Kamis, 14 Desember 2023

Sejarah Bahasa (175): Bahasa Larantuka di Flores Timur, Bahasa Melayu di Larantuka; Portugis, Cabo de Flores dan Wisata Katolik


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Larantuka sebuah kecamatan sebagai ibukota dari Kabupaten Flores Timur. Larantuka tujuan wisata rohani bagi umat Katolik Nusa Tenggara Timur. Kota terletak di kaki gunung Ile Mandiri memiliki tradisi peninggalan Portugis. Kerajaan Larantuka sebuah kerajaan di Nusa Nipa (Pulau Naga) dalam bahasa Portugis disebut Cabo de Flores (sebagai Pulau Flores). kerajaan Kristen-Katolik pertama di Nusantara.


Bahasa Melayu Larantuka atau yang sering disebut bahasa Nagi adalah bahasa yang digunakan orang Larantuka. Penuturnya terdapat di Larantuka, Flores Timur, desa Wure di pulau Adonara serta tersebar di Kab. Flores Timur dan sekitarnya. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Beberapa kata dalam bahasa Nagi diserap dari bahasa Portugis. Kata ganti orang, Kata ganti orang pertama tunggal: kita; Kata ganti orang kedua tunggal: engko; Kata ganti orang pertama jamak: torang; Kata ganti orang kedua jamak: korang; Kata ganti orang ketiga jama: dorang. Ada beberapa kata Bahasa Indonesia yang disingkat dalam pergaulan harian, misalnya mana disingkat menjadi na. Agar bunyinya terdengar menarik biasa disisipkan huruf e di depan menjadi ena. Contoh kalimat, Engkau dari mana? menjadi Engko dari (e)na? Saya tidak bisa, menjadi kita te bisa le. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu Larantuka di Larantuka di Flores Timur? Seperti disebut di atas bahasa Melayu Larantuka dituturkan di Larantuka dan sekitar. Portugis, Cabo de Flores dan daerah tujuan wisata Katolik. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu Larantuka di Larantuka di Flores Timur? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Melayu Larantuka di Larantuka di Flores Timur; Portugis, Cabo de Flores dan Daerah Wisata Katolik

Bahasa Larantuka adalah bahasa di Larantuka yang memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu. Lantas sejak kapan nama tempat Larantuka dikenal? Tidak diketahui secara pasti, tetapi nama Larantoeka sudah dikenal pada era VOC/Belanda. Bagaimana pada era Portugis? Tampaknya belum terinformasikan.


Pada tahun 1511 Portugis menduduki Malaka. Pada tahun ini juga dua kapal Portugis dikirim ke Maluku. Rute navigasi pelayaran yang dilalui dipetakan pada tahun 1513. Dalam peta No 20 diidentifikasi Sumbaia (pulau Sumbawa?), Aramaram (pulau Mangaray); Cabo de Floris (Tanjung de Floris), Solor (pulau Solor?) dan Timor (pulau Timor). Nama-nama yang diidentifikasi itu tampaknya nama-nama pulau besar yang dilihat dari sisi utara dari arah barat (Jawa) ke arah timur (Maluku). Kehadiran Portugis di kawasan dimulai oleh kegiatan misionaris di Lahajong pada tahun 1557. Disebutkan pedagang dari Makassar berdagang di kawasan (kayu cendana) dengan mempekerjakan tenaga kerja yang dibawa yang juga menjalik kerjasama dengan penduduk asli di pedalaman. Untuk melindungi kegiatan misi Portugis dan membuka ruang perdagangan, pertahanan Portugis di Amboina tahun 1575 diperluas ke (pulau Solor) Solor dan Coepang (Timor bagian barat).

Sejak kehadiran pelaut Belanda di Hindia Timur (yang bekerjasama dengan Radja Bali, 1597), pelaut/pedagang Portugis mulai terancam. Akhirnya pada tahun 1605 pelaut Belanda di bawah pimpinan admiral van Hagen menyerang Portugis di Amboina (Fort Victoria). Lalu untuk meratakan jalan antara Jawa dan Bali ke Maluku (Fort Amboina), pelaut Belanda pada tahun 1613 menyerang Portugis di Solor dan di Coepang (orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau Timor (kini wilayah Timor Leste). Lalu yang terakhir VOC/Belanda mengusir Portugis di Malaka dan Kambodja pada tahun 1641. Praktis koloni Poerugis di Hindia Timur hanya tersisa di Timor (timur) dan di Macao.


Pasca pendudukan Malaka, sebanyak tujuh misionaris Portugis dengan empat belas Cina Katolik berangkat ke pulau Flores. Rombongan kecil yang berkoloni ini, dipimpin oleh Uskup Henrico, yang menetap di pantai Flores di bawah bayang-bayang bendera Portugis (Timor) dan pemberitaan Injil dimulai. Gereja-gereja dibangun di Éndé, Sikka, Mauwerie, Congay, Larentoeka, Woerch, dimana agama Katolik diterima dengan baik oleh penduduk asli dan pengaruh Portugis diperkuat. Raja Fiores menganut agama Katolik, dan contoh ini diikuti oleh pengikutnya di pesisir, yang hidup bersaudara dengan orang Portugis (lihat Annalen van het Genootschap tot Voortplanting des Geloofs; behelzende brieven van de bisschoppen en missionarissen van de missien der onderscheidene werelddelen… 1867). Catatan: Congay dan Woereh di pulau Adonara.

Besar dugaan nama Larantoeka paling tidak sudah terinformasikan setelah Malaka diduduki VOC/Belanda pada tahun 1641. Kehadiran orang Portugis yang membuka gereja di Larantoeka pada tahun 1641 dianggap penting karena nama tempat Larantoeka akan menjadi lebih dikenal oleh penduduk asli maupun oleh pendatang.


Seperti disebut di atas, pada masa lalu Cabo del Floris adalah Tanjung Floris di ujung timur pulau Aramaram (pulau Mangarai) yang tepat berada di wilayah Larantoeka. Antara Cabo del Floris dengan Solor/Adenaro adalah jalur pintu masuk navigasi pelayaran ke pulau Timor bagian barat, pantai selatan pulau Aramaram dan pulau Sumba. Lasajong berada di sisi utara pulau Solor dan Larantoeka di sisi tenggara Cabo del Floris. Para misionaris dari Malaka memilih Larantoeka di tempat strategis (wilayah yang sudah sejak lama ramai; bahkanm sejak era Majapahit—lihat Negarakertagama 1365). Meski Belanda sudah menguasai Solor dan Coepang sejak 1613, tampaknya bagian-bagian lain di wilayah Timor dan sekitar para raja-raja masih banyak yang idenpenden termasuk di Larantoeka. Misionaris dari Malaka diterima dengan baik oleh radja di Larantoeka.

Demikianlah kehidupan berlangsung di Larantoeka dan terus berlanjut untuk waktu yang lama. Nama Larentoeka juga dicatat oleh Francois Valentijn (1726). Nama (pulau Floris) juga kerrang dipertukarkan dengan pulau Ende. Disebutkan negeri Floris atau Pulau Ende, tempat orang Macassar (baca: orang Mandar dan Wadjo) berdagang. Di bagian luar sisi timur terdapat benteng pertahanan Portugis bernama Larantoeka yang eksis disana tanpa gangguan (lihat Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen, 1786).


Negara itu sendiri (Floris pulau Ende) terbagi menjadi beberapa negeri atau Desa, dan di antara mereka para tetua penduduk mempunyai kekuasaan, tanpa seorang Raja. Raja Bima mempunyai beberapa orang negeri disini, dan konon dahulu kala Raja Bima bertahun-tahun mendapat keuntungan yang banyak. Pada tahun 1756, VOC memberikan izin kepada orang Makasar untuk berlayar lagi di Ende dan Mangary, yang terletak di sisi barat laut pulau ini, dengan syarat tidak membuat gangguan atas penyitaan kapal dan pengaturan muatan yang merugikan VOC (di Koepang). Setelah itu, setiap tahun di bulan Februari dan Maret, sejumlah armada Paduackang (kapal yang terletak di pedalaman, yang juga bisa mendayung dengan tenang) berangkat dari Macasfar, yang membawa emas, juga salempoeris biru dan merah, untuk diperdagangkan, porselen kasar, parrang, gigi Gajah, dan kerajinan tembaga Asli, yang dilakukan pada bulan Agustus dan September.

Namun yang menarik dari laporan terakhir tersebut pada era VOC bahwa di pulau Flores termasuk di Larantoeka tidak ada Radja (mungkin maksudnya seperti radja di Bima) dan hanya dikepalai oleh para tetua adat/penduduk. Namun semuanya eksistensi Portugis di pulau Floris/Flores harus berakhir dengan semakin menguatnya Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris). Tanda-tanda monument Portugis tampaknya berakhir pulau di Larantoeka tahun 1818.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Portugis, Cabo de Flores dan Daerah Wisata Katolik: Bahasa Melayu Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar