Minggu, 02 Oktober 2022

Sejarah Bangka Belitung (23): Pulau Lepar, Selat Gaspar. Antara Bangka dan Belitung; Mengapa Penting Sejarah Pulau Lepar?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini 

Nama pulau Lepar sudah dikenal sejak lama, bahkan sejak era Portugis. Meski dalam sejarahnya, pulau Lepar tidak terlalu penting (karena kontribusinya dalam pertambangan timah), tetapi pulau Lepar memiliki sejarahnya sendiri. Dalam hal ini pulau Lepar berada di selat gaspar dimana antara pulau Bangka dan pulau Belitung terdapat pulau Lepar di barat dan pulau Mendanau di timur yang disela oleh pulau Liat (pulau Pongok). Ibarat pada suatu masa antara pulau Bangka dan pulau Belitung dihubungkan dengan jembatan, tiga pulau ini pasti sejarahnya tidak terlupakan.


Pulau Lepar adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai tenggara Pulau Bangka. Secara administrasi pemerintahan, pulau ini merupakan bagian dari Kabupaten Bangka Selatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan merupakan pulau terbesar ketiga di provinsi tersebut setelah Pulau Bangka dan Belitung, dengan luas 169 km2. Pualu Lepar terletak di Selat Gaspar yang memisahkan kedua pulau tersebut. Pulau ini membentang dari timur ke barat sekitar 22 km dan 17 km dari utara ke selatan, dengan kota-kotanya Tanjunglabu, Tanjungsangkar, dan Penutuk yang menjadi pusat populasi utama. Pulau ini diadministrasikan sebagai Kecamatan Lepar Pongok, yang dulunya mencakup Pulau Pongok—sebuah pulau berdekatan yang berukuran sedang—sampai tahun 2012 ketika dimekarkan sebagai kecamatan sendiri dengan nama Kecamatan Kepulauan Pongok. Pulau ini sebagian besar datar tanpa ketinggian yang menonjol, dengan sisi tenggara memiliki lereng paling curam. Ia dipisahkan dari Pulau Bangka oleh sebuah selat yang dikenal sebagai Selat Lepar. Pulau ini dikelilingi oleh sekitar selusin pulau kecil, beberapa di antaranya tidak berpenghuni. Empat sungai kecil mengalir di pulau itu, bernama Pangku, Elang, Bunut, dan Bayan. Kecamatan Lepar dibagi menjadi 4 desa, yang juga mencakup pulau-pulau kecil di sekitar Lepar: Penutuk, Tanjung Labu, Tanjung Sangkar dan Kumbung (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pulau Lepar di selat Gaspar, antara Bangka dan Belitung? Seperti disebut di atas, pulau Lepar sebagai pulau besar diantara Bangka dan Balitung yang kini sebagai satu kecamatan memiliki sejarah sendiri yang menjadi bagian sejarah Bangka Belitung yang menyebabkan mengapa penting sejarah Pulau Lepar? Lalu bagaimana sejarah pulau Lepar di selat Gaspar, antara Bangka dan Belitung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pulau Lepar di Selat Gaspar, Antara Bangka dan Belitung; Mengapa Penting Sejarah Pulau Lepar?

Pulau Lepar sudah dikenal sejak lama. Di dalam peta-peta semasa Portugis/VOC nama pulau Lepar diidentifikasi dengan nama yang berbeda (bukan nama Lepar). Satu yang penting dalam peta-peta tersebut, pulau Lepar tidak seluas sekarang. Bahkan pulau Mendanau (dekat pulau Belitung) lebih luas. Dalam peta-peta tersebut pulau Lepar bagian barat ke arah pulau Bangka terdapat gosong (daratan pasir) yang sangat luas (bahkan lebih luas dari pulau asli/daratannya). Mengapa bisa demikian? Yang jelas pada tahun 1846 kembali persitiwa penting di sekitar pulau Lepar.


Nederlandsche staatscourant, 29-07-1846: ‘Sekunar perang Belanda, Cameleon, ditangkap oleh perompak, yang berkekuatan empat puluh prahu, berawak, masing-masing bersenjatakan 60 orang dan satu artileri panjang, dan dipimpin oleh seorang mantan perwira Belanda. yang setelah diberhentikan dari dinas beberapa tahun yang lalu, melarikan diri ke perampok Illanoor, dan menikah disana sebagai rekan putri salah satu kepala suku, dan dikatakan telah menyibukkan diri dengan para perampok dalam bisnis mereka. Ini kemudian akan mendarat di pulau Banka, menghancurkan sebuah desa di pantai, membunuh semua yang melawan, membawa wanita dan anak-anak sebagai budak, serta sejumlah uang dan timah. Surat kabar Singapore Free Press tanggal 2 Juni memuat: ‘Kami telah melaporkan serangan oleh bajak laut yang dilakukan terhadap sekunar perang Belanda. Cameleon, dekat Banka, di timur April terakhir’. Sekarang "peristiwa itu, betapapun rumitnya dinyatakan, tampaknya salah atau setidaknya terkait dengan tanah yang berbeda, asalkan kami menemukannya disebutkan di Javasche Courant bahwa Cameleon, diperintahkan oleh letnan komandan Hoogenhuizen. Catatan resmi menunjukkan bahwa sembilan kapal perampok Soloksche, yang telah berkembang menjadi empat belas, memiliki keberanian untuk berlabuh di kota utama salah satu distrik Banka. Residen kemudian mengirim sekunar de Haai untuk melawan mereka. disamping lima kapal penjelajah dan bantuan dari kepala Billiton dan Lepar. Para perompak di demang Kurauw di distrik Koba, yang wanitanya telah jatuh kedalam gerombolan perampok, atas kemauannya sendiri mengirim lima prahu bersenjata untuk melawan mereka dengan 100 pria’.

Sebagaimana diketahui, pemerintahan mulai dibentuk di pulau Bangka pada era pendudukan Inggris. Namun efektifnya baru terselenggara setelah kembalinya Pemerintah Hindia Belanda yang dengan menempatkan asisten residen (residetie Palembang) di Muntok. Namun Kawasan Bangka Beliting dan selat Bangka kerap terjadi gangguan termasuk gangguan dari para bajak laut. Pada tahun 1820 terjadi gangguan di Palembang (lihat De Curaçaosche courant, 18-11-1820). Sejak ini status pemerintahan di Bangka ditingkatkan menjadi pejabat Residen yang merangkap sebagai komandan militer (pangkat Letnan Kolonel). Pada akhir tahun 1820 ini di Bangka juga terjadi gangguan para bajak laut di wilayah selatan di sekitar Toboali dan pulau Lepar (lihat s Gravenhaagsche courant, 11-06-1821). Tampaknya Kawasan pulau Lepar kerap menjadi sasaran bajak laut. Mengapa? Lalu kemana para bajak laut setelah tahun 1821.


Pada tahun 1833 Sultan Jambi mulai gelisah dan kontak dengan dunia luar terganggu karena aktivitas bajak laut di wilayahnya, di pintu masuk Jambi di hilir sungai Batanghari. Saat ini Kesultanan Jambi masih independent. Lalu pada tahun ini Sultan Jambi meminta bantun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Gayung bersambut. Para bajak laut berhasil diusir, tetapi konsekuensinya seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda ditempatkan di Moeara Kompeh.  Namu pada akhir tahun, Sultan Jambi melakukan invasi ke wilayah Rawas. Pemerintah Hindia Belanda di Palembang mengerahkan militer untuk ‘mengusir’ dari wilayah residentie Palembang, namun kekuatan tidak mencukupi. Lalu Residen Palembang meminta bantuan ke Batavia dengan pasukan yang didatangkan di bawah komando Letnan Kolonel AV Michiles. Invasi dapat diredam. Akhirnya perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan dibuat dimana wilayah hilir (kota) Jambi sepenuhnya di bawah control Residen Palembang dengan tetap mempertahankan seorang pejabat setingkat Controleur di Moera Kompeh. Dalam peta terbatu wilayah hilir sungai Batanghari dimasukkan menjadi bagian wilayah Residentie Palembang (alih-alih untuk mengembalikan wilayah Rawas ke wilayah Jambi, malah wilayah kesultanan Jambi berkurang). Hal serupa ini juga pernah terjadi di residentie Palembang, pasca kerusahan tahun 1812 di Palembang, Sultan Palembang menyerahkan (wilayah) Bangka dan Billiton kepada Inggris dengan perjanjian.

Kembalinya serangan bajak laut di sekitar pulau Lepar, mengindikasikan Kawasan selat Gaspar adalah wilayah yang rawan dari aktivitas bajak laut. Tiga tahun sebelum aktivitas bajak laut di sekitar pulau Lepar di selat Gaspar, pada bulan September 1843, atas permintaan Inggris di Singapoera, Residen Riau dengan kapal perang mengejar bajak laut yang belum lama beroperasi di Kedah dan Penang dan dilaporkan lari ke pantai timur Sumatra di sekitar sungai Batang Tungkal (lihat Javasche courant, 29-11-1843). Dengan bantuan Controleur di Moera Kompeh dan Sultan Jambi, bajak laut dapat dikejar ke pedalaman di kampong Penyingat. Namun para bajak laut telah melarikan diri melalui darat, dan dua nakhoda ditemukan dan sebanyak 50 korban (lak-, perempuan dan anak-anak) penculikan dari Kedah.


Di satu sisi cabang pemerintahan sudah terbentuk di Bangka dan Belitung, namun aktivitas para bajak laut tidak pernah menyurut. Kawasan perairan antara pantai timur Sumatra, semenanjung Malaya dan pulau-pulau di Bangka dan Belitung, menjadi area yang startegis bagi para bajak laut untuk beroperasi. Seperti disebut di atas, para bajak laut yang beroperasi di Kawasan adalah bajak laut lintas internasional diantara batas-batas internasional. Para bajak laut tidak hanya datang dari wilayah Filipina (Solosche) juga dari penduduk lokal di dalam kawasan operasi. Yang perlu dicatat dalam laporan tahun 1846, salah satu perwira Belanda yang telah dipecat terlibat dalam operasi bajak laut. Dalam konteks inilah nama pulau Lepar dianggap penting, di satu sisi menjadi sasaran bajak laut, juga para pemimpin local di pulau Lepar turut aktif dalam mengusir para pajak laut. Catatan: Kawasan bajak laut tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda mulai dari ujung utara Sumatra hingga pantai selatan Papua.0

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Penting Sejarah Pulau Lepar? Apakah Ada Terlupakan dalam Narasi Sejarah Bangka dan Belitung?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar