Rabu, 15 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (654): Bahasa Melayu Diturunkan Bahasa Batak? Bahasa Sanskerta dan Kerajaan Kuno di Sumatra

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Mungkin Anda tidak percaya bahasa melayu diturunkan dari Bahasa Batak?. Itu wajar. Sebab semua hasil peneliti-peneliti Eropa/Belanda tidak ada yang mengaitkan bahasa Melayu dengan bahasa Batak. Terus terang saya tidak suka menulis tema ini dan yang saya sangat berharap orang lain yang menulisnya (agar dipersepsikan netral). Lalu siapa? Tampaknya tidak ada yang lain bersedia menulis tema ini (bahkan peneliti-peneliti Belanda, kecuali ada rintisan dari orang Jerman). Okelah, anggap saja saya terpaksa menulis tema ini, biar tidak hilang dari ingatan. Saya menambahkan tanda tanya dalam tema ini sebagai wujud kerendahan hati. Saya berharap hipotesis saya ini ditolak, agar saya bebas dari hanya pendapat sendiri.

Latar belakang tema ini muncul karena semakin banyak data zaman kuno yang terkumpul dan semakin banyak artikel-artikel di jurnal yang saya baca semuanya mengerucut pada satu wilayah di Sumatra bagian utara. Sebelum era Ptolomeus pengetahuan Eropa sudah dihubungkan dengan wilayah ini. Posisi geografinya yang lebih dekat ke India dan Eropa menjadi strategis dalam perkembangan lebih lanjut sejarah di Nusantara. Sementara pada masa ini diketahui bahwa bahasa Batak adalah bahasa yang unik yang masih dominan kosa kata asli dimana populasi penuturnya berada di pedalaman, Bahasa Batak memiliki sistem tulisan sendiri (seperti halnya di Jawa) dan memiliki kebudayaan yang langgeng bahkan sejak zaman megalitik. Di wilayah Batak ditemukan produk unik yang menjadi mata perdagangan zaman kuno seperti emas, kemenyan, kamper dan sebagainya. Wilayah geografinya di arah selatan bagian utara Sumatra yang sempit dan memiliki koneksi anatra pantai barat dan pantai timur Sumatra. Wilayah Sumatra bagian utara di Tapanuli terdapat bukti peradaban Islam terawal di Nusantara yang mana juga menjadi wilayah dimana ditemukan candi tertua dan sebaran candi terbanyak di Sumatra. Last but not least: kebudayaan Batak, tidak hanya memiliki sistem tulisan sendiri, juga teknologi sendiri seperti seni bangunan dan arsitektur, industri (tenun dan makanan tradisi) serta sistem sosial yang unik (dalihan na tolu), sistem pemerintahan (hukum) tradisi yang unik yang bersifat federatif plus seni budaya yanng unik seperti musik (gordang) dan tari (tort tor) serta sastra.

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu diturunkan dari Bahasa Batak? Seperti disebut di atas, bahasa Sanskerta pernah menjadi lingua franca di Nusantara dimana pada era Ptolomeus sudah dibicarakan tentang keberadaan penduduk Batak. Bukti adanya Kerajaan Kuno di Sumatra bagian utara di Tanah Batak adalah candi Simangambat (abad ke-7). Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu diturunkan dari Bahasa Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta Aurea Chersonesus (Ptolomeus abad ke-2)

Bahasa Melayu Diturunkan dari Bahasa Batak? Bahasa Sanskerta dan Kerajaan Kuno di Sumatra

Dalam memahami sejarah kuno, khususnya soal bahasa, pada dasarnya tidak cukup dari masalah lingustiknya saja, tetapi juga harus memahami domain dari bahasanya. Dalam hal ini domain bahasa adalah populasi penutur bahasanya ditempat dimana berada populasi tersebut bertempat tinggal. Sehubungan dengan sejarah bahasa Melayu (kuno), sumber sejarah sangatlah minim, tetapi dapat dipelajari dari sumber tidak langsung (proxy. Dalam hal ini sumber bahasa Melayu kuno hanya terbatas pada dua data sejarah yakni prasasti-prasasti dan peta-peta geografi kuno.

Peta-peta kuno yang ada tentang dimana ditemukan bahasa Melayu di nusantara bersumber dari era Ptolomeus (abad ke-2). Ada dua peta Ptolomeus yang hingga kini dapat dibaca, yakni peta semenanjung Aurea Chersonesus dan peta pulau Taprobana. Dalam artikel-artikel terdahulu dalam blog ini telah dibuktikan bahwa semenanjung Aurea Chersonesus adalah (semeanjung) Pulau Sumatra dan (semenanjung) Bangka/Malaya, sementara pulau Taprobana adalah pulau Kalimantan. Selanjutnya dua peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2 digabungkan dengan prasasti-prasasti zaman kuno yang ditemukan di Kalimantan, di Jawa dan di Sumatra. Prasasti tertua yang berasal dari abad ke-5 ditemukan di Kalimantan (prasasti Muara Kaman) dan di Jawa (prasasti-prasasti Jawa Barat). Prasasti-prasasti tertua di Sumatra berasal dari abad ke-7 (Kedoekat Boekit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Telaga Batu, Karang Brahi dan Pasemah).  

Peta-peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2 mengindikasikan sudah ada peradaban di Sunatra, semenanjung Malaya dan Kalimantan. Ini ditunjukkan dengan keberadaan kota-kota di pesisir pantai (pelabuhan). Sangatlah masuk akal bukti peradaban tua di Kalimantan ditunjukkan prasasti tertua (awal abad ke-5) nusantara di Muara Kaman (Koetai). Dalam hal ini pemetaan (pembuatan peta) dan adanya peradaban (kota-kota dan prasasti) terkait dengan navigasi pelayaran (perdagangan) yang tercatat (data yang tersedia) yang merujuk pada peradaban di barat (India,. Arab dan Eropa) dan di Tiongkok. Pada era Ptolomeus (abad ke-2) data yang bersumber dari Tiongkok mengindikasikan raja dari laut selatan (Yeh-tiao) mengirim utusan ke Kaisar Tiongkok untuk membuka  pos perdagangan.

Selain peta-peta yang disalin Ptolomeus, dalam catatan geografi Ptolomeus yang kerap dibicarakan (dikutip) para ahli adalah bahwa (pulau) Sumatra bagian utara adalah penghasil kamper (kapur Barus). Peneliti geografi V Obdeijn berjudul Taprobana (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1941) yang telah membaca teks Anonymous of Ravenne (filth century) menemukan keterangan bahwa Taprobana terletak di bagian paling selatan Laut Selatan, Pulau Emas, di bagian yang sama dari lautan yang sama. Dari pernyataan para penulis Yunani tertua ini dapat disimpulkan bahwa orang India meninggalkan Ceilon ke kanan dalam perjalanan mereka ke Timur Jauh. Pulau ini tidak dikunjungi dalam perjalanan mereka ke Chryse. Jadi mereka tidak tahu seberapa jauh Ceilon membentang ke tenggara. Rute di sepanjang pantai Hindia dan semenanjung (Aurea Chersenosus), Oleh karena itu pulau-pulau ini disebutkan sejak awal antara lain Bazakata oleh Ptolomeus. Mereka juga hanyut ke pantai Sumatera, sebagaimana Barousai (Baroes?) dan Sabadeibai telah disebutkan oleh Ptolomeus sebagai pulau sebelum pantai timur pulau ini, serta tanah Batoi (= Batak) yang disebut oleh Gerini (Researches on Ptolemy's Geography). Daerah-daerah ini, yang dicapai dengan hanyut lepas pantai ke kanan (berlayar ke Chryse), dianggap milik pulau memanjang tenggara yang dibiarkan tergeletak di Mausölie. Obdeijn mengutip Gerini mencatat pulau yang pendudukanya kanibalisme mengacu pada Padaioi dari Herodofus (450 SM). Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa pada abad ke-5 sudah diketahui nama (pelabuhan) Barousai (Barus?) sebagai tempat kamper di impor (ke Eropa).

Utusan Raja Yeh-tiao (sejumlah peneliti menyebut dari Sumatra) mengindikasikan perdagangan Sumatra telah mencapai pantai timur Tiongkok. Produk apa yang diperdagangkan ke Tiongkok, diduga produk industri dari Tiongkok dipertukarkan produk alami dari Sumatra seperti kamper, kemenyan dan emas (mungkin juga gading). Selain catatan Tiongkok abad ke-2. Bukti lain ditemukan di Vietnam adalah prasasti Vo Cahn (prasasti tertua di Asia Tenggara abad ke-2) yang ditulis dalam akasara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Nama tempat di kawasan ini dalam catatan geografi Ptolomeus adalah Kattigara (para peneliti menyebut Kamboja). Dengan demikian pada awal sejarah tertulis (abad ke-2) semua merujuk (dan terbatas) berada di sebelah utara garis ekuator (lihat peta Aurea Chersonesus dan peta Pulau Taprobana).

Kerajaan apa dan dimana yang eksis di sebalah utara garis ekuator pada era Ptolomeus (abad ke-2), haruslah dihungkan dengan kerajaan besar yang kaya yang memiliki kemampuan navigasi pelayaran perdagangan. Dua bentuk kekayaan saat itu adalah kamper dan emas yang peta Ptolomeus disebut semenanjung emas (Aurea Chersonesus) dan produk kamper dalam catatan geografi Ptolomeus. Banyak bukti terkait saat itu dihubungkan dengan Sumatra bagian utara yang dalam perkembangannya disebut pada abad ke-5 di Sumatra bagian utara terdapat nama (pelabuhan) Barousai (Barus) dan penduduk yang disebut di Eropa bersifat kanibal (Batak). Tentulah orang India tidak menyebut seperti itu, karena orang India telah membentuk koloni-koloni di wilayah itu dalam hubungan kerjasama dengan penduduk (kerajaan) setempat. Hal itulah mengapa bahasa yang digunakan sebagai lingua franca berasal dari India (selatan) bahasa Sanskerta dan penggunaan akasara Pallawa (prasasti Vo Cahn).  Prasasti Vo Cahn mengindikasikan kerajaan baru terbentuk dimana sang putri berasal dari Raja yang mashur dengan hadiah emas, perak dan gading. Besar dugaan prasasti Vo Cahn di Vietnam adalah cabang kerajaan di Sumatra sebagai wujud dari pembukaan pos perdagangan dengan Tiongkok.

Lantas bagaimana hubungan sejarah awal tersebut dengan terbentuknya bahasa Melayu? Yang jelas bahwa yang sudah lama eksis adalah bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa. Prasasti Dong Yen Chau di Vietnam (abad ke-4) berbahasa Sanskerta tetapi ditulis dengan aksara Brahmi yang juga berasal dari India (berbeda dengan aksara Pallawa). Dalam hal ini lingua franca (didominasi) bahasa Sanskerta, tetapi selain aksara Pallawa juga ada aksara Brahmi. Seperti kita lihat nanti aksara Batak lebih cenderung dikonstruksi atas dasar kombinasi aksara Brahmi dari aksara Pallawa.

Lalu apakah bahasa Melayu sudah terbentuk? Sejauh ini belum. Di berbagai tempat di nusantara terutama penduduk asli (bukan pendatang dari India atau Tiongkok) telah eksis bahasa masing-masing (kini disebut bahasa etnik atau bahasa daerah), misalnya bahasa Jawa dan bahasa Batak. Pada fase ini penduduk asli di Nusantara seperti di Sumatra (Batak) dalam banyak hal telah menggunakan dwibahasa (bahasa asli Batak dan bahasa lingua franca Sanskerta). Dalam teks prasasti Dong Yen Chau unsur bahasa India (Sanskerta) cukup menonjol, tetapi juga ditemukan elemen bahasa-bahasa yang diduga berasal dari bahasa asli (nusantara). Satu elemen bahasa yang unik yang jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa lain dalam teks tersebut adalah awal ‘ni’ dan ‘di’ (khusus) yang dibedakan dengan awal ‘di’ umum. Awalan ‘ni’ dan ‘di’ khusus pada masa kini hanya ditemukan dalam bahasa Batak.

Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7, pola (terbentuknya) bahasa Melayu mulai terlihat. Prasasti-prasasti ini ditemukan di pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa. Prasasti-prasasti tersebut tampkanya terkait satu sama lain yang mengindikasikan ada hubungan terkait antara pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa (bagian tengah). Besar dugaan prasasti-prasasti (berbahasa mirip Melayu) ini terhubung dengan pengaruh Boedha. Tampaknya pengaruh Boedha di Nusantara mulai menonjol (bersaing dengan Hindoe). Hindoe dan Boedha sama-sama berasal dari India.

Prasasti Muara Kaman (Koetai, Kalimantan) dan prasasti-prasasti tertua di Jawa yang berasal dari abad ke-5 umumnya berbahasa Sanskerta dan aksara Pallawa yang dipenharuhi oleh Hindoe. Prasasti di Jawa bagian barat yang terbilang lengkap adalah prasasti Tugu (Jakarta), prasasti Cidangiang. Prasasti berbahasa mirip Jawa kuno baru muncul kemudian (setelah prasasti-prasasti berbahasa mirip Melayu). Meski demikian prasasti berbahasa Sanskerta masih umum ditemukan (plus bahasa-bahasa lainnya seperti Tamil, Khmer dan Batak).  

Seperti halnya dalam teks prasasti Dong Yen Chau (di Viernam abad ke-4), dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) yang ditemukan di Palembang (pantai timur Sumatra), penggunaan kosa kata bahasa Sanskerta masih dominan namun unsur bahasa asli tampak lebih banyak daripada teks prasasti Dong Yen Chau.

Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit awalan ‘ni’ dan ‘di’ khusus masih eksis seperti nityakāla, ‘di samvau’ dan ‘di saptani’. Awalan lain yang terdapat dalam teks prasasti Kedoekan Boekit ini adalah awalan ‘ma’ dan ‘mar’ seperti ‘mangalap’, ‘mamawa’. ‘marlapas’, ‘marvuat’. Awalan ‘ma’ dan ‘mar’ pada masa ini ditemukan dalam bahasa Batak yang merupakan padanan awalan ‘me’ dan ‘ber’ dalam bahasa Melayu/Indonesia. Dalam sebutan (sistem) bilangan dalam teks disebut ‘sapulu dua’ yang kurang lebih sama dalam sistem bilangan bahasa Batak untuk menyatakan angka dua belas. Satu yang penting lainnya dalam teks prasasti Kedoekan Boekit ini disebut nama tempat ‘minanga’, suatu nama tempat yang masih eksis di wilayah Batak di daerah aliran sungai Baroemoen pantai timur Sumatra yakni Binanga (ibukota kecamatan Barumun). Dalam prasati ini juga disebut nama (kerajaan) Sriwijaya.

Lalu bagaimana menunjukkan hubungan antara bahasa Batak di satu sisi dengan keberadaan (kerajaan) Sriwijaya di sisi lain yang ditemukan dalam prasasti-prasasti tersebut? Dalam hal ini bahasa asing sebagai lingua franca (Sanskerta) bercampur dengan bahasa asli (Batak). Isi teks prasasti Kedoekan Boekit dapat dikatakan campuran bahasa Sanskerta dan bahasa Batak. Lantas bagaimana kemudian terbentuk bahasa Melayu sebagai bahasa yang lebih baru (dari bahasa Sanskerta dan bahasa Batak)?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Melayu Diturunkan dari Bahasa Batak? Prasasti-Prasasti Zaman Kuno dan Jejak Bahasa Batak di Filipinan dan Sulawesi hingga Nusa Tenggara

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar