Sabtu, 29 Juli 2023

Sejarah Sepak Bola Indonesia (13): Piala Dunia, Jules Rimet, Piala FIFA; Indonesia di Putaran Final Piala Dunia di Prancis 1938


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Sepak Bola Indonesia di blog ini Klik Disini

Piala Dunia 1938 di Prancis, Indonesia dengan nama Hindia Belanda adalah wakil pertama dari Asia di Piala Dunia. Pada tahun 1918 FIFA telah mengakui Indonesia mewarisi Hindia Belanda sebagai negara pertama di benua Asia yang tampil di Piala Dunia. Tentu saja pengakuan itu juga merujuk bahwa pada Piala Dunia 1938 (negara) Belanda juga berpartisipasi. Oleh karena itu Hindia Belanda dalam Piala Dunia 1938 adalah Indonesia masa ini.


Sepak bola mulai dipertandingkan tanpa medali dalam Olimpiade Musim Panas 1900 dan 1904. Setelah FIFA didirikan tahun 1904, berupaya menyelenggarakan turnamen sepak bola internasional antarnegara di luar program Olimpiade; turnamen ini digelar di Swiss 1906. Sepak bola dijadikan sebagai kompetisi resmi internasional untuk pertama kalinya tahun 1908 bagi kategori laki-laki dalam Olimpiade Musim Panas 1908 di London. Oleh FA, badan pengatur sepak bola Inggris, kompetisi ini hanya diperuntukkan bagi pemain amatir. di Olimpiade dengan hanya diikuti oleh tim-tim amatir, Sir Thomas Lipton menggagas penyelenggaraan turnamen Sir Thomas Lipton Trophy di Torino tahun 1909 kejuaraan antartim individu (bukannya tim nasional) dari berbagai negara berbeda, satu tim mewakili satu negara. Kompetisi ini adakalnya disebut Piala Dunia pertama, namun FA Inggris menolak dan tidak bersedia mengirimkan tim profesional untuk turnamen. Pada tahun 1914, FIFA setuju untuk mengakui turnamen Olimpiade sebagai "kejuaraan sepak bola dunia bagi tim amatir", dan bertanggung jawab. Hal ini membuka jalan bagi penyelenggaraan kompetisi sepak bola antarbenua pertama di dunia, yakni dalam Olimpiade Musim Panas 1920. FIFA yang dipimpin Jules Rimet mulai menyelenggarakan turnamen sepak bola internasional yang terpisah dari Olimpiade. Kongres FIFA di Amsterdam 28 Mei 1928 memutuskan akan menggelar kejuaraan dunia sendiri. Tahun 1930, FIFA menetapkan Uruguay sebagai negara tuan rumah. Tim Amerika Selatan tidak bersedia berangkat ke Eropa untuk turnamen 1934 dan 1938, kecuali Brasil (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Piala Dunia, Piala Jules Rimet dan Piala FIFA? Seperti disebut di atas, Indonesia dengan nama Hindia Belanda turut dalam putara Final Piala Dunia di Prancis 1938. Indonesia adalah wakil Asia pertama di Piala Dunia. Lalu bagaimana sejarah Piala Dunia, Piala Jules Rimet dan Piala FIFA? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Piala Dunia, Jules Rimet dan Piala FIFA; Indonesia dalam Putaran Final Piala Dunia di Prancis 1938 

Pada tahun 1938 ketika Indonesia (baca: Hindia Belanda) berpartisipasi dalam Piala Dunia di Prancis penduduk Indonesia juga mendapat akses langsung melalui siaran langsung pandangan mata. Ini terjadi ketika Indonesia bertemu Hungaria di kota Rheim Prancis. Siaran langsung pandangan mata ini dilakukan oleh Erres Radio. Formasi skuad Indonesia melawan tim kuat Hungaria ini terdiri dari delapan orang pribumi, dua orang Belanda dan satu orang Cina. Boleh dikatakan meski bernama Nederlandsch Indie sejatinya adalah tim yang bertanding adalah (putra asli) Indonesia. Itulah puncak pencapaian sepak bola Indonesia sejak era Hindia Belanda.


Radio PHOHI, satu-satunya stasion radio di Nederland yang melakukan ’siaran pandangan mata’ ketika berlangsungnya pertandingan ‘Perdelapan Final’ Piala Dunia 1938 antara Indonesia vs Hungaria tanggal 5 Juni 1938 pukul 5 sore dari stadion Stade Veledrome Minicipal, Rheims, Prancis. Han Hollander, reporter PHOHI dari Rheims mengawali reportasenya sejak pukul 11.10. Sebelum membaca tulisan di bawah ini, dan mengikuti siaran pandang mata tersebut, simak dulu video DISINI. Siaran radio (Soerabaijasch handelsblad, 02-06-1938)

Bukti bahwa sepak bola Indonesia di Piala Dunia benar-benar ada dan nyata. Tidak hanya diberitakan di surat kabar juga dapat di dengar melalui radio di Indonesia. Pertandingan Indonesia melawan tim kuat Hongaria tersebut juga disiarkan di televisi di Eropa. Namun apa yang dapat dilihat di rekaman video dan di dengar di radio tidak menggambarkan keseluruhan perjalanan tim sepak bola Indonesia hingga bertanding di stadion Rheims di Prancis tanggal 5 Juni 1938 pukul 5 sore. Itu berarti di Indonesia tengah malam. Bagaimana semua itu bermula?


Kisah kehadiran Indonesia di Piala Dunia tahun 1938 kala itu masih bernama Nederlandsch Indie mengikuti proses yang normal: bukan penunjukan dan juga bukan menggantikan, tetapi mendaftar dan mengikuti proses prakualifikasi sebagaimana tim-tim lainnya yang berhasil ke Prancis. Hanya ada enam negara Asia anggota FIFA: Indonesia, Palestina, Jepang, China, Filipina dan Lebanon.

Pada tanggal 15 Maret 1937, FIFA menunjuk Jepang dan Indonesia untuk melakukan pertandingan prakualifikasi Piala Dunia 1938 yang pemenangnya akan melawan (play-off) pemenang pertandingan (play-off) antara Amerika Serikat (juara Amerika Utara) dengan Argentina (juara Amerika Tengah) untuk memperebutkan satu tempat dalam melengkapi 16 negara yang akan berlaga dalam final Piala Dunia 1938 di Prancis. Dalam hal ini penunjukan Indonesia dari Asia karena masa itu Indonesia telah memiliki kompetisi lokal yang teratur, sedangkan Jepang sebelumnya pernah memiliki tim Olimpiade yang kuat. Tim yang kuat dari Jepang dan tim memiliki kompetisi teratur dari Indonesia (sekarang kompetisi Jepang yang teratur).


Di dalam negeri, sesungguhnya ada dua federasi sepakbola, yakni: NIVU dan PSSI. Namun yang diakui oleh FIFA adalah NIVU. Persoalan muncul, sebab tentu saja pemain-pemain terbaik di Indonesia tidak hanya ada di klub-klub di bawah naungan NIVU tetapi juga klub-klub yang berafiliasi dengan PSSI. Akibatnya, ada kegalauan diantara petinggi NIVU, ini beralasan, karena tim-tim yang dihadapi di Piala Dunia 1938 terdiri dari tim-tim tangguh yang berasal dari Eropa. Apalagi, jika Indonesia lolos prakualifikasi dan menang playoff akan langsung bertemu dengan tim Hungaria yang menjadi tim terkuat di Eropa Tengah. Situasi dan kondisi jelang Piala Dunia 1938 mirip dengan situasi yang dihadapi Indonesia pada prakualifikasi Piala Dunia 2014 dimana terdapat dualisme kepemimpinan organisasi sepakbola Indonesia (antara kubu IPL dengan kubu ISL). Pemain-pemain Indonesia yang ikut dalam prakualifikasi 2012/2013 hanya yang berasal dari klub-klub di bawah naungan kubu IPL (saat itu FIFA tidak mengakui kubu ISL). Bagaimana Indonesia akhirnya bisa menuju partai final di Prancis? Pertandingan melawan tim Jepang yang diadwalkan di Hong Kong, Jepang mengndurkan diri (karena Jepang terlibat perang dengan Tiongkok). Indonesia menjadi maju untuk melawan hasil play-off antara Amerika Serikat dengan Argentina yang akan dijadwalkan dimainkan di Belanda. Namun Argentina berhalangan hadir. Oleh karena sepak bola belum popular di Amerika, Amerika juga kemudian menmbatalkan ke Belanda untuk melawan tim Asia, Indonesia. Akhirnya Indonesia tanpa pernah melakukan babak kualifikasi yang sebenarnya berhak ke Prancis. Jadi, dalam hal ini prosesnya Indonesia menuju putaran Piala Dunia di Prancis berjalan normal.

Presiden NIVU, Grouse mencoba mencari jalan keluar. Dia berinisiatif untuk membicarakan dengan petinggi PSSI dalam suatu pertemuan di Bandung. Presiden NIVU berharap terjadi unifikasi (NIVU dengan PSSI). Akan tetapi deadlock. Dengan pengakuan FIFA terhadap NIVU dan tidak tercapainya unifikasi, otomatis potensi pemain berkualitas hanya dapat diperoleh dari kompetisi yang dilakukan oleh klub-klub dibawah afiliasi NIVU. Sementara itu, tidak mudah untuk menyeleksi semua pemain klub-klub NIVU karena homebase klub-klub NIVU tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatra dan Sulawesi–yang tentu saja berjauhan. Dengan pertimbangan biaya dan jarak yang berjauhan, NIVU hanya membatasi seleksi pemain untuk Piala Dunia 1938 di wilayah Jawa saja.


Untuk proses seleksi ini, NIVU mendatangkan pelatih berkualitas dari Belanda bernama Mastenbroek dan NIVU juga menyelenggarakan kompetisi dadakan di tiga perserikatan (subwilayah) Jawa untuk memantau pemain potensil, yakni: Jawa bagian barat dipusatkan di Bandung (perserikatan dari Batavia, Bandoeng dan Semarang) yang dilangsungkan tanggal 24, 25 dan 26 Desember 1937; Jawa bagian timur dipusatkan di Malang pada tanggal 29 dan 30 Desember 1937 (perserikatan Soerabaja dan Malang); dan Jawa bagian tengah dipusatkan di Solo tanggal 30 Desember 1937 (perserikatan Solo dan Djokjakarta). Selanjutnya, kombinasi pemain yang masing-masing mewakili tiga subwilayah (tiga tim) dipertemukan pada awal Februari 1938 di Solo. Pertemuan tiga tim subwilayah ini menjadi fase terakhir dalam memantau dan memilih kandidat pemain ke Piala Dunia. Catatan: Tim dari masing-masing daerah (bond) dan yang mewakili subdivisi merupakan pemain-pemain dari klub yang berada di bond masing-masing.

Pelatih Mastenbroek, memantau tournament untuk merekrut pemain yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya dalam membentuk tim Indonesia ke Piala Dunia. Hasilnya, dipanggil sejumlah pemain untuk mengikuti pelatihan dan uji coba. Pada fase keberangkatan menuju pemusatan latihan di Medan, akhirnya jumlah pemain diciutkan menjadi hanya 17 pemain yang benar-benar berangkat ke Prancis.


Nama-nama pemain tim Indonesia yang berangkat ke Prancis sudah ditetapkan sebanyak 17 pemain. Surat kabar De Indische courant, 12-04-1938 memberitakan bahwa secara aklamasi Nawir ditunjuk menjadi kapten tim dan Rohrig sebagai wakil kapten. Untuk maskot tim adalah Teddybear, sebuah boneka beruang Teddy yang hampir seukuran bayi (lihat De Indische courant, 19-04-1938).

Hasil seleksi dari turnamen tiga subwilayah di Jawa, menurut para dewan NIVU sesungguhnya tidak begitu optimis dibandingkan dengan seharusnya untuk kebutuhan level permainan di Eropa. Namun itulah kenyataannya (dualisme kompetisi, pencarian bakat yang hanya di Jawa dan juga semakin sempitnya waktu persiapan). Akan tetapi dukungan yang luar biasa dari Mr. Karel Lotsy (Presiden KNVB, PSSI-nya di negeri Belanda) membuat para official Tim Indonesia untuk berangkat ke Eropa tetap bersemangat.


Karel Lotsy yang juga menjadi pejabat tinggi di FIFA sangat simpatik talenta yang ada di Indonesia. Sebelum berangkat ke Eropa, tim NIVU akan memainkan pertandingan terakhir di Batavia pada hari Minggu siang 24 April di lapangan BVC melawan "sisa" Batavia. Tim NIVU: Mo Heng (Malang), Samuels (Surabaya), Anwar (Batavia), Nawir (Soer.), Taihutu (Batavia), Patiwael (Batavia), Hong Djien (Soer.), Hukom, F Meeng, Tan See Han, Summers. Cadangan: Van Beuzekom (Batavia), Harting (Surabaya), Van der Burj (Djocja), Faulhaber (Semarang), Sudarmadji (Surabaya) dan Telwe (Surabaya). Hasil pertandingan di Batavia berakhir dengan skor 4-1 (2-0) untuk kemenangan Tim NIVU melawan tim Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-04-1938).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Indonesia dalam Putaran Final Piala Dunia di Prancis 1938: NIVU dan PSSI 

Akhirnya Tim Indonesia berangkat dan memulai perjalanan panjang ke Eropa, dari Batavia tanggal 27 April 1938. Namun, Tim Indonesia tidak mengikuti rute dan skedul pelayaran reguler Batavia-Amsterdam (yang umumnya berada tiga minggu pelayaran), melainkan melakukan perjalanan dengan rute yang disesuaikan dengan kondisi pemain dan program pelatihan yang direncanakan (di dalam negeri, selama perjalanan dan di Eropa/Belanda). Oleh karenanya ada sejumlah persinggahan sebelum menuju Rheims, Prancis. Ini semua dimaksudkan untuk tetap menjaga stamina pemain tetap kondusif dan berupaya agar terjadi peningkatan performance hingga hari-H di Rheims pada tanggal 5 Juni 1938. Persinggahan pertama dilakukan di Medan.


Di Medan, Tim Indonesia melakukan pemusatan pelatihan terakhir di tanah air sebelum menuju Eropa. Pada tanggal 30 April di Medan melakukan uji coba melawan sebuah tim bentukan yang terbilang kuat yang merupakan kombinasi para pemain terbaik di Medan dan sekitarnya. Meski Tim Indonesia dapat memainkan partai indah dalam pertandingan itu, tetapi tidak mampu menang 4-2 (lihat De Sumatra post, 02-05-1938). Pelatih berdalih itu hanya sekadar latihan, apapun hasilnya tidak masalah. Hasil di Medan ini tidak terlalu diperhitungkan, tetapi tujuan utama lebih pada mendapatkan gambaran yang baik dari apa yang dapat selama pemusatan latihan sebelumnya di Soerabaja dan  Batavia serta hasil partai uji coba di Bandung melawan klub Bandung tanggal 13-3-1938. Tim ini dipimpin Mastenbroek yang didampingi ofisial van Bommel  (Pemimpin Umum) dan Weiss serta Nona Meyer sebagai sekretaris. Sementara tujuh belas pemain dipilih dari (hanya) tiga perserikatan di Jawa yang terdiri dari delapan orang Belanda, tiga orang Ambon, dua orang Sumatra, satu orang Jawa dan tiga orang Tionghoa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 25-05-1938). Jika hanya disebut satu orang Jawa itu berarti adalah Soedarmadji. Lantas siapa dua orang Sumatra. [Soetan] Anwar telah diklaim sebagai orang Minangkabau. Satu lagi sudah tentu yang dimaksud adalah Achmad Nawir. Lantas siapa [Achmad] Nawir? Darimana asalnya di Sumatra? Padang Sidempoean?

Skuad Tim Indonesia yang jumlahnya 17 pemain tetap bersemangat selama dalam pelayaran. Selain memupuk komunikasi, memperkuat solidaritas dan kerjasama antar pemain, para pemain dan official juga sangat akrab dengan para penumpang lain dan awak kapal. Perjalanan yang jauh dan waktu yang lama di dalam kapal secara teknis para pemain tidak bisa berlatih sepakbola. Namun untuk menjaga kondisi fisik, mereka masih bisa melakukan banyak kegiatan olahraga penunjang di dalam kapal.


Setiap pagi para pemain berlatih di dek kapal, ketika para penumpang masih tidur. Jenis olahraga yang dilakukan antara lain senam, dektermis, tenis meja dan lain-lain sehingga tubuh pemain dapat tetap fit. Para official juga terus memantau dan mengatur sedemikian rupa pola makan dan jam tidur malam. Salah satu pemain, Mo Heng selama di kapal masih memiliki masalah cidera pergelangan tangan dan di kapal pernah melakukan radiografi.

Relaksasi dilakukan di Colombo, Port Said, Genoa dan Marseille. Colombo adalah sebuah kota pelabuhan penting di Asia Selatan yang selalu menjadi titik strategis persinggahan kapal-kapal Belanda (Amsterdam-Batavia dan sebaliknya). Biasanya kapal-kapal Belanda singgah cukup lama di kota ini. Para penumpang di kota ini biasanya mengambil kesempatan ini untuk relaksasi seperti jalan-jalan, belanja/perbekalan bahkan untuk menginap di hotel. Hal yang mirip dilakukan penumpang juga terjadi di Port Said, suatu pelabuhan penting di Mesir yang menghubungkan Eropa dan Asia (West-East). Selanjutnya dari kota pelabuhan yang berada di jalur Terusan Suez ini, Tim Indonesia justru menuju Genoa (pelabuhan utama di Italia) dan dari Genoa dilanjutkan ke Marseille (pelabuhan utama di Prancis).


Rute ini tidak lazim untuk orang-orang Belanda dan maskapai pelayaran Negeri Belanda. Di Marseille perjalanan moda transportasi laut diganti dengan moda transportasi darat. Dari Marseille Tim Indonesia melanjutkan perjalanan ke Den Haag dengan menggunakan kereta api trans Eropa (Parijschen) milik Prancis. Setiba di Den Haag, para pemain sedikit mengalami cuaca yang berbeda, 10 dari 17 pemain mengalami kedinginan namun tetap semangat.

Akhirnya, Tim Indonesia tiba di Den Haag tanggal 18 Mei 1938 setelah melakukan perjalanan panjang dengan kereta api dari Marseille [biasanya, orang-orang Belanda dari Batavia tiba di Belanda mendarat di pelabuhan Amsterdam]. Di stasion kereta api Den Haag, tidak dinyana, Tim Indonesia disambut meriah, baik oleh pejabat KNVB, pengurus klub HBS maupun para simpatisan dan keluarga para pemain termasuk para mantan-mantan pemain sepakbola di Indonesia. Tim Indonesia kemudian menaiki bus menuju hotel Duinoord di Sweelinckplein, tempat para pemain dan official menginap selama di Belanda. Setiba di hotel dilakukan pertemuan khusus antara pemain dan official Tim Indonesia dengan pejabat KNVB, pimpinan HBS dan lainnya.


Semua pembiayaan selama di Belanda ditanggung penuh melalui KNVB. Sedangkan tempat training centre selama di Belanda ditetapkan di kompleks sepak bola klub HBS, Den Haag. Tim Indonesia di Den Haag direncanakan akan tinggal sampai tanggal 31 Mei 1938. Untuk kegiatan uji coba, Tim Indonesia pertama melawan tim professional HBS pada tanggal 25 Mei 1938 di Houtrust dengan hasil akhir, 2-2. Mo Heng dalam petandingan ini masih ada kendala dan mungkin akan memerlukan waktu pemulihan. Uji coba lainnya adalah melawan klub VV Haarlem di Haarlem pada tanggal 31 Mei 1938 dengan skor 5-3 untuk kemenangan Tim Indonesia. Kegiatan uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh kesan yang baik dari tim setiba di Eropa dan melihat sejauh mana hasil yang diperoleh selama pemusatan latihan yang berbasis di Den Haag. Hasil yang diperolah melawan HBS dan Haarlem (yang tidak full team), memang performance tim belum menjanjikan, tetapi para pelatih punya cara sendiri dan menganggap penting untuk meminta pendapat para wartawan tentang performa tim dan apa saran-saran mereka. Selama di Den Haag, suasana hati para pemain dan upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman para pemain terus dibina. Mungkin menonton sepakbola adalah hal sepele, tapi itu juga menjadi bagian dari program latihan tim Indonesia. Para pemain diajak untuk menonton pertandingan antara klub Heracles dengan klub Feyenoord tanggal 26 Mei 1938.

Setelah tim menyelesaikan pemusatan latihan di Den Haag, Tim Indonesia berangkat tanggal 2 Juni 1938 menuju Rheims, Prancis. Tim Indonesia berangkat dari Den Haag pada pukul 10.56 ke Prancis. Setelah tiba di Paris jam 16.54, tim disambut oleh konsul. Pada hari berikutnya, pukul 10.30 meneruskan perjalanan ke Rheims. Menurut official tim, sampai tanggal 1 Juni penjualan tiket pertandingan Indonesia-Hongaria telah habis terjual dengan menghasilkan sebanyak 70.000 franc. Kapasitas stadion memiliki 19.000 tempat duduk.


Tim Hungaria sendiri sudah lebih dulu tiba di Rheims. Waktu yang ada dimanfaatkan oleh Tim Indonesia untuk berlatih fisik dan uji coba lapangan stadion Velodorme, Rheims. Malam sebelum hari-H, Walikota Rheims mengundang dan menjamu makan malam kedua tim. Susunan pemain kedua tim (Bataviaasch nieuwsblad, 07-06-1938). Seperti disebut di atas, tujuh belas pemain ke Prancis terdiri dari delapan orang Belanda, tiga orang Ambon, dua orang Sumatra, satu orang Jawa dan tiga orang Cina. Yang diturunkan sebagai line-up adalah dua Cina (Mo Heng dan Hong Djien), satu Jawa (Sudarmadji), dua Ambon (Pattiwael dan Taihutu) dan dua Sumatra (Anwar dan Nawir). Itu berarti ada tujuh non-Belanda. Empat Belanda adalah Samuels, Hukom, Zommers dan F Meeng. Nama Meeng tidak ditemukan dalam marga orang Belanda, apakah Frans Meeng adalah orang Indo? Demikian juga dengan nama Hukom, apakah orang Indo? Yang benar-benar orang Belanda hanya ada nama Zommers dan Samuels.

Orang Prancis ternyata memiliki cara pandang tersendiri tentang sepakbola. Ternyata penduduk Kota Rheims datang berbondong-bondong ke stadion untuk menonton dan menunaikan tiket yang telah mereka beli jauh sebelum hari pertandingan. Mereka sangat respek terhadap Tim Indonesia setelah membaca semuanya di dalam koran pagi. Tapi, tak mereka sangka, sebelum pertandingan dimulai, dari tengah lapangan para pemain Indonesia memberi salam hormat kepada para penonton yang telah duduk manis baik ke arah tribun barat maupun tribun timur (hal serupa ini tidak dilakukan Tim Hungaria). Sontak, para penonton berdiri untuk membalas salam hormat Tim Indonesia. Rasa hormat di balas dengan rasa hormat.


Pertandingan dimulai. Priiit. Roger Conrie, wasit asal Prancis meniup pluit, tanda pertandingan dimulai. Mo Heng, yang sudah sembuh dari cedera pergelangan tangan, berada sigap di depan gawang. Pertahanan Tim Indonesia yang dikawal oleh dua center back, Hukom dan Samuel agak rapuh, sehingga Mo Heng harus beberapa kali menyelamatkan gawang Tim Indonesia sebelum akhirnya gawang Tim Indonesia kebobolan. Tidak ada riuh rendah, melainkan penonton terdiam saja ketika gol pertama terjadi. Ini menujukkan tanda bahwa kelihatannya penonton yang hampir seluruhnya orang Prancis dan sebagian besar penduduk Kota Rheims memihak Tim Indonesia. Tidak ada sorak sorai penonton setiap gol yang tercipta kepada Tim Hungaria. Akan tetapi, setiap ada adegan indah dan heroik dari pemain Indonesia, para penonton bergemuruh. Indonesia dalam pertandingan ini kalah telah 6-0. Boleh jadi, orang Prancis melihat pertandingan ini sebuah drama: antara tim kuat vs tim lemah. Memang akhirnya, Tim Hungaria menang telak enam kosong, tetapi para penonton puas melihat penampilan Tim Indonesia yang sangat heroik. Inilah drama dalam sepak bola dan orang Prancis yang hadir di stadion memang menikmati betul drama itu. Sisi humanis penonton Prancis lebih mengemuka dalam pertandingan Tim Indonesia vs Tim Hungaria. Untuk diketahui klub kota Rheim bernama Stade de Rheim adalah juara nasional liga Prancis tahun 1935 (lihat De Telegraaf, 27-05-1935). Kapten dua tim bersalaman, sama-sama dokter ((De Indische courant, 07-06-1938)

Tim Indonesia dan Tim Belanda yang sama-sama tampil di Piala Dunia 1938, bernasib serupa. Kedua tim ini sama-sama kalah dalam pertandingan knock out Perdelapan Final. Bedanya, Tim Belanda langsung pulang, sedangkan Tim Indonesia tidak. Rupanya, petinggi KNVB (asosiasi sepak bola Belanda) dan petinggi NIVU (asosiasi sepakbola Indonesia) sama-sama tidak puas dengan hasil yang dicapai di Piala Dunia 1938 di Prancis. Kedua organisasi sepak bola anggota resmi FIFA itu sepakat untuk mempertemukan dua tim yang sama-sama terluka itu di dalam satu pertandingan. Lalu ditetapkan pertandingan kedua tim nasional tersebut dilangsungkan tanggal 26 Juni 1938 di stadion Olympisch, Amsterdam. Kemudian masing-masing tim mempersiapkan diri. Tim Indonesia kembali ke Den Haag, tempat dimana markas Tim Indonesia sebelum berlaga ke Prancis. Di komplek stadion HBS, Tim Indonesia melakukan pemusatan latihan kembali. Sebelum melakukan pertandingan dengan Tim Belanda, para pemain Indonesia diasah kembali kemampuannya dengan melakukan dua uji coba, yakni: tanggal 15- 6-38 di Rotterdam melawan klub Sparta yang berkesudahan dengan kekalahan skor 3-4; tanggal 23- 6-38 di Dordrecht melawan klub D.F.C dengan kemenangan 4-2.


Pada tanggal 26- 6-38 pertandingan yang tergolong friendly match antara timnas Indonesia dengan timnas Belanda dilangsungkan. Stadion Olympisch, Amsterdam penuh sesak yang dihadiri lebih dari 50.000 penonton (dua kali lebih dari di stadion Rheims). Sayang sekali, Timnas Indonesia yang menggunakan jersey warna orange itu kalah telak dengan skor 2-9. Kekalahan itu terbilang telak, karena melawan Hungaria di Rheims hanya kalah 0-6. Dalam pertandingan melawan Belanda yang dikalahkan Cekoslovakia 0-3 di Piala Dunia di Prancis, para pemain Indonesia sedikit gugup dalam permainan, penampilan kiper Mo Heng yang cemerlang sudah tampak merosot jika dibandingkan kala melawan Hungaria. Pencetak gol bagi timnas Indonesia Taihitu menit 40 dan Pattiwael menit 45. Tidak ada pergantian pemain di kubu Indonesia. Pemain Indonesia yang tampil melawan Belanda adalah: Bing Mo Heng, Jack Samuel, Frans Hukom, Anwar Sutan, Frans Meeng, Achmad Nawir, Hans Taihitu, Tjaak Pattiwael, Herman Zomers, Suvarte Soedarmadji, dan The Hong Djien.

Setelah pertandingan internasional tersebut, Tim Indonesia bersiap-siap pulang ke tanah air. Uniknya, maskapai pelayaran dengan kapal Chr. Huygens yang sejatinya skedul akan berangkat 22 Juni 1938 dari Amsterdam menuju Batavia terpaksa ditunda. Pihak maskapai menjadwal ulang dan dengan senang hati pula menyesuaikan jadwal kepulangan Tim Indonesia ke Batavia. Ini mungkin tidak semata-mata untuk menghormati dua negara, dimana kapal ini hanya hilir mudik antara Amsterdam-Batavia (dan sebaliknya), tetapi juga barangkali para awak kapal ingin menonton pertandingan Indonesia vs Belanda.


Pada tanggal 1 Juli 1938 Tim Indonesia pulang bersama kapal Chr. Huygens dari Amsterdam. Kapal Chr, Huygens merapat di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia tanggal 21 Juli 1938. Sehari sebelum kapal sandar, para pemain di dalam kapal telah melakukan malam perpisahan. Nawir yang menjadi kapten Tim Indonesia berpidato atas nama seluruh tim betapa bersyukurnya mereka atas semua pengalaman ini dan kepada Manajer Tim, Mr van Bommel telah diberi cindera mata yang indah bertuliskan tinta perak yang dibeli di Kota Rheims.

Setelah pulang dari Eropa, Tim Nasional dibubarkan dan semua pemain dikembalikan ke klub masing-masing. PSSI dan NIVU kembali beraktivitas seperti sebelumnya, menjalankan kompetisi masing-masing. Evaluasi tentang sepakbola di Indonesia mulai dilakukan. Ulasan pertama datang dari koran yang terbit di Belanda.


Het volksdagblad: dagblad voor Nederland, 25-08-1938 (Berita Olahraga): ‘Fasilitas permainan  sepak bola di Indonesia, berkembang pesat, gerakan olahraga nasional di semua federasi olahraga terkait bersama-sama. Pada hari ketika tim Hindia Belanda mengunjungi negara kami dan berpartisipasi dalam Piala Dunia (1938) sudah beberapa waktu belakang. Tim mungkin telah mencapai setiap keberhasilan besar - keuntungan positif dari perjalanan ke Eropa, yang juga di Belanda membangkitkan minat dalam gerakan olahraga di Indonesia. Pertama dan terpenting, bagaimanapun, dinyatakan yang menjadi ‘Timnas’ ini tidak dapat dianggap sebagai representasi dari arti sebenarnya dan kualitas sepakbola di Indonesia. Itu hanya terdiri dari para pemain, yang bermain di klub-klub yang menjadi anggota sepakbola Eropa di Indonesia (baca: NIVU), organisasi ini, bagaimanapun, telah mengembangkan suatu gerakan olahraga yang luas dari rakyat Indonesia, berarti jauh melampaui mantan federasi, tapi untuk kompilasi tim, perjalanan ke Eropa tidak memenuhi syarat karena tidak mengambil dari keseluruhan yang sebenarnya. Asosiasi Sepak Bola Indonesia, PSSI dalam delapan tahun ini utamanya dalam empat tahun terakhir, telah menyelenggarakan kompetisi kejuaraan se-Jawa, berbagai turnamen, dll. Setelah kembalinya tim, bahwa Eropa adalah pertandingan untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola di Indonesia yang diselenggarakan antara tim Eropa-Indonesia (NIVU) dan tim perwakilan dari PSSI. Setelah permainan yang menyenangkan, hasil imbang 2-2 yang diraih, hasil yang tak terduga bagi pendukung tim Eropa (NIVU) yang dianggap sebagai kekalahan besar dan kemenangan bagi Indonesia memiliki kesatuan dalam gerakan olahraga Indonesia. Kongres PSSI yang diadakan pada bulan Juni tahun ini di Solo, telah habis, untuk memulai diskusi antara organisasi terkemuka dari semua olahraga di Indonesia. Perwakilan dari Asosiasi Sepakbola dalam diskusi ini, federasi tenis, catur, athletiekbond, dan federasi korfball dan setiap organisasi lain berpartisipasi. Juga orang-orang dari cabang olahraga, yang saat ini tidak diatur secara terpusat, seperti misalnya yang masih terpendam (seni bela diri), berenang dan olahraga sepeda dan panahan terlibat di dalam pembicaraan. Tujuan dari konferensi ini, yang berlangsung di bawah kepemimpinan Komite Sportbond Indonesia, itu untuk datang ke pembentukan badan yang memayungi dari berbagai olahraga yang dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia. Diskusi ini memang memiliki mengarah pada tujuan yang diinginkan. untuk Jacatra (Batavia) sebagai pusat dari Ikatan Sport Indonesia (ISI) muncul menjadi ada, yang banyak organisasi olahraga dari Indonesia terikat bersama dalam hubungan federasi. ISI secara khusus bertujuan, declarer memainkan olahraga di Indonesia. untuk masuk dan, secara umum, untuk mempromosikan kesehatan dan ketahanan Indonesia dengan cara olahraga’.

Dari ulasan di atas, padangan orang-orang Belanda di Nederlands bahwa NIVU dan PSSI merupakan dua organisasi sepakbola yang diakui tetapi sangat menyayangkan tim yang berangkat ke Eropa (Piala Dunia) tidak mencerminkan keduanya. Mengapa PSSI tidak berpartisipasi dalam pembentukan tim nasional patut dipertanyakan, karena NIVU pada dasarnya sudah sepakat untuk bekerjasama dengan PSSI. Kesalahan ini juga tidak bisa ditimpakan semua kepada PSSI. NIVU juga harus bertanggung karena kekuatan potensi sepakbola di Indonesia saat itu tidak hanya di Jawa. Ini terbukti ketika Timnas (versi NIVU) yang akan ke Prancis mengikuti Piala Dunia malakukan uji coba terakhir di Medan, justru timnas dikalahkan oleh Tim Medan (MSV plus).


Di Medan sendiri saat itu, kekuatan sepak bola Medan ada di tim Sahata (pribumi) pimpinan GB Josua Batubara yang telah berhasil mengalahkan MSV. Sahata VC adalah sukses klub Tapanoeli VC. Para pemain andalannya Sahata waktu itu antara lain Kamaruddin Panggabean dan Damora Harahap.

Mungkin karena banyaknya kendala, baik NIVU maupun PSSI hanya focus di Jawa, sebab klub-klub di Medan belum menjadi bagian dari NIVU maupun PSSI? Lantas, yang menjadi sisa pertanyaan, siapa sebenarnya Achmad Nawir?

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar