Rabu, 28 Desember 2022

Sejarah Surakarta (1): Asal Usul Kota Surakarta, Juga Dikenal Kota Solo; Nama Surakarta atau Kartasura, Sala, Suro, Solo


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Surakarta adalah sejarah yang panjang. Surakarta atau Sala, Surokarto atau Solo. Yang mana yang benar? Jika keduanya benar, yang mana yang lebih tua? Nama yang tertua adalah awal sejarahnya sendiri. Tentu saja, jangan lupa masih ada satu lagi: Kartasura atau Kartosuro. Yang mana yang benar: Surakarta atau Kartasura. Ini ibarat Sorabaya dan Arosbaya. 


Beberapa hari terakhir ini si (kraton) Solo di Surakarta terjadi perbedaan pendapat diantara anggota keluarga kerajaan. Kita turut prihatin, tetapi kita sedang membicarakan sejarah Solo. Oleh karena itu semoga saja segera damain dan tenang, sehingga kita dalam mempelajari sejarah Surakarta juga menjadi lebih khusuk. Soal nama Surakarta dan Solo sebenarnya merujuk pada nama tempat yang sama. Surakarta secara administratif dan Solo secara bisnis. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apa namanya secara geografis, yang secara historis diidentifikasi dalam peta-peta sejak zaman doeloe. Bagaimana penggunaan nama Surakarta dan Solo kita bandingkan dalam teks-teks yang ada sejaman.

Lantas bagaimana sejarah asal usul kota Surakarta, yang juga dikenal kota Solo? Seperti disebut di atas, nama Surakarta atau Solo ada perbedaan penggunaan untuk menunjukkan tempat yang sama. Namun ternyata tidak hanya itu, juga soal nama Surakarta atau Kartasura, Sala, Suro atau Solo. Lalu bagaimana sejarah asal usul kota Surakarta, yang juga dikenal kota Solo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Asal Usul Kota Surakarta, Juga Dikenal Kota Solo; Nama Surakarta atau Kartasura, Sala, Suro atau Solo

Kapan nama Surakarta dicatat? Jangan buru-buru dan ada baiknya kita perhatikan nama Kartasura yang jauh lebih awal daripada nama Surakarta. Nama Kartasura sendiri baru belakangan dicatat dalam narasi sejarah. Nama Kartasura kali pertama diidentifikasi dalam Peta 1695.


Wilayah pedalaman Jawa berhasil ditaklukkan VOC/Belanda pada tanggal 16 Desember 1681. Sebagai konsekuensi penaklukkan ini wilayah pantai utara Jawa, wilayah pantai timur Jawa dan wilayah Jawa bagian barat diserahkan kepada VOC. Lalu benteng Missier dibangun di sungai Tegal. Pada tahun 1687 VOC melakukan ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong di bawah pimpinan Sersan Scipio dan kemudian membangun benteng (fort) Padjadjaran (kini tetap berada di istana Bogor yang sekarang). Perselisihan VOC dan (kerajaan) Mataram bermula pada tahun 1628 dimana Mataram menyerang Batavia. Peta era Portugis  

Peta tehun 1695 dibuat pada era VOC oleh landmeter/kaartenmaker Isaac de Graaff dalam suatu ekspedisi ke pedalaman (selatan) Jawa dari benteng (fort) Missier (di Tengal). Ekspedisi ini dipimpin oleh Majoor Jacob Couper. Di dalam peta, diantaranya diidentifikasi nama (tempat) Mataram dan (nama tempat) Carta Soura. Nama lengkap Carta Soura adalah Carta Soura di Ningrat.


Eksistensi kota ini dimulai saat Sinuhun Paku Buwana II, raja Kasultanan Mataram Islam, memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, sebuah desa yang tidak jauh dari tepi Bengawan Solo, karena istana Kartasura hancur akibat serbuan pemberontak. Sunan Pakubuwana II membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Kyai Sala, sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda) untuk membangun istana Mataram yang baru. Secara resmi, istana Mataram Islam yang baru dinamakan Karaton Surakarta Hadiningrat dan mulai ditempati tanggal 20 Februari 1745. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Sinuhun Paku Buwana III, Belanda, dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755 membagi wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga yang diadakan pada 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran Surakarta (Pura Mangkunegaran Surakarta). Sebagai penguasa Mangkunegaran, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. (Wikipedia)

Dalam Peta 1695 tetangga (kampong) Carta Soura di sisi selatan sungai (Bengawan Solo) diidentifikasi nama kampong Soedimara. Nama Carta Soura ini masih eksis hingga masa ini (di kabupaten Sukoharjo). Akan tetapi nama Soedimara kini tidak ditemukan di kabupaten Sukoharjo maupun Kota Surakarta. Dalam perkembangannya setelah selesainya benteng Semarang, administrasi perdagangan yang selama ini berada di Jepara dipindahkan ke (benteng) Semarang. Berbagai kerjasama dan konflik permusuhan yang timbul setelah ekspedisi dari benteng Missier dilanjutkan dengan ekspedisi dari (benteng) Semarang ke Cartosoera.


Ekspedisi ke Cartosoera ini dimulai tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute Semarang, Oengaran, Toentang, Salatiga, Cartosoera. Govert Knol pada periode 1706-1708 adalah Komandan Samarang yang bekerja untuk VOC. Penunjukan Knol sebagai Komandan Semarang setelah terjadi penyerahan Semarang. Tugas utama Govert Knol dari benteng Semarang adalah untuk menaklukkan Soerabaja ke pedalaman dengan memulai ekspedisi dari Soerabaja pada tahun 1706. Pada rute ekspedisi ini kemudian sejumlah benteng dibangun sebagaimana dapat diperhatikan Peta 1719. Pada Peta 1724 nama Carta Soura ditulis sebagai Karta Soera.

Dalam radar geopolitik VOC, Cartasoera kemudian diperhatikan tidak hanya pada garis (navigasi pelayaran sungai Bengawan Solo) ke pantai timur Jawa (di Bojonegero) tetapi juga garis perjalanan darat ke pantai utara (benteng Semarang) melalui Salatiga.  Situasi dan kondisi inilah yang kemudian menjadi prakondisi era baru Cartasoura (wilayah Mataram yang jauh di selatan mulai dianggap tidak penting lagi oleh VOC)..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Surakarta atau Kartasura, Sala, Suro atau Solo: Jogja, Djogja, Djokja Jogdja, Jocja, Jogya, Djokjo, Jugya dan Lainnya

Nama Surakarta (soura-carta) adalah kebalikan nama Kartasura (carta-soura), ibarat nama Surabaya (sora-baja) sebagai kebalikan Arosbaja (aros-baja). Kebetulan kedua nama tempat (Surakarta dan Surabaya) berada di daerah pengaliran sungai yang sama: Bengawan Solo. Surakarta di hulu (di pedalaman, antara gunung Merapi dan gunung Lawu) dan Surabaya di hilir (di depan muara sungai bengawan Solo, di suatu pulau diantara daratan pulau Jawa dan pulau Madura).


Nama-nama tersebut diduga kuat sebagai nama-nama yang berasal dari zaman kuno pada era Hindoe-Boedha. Sebagai penanda navigasi awal kita dapat perhatikan nama kota Arosbaja di pantai barat laut (pulau) Madura. Kelak, di kota pelabuhan Arosbaja ini terjadi pertempuran antara (pasukan) kerajaan Madura (Arosbaja) dengan para pelaut-pelaut Belanda dalam ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1596). Dalam konteks masa lalu (zaman kuno) inilah nama Arosbaja dapat dihubungkan dengan nama pulau Sorabaja di suatu pulau yang dekat dengan muara sungai Bengawan Solo (suatu lalu lintas perdagangan yang ramai). Sementara itu, di bagian hulu daerah aliran sungai bengawan Solo di pedalaman di wilayah Surakarta terdapat dua gunung penting yakni gunung Merapi dan gunung Lawoe (yang dihubungkan dengan kepercayaan pada era Hindoe Boedha tersebut). Pasangan nama gunung ini (Merapi-Lawu), mirip di berbagai wilayah seperti di wilayah Angkola Mandailing (Tapanoeli) yakni gunung Loeboe Raja (raja kini menjadi raya) dan gunung Sorik Marapi (kini sorik, sebelumnya sri). Jadi dalam hal ini Merapai=Marapi dan Lubuk/Luwuk-=Lawu). Untuk sekadar menambahkan di diantara du gunung ini di dua wilayah terdapat candi tua Hindoe, yakni candi Simangambat (dekat Saru-matinggi) dan candi Prambanan (dekat Karto-suro). Dalam hal ini di dua wilayah pegunungan di Surakarta (Jawa) dan di wilayah Angkola Mandailing (Tapanoeli) sudah terbentuk pusat peradaban tua yang maju. Boleh jadi di dua wilayah inilah terbentuk dua kerajaan kuno yakni Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) dan Kerajaan Mataram (ma-tarum di Surakarta) plus Kerajaan Tarum/Taruma (t-aru-m; t-aru-ma).

Lantas bagaimana asal usul nama Kartosura atau Surakarta? Hal itu secara toponimi mirip dengan nama Sorabaja dan Arosbaja dimana dalam hal ini ‘sora’ dan ‘aros’ adalah ‘sungai’. Sebagaimana ‘karta’, terminologi ‘baja’ adalah suatu pusat pemerintahan atau suatu kota. Oleh karenanya nama ‘kartosura’ dapat diartikan ‘kota sungai’ dan arosbaja juga adalah kota sungai.


Perhatikan kata dasar ‘aro’ ‘aru’ atau ‘ara’ adalah air/sungai yang mengalami perubahan lapal menjadi saro, saru atau sura (saru-matinggi, saru-langun, b-aru-mun, ambu-aru, batang-ari/Batanghari, batang-arau, t-arum/t-aruma, sura-karta dan sura-baya yang semuanya merujuk pada air/sungai). Ini mengindikasikan sejarah awal (peradaban) merujuk pada sejarah navigasi pelayaran (perdagangan). sungai Barumun, sungai Batanghari, sungai Tjitarum dan sungai Kartasura/Surabaja adalah sungai besar di Sumatra dan di Jawa.

Dalam hal ini, nama (tempat) Kartasura/Surakarta dan Arosbaya/Sorabaya terhubung sejak zaman kuno dalam sejarah navigasi pelayaran perdagangan yang menjadi prakondisi terbentuk peradaban baru (pemerintahan dan ilmu pengetahuan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar