Minggu, 28 Agustus 2022

Sejarah Jambi (2): Kota Jambi, Kota Tua, Kota Terbesar di Jambi; Posisi GPS Kota Jambi Zaman Kuno di Muara Batanghari


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Seperti pada serial artikel kota-kota lainnya di blog ini, untuk memahami sejarah Jambi ada baiknya dimulai dari kota besar yang ada, biasanya kota yang menjadi ibu kota. Nama Jambi sendiri sudah disebut sejak zaman kuno, namun bagaimana Kota Jambi yang sekarang bermula kurang terinformasikan. Satu yang penting kota Jambi itu dari masa ke masa berada di daerah aliran sungai Batanghari.


Kota Jambi adalah sebuah kota yang berada di pulau Sumatra dan sekaligus merupakan ibukota dari provinsi Jambi. Kota ini dibelah oleh sungai terpanjang di Sumatra yang bernama Batang Hari, kedua kawasan tersebut terhubung oleh jembatan Aur Duri. Hari jadi Kota Jambi ditetapkan pada tanggal 28 Mei 1401 berdasarkan peraturan daerah Kota Jambi nomor 3 tahun 2014. Dalam pertimbangan disebutkan bahwa penetapan hari jadi tersebut tidak lepas dari momentum sejarah ditemukannya tanah pilih oleh Putri Selaras Pinang Masak bersama sepasang angsa yang terjadi pada tanggal 28 Mei 1401 Masehi, berlokasi disepanjang rumah dinas komandan resort militer sampai ke Masjid Agung Al-Falah. Kota Jambi dibentuk sebagai pemerintah daerah otonom kotamadya berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatra nomor 103/1946, tanggal 17 Mei 1946. Kemudian ditingkatkan menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang nomor 9 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah. Kemudian kota Jambi resmi menjadi ibukota provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan Undang-undang nomor 61 tahun 1958. Wilayah administratif pemerintah kota Jambi adalah ± 205.38 km², secara geomorfologis kota ini terletak di bagian barat cekungan Sumatra bagian selatan yang disebut sub-cekungan Jambi, yang merupakan dataran rendah di Sumatra bagian timur. Dari topografinya, kota Jambi relatif datar dengan ketinggian 0–60 m di atas permukaan laut. Bagian bergelombang terdapat di utara dan selatan kota, sedangkan daerah rawa terdapat di sekitar aliran Batanghari (1.700 km; 11 km yang berada di wilayah kota Jambi dengan lebar sungai ± 500 m), sungai ini berhulu pada Danau Di atas di provinsi Sumatra Barat (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kota Jambi? Seperti yang disebut di atas, nama Jambi sudah disebut di zaman kuno di muara sungai Batanghari yang pada masa ini hari jadinya ditetapkan tanggal 28 Mei 1401. Seperti kota-kota lainnya, penetapan hari jadi kota adalah suatu hal. Dalam hal ini bagaimana kota Jambi tumbuh dan berkembang adalah hal lain lagi. Lalu bagaimana sejarah Kota Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kota Jambi, Kota Tua, Kota Terbesar di Jambi; Posisi GPS Kota Jambi Era Zaman Kuno di Muara Sungai Batanghari

Kota Jambi sebagai kota tua, merujuk pada zaman masa lampau. Kita mulai saja di suatu teluk dimana sungai Batanghari bermuara. Pada sisi selatan muara terbentuk kampong Jambi. Seperti kita lihat nanti, dalam perkembangannya di kampong Jambi ini terbentuk pos perdagangan yang dari waktu ke menjadi penting yang pada akhirnya terbentuk kerajaan. Di muara sungai ini  terbentuk pulau, akibat proses sedimentasi jangka panjang. Wilayah daratab semakin meluas dan pulau tersebut (dan pulau-pulau lainnya di teluk) juga semakin meluas mengakibatkan sungai Batanghari mencari jalannya sendiri menuju laut.


Arus besar (sungai) Batanghari melewati sisi utara pulau dan arus kecil (sungai) Batanghari melewari sisi selatan pulau. Pada ujung pulau itu kemudian terbentuk kampong baru yang disebut kampong Tanjoeng. Di kawasan dua arus sungai ini terjadi sedimentasi jangka panjang sehingga sehingga sungai kecil di selatan pulau (disebut sungai Kampeh) kemudian bermuara (bertemu) kembali ke arus besar sungai (sungai Batanghari) di Tanjung (kampong Muara Kampeh). Tanjong atau nama tempat di tanjong inilah di masa lampu terbentuk kampong, yang mana nama tanjong disebut Tandjong Jaboeng. Dengan bergesernya muara sungai Batanghari, terkesan kampong/kota Jambi berada jauh di pedalaman.

Pada peta-peta Portugis sudah diidentifikasi nama Jambi (ditulis: Sabi), tepat berada di muara sungai Batanghari. Nama Jambi sendiri sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365 M). Ini mengindikasikan nama Jambi sudah lama eksis, namun dimana posisi GPS tidak diketahui secara pasti. Nama Jambi, berdasarkan catatn Tiongkok bahkan lebih tua dari yang dicatat dalam teks Negarakertagama.


Dalam teks Negarakertagama juga ada disebut nama Kampei. Namun sulit menyimpulkan apakah nama Kampei berada di teluk Jambi, di teluk Deli atau wilayah lain. Nama Kampei di (teluk) Jambi dihubungkan dengan nama sungai di hilir kampong/kota Jambi (sungai Kampeh). Di wilayah selatan Jambi, hanya nama Palembang satu-satunya yang disebut dalam teks. Sedangkan nama-nama lain banyak disebut di wilayah utara Jambi, seperti Kampar, Siak, Rokan (kini masuk Riau) serta Panai, Mandailin dan (Padang) Lawas (Sumatra Utara). Nama-nama lain yang disebut dalam teks Negarakertagama di daerah aliran sungai Batanhari adalah (Muara) Tebo dan Dharmasraya. Jika mundur ke zaman sebelum Jambi, boleh jadi muara sungai Batanghari masih berada di (muara) Tebo. Hal itu diduga kuat karena di zaman kuno, di wilayah Merangin di Karang Brahi ditemukan prasasti yang berasal dari abad ke-7 (sejaman dengan prasasti di Kedoekan Boekit, Talawang Tuwo dan Talaga Batu di Palembang).

Jika mengacu pada yang disebut dalam kutipan di atas bawah dasar pertimbangan hari jadi kota Jambi 28 Mei 1401 dimana ditemukannya tanah pilih oleh Putri Selaras Pinang Masak bersama sepasang angsa. Awal abad ke-15 ini juga di dalam artikel lain bahwa salah satu pangeran Palembang membentuk kerajaan baru di Semenanjung Malaya (kerajaan Malaka). Apakah hal ini ada kaitannya dengan invasi Jawa (era Singhasari dan era Majapahit)? Satu yang pasti dalam hal ini nama Jambi sudah disebut pada abad ke-14 (1365), suatu nama yang sama yang diidentifikasi dalam peta-peta Portugis di suatu teluk.


Wilayah teluk (Jambi) pada peta-peta Belanda (VOC) tampak lebih lengkap dan presisinya lebih baik. Di belakang teluk di muara sungai Batanghari diidentifikasi nama (kota) Jambi. Di Kawasan teluk digambarkan dua pulau, yang mana pulau yang lebiih kecil di sebut pulau Trin dan tanjong yang berada di selatannya disebut Tanjong Jaboeng (ditulis: Tanjong Bon).

Pada peta-peta era Pemerintah Hindia Belanda, wilayah Jambi sudah digambarkan dengan situasi dan kondisi yang mendekati dengan yang sekarang, Tentu saja, bahkan hari ini proses sedimentasi terus berlangsung di wilayah pesisir/pantai (yang menyebabkan pantai timur wilayah Jambi yang sekarang terus meluas ke arah laut. Nama-nama kampong (muara) Simpang dan Muara Sabak adalah muara-muara sungai Batanghari sebelum yang sekarang. Di Muara Sabak bermuara sungai Sabak di sungai Batanghari. Dengan kata lain pada masa ini (sejak era Pemerintah Hindia Belanda) kota Jambi seakan berada jauh di pedalaman.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Posisi GPS Kota Jambi Era Zaman Kuno di Muara Sungai Batanghari: Bagaimana Kota Tumbuh dan Berkembang?

Posisi nama tempat Jambi tampaknya tidak berubah untuk waktu yang sangat lama hingga di masa lampau. Nama (kampong/kota) Jambi berada diantara berbagai era. Kota Jambi berada di sisi selatan sungai Batanghari, di suatu area yang lebih tinggi dari kawasan sekitar tidak jauh dari danau Sipin. Pada Peta 1901 masih tampak rawa-rawa di area sebelah hulu sungai.


Berdasarkan gambaran Peta 1901, sungai Batanghari mengalir tepat di tepian sungai Batanghari. Namun dalam perkembangannya di suatu waktu di masa lampau arus sungai bergeser ke arah timur membentuk arus baru. Bekas sungai Batanghari yang melalui tepian kampong Jambi kemudian menajadi sungaii mati yang membentuk suatu danai (danau Spin). Di seberang Jambi di sisi utara sungai diidentifikasi (kampong) Petjinan (yang mana di arah hulu terdapat kampong Penyinget). Sementara di arah hulu kampong/kota Jambi diidentifikasi kampong Menalo. Boleh jadi nama Menalo ini merujuk pada orang-orang Batak (marga Manaloe). Hal itu dapat dikaitkan dengan laporan seorang Portugis, Mendes Pinto yang mengunjungi ibu kota Kerajaan Aru Batak Kingdom tahun 1537 menyebut Kerajaan Aroe (di Padang Lawas) memiliki kekuatan 15.000 pasukan dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Jambi, Indragiri, Minangkabau, Broenai dan Luzon.

Pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Jambi, area (kota) Jambi dimana Residen berkedudukan. Kota Jambi bermula dari sejumlah kampong/kota, yakni: Jambi dan kampong-Batak di selatan sungai dan  kampong Cina, dan (kepulauan) Riau sebelah utara sungai.


Pada era VOC/Belanda pedagang-pedagang Belanda dan pedagang-pedagang Inggris mnembangun pos perdagangan (logi) di sebelah utara sungai. Sementara area kerajaan berada di selatan sungai di dekat danau Sipin (lihat Peta 1695). Pada tahun 1707 VOC/Belanda mulai membangun benteng/logi yang baru di sisi selatan sungai di arah timun paseban (di sekitar jalan Wahidin dan jalan Supratman). Sementara eks pemukiman/pos perdagangan Eropa (Belanda dan Inggris) tersebut kemudian menjadi Petjinan (lihat Peta 1901)

Sejak VOC/Belanda membangun benteng di sisi selatan sungai (sejak 1707), diduga menjadi awal perkembangan kota Jambi yang sebenarnya. Pemindahan pos perdagangan VOC/Belanda dan mulai membangun benteng diduga karena VOC/Belanda telah memenangkan hati raja Jambi (ini menjadi ancaman bagi pedagang Inggris di seberang sungai).


Di dalam laman Wikipedia disebut pada tahun 1615 kerajaan Jambi menjadi kesultanan. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh, dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang. Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor. ambi sebagai pusat pemukiman dan tempat kedudukan raja terus berlangsung. Istana yang dibangun di Bukit Tanah Pilih disebut sebagai istana tanah pilih yang terakhir sebagai tempat Sultan Thaha Saifuddin dilahirkan dan dilantik sebagai sultan tahun 1855. Istana Tanah Pilih ini kemudian di bumi hanguskan sendiri oleh Sultan Thaha tahun 1858 menyusul serangan balik tentara Belanda karena Sultan dan Panglimanya Raden Mattaher menyerang dan berhasil menenggelamkan 1 kapal perang Belanda Van Hauten di perairan Muaro Sungai Kumpeh. Setelah Istana Tanah Pilih Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan Sultan Thaha mundur ke pedalaman Jambi. Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah kepada Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Dari puing – puing Istana Tanah Pilih oleh Belanda dikuasai dan dijadikan tempat markas serdadu Belanda. Praktis setelah Sultan Thaha Saifuddin gugur tangga 27 April 1904 Belanda secara utuh menempatkan wilayah kerajaan Jambi sebagai bagian wilayah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906. Jambi kemudian berstatus onderafdeling di bawah Afdeling Palembang. Pada Tahun 1906 onder Afdeling Jambi ditingkatkan sebagai Afdeling Jambi kemudian di tahun 1908 Afdeling Jambi menjadi Kerisidenan Jambi dengan residennya O.L. Helfrich berkedudukan di Jambi. Peta 1910. 

Hingga tahun 1906 Kota Jambi masih terbilang suatu kumpulan kampong-kampong. Meski demikian sudah ada rintisan jalur darat dari Palembang ke Jambi (jalan raya yang ada sekarang). Seiring dengan peningkatan status pemerintahan di Jambi dari Afdeeling menjadi Residentie, pembangunan kota Jambi mulai berlangsung cepat. Jalan-jalan raya lalu lintas jarrah jauh dan jalan-jalan kota sudah mulai terbentuk. Begitu lebarnya sungai Batanghari tidak dimungkinkan membangun jembatan. Lalu lintas antar tepian suangai dilakukan dengan perahu.


Oleh karena akses yang paling mudah ke kota Jambi, pelayaran sungai menjadi pilihan utama. Hanya saat perang terjadi jalur darat antara Palembang dan Jambi dimungkinkan oleh para pasukan/militer. Pembangunan jalan raya di wilayah provinsi Jambi, justru yang pertama dilakukan di wilayah Kerintji, jalur darat yang terhubung ke utara hingga ke kota Padang dan ke pantai barat di Inderapura. Pembangunan jalan darat dari Sungai Penuh, Kerinci ke arah bawah di timur hingga ke Pangkalan Djambi (Merangin). Peta 1877

Di Merangin berpusat di Bangko. Pada tahun 1920 jaringan jalan dari Bangko sudah terhubung ke utara di Muara Bungo dan di selatan di Sarolangoen serta ke timur di Muara Tebo. Sementara itu pembangunan jaringan jalan dari Jambi sudah mencapai Muara Tembesi. Meski demikian sudah ada rintisan jalan antara Muara Tebo ke Muara Tembesi.


Pada Peta 1927 selain Kota Jambi, yang sudah terbentuk kota adalah Saroelangoen dan Moeara Boengo. Bangko, Muara Tebo dan Muara Tembesi serta Koeala Tongkal masih berupa kota kecil.

Pada Peta 1936 Kota Jambi sudah mencerminkan kota besar (bandingkan dengan Peta 1910). Hingga berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda semua kota-kota di wilayah Residentie Jambi sudah terhubung satu sama lain (kecuali Koeala Toenggal yang terpisah).

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar