Sabtu, 06 April 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (20): Detik-Detik Serah Terima Kedaulatan Indonesia, Jakarta 3 Januari (1950); Perjuangan Belum Selesai!


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pemerintah Kerajaan Belanda tidak pernah benar-benar memberikan sepenuhya kedaulatan Indonesia kepada seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah Kerajaan Belanda hanya memberikan kedaulatan itu kepada RIS (Republik Indonesia Serikat). RIS sendiri adalah konsep bernegara Indonesia yang nyata-nyata dirancang oleh Belanda. RIS dalam hal ini boleh dikatakan Republik Indonesia adalah Republik Indonesia ala Belanda, bukan Republik Indonesia sebagaimana diperjuangkan oleh pejuang Republik Indonesia selama ini.

Soekarno tiba dari Jogja di Jakarta, 2 Januari 1950
Republik Indonesia Serikat (RIS) konsep yang dikembangkan oleh Belanda dan memaksakannya pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag. Indonesia mengalah? Satu poin dari hasil perjanjian KMB ini adalah Pemerintah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada RIS. Sebelum penyerahan tersebut muncul nama Mohamad Hatta (yang kebetulan juga pemimpin delegasi RI ke KMB) untuk menyusun formatur untuk membentuk kabinet RIS. Mohamad Hatta lalu kemudian menjadi Perdana Menteri RIS. Meski kabinet ini (termasuk penetapan siapa yang menjadi Perdana Menteri) sudah terbentuk namun baru dianggap sah (berlaku sesuai perjanjian KMB) oleh Pemerintah Belanda setelah tanggal 27 Desember 1949. Perdana Menteri Mohamad Hatta dan delegasi kembali ke Belanda untuk menerima serah terima pengakuan kedauluatan tersebut tepat pada tanggal 27 Desember 1949.

Tanggal 27 Desember 1949 adalah tanggal yang diperjanjikan di dalam perjanjian KMB tentang pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (baca: bukan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia). Sementara itu serah terima juga berlangsung pada tanggal 27 Desember 1949 di Jakarta dan di berbagai daerah. Presiden Soekarno dan para Republiken lainnya lebih memilih berdiam di Jogjakata. Perdana Menteri Mohamad Hattta tiba kembali di tanah air pada tanggal 3 Januari 1950 di Jakarta. Presiden Soekarno dan para tamu negara hadir di bandara Kemajoran menyambut Mohamad Hatta dan rombongan. Peristiwa di bandara Kemajoran ini jarang diperhatikan dalam sejarah Indonesia.

Lalu apakah persoalannya telah selesai? Tidak. Bagi Pemerintah Belanda sudah selesai tetapi perjuangan Republik Indonesia belum selesai. RIS adalah semacam hub atau mediator. Ibarat transaksi uang elektronik, acount kita tidak langsung terhubung dengan account orang lain tetapi hubungannya melalui ‘account’ pihak ketiga. Uang kita sudah keluar masuk ke pihak ketiga, dan pihak kedua mendapatkan uang kita dari pihak ketiga. Pihak ketiga mendapatkan jasa dari layanan ini. Demikian juga Pemerintah Belanda tidak pernah terhubung dengan Pemerintah RI, demikian sebaliknya. Pihak ketiga dalam hal ini dapat drepresentasikan sebagai RIS, suatu konsep negara yang diinginkan Pemerintah Belanda tetapi tidak disukai oleh Pemerintah RI. Oleh karena yang merancang adalah Pemerintah Belanda maka akan mendapat banyak manfaat di dalam bentuk negara RIS. Satu hal yang dibedakan (dipisahkan) dalam konsep RIS adalah status Irian Barat. Pemerintah Republik Indonesia melihat Irian Barat adalah bagian integral perjuangan Republik Indonesia. Bagi Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari RIS adalah penghalang untuk membentuk Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia masih harus berjuang demi NKRI dengan berusaha membubarkan RIS. Perjuangan Republik Indonesia untuk menyatukan seluruh Indonesia baru tercapai dan diproklamasikan pada tanggal 18 Agustus 1950. Proklamasi ini merupakan proklamasi kedua yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia: Tanggal 17 Agustus 1945 adalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI); tanggal 18 Agustus 1950 adalah Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NK)RI. 

Serah Terima Kedaulatan Indonesia (RIS): Den Haag 27 Desember 1949

Di atas langit masih ada langit. Sejak proklamasi Kemerdekaan (Republik) Indonesia pada tangga 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno tidak pernah membuat perjanjian dengan (Pemerintah) Belanda. Yang membuat dan menandatangani perjanjian adalah Soetan Sjahrir (Linggarjati); Amir Sjarifoeddin Harahap (Renville); Mohamad Roem (Roem-Royen) dan Mohamad Hatta (KMB). Presiden Soekarno seakan memiliki perjanjian sendiri dengan dirinya, yakni berjanji dengan rakyat Indonesia. Perjanjian Presiden Soekarno dengan rakyat tersebut dapat ditafsirkan sebagai Perjanjian Republik Indonesia (RI) dan Perjanjian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebaliknya Pemerintah Belanda tidak menginginkan perjanjian dengan Soekarno. Yang diinginkan Pemerintah (Hindia) Belanda adalah mengasingkan Soekarno. Pengasingan pertama tahun 1934-1942 ke Flores dan Bengkoeloe; yang kedua pada tanggal 22 Desember 1948 hingga 6 Juli 1949 ke Brastagi dan Parapat; yang ketiga mulai tanggal 27 Desember 1949 sebagai Presiden RIS.

Hasil perjanjian KMB adalah dibentuknya RIS dan dalam perkembangannya Soekarno diposisikan sebagai Presiden RIS. Untuk menjalankan Pemerintahan RIS, Mohamad Hatta menjadi Perdana Menteri. Dalam perjanjian RIS, Pemerintah Belanda memiliki akses langsung dengan Pemerintah RIS. Dalam posisi dominan Pemerintah Belanda di dalam RIS, Presiden Soekarno sebagai Presiden RIS dalam posisi diasingkan. Sebab Presiden RIS yang dalam hal ini Presiden Soekarno diberikan penghargaan tetapi hanyalah simbol negara (minim campur tangan dalam pemerintahan).

Presiden Soekarno tidak membutuhkan penghargaan dari Belanda dan juga tidak ingin dijadikan hanya sekadar simbol negara tanpa melakukan apa-apa. Soekarno adalah Soekarno, berjuang dengan caranya sendiri. Soekarno tidak membutuhkan Belanda, bahkan Soekarno hanya menginginkan Belanda hengkang dari bumi Indonesia. Pemerintah Belanda dalam dilema. Pemerintah Belanda tetap berhadapan dengan Revolusioner sejati.

Sejak dipulangkan dari pengasingan di Parapat, selama proses KMB dan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Pemerintah Belanda, Soekarno tetap berada di Jogjakarta: wait and see. Dalam proses serah terima kedaulatan Indonesia yang melakukannya di Belanda adalah Mohamad Hatta (Perdana Menteri RIS); di Jakarta adalah Soeltan Hamengkoeboewono (Menteri Pertahanan RIS); di Jogjakarta adalah Pakoe Alam (Pemimpin Daerah); dan di daerah lain.

Setelah semua serah terima beres, Soekarno yang diposisikan sebagai Presiden RIS berangkat ke Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949. Boleh jadi Soekarno berat meninggalkan Jogjakarta, karena di Jakarta hanyalah sekadar Presiden RIS. Namun setibanya di Jakarta, Soekarno disambut sangat meriah oleh massa bukan sebagai Presiden RIS tetapi sebagai Presiden RI.

Pada detik-detik apa yang disebut penyerahan kedaulatan Indonesia inilah kita bisa membayangkan perasaan Ir. Soekarno, sebagai seorang Revolusioner Indonesia sejati. Ir. Soekarno di Jogjakarta yang mungkin ditemani para pemimpin revolusioner Indonesia lainnya hanya berada di istananya sendiri (eks bangunan utama Belanda di Jogjakarta). Mohamad Hatta di Den Haag mewakili RIS, Soeltan Hamengkoeboewono di Djakarta juga mewakili RIS. Pakoe Alam di Jogjakarta mewakili RIS atau kesultanan Jogja?

Beberapa hari sebelumnya Presiden Soekarno berbicara kepada beberapa ratus pemimpin Mohammad dan menyampaikan seruan kepada orang-orang Mohammad dan Kristen untuk bekerja sama membangun Indonesia. Sebagai presiden, katanya, saya mengambil sikap yang tidak memihak terhadap semua denominasi. Dia menyatakan bahwa tenaga kerja dan kepercayaan diri diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Soekarno mengulangi klaim Indonesia terhadap Irian Barat. Sebelum matahari terbenam untuk terakhir kalinya pada tahun 1950, Irian Barat harus berada di dalam kedaulatan Indonesia (lihat Algemeen Handelsblad, 03-01-1950).

Keadaan menjadi terbalik ketika tanggal 3 Januari 1950 Perdana Menteri RIS Mohamad Hatta tiba di bandara Kemajoran. Presiden Soekarno dan para tamu datang menyambut kedatangan. Setelah mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya, Perdana Menteri Mohamad Hatta memeriksa barisan penjaga kehormatan (lihat Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 03-01-1950). Presiden Soekarno hanya hadir sebagai penjemput. Setelah upacara penyambutan di bandara usai, Mohamad Hatta dengan mobil Presiden Soekarno ke istana (Istana Negara atau Istana Rijswijk). Saat sebelum menaiki mobil pers menanyakan Mohamad Hatta tentang apakah Irian Barat akan segera ditangani. Mohamad Hatta hanya menjawab ‘Ada masalah mendesak lainnya’.

Dalam situasi dan kondiri kritis ini sesungguhnya ada dua matahari di bumi Indonesia. Pemerintah (Kerajaan) Belanda yang diwakili Perdana Menteri Drees dan Ir. Soekarno yang mewakili seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali (termasuk Irian Barat). Mohamad Hatta yang dari sudut pandang Pemerintah (Kerajaan) Belanda hanyalah mewakili RIS dalam posisi terjepit. Kepemimpinan Perdana Menteri Mohamad Hatta menjadi terdevaluasi sendiri, meski dianggap sebagai matahari di mata para kelompok federalis tetapi di mata kelompok Republiken Mohamad Hatta hanya sebagai bulan purnama di tengah gelap gulita (mampu menerangi tetapi tidak sepenuhnya). Lihat (foto di atas) bagaimana sambutan rakyat di Jakarta saat kedatangan Ir. Soekarno dari Jogjakarta pada tanggal 28 Desember 1949 (segera setelah Soeltan Hamengkoeboewono menerima kedaulatan Indonesia dari Belanda di Jakarta).

De vrije pers : ochtendbulletin, 16-01-1950
Sebelum Mohamad Hatta memimpin delegasi ke Den Haag untuk penyerahan kedaulatan Indonesia yang akan dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949 sejumlah pemimpin Indonesia sudah berada di Jakarta. Beberapa diantaranya diangkat menjadi menteri. Pada saat Soekarno tiba di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949 sejumlah tokoh sipil dan militer menyambutnya diantaranya Kolonel TB Simatupang. Sebelum rombongan Mohamad Hatta tiba di tanah air pada tanggal 3 Januari 1950, (Presiden) Soekarno telah menunjuk dan mengumumkan mantan panglima Republik Letnan Jenderal Sudirman menjadi Kepala staf tentara Indonesia dan Kolonel Simatupang sebagai Wakil Kepala staf (lihat Het Parool, 03-01-1950). Beberapa hari kemudian Presiden berkunjung ke Soerabaja dan berpidato sangat heroik (De vrije pers : ochtendbulletin, 16-01-1950). Seperti halnya pidato Presiden Soekarno pada tanggal 28 Desember 1949 di depan Istana Negara pemandangan di Soerabaja ini juga sangat ramai. Ir, Soekarno mendapat panggung kembali.

Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): Jakarta 18 Agustus 1950

Seperti diduga Pemerintah Belanda meski Pemerintah RIS sudah diserahkan tetapi Pemerintah Belanda tetap berusaha mendominasi. Ini teungkap ketika diadakan konferensi di masing-masing kementerian. Ada upaya dari Pemerintah Belanda untuk menghalangi keterlibatan kelompok Republik Indonesia dalam konferensi. Anehnya para pemimpin RIS terkesan tak berdaya.

Dalam kondtruksi Pemerintahan RIS, kepala adalah Presiden yang tidak dapat diganggu gugat; para menteri pemerintah pusat yang dipimpin Perdana Mentero bertanggung jawab. Parlemen terdiri dari Senat, yang masing-masing sub-regional mendelegasikan dua wakil ke Perwakilan Rakyat (parlemen) yang terdiri dari 150 anggota. Sebanyak 50 anggota berasal dari Republik Indonesia beribukota di Djokjakarta dan 100 anggota ditunjuk oleh orang-orang sub-regional lainnya. RIS memiliki pasukan, angkatan udara dan armadanya sendiri. Perjanjian khusus memungkinkan Pemerintah Belanda memainkan peran penting dalam membangun perlawanan ini. Berkenaan dengan statuta Unie, kerja sama antara Belanda dan RIS dinyatakan dengan perjanjian sukarela yang dapat diakhiri oleh masing-masing pihak yang akan memutuskan hubungan antara Belanda dan Indonesia.

Dalam konferensi Unie yang diadakan pada masing-masng kementerian yang diadakan pada bulan Maret 1950 tidak seorang pun dari anggota parlemen (RI) disertakan dan terkesan dihalang-halangi. (Pemerintah) Belanda keberatan dengan anggota parlemen dalam konferensi Unie dan protes perwakilan rakyat (parlemen) melalui surat yang intinya parlemen kami benar-nbenar tidak diakui sebagai parlemen (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-03-1950). Perbedaan pandangan inilah yang kemudian bergeser dan munculnya mosi integral Republik Indonesia di parlemen.

Di parlemen masalah ini dibahas. Protes terhadap konferensi Unie tersebut dibacakan. Sejumlah anggota menyampaikan pendapat dan meminta ketua parlemen (Mr. Satono) sebagaimana disampaikan Djaswadi Soeprapto untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintahan RIS terhadap peristiwa menyedihkan ini. Mohamad Natsir menyatakan bahwa jika Majelis (parlemen) harus menanggapi peristiwa menyedihkan ini, ia harus melakukannya dengan martabat dan kehormatan parlemen. Seseorang seharusnya tidak melebih-lebihkan dan mengambil tindakan kebijakan. Mr. Iwa Kusumasumantri menganggap peristiwa itu merupakan pelanggaran kehormatan negara. Dengan ini, parlemen belum diakui sebagai parlemen nyata dan rakyat Indonesia tersinggung oleh ini. Saya mendukung usulan Pak Djaswadi Soeprapto. Ketua (parlemen) Sartono mengusulkan untuk mengirim surat kepada pemerintah RIS yang berisi protes dari Majelis. Usulan ketua diterima oleh sidang pertemuan. Sebelumnya dari pihak (Pemerintah) Belanda menyatakan bahwa delegasi Belanda (dalam konferenso) berpandangan bahwa: 1. Anggota parlemen dapat berpartisipasi dalam konferensi sebagai penasihat atau sekretaris, tetapi tidak sebagai anggota parlemen; 2. Konferensi adalah negosiasi antara dua pemerintah (Belanda dan RIS); 3. Konferensi memiliki karakter yang sangat berbeda dari RTC [Ronde Tafel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag 23 Agustus - 2 November 1949.

Laporan-laporan parlemen (berasal dari RI) bermunculan seperti Lukman Wiriadinata tidak memiliki kesempatan untuk menghadiri konferensi yang diadakan di Kementerian Kehakiman karena ada keberatan dari pihak Belanda sebagaimana yang diinformasikan oleh sekretaris umum kementerian (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 31-03-1950). Mr Moestapha juga menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri konferensi yang diadakan di sekretariat Perdana Menteri karena ada keberatan dari pihak Belanda. Ketika ditanya apakah ia dilarang menghadiri pertemuan sebagai pengamat dari parlemen, Tuan Mustapha menerima jawaban dari Maria Ulfah Santosa: ‘Anda belum ditolak, tetapi diminta untuk tidak hadir. Mr. Mustapha menerima pernyataan tertulis dari Ny. Maria Ulfah bahwa dia tidak dapat menghadiri pertemuan. Mohamad Jamin menyatakan bahwa tidak ada anggota Majelis (aprlemen) yang terlihat di pertemuan Komite Irian. Laporan-laporan inilah yang juga memperkuat Mr. Sartono mengirim surat ke Pemerintah RIS.

Di dalam Pemerintahan RIS, Pemerintah Belanda (paling tidak hingga konferensi di berbagai kemernterian) telah membuka front sendiri. Anggota parlemen (yang berasal dari RI) menyikapi front (pemerintah) Belanda ini dengan menyatakan rakyat Indonesia tersinggung. Pemerintahan RIS (yang dipimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta) harus mempertanggungjawabkan.

Trouw, 03-04-1950: ‘Konferensi Unie, menurut kedua pihak (Belanda dan RIS) berjalan memuaskan. Konferensi tingkat menteri Unie Belanda-Indonesia, yang diadakan di Jakarta pada minggu terakhir, berakhir pada Sabtu sore. Setelah konferensi, Perdana Menteri (RIS) Mohamad Hatta sebagaimana dinyatakan oleh menteri Belanda Van Maarseveen berakhir dalam suasana yang menyenangkan, sebuah komunike bersama telah dikeluarkan tentang hasil yang dicapai yang dicatat secara tertulis dan dikonfirmasi dengan tanda tangan. Sebagian besar pekerjaan yang telah dilakukan masih menghasilkan sejumlah komite untuk dibentuk. Dengan demikian, karena solusi akhir untuk masalah ini tidak dapat diselesaikan pada konferensi pertama ini, diputuskan untuk membentuk komite studi bersama untuk Papua. Komite ini (nanti) dimana masing-masing dari dua negara (Belanda dan RIS) memiliki 3 anggota akan melaporkan hasilnya pada tanggal 1 Juli 1959..lebih lanjut diebutkan bahwa dalam (konferensi di Kemeneterian Pertahanan) disepakati untuk segera mendirikan misi militer Belanda sementara di Indonesia yang terdiri dari tidak lebih dari delapan ratus orang. Misi militer permanen akan dibentuk setelah pemulangan pasukan Belanda...Diputuskan bahwa Pengadilan Arbitrase akan diundang untuk segera menyusun rancangan prosedur, organisasi dan pengaturan pekerjaan pengadilan. Draf tersebut akan diserahkan ke konferensi menteri berikutnya, mungkin pada bulan September di Belanda.. Para menteri sepakat bahwa solusi akhir untuk masalah Irian Barat tidak dapat diselesaikan pada konferensi (menteri) pertama ini. Irian Barat hanya akan ditentukan kemudian,.Delegasi Belanda masih akan mempertimbangkan permintaan lebih lanjut dari RIS untuk mengirim misi ke Irian Barat’.

Nasi telah menjadi bubur. Pemerintah Belanda terlalu menyetir Pemerintahan RIS. Sementara Pemerintah RIS yang dipimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta mau pula disetir (pemerintah) Belanda. Republik Indonesia di parlemen mulai bergolak. Kepentingan RI dirugikan sementara kepentingan Pemerintah Belanda selalu diuntungkan. Ketika hasil-hasil konferensi diberitakan di berbagai surat kabar pada tanggal 3 April 1950, parlemen kembali bersidang pada tanggal yang sama 3 April 1950. Satu poin dalam sidang ini munculnya mosi integral Republik Indonesia. Untuk selanjutnya lihat pada artikel sebelumnya di blog ini: Sejarah Menjadi Indonesia (19): Sejarah Hari NKRI, 3 April (1950); Bagaimana Gagasan NKRI Muncul? Inilah Faktanya!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar