Selasa, 12 September 2023

Sejarah Bahasa (16): Bahasa Mori Morowali Utara di Pantai Timur di Sulawesi Tengah; Nama Mori, Morowali, Morotai dan Maori


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Mori dituturkan oleh kelompok populasi (etnik) Mori di kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, seperti di Kolonodale, Beteleme, Tiu, Lembobelala, Lembobaru, Tingkea'o, Wawopada, Tomata, Taliwan, Ensa, Tompira. Sampai saat ini, bahasa Mori masih digunakan oleh sebagian anggota suku, terutama di daerah pedalaman. Suku Mori terbagi dalam beberapa subsuku yaitu, orang Molongkuni, Roda, Molio'a, Ulu' Uwoi, Moiki, Watu, Ngusumbatu, Mobahono. Bahasa Mori terdiri atas beberapa dialek seperti Watu, Karunsi'e, Ngusumbatu (Tinompo), dan Molongkuni.


Dalam arti luas, Mori adalah istilah umum yang merujuk pada dua bahasa di Sulawesi Tengah: Mori Bawah dan Mori Atas. Bahasa ketiga, Padoe juga disertakan. Semula istilah Mori hanya merujuk pada marga-marga tertentu yang tinggal di hulu Sungai Laa yaitu masyarakat Mori Atas atau 'Mori Atas' yang sekarang. Era pemerintahan kolonial Belanda nama tersebut diperluas untuk mencakup masyarakat yang tinggal di sebelah timur sepanjang hilir Sungai Laa dan di daerah aliran sungai Tambalako (sekarang disebut 'Mori Bawah'), dan ke selatan untuk masyarakat di sekitar Danau Matano (termasuk Padoe). Meski bahasa berbeda, masyarakatnya mempunyai budaya sama, saat itu mereka bersatu di bawah penguasa Marundu. Saat ini, Mori dalam arti sempit terutama mengacu pada bahasa Mori Bawah, dan lebih khusus lagi pada dialek Tinompo (standar di seluruh wilayah). Mead menunjukkan bahwa ada kesenjangan bahasa di wilayah Mori.  Mori Atas dan Padoe lebih dekat kekerabatannya dengan bahasa Tolaki, sedangkan Mori Bawah memiliki kesamaan linguistik dengan Bungku dan bahasa lain di pesisir timur seperti Wawonii dan Kulisusu. Kecil kemungkinan bahasa Mori Atas dan Mori Bawah dapat dimengerti secara inheren. Masyarakat Mori Atas dan Mori Bawah setidaknya akrab dengan bahasa satu sama lain, dan bahasa-bahasa tersebut telah menyatu (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Mori di Morowali Utara di Pantai Timur Sulawesi Tengah? Seperti disebut di atas, penutur bahasa Mori adalah kelompok populasi (etnik) Mori. Nama Mori, Morowali, Morotai dan Maori. Lalu bagaimana sejarah bahasa Mori di Morowali Utara di Pantai Timur Sulawesi Tengah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Mori di Morowali Utara di Pantai Timur Sulawesi Tengah; Nama Mori, Morowali, Morotai dan Maori

Dr N Adriani sangat terkenal dengan studinya tentang bahasa Bare’e. Bagaimana dengan bahasa Mori? Yang memperhatikan bahasa Mori adalah Samuel Jonathan Esser. Dr N Adriani telah tiada. Yang meneruskan kajian bahasa Bare’e dilakukan oleh SJ Esser. Dalam hal ini di bidang bahasa, SJ Esser adalah junior dari N Adriani.


Mededeelingen; tijdschrift voor zendingswetenschap, 1926: ‘SJ Esser, mahasiswa doktoral sastra Hindia, telah menyatakan keinginannya untuk mempelajari bahasa Hindia untuk menulis disertasi tentangnya. Adriani kemudian menasihatinya untuk mempelajari orang Mori dan dia menawarkan Esser untuk menunjukkan kepadanya cara melakukannya. Hal ini terjadi dan di bawah bimbingan Adriani, Esser bekerja selama setahun, setelah itu ia terus bekerja secara mandiri di Mori. Oleh karena itu, kita telah melihat bagaimana Adriani menjadikan dirinya berguna dalam studi bahasa dalam banyak hal’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Mori, Morowali, Morotai dan Maori: Bahasa Mori Suku Mori di Morowali

Nama Mori dan nama Moro terkesan mirip. Yang mana yang duluan eksis? Nama Morowali adalah nama tempat atau nama wilayah, sementara nama Mori adalah nama kelompok populasi (etnik) dan juga nama bahasa (di wilayah Morowali). Namun catatan sejarah wilayah Morowali masih terbilang baru. Mengapa?


Wilayah Morowali diduga kuat sudah dikenal sejak lama dari masa lampau. Dalam teks Negarakertagama dicatat nama Boetoen di selatan dan Banggai di utara. Wilayah Morowali diantara dua nama tempat tersebut. Ekspedisi-ekspedisi pemerintah (sejak era VOC) cukup intens melalui perairan pantai timur Morowali tersebut (sebagai jalur navigasi pelayaran) dari Boeton hingga Banggai (terus ke Maluku dan Manado). Jika mengacu pada teks Negarakertagama (1365) jalur navigasi ini dapat dikatan jalur navigasi kuno. Dalam konteks kekunoan inilah keberadaan wilayah Morowali dipelajari.

Nama Maluku (Ternate) dan Gowa (Makassar) terlalu popular sejak masa lampau sebagai jalur navigasi pelayaran perdaganga (terutama sejak era Portugis). Akibatnya wilayah-wilayah di jalur navigasi tersebut, mungkin hanya sebagai perlintasan, menjadi kurang terinformasikan. Beasar dugaan wilayah Morowali baru dianggap penting pada era Pemerintah Hindia Belanda terutama setelah Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan yang dipusatkan di Poso (pantai utara, teluk Tomini) dan di teluk Kendari (pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi).


Luasnya wilayah (yang kini menjadi provinsi Sulawesi Tengah dan provinsi Sulawesi Tenggara) dari Parigi di utara (sebelah barat Teluk Tomini) hingga Kendari di teluk Kendari, tingkat pemahaman pemerintah kurang terhadap satuan wilayah-wilayah yang kecil. Situasi dan kondisi itu diperhatikan para misionaris (dari NZG) dengan mengirim para misionaris, termasuk nantinya Dr Adriani.

Sementara pejabat Pemerintah Hindia Belanda di daerah yang berada di ujung yang satu (Poso) dan di ujung yang lain (Kendari), angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda dari divisi pemetaan (Zeemans) bekerja yang berpusat di Teluk Mori. Hasil-hasil pemertaan tersebut dimanfaatkan oleh NZG untuk menyusun perencanaan misi ke Midden Celebes (termasuk wilayah Morowali).


Bagaimana asal usul nama Morowali tidak diketahui secara pasti. Angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda (1904-1914) mengidentifikasi penanda navigasi pegunungan tinggi Tukala, Morowali dan Mamboesisi. Pegunungan Tukala, pegunungan (Timur dan Tenggara) sisinya sangat curam. Sangat mudah dikenali dari laut dan memiliki empat puncak, yang paling utara dan tertinggi adalah 2628 M. Pegunungan Morawaii puncak tertinggi 2052 M. dan puncak berbentuk bulat 1746 M terletak di antara kedua gunung tersebut. Morowali yang letaknya, puncak tajam setinggi 1443 M sangat mudah dikenali oleh kapal-kapal yang datang dari arah selatan. Teluk Tomori menembus daratan antara ke arah barat laut sekitar 18 mil laut (lihat Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel, 1904-1914). Diantara kelompok-kelompok populasi di wilayah Morowali yang luas, selain Mori adalah kelompok populasi Towana. Kelompok populasi Towana hanya dapat diakses dari pantai utara di teluk Tomini (Ampana) dan dari panati timur Morowali. Kelompok populasi Towana berada di wilayah pedalaman di jantung pulau Celebes. Saat misionaris mulai bekerja, orang Towana dapat dikatakan satu-satunya kelompok populasi yang masih nomaden (artinya masih menjalankan tradisi). Kelompok populasi Towana diduga kuat kelompok populasi tertua di kawasan. Mengapa?

Kelompok populasi Mori berada di kawasan yang lebih dekat ke pantai. Sementara kelompok populasi Towana lebih ke dalam ke arah utara dari pantai Teluk Mori. Wilayah Mori Atas dan dialek Mori adalah bahasa-bahasa yang digunakan hingga di daerah sekitar Danau Matano dan Danau Towoeti di Sulawesi Tengah, dari Teluk Bone hingga Teluk Mori. Perlu ditambahkan disini, bahasa utama di pantai utara Teluk Tomini (yang berbatasan dengan wilayah bahasa Mori) adalah bahasa Bare’e (telah dipelajari oleh Dr Adriani). Dua misionaris yang mempelajari bahasa Mori adalah J Ritsema dan KJ Kruyt. Seperti kita lihat nanti bahasa Mori ini menjadi lebih lengkap setelah studi SJ Esser.


Morowali adalah suatu kampong utama di teluk Mori di sisi sungai (lihat Brieven aan hunne vrienden door Alb. C Kruyt, 1909). Di kampong Morowali ditemukan banyak orang pendatang dari berbagai tempat. Dari kampong Morowali jalan sepanjang 32 km mengarah ke Tokala, ibu kota daerah To Wana, tempat tinggal bupati dan para memimpin local lainnya. Batas antara wilayah Morowali dan Towana adalah sungai Oela. Catatan: orang Towana memasak nasi dengan menggunakan bambu (semacam lemang) sebelum mereka mengenal periuk terbuat dari tanah liat dari Boengkoe. Setelah mengenah periuk tanah liat yang didatangkan dari luar, orang Towana masih melakukannya secara adat pada waktu tertentu untuk menghormati leluhur. Bahasa orang Towana (kini dianggap bahasa Taa) lebih dekat ke bahasa Baree (Poso) daripada bahasa Mori. Alb. C Kruyt adalah orang Eropa/Belanda ke wilayah pedalaman Towana.

Wilayah Morowali menjadi nama wilayah berdasarkan nama kampong Morowali di suatu teluk. Teluk tersebut disebut teluk Mori. Kelompok populasi di wilayah teluk Mori hingga ke danau Matano dan Tuwiti disebut Mori dengan berbahasa Mori. Lalu yang mana yang lebih awal muncul nama Morowali atau nama Mori?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar