Sabtu, 11 Desember 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (287): Pahlawan Indonesia Dja Endar Moeda dan Medan Perdamaian; Sejarah PPPKI dan BPUPKI

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa Dja Endar Moeda? Kurang terinformasikan? Nama Soetan Casajangan sudah ada di laman Wikipedia, namun sangat minim. Mengapa? Ini bukan karena sejarah Dja Endar Moeda tidak terinformasikan. Boleh jadi karena tidak ada yang bersedia menulis lebih lengkap. Mengapa? Nah, itu dia. Okeklah kalau begitu. Yang jelas Dja Endar Moeda berperan banyak bidang dalam awal kebangkitan bangsa: sebagai pendidiik sejati, sebagai jurnalis Indonesia pertama dan sebagai pemersatu bangsa (pendiri organisasi kebangsaan Indonesia pertama).

Dja Endar Moeda atau lengkapnya Dja Endar Moeda Harahap adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887. Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana, selain mendirikan sekolah swasta ia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat. Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911, setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh. (Wikipedia).:

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia Dja Endar Moeda? Seperti disebut di atas, Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi kebangsaan Indonesia pertama, Medan Perdamaian tahun 1900 (jauh sebelum terbentuknya Boedi Oetomo, 1908). Organisasi ini menjadi garis continuum PPPKI (federasi organisasi kebangsaan Indonesia) dan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sejatinya Dja Endar Moeda adalah orang Indonesia pertama yang secara sadar mengedepankan pentingnya pers seperti dikatakannya pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya, sama-sama mencerdeaskan bangsa. Dja Endar Moeda dapat dikatakan wartawan Indonesia pertama. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia Dja Endar Moeda dan Medan Perdamaian

Sekolah guru di Padang Sidempoean dibukan tahun 1979. Salah satu siswa yang diterima dari 22 siswa lulusan sekolah dasar adalah Saleh Harahap. Salah satu guru terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean ini adalah anak mantan Controleur di Afdeeling Natal (Residentie Tapanoeli) Charles Adrian van Ophuijsen. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, kelahiran Padang Sidempoean 1861 lulus dan mendapat akta guru di Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Pada tahun ini Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda diberitakan membentuk pantia yang bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu keluarga miskin dalam pendidikan anak. Sangat-sangat mulia!

Pada tahun 1886 diberitakan Dja Endar Moeda sebagai guru di Batahan (afdeeling Natal, residentie Tapanoeli). Disebutkan guru Dja Endar Moeda sangat aktif dan juga disebut Dja Endar Moeda sangat fasih berbahasa Belanda menulis buku pelajaran untuk anak-anak-anak didiknya dalam bahasa Melayu. Nah, itulah Dja Endar Moeda seorang guru dengan kemampuan tiga bahasa: Batak, Melayu dan Belanda. Dja Endar Moeda juga diketahui pernah mengajar dipindahkan ke Air Bangis dan yang terakhir diketahui di Singkil. Tampaknya Dja Endar Moeda ditakdirkan sebagai guru di wilayah-wilayah pantai (di province Sumatra’s Westkust/Pantai Barat Sumatra). Dja Endar Moeda pensiun di Singkil yang kemudian berangkat haji ke Mekkah. Sepulang dari haji, Dja Endar Moeda bermukim di kota Padang (ibu kota province Sumatra’s Westkust). Oleh karena banyak pendudk kelompok usia sekolah tidak tertampung di sekolah pemerintah, Dja Endar Moeda pada tahun 1895 membuka sekolah swasta di kota Padang. Tidak hanya mulia dan cerdas, Dja Endar secara nyata telah turut membangun bangsa. Kesadara yang berifat mandiri ini belum pernah ditemukan di seluruh Hindia Belanda.

Pada tahun 1897 Dja Endar Moeda menawarkan salah satu novelnya ke penerbiit surat akabr Pertja Barat di Padang. Novel iitu layak terbit. Yang tidak terduga, Dja Endar Moeda juga ditawari untuk posisi editor di surat kabar berbahasa Melayu di Padang, Pertja Barat. Gayung bersambut terjadi. Pada tahun 1898 Dja Endar Moeda di surat kabar Pertja Barat mengatakan bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama mencerdaskan bangsa. Kecerdasan dan upaya membangun Dja Endar Moeda telah melihat bangsa Indonesia seperti apa selama ini dan ke arah mana dibawa.

Pada tahun 1900 diketahui surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya telah diakuisisi Dja Endar Moedan. Ini suatu terobosan baru bagi anak bangsa dalam kepemilikan media (percetaakan dan surat kabar). Sekolah Dja Endar Moeda juga disebut telah memiliki perpustakan dan toko buku sendiri. Berjuang dengan jiwa intepreneurship juga. Juga diketahui pada tahun ini Dja Endar Moeda telah menerbitkan surat kabar baru berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli. Dja Endar Moeda tampaknya tidak lupa kampong halaman. Masih pada tahun ini disebutkan di Padang telah didirikan organisasi kebangsaan yang digagas oleh Dja Endar Moeda dengan nama Medan Perdamaian yang mana Dja Endar Moeda sebagai presiden. Inilah organisasi kebangsaan (pribumi) pertama (jauh sebelum Boedi Oetomo pada tahun 1908). Percetakab Pertja Barat juga menerbitkan majalah pembangunan yang diberi nama Insulinde yang juga menjadi organ utama Medan Perdamaian dalam pembangunan dan pengermbangan pertanian dan industri penduduk. Pada tahun 1902 diberitakan, Dja Endar Moeda direktur Medan Perdamaian telah berhasil mengumpulkan dana sebesar f14.000 yang disumbangkan untuk peningkatan pendidikan di Semarang.

Dja Endar Moeda sangat nasionalis, seorang Batak berbakat dan pejuang kebangkita bangsa tidak hanya menggalang persatuan di seluruh Sumatra tetapi juga melihat seluruh anak bangsa Indonesia sebagai senasib satu bangsa (Indonesia). Bantuan pendidikan di Semarag bukti nyata ada hambatan besar bagi penduduk di (pulau) Jawa.

Pada tahun 1902  sukses Pertja Barat di Padang mulai dilirik surat kabar berbahasa Belanda di Medan. Surat kabar ini kemudian menerbitkan surat kabar baru berbahasa Melayu di Medan dengan nama Pertja Timor. Pada saar pendirian surat kabar Pertja Timor ini diketahui editornya adalah Mangarada Salampoewe, seorang mantan jaksa di afdeeling Natal. Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe adalah lulusan Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1891. Mangaradja Salamboewe, anak Dr Asta (lulusan Docter Djawa School di Batavia tahun 1856) adalah editor pribumi kedua di Hindia Belanda. Pada tahun 1903, Karel Wijbrand, mantan editor Suamtra Post yang telah menguasai surat kabar berbahasa Melayu di Batavia Pembrita Betawi merekrut editor baru yakni Tirti Adisoerjo (yang menjadi editor ketiga pribumi). Seperti pernah dikatakan Dja Endar Moeda (1898) bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya. Kini jurnalis pribumi dengan posisi editor sudah ada di tiga tempat (Padang, Medan dan Batavia).

Perkembangan media berbahasa Melayu yang tengah semarak di Hindia, menggugah Dr AA Fokker di Belanda yang fasih berbahasa Melayu berkeinginan untuk menerbitkan majalah dwimingguan di Belanda dengan sirkulasi di Hindia Belanda. Pada tahun 1903 Dr AA Fokker datang ke Hindia dengan mengunjungi Batavia dan Bandoeng yang kemudian diteruskan ke Padang dan Medan. Untuk mendukung media AA Fokker ini di Belanda, Dja Endar Moeda di Padang menyarankan AA Fokker untuk merekrut pribumi dan Dja Endar Moeda bersedia memasok informasi dan meningkatkan pemasarannya di Sumatra. Dr AA Fokker sukses dalam perjalanannya dan sangat terbantu karena partisipasi Dja Endat Moeda di Padang.

Pada tahun 1903 ini Dja Endar Moeda berangkat ke Belanda dengan membawa tiga penulis yang akan membantu AA Fokker dalam menerbitkan majalah Bintang Hindia. Tiga penulis yang dikenal baik Dja Endar Moeda itu adalah Dr Abdoel Rivai di Batavia/Bandoeng, Djamaloedin editor majalah Insulinde di Padang dan guru Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Padang Sidempoean (lulusan Kweekschool Padang Sidempoean 1887). Dr Abdoel Rivai adalah lulusan Docter Djawa School tahun 1893 dan Djamaloedin lulusan Kweekschool Fort de Kock tahun 1897. Dja Endar Moda setelah beberapa waktu di Belanda kembali ke Padang. Di Belanda, yang bertindak sebagai editor adalah Dr Abdoel Rivai dengan dibantu dua asisten (Soetan Casajangan dan Djamaloeddin). Bintang Hindia sukses direspon di Hindia Belanda. Pada tahun 1904 Soetan Casajangan kembali ke tanah air untuk mengurus banyak hal karena Soetan Casajangan di Belanda akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi pendidikan. Soetan Casajangan tiba kembali di Belanda pada bulan Agustus 1905. Soetan Casajangan yang sudah menemukan tempat dimana dia kuliah, menulis artikel di Bintang Hindia yang isinya himbauan kepada siswa-siswa terbaik di Hindia untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dalam artikel ini Soetan Casajangan mendeskripsikan berbagai perguruan tinggi yang dapat dipilih dan sejumlah tip untuk calon mahasiswa baru hal apa yang perlu dipersiakpan di tanah air, selama perjalanan dan selama studi di Belanda. Inilah awal revolusi pendidikan tinggi bagi penduduk pribumi. Seperti halnya Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan juga memiliki cita-cita kenajuan bagi anak bangsa. Saat itu di Belanda pribumi pertama yang studi di perguruan tinggi adalah Raden Kartono (abang dari RA kartini). Dalam hal ini Soetan Casajangan dapat dikatakan pribumi kedua yang sadar arti pendidikan tinggi bagi pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Awal Mula Indonesia: Medan Perdamaian, PPPKI dan BPUPKI

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar