang Pane dan sungai Batang Baroemoen. Nama Tambusai (San-bo-tsi) berada di hulu sungai Rokan.

Nama-nama lain yang disebut di dalam teks Negarakertagama antara lain Siak, Kampar, Jambi dan Palembang serta Dharmasraya. Keterangan ini menjadi penting, karena satu-satunya sumber sejaman yang mendaftarkan begitu nama-nama tempat di nusantara termasuk di Sumatra. Namun anehnya hanya satu nama yang disebut di wilayah Sumatra bagian selatan (nama Palembang saja). Mengapa bisa begitu padahal sejumlah prasasti ditemukan di wilayah Palembang yang berasal dari abad ke-7?


Jika dibaca secara cermat dan dihubungkan satu sama lain, prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7 sebenarnya mengindikasikan pembentukan suatu otoritas kerajaan baru di wilayah Palembang (prasasti Kedoekan Boekit 682 M dan prasati Talang Tuwo 684 M). Untuk mengukuhkan kerajaan baru ini dibuat maklumat kepada negeri-negeri di sekitar (Palembang sendiri, prasasti Telaga Batu; Bangka, prasasti Kota Kapoer, Lampung, prasasti Pasemah; dan Jambi, prasasti Karang Brahi). Satu yang penting dari beberapa prsasti ini disebut duan ama tempat yang pertama raja Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga dengan membawa pasukan dan nama yang kedua disebut pasukan berangkat untuk menyerang ke Jawa.

Jika Minanga yang ditemukan dalam prasasti Kedoekan Boekit (abad ke-7) adalah Binanga di Padang Lawas, maka antara satu prasasti dengan prasasti berikutnya menjadi terhubung satu sama lain. Binanga berada di Padang Lawas dimana terdapat kerajaan-kerajan Panai, Rokan dan Tambusai (San-bo-tsi). Kerajaan-kerajaan di Padang Lawas tidak hanya terhubung ke seluruh Sumatra juga ke Semenanjung dan Laut China.


Dalam hal ini wilayah Padang Lawas telah terhubung dengan Palembang dan Jambi sejak abad ke-7 (prasasti Kedoekan Boekit dan prasasti Karang Brahi). Nama Dharmasraya juga ditemukan di dalam teks prasasti yang ditemukan di Padang Lawas (lihat Prasasti Batugana I/Panai, abad ke-12-abad ke- 14). Kerajaan Panai (yang pertama kali disebutkan pada abad ke-11 pada parasasti Tajore), secara geografis berdekatan dengan kerajaan Tambusai dan kerajaan Rokan. Seperti disebut di atas, dalam catatan Tiongkok tahun 1225 disebutkan bahwa negeri-negeri yang berada di bawah San-bo-tsi (Tambusai) antara lain Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang).

Seperti halnya wilayah Palembang, pada abad ke-7 juga wilayah Jambi (di muara sungai Batanghari) telah dikenal. Hal ini karena ditemukan prasasti Karang Brahi yang berasal dari abad ke-7. Lantas mengapa di dua wilayah ini tidak ditemukan nama-nama yang disebut dalam prasasti Tanjore abad ke-11. Nama di dua wilayah ini baru muncul pada abad ke-13 dalam catatan Tiongkok. Pada abad ke-14 dalam teks Negarakertagama tetap disebut nama Palembang dan Jambi, tetapi nama-nama penting justru terkonsentrasi di wilayah utara (di hulu daerah aliran sungai Batanghari dan pantai timur Sumatra). Nama-nama di daerah aliran sungai Batanghari adalah Jambi, (Muara) Tebo dan Dharmasraya. Nama-nama di pantai barat antara lain Minagkabau dan Baroes.


Sementara nama-nama di pantai timur antara lain adalah Kandis, Korintang, Kampar, Siak, Rokan, Panai, H/aru, Kampe (kini di Deli), Tamiang, Samudra dan Lamuri, Wilayah-wilayah pantai timur Sumatra ini pada abad ke-13 disebut berada di bawah Tambusai, antara lain: Kia-lo-hi (Grahi, selatan Thailand sekarang), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, pulau Langkawi?), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Jilotung, pantai utara Borneo?), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (Palawan, Filipina?), Tsien-mai (Tjiang Mai, Thailand?), Pa-t'a (Patani?), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sintang?).

Wilayah Padang Lawas tampaknya selalu eksis dari masa-ke masa dimana kerajaan yang menonjol silih berganti. Pada abad ke-7 dalam prasasti Kedoekan Boekit ada nama Minanga/Binanga (Panai). Pada abad ke-11 pada prasasti Tanjore disebut nama Panai. Pada abad ke-14 teks Negarakertagama juga disebut nama Panai. Apakah karena itu di wilayah Padang Lawas yang berpusat di Panai terdapat puluhan sisa candi-candi kuno?


Candi-candi di pulau Sumatra terpusat diwilayah Padang Lawas. Ada puluhan candi di wilayah Padang Lawas. Candi lainnya di Sumatra terdapat satu candi di hulu sungai Batanghari (Dharmasraya) dan satu candi di hilir sungai Batanghari (Muaro Jambi). Candi lainnya ada satu di hulu sungai Kampar (candi Muara Takus). Satu candi ditemukan di Tambusai (hulu sungai Rokan).

Pada abad ke-15 nama Panai menghilang, nama yang muncul ke permukaan di wilayah Padang Lawas adalah kerajaan Aru. Dalam teks Negarakertagama abad ke-14 nama Aru ditulis H/aru. Kerajaan Panai dan Kerajaan Aru bertetangga di Padang Lawas. Mendes Pinto yang pernah mengunjungi Kerajaan Aru Batak Kingdom pada tahun 1537 menyatakan pernah menyerang kerajaan Malaka, Mendes Pinto menyebut kekuatan Kerajaan Aru Batak Kingdom sebanyak 15.000 tentara, dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Indragiri, Brunai dan Luzon. Mendes Pinto menyebut Kerajaan Aru Batak Kingdom sedang berselisih dengan Kerajaan Atjeh.


Dari laporan Mendes Pinto ini mengindikasikan kerajaan-kerajaan di wilayah Padang Lawas mengindikasi dari masa ke masa memiliki pengaruh yang luas di seluruh Sumatra, Semenanjung dan Kawasan Laut China. Pada awalnya adalah Kerajaan Panai, kemudian Kerajaan Tambusai, Kembali lagi Kerajaan Panai dan terakhir Kerajaan Aru. Tampak dari masa ke masa itu terdapat hubungan antara Padang Lawas dan wilayah Jambi yang terhubung sejak abad ke-7 hingga abad ke-16. Pada abad ke-13 masih terlihay ada hubungan ke Palembang (tetapi menghilang di abad ke-16).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Batanghari, Hulu di Sumatra Barat, Hilir di Muaro Jambi: Geomorfologis Pulau Sumatra

Secara geomorfologis, pulau Sumatra pada masa ini tentulah sudah sangat berbeda jika dibandingkan pada masa lalu di zaman kuno. Pulau Sumatra kini jauh lebih gemuk, semakin meluas ke arah pantai timur. Oleh karenanya garis pantai di zaman kuno, kini berada jauh di pedalaman, Dengan kata lain sungai Batanghari yang sekarang masih sangat pendek (tidak sepanjang yang sekarang). Muara sungai Batanghari terus bergeser dari masa-ke masa mulai pedalaman hingga ke pantai di Tanjung Jabung.


Pada masa ini wilayah tengah provinsi Jambi di kabupaten Batanghari hanya dengan ketinggian 20 meter dpl. Tentu saja di wilayah kota Jambi di daerah hilir sungai Batanghari lebih rendah lagi. Suatu wilayah dengan hanya ketinggian 20 meter adalah wilayah sangat rendah. Dalam 1000 tahun permukaan tanah di daerah hujan tropis bisa naik setinggi 20 meter karena proses pelapukan sampah vegetasi. Jika ada dampak vulkanik bisa lebih tinggi lagi. Daerah hulu sungai Batanghari di kabupaten Muara Tebo hanya sekitar 36 meter dpl. Angka ketinggian ini juga terbilang rendah. Kabupaten Muara Bungo di wilayah hulu juga tidak terlalu tinggi hanya 48 meter dpl. Wilayah ketinggian kurang dari 50 meter dpl terbilang rendah. Wilayah yang lebih tinggi di pedalaman provinsi Jambi hanya ditemukan di wilayah Pegunungan Tigapuluh. Pegunungan ini diduga, pada masa lampau adalah suatu pulau besar di tengah lautan. Di sisi barat pulau inilah dalam perkembangannya terbentuk daratan baru dimana sungai Batanghari terus mencari jalan ke arah hilir.

Dalam konteks sejarah geomorfologis inilah kita membicarakan bagaimana situasi dan kondisi di daerah aliran sungai Batanghari dari masa ke masa. Pertanyaan pertama adalah dimana posisi GPS muara sungai Batanghari pada abad ke-7? Pada masa ini ditemukan sejumlah prasasti yang berasal dari abad ke-7. Seperti disebut di atas antara lain prasasti Kedoekan Boekit bertarih 682 M (di Palembang) dan prasasti-prasasti bertarih 686 M (di Kota Kapur/Bangka dan di Karang Brahi/Kabupaten Merangin, Jambi, serta Pasemah, Lampung).


Seperti dilukiskan dalam sketsa peta geomorfologis di atas, kota Palembang yang sekarang pada abad ke-7 diduga kuat masih berada di perairan/laut pada sebuah pulau di teluk besar. Ke dalam teluk ini bermuara sungai Musi, dimana di depan muara di perairan terdapat pulau kecil (dimana kini ditemukan prasasti Kedoekan Boekit). Sementara itu kota Bangko. Jambi yang sekarang dimana di Kawasan kebupaten Merangin ditemukan prasasti Karang Brahi berada di daerah aliran anak sungai Batang Tembesi (yang bermuara ke sungai Batanghari di kota Muara Tembesi). Pada masa itu diduga kuat sungai Tembesi dan sungai Batanghari bermuara ke suatu teluk besar, dimana di sebelah timur laut teluk terdapat pulau besar yang diduga pulau (pegunungan) Tigapuluh. Sedangkan pulau Bangka adalah pulau berdiri sendiri di lepas pantai timur Sumatra. Peta Portugis.

Perbandingan peta geomorfologis abad ke-7 dapat dibandingkan dengan peta-peta pada era Portugis. Dalam peta Portugis kota/kerajaan Jambi (ditulis: Sabi) masih berada di wilayah/belakang pantai (sementara di pantai barat diidentifikasi Kerajaan Batak, sedangkan kerajaan Palembang di arah tenggara pantai timur Sumatra). Teluk besar zaman kuno semakin menyempit dengan sisa teluk Jambi dimana kota Jambi terbentuk. Di dalam teluk diidentifikasi suatu pulau. Demikian juga di teluk Palembang, di depan kota/kerajaan sudah terbentuk pulau (baru) di dala, teluk. Dalam peta juga ditunjukkan antara pulau Bangka dan pulau Singkep terdapat gosong yang sangat luas seakan menyatukan kedua pulau.


Peta-peta Portugis kemudian dapat dibandingkan dengan peta-peta pada era Belanda/VOC. Dalam peta Belanda/VOC pulau di dalam teluk Jambi digambarkan semakin besar dibandingkan pada Peta Portugis. Namun dalam peta Belanda/VOC ini ada pembentukan pulau baru yang diidentifikasi sebagai pulau Trin, Di sebelah tenggara pulau Trin diidentifikasi sebuah tanjong yang disebut Tanjong Bon (diduga korupsi dari nama Tandjoeng Jabon atau Tandjoeng Jaboeng). Hal yang sama juga dapat diperhatikan di teluk Palembang, selain pulau yang dulu masih kecil kemudian semakin meluas serta ada juga diidentifikasi suatu pulau yang lebih kecil (yang diduga pulau yang terbentuk baru).

Apa yang bisa kita perhatikan pada masa ini secara geomorfologis, muara sungai Batanghari telah bergeser dari satu titik ke titik lain seiring dengan perubahan geomorfologis di daerah aliran sungai Batanghari dari masa ke masa. Pada era sebelum orang Eropa/Portugis datang, kemungkinan besar muara sungai Batanghari jauh di hulu kota Jambi, diperkirakan di Muara Tembesi yang sekarang (dimana sungai Tembesi bermuara di sungai Batanghari). Jika mundur lagi jauh di masa lampau pada abad ke-7 bolej jadi sungai Batanghari muaranya di kota Muara Tebo yang sekarang.


Seperti disebut di atas, saerah hulu sungai Batanghari di kabupaten Muara Tebo hanya sekitar 36 meter dpl dan di kabupaten Muara Bungo di wilayah hulu hanya 48 meter dpl, suatu ketiggian yang rendah (kurang dari 50 meter dpl), boleh jadi di zaman kuno pada abad ke-7 atau sebelumnya muara sungai Batanghari jauh di pedalaman jika dibandingkan pada masa ini. Dalam hal ini, Karang Brahi di kabupaten Merangin tempat ditemukan prasasti yang berasal dari abad ke-7 ada kemungkinan masih berada di pesisir/pantai. Secara geomorfologis, di masa lampau teluk Jambi jauh lebih besar dimana sejumlah sungai besar bermuara yakni: sungai Batanghari, sungai Tembesi dan sungai-sungai lainnya.

Dalam konteks geomorfologis ini, dari masa ke masa, pusat peradaban awal berkembang di dataran tinggi (wilayah pegunungan) yang menjadi cikal bakal pulau Sumatra. Dalam hal ini pulau Sumatra harus dianggap bermula dari suatu pulau yang ramping dari timur laut di utara (kini Aceh) hingga ke tenggara di selatan (kini Lampung). Seiring dengan proses sedimentasi jangka panjang, pulau Sumatra hanya sedikit meluas di pantai barat, tetapi secara radikal meluas di pantai timur, bahkan boleh jadi penambahan luas pulau Sumatra ini lebih lebar jika dibandingkan dengan bentuk/lebar pulau aslinya (dari zaman pembentukan karena aktivitas tektonik dan vulkanik).


Dalam konteks ini pula pusat-pusat peradaban baru berkembang di muara-muara sungai di pantai timur. Peradaban bermula di sepanjang pegunungan Bukit Barisan, kemudian semakin meluas ke arah pantai timur, mulai di Bunga Tebo, kemudian begeser ke Muara Tembesi. Lalu bergeser lagi ke hilir di Jambi, dan tentu saja pada masa kini terus bergeser ke Muara Sabak. Proses sedimentasi jangka panjang ini terus berlangsung hingga kini, pada suatu waktu nanti kota Muara Sabak akan terkesan lebih jauh lagi di pedalaman.

Perubahan bentuk (luas: panjang dan lebar) pulau Sumatra tidak sendiri, tetapi berlaku umum di pulau Jawa (pantai utara) dan pulau Kalimantan (pantai selatan dan barat). Dengan memahami perubahan bentuk pulau Sumatra secara geomorfologis, maka sejarah di Sumatra dari waktu ke waktu tentulah tidak menggambarkan situasi dan kondisi pulau Sumatra yang sekarang, tetapi bagaimana bentuk pulau itu berubah dari masa ke masa sejak zaman kuno hingga masa ini. Oleh karenanya kehadiran populasi di sepanjang daerah aliran sungai Batanghari tidak bersamaan di hulu dan di hilir. Dalam hal ini populasi di hulu sungai Batanghari harus dipandang lebih tua dari populasi yang di hilir.


Sehubungan dengan adanya Kenduri Swarnabhumi yang sekarang antara Sumatra Barat dan Jambi di batang sungai besar Batanghari haruslah dilihat sebagai relasi hulu dan hilir, relasi populasi yang lebih tua dengan yang lebih muda, relasi budaya yang lebih tua dengan budaya yang lebih muda. Dalam hal ini kebudayaan Melayu sejak awal berkembang di wilayah pantai/belakang pantai di sepanjang sisi pulau Sumatra. Oleh karena kebudayaan Minangkabau (Sumatra Barat) haruslah dianggap lebih tua dari kebudayaan Melayu (Jambi). Namun dalam perkembangannya pengaruh Melayu di sepanjang daerah aliran sungai Batanghari begitu kuat terhadap Minangkabau, paling tidak pada hari ini bahasa Minangkabau mirip bahasa Melayu (tidak sebaliknya).

Dalam hal penggunaan nama kenduri yakni Kenduri Swarnabhumi, itu juga harus menjadi milik semua populasu Sumatra mulai dari Aceh hingga Lampung sebagai nama pulau. Tentulah dalam hal ini harus dianggap Kenduri Swarnabhumi di daerah aliran sungai Batanghari hanyalah bagian dari Kenduri Swarnabhumi. Bisa jadi di wilayah lain (Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung) hal serupa juga dapat dilakukan dengan nama yang sama. Fakta bahwa nama Swarnabhumi adalah milik semua, pola-pola perkembangan budaya di daerah aliran sungai, khususnya di panati timur Sumatra, kurang lebih berlaku sama.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar