Senin, 11 Januari 2021

Sejarah Banten (11): Pulau-Pulau di Utara Tangerang, Lokasi Jatuh Pesawat Sriwijaya Air; Antara Pulau Lancang dan Pulau Laki

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Kemarin terjadi kecelakaan pesawat (Sriwijaya Air) di pantai utara Banten, di sekitar pantai Tangerang. Posisi jatuhnya pesawat hari ini diidentifikasi di sekitar peraiaran antara pulau Laki dan pulau Lancang. Posisi GPS kecelakaan tidak jauh dari titik awal jalur navigasi di bandara Soekarno-Hatta. Sambil menunggu proses pencarian dan penyelamatan para korban dan mengupulkan serpihan-serpihan pesawat maupun barang-barang penumpang ada baiknya kita merecall kembali sejarah kawasan perairan tersebut.

Pada zaman lampau (awal era VOC), muara sungai Tjisadane tepat berada di Teluknaga yang sekarang. Perairan di depan muara sungai Tjisadane (sungai Tangerang) karena proses sedimentasi jangka panjang mernjadi daratan (seluruh wilayah kecaatan Teluknaga di masa lampau adalah perairan-laut). Oleh karena itu kini muara sungai Tjisadane-Tangerang berada di Tanjung Pasir. Pada era VOC, tidak jauh dari muara sungai ini terdapat pulau yang disebut pulau Ontong Java, yang kemudian oleh VOC disebut pulau Amsterdam (kini pulau Rabut) dan pulau Middleberg (kini pulau Bokor). Pada gugus pulau-pulau ini di sebelah barat terdapat pulau-pulau yang belum bernama yang kini dikenal sebagai pulau Lancang (Besar dan Kecil) dan pulau Laki. Seperti disebut di atas, perairan di antara pulau Lancang dan pulau Laki inilah terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air. Jaraknya tentu saja belum begitu jauh dari bandara Soekarno-Hatta.

Lantas bagaimana sejarah perairan di area tersebut? Tentu saja hal ini tidak penting-penting amat, Namun setelah adanya berita kecelakaan jatuhnya pesawat, kawasan perairan ini menjadi penting. Hal itulah mengapa penting untuk menarasaikan sejarah perairan tersebut. Lalu bagaimana sejarahnya berlangsung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Pulau Lancang dan Pulau Laki

Pada era VOC, area jatuh pesawat Sriwijaya Air pada dasarnya adalah rute garis navigasi pelayaran antara kota pelabuhan Banten dengan kota pelabuhan Soenda Kalapa (Batavia). Di pulau Amsterdam terdapat benteng Belanda, yang menjadi basis penyerangan Belanda ke Soenda Kalapa pada tahun 1618. Setelah pusat Belanda (VOC) di Batavia, benteng di pulau Amsterdam tetap difungsikan sebagai benteng pertahanan untuk menjaga wilayah yurisdiksi Jacatra (Batavia) dengan wilayah yurisdiksi (kesultanan) Banten yang dipisahkan oleh sungai Tjisadane (sungai Tangerang).

Kedalaman laut di perairan antara pulau Laki dan pulau Lancang yang sekarang, pada era VOC seperti dapat diidentifikasi pada Peta 1724 sekitar 20-23 meter. Dua abad kemudian seperti diidentifikasi pada Peta 1907 kedalaman laut sudah berkurang menjadi sekitar 15 meter. Besar dugaan di sekitar kawasan pulau Laki yang sekarang telah terjadi proses sedimentasi jangka panjang. Satu hal penyebab yang penting proses pendangkalan ini diduga kuat karena lumpur dan sampah (kayu dan daun) yang dibawah arus sungai Tjisadane dari pedalaman. Pada tahun 1699 gunung Salak meletus yang menyebabkan semua permukaan di daerah hulu sungai tertutup belasan centimeter debu vulkanik. Permukaan tanah yang beruba debu vulkanik ini dalan jangka panjang tergerus oleh hujan (erosi) yang bermuara ke sungai Tjisadane terhandar ke pantai (laut). Meski telah terjadi pendangkalan, tetapi kedalamannya yang masih cukup, area tersebut tetap menjadi garis jalur navigasi pelayaran dari selat Soenda ke sepenjang pantai utara Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perairan Utara Wulayah Banten di Tangerang

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar