Jumat, 07 April 2017

Sejarah Kota Padang (8): Metropolitan Pertama Luar Jawa; Kopi Mandailing Harga Tertinggi Dunia, Mr. WA. Hennij

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang sejak 1834 adalah ibukota Province Sumatra’s Westkust. Secara bertahap Kota Padang juga menjadi ibukota Residentie Padangsche Benelanden, Residentie Padangsche Bovenlanden dan Residentie Tapenoeli. Ini dengan sendirinya Kota Padang akan semakin tumbuh dan berkembang pesat. Ekonomi kopi menjadi ‘garansi’ pembiayaan pembangunan di Province Sumatra’s Westkust. Denyut nadi pembangunan wilayah Pantai Barat Sumatra berpusat di Kota Padang.

Gudang kopi di Kota Padang (foto 1860)
Koffiecultuur yang dimulai di Padangsche Bovenlanden, perhatian pemerintah pusat (Batavia) semakin intens sejak 1834 (dengan meningkatkan status Sumatra’s Westkust dari residentie menjadi province) yang dengan sendirinya mengangkat seorang gubernur (kali pertama) . Penerapan koffiestelsel mengikuti program sejenis yang telah berhasil diterapkan di Preanger (1830). Peningkatan permintaan kopi dunia menjadi salah satu sebab mengapa Pemerintah Hindia Belanda sangat bernafsu dari West Java untuk melakukan ekspansi ke Sumatra’s Westkust. Pemerintah Hindia Belanda telah banyak kehilangan resources akibat Perang Djawa dan mandeknya ekonomi gula. Singkat kata pemerintah butuh recovery dan membutuhkan sumber pendapatan baru. Meski ada halangan ketika melirik Sumatra’s Westkust (Padri), itu tidak menjadi soal lagi. Hal ini karena Perang Jawa sudah mulai mereda. Kekuatan militer di Jawa sudah dapat dialihkan ke Sumatra’s Westkust untuk membuka ruang pengembangan ekonomi ekonomi kopi.

Pada saat mulai ekspansi besar-besaran di Sumatra;s Westkust, dengan menempatkan seorang gubernur di Kota Padang, situasi dan kondisi Kota Padang sudah sejak lama tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Padang hanya berpusat di sekitar muara sungai Batang Arau. Loji yang telah dibangun sejak dua abad sebelumnya (era VOC) hanya itu-itu saja. Pertambahan bangunan, rumah, kantor, militer dan situs lainnya hanya berada disepanjang sungai Batang Arau.

Area kota secara teknis hanya berada diantara sungai Batang Arau dengan kanal yang dibangun di sisi belakang. Kanal (pertama/lama) ini dibangun untuk dua tujuan, yakni sebagai drainase untuk upaya pengeringan rawa-rawa dan hutan-hutan belantara yang masih sangat basah dan kanal pertahanan untuk barier terhadap serangan musuh dari belakang yang sekaligus kanal ini memisahkan area Eropa/Belanda dengan penduduk pribumi. Dalam perkembangan berikutnya, ketika kota meluas kea rah hulu sungai Batang Arau dibangun lagi kanal yang menyodet sungai Batang Arau di hulu dan mengalirkannnya kembali ke sungai Batang Arau di hilirnya. Pembuatan kanal ini lebih pada upaya drainasi dan sekalgur memisahkan area Eropa/Belanda di barat kanal dan lingkungan pemukiman penduduk pribumi yang terus bertambah (migrasi) yang kemudian dikenal sebagai area/kampong Sebrang Padang. Kelak kanal besar dibangun lagi untuk fungsi drainase area kota dan mengurangi dampak banjir di pelabuhan Muaro yang menyodet air sungai Batang Arau di hulu dengan menarik garis kanal ke utara dan kemudian dibelokkan ke barat menuju pantai. Kanal ini disebut Kanal Baroe.  

Saat pembentukan province Sumatra’s Westkust ini (yang ditetapkan beribukota di Kota Padang), tata ruang kota yang baru dimulai. Pengembangan (perluasan) tata ruang kota yang baru Kota Padang sesungguhnya tidak mudah, karena di sana sini terdapat rawa-rawa dan hutan-hutan belantara yang sangat basah. Lanskap Kota Padang, kurang lebih sama ketika perluasan tata ruang kota dimulai di Batavia, Semarang dan Soerabaja. Meski ada rintangan alam, Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda) sudah tentu sangat terbiasa dan berpangalaman soal urusan reklamasi lahan dan kanalisasi (di Nederland).

Pengembangan tata ruang kota di Kota Padang relatif bersamaan waktunya dengan pengembangan tata ruang kota di Kota Bandoeng (utara). Perbedaannya, di Kota Bandoeng dibuat kanal dengan menyodet sungai Tjikapoendoeng di hulu, bukan untuk drainase seperti di Kota Padang, tetapi justru untuk mengalirkan air menuju area permukiman Eropa/Belanda untuk meningkatkan kapasitas air tanah untuk sumber air minum dan juga untuk kebutuhan irigasi pengembangan lahan pertanian baru. Kanal Bandoeng ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak banjir sungai Tjikapoendoeng di hilir Kota Bandoeng (selatan) karena areanya memang lebih rendah yang menjadi pengembangan area pemukiman penduduk pribumi.

Awal tata ruang Kota Padang (1834)
Langkah pertama dalam perluasan kota, rumah gubernur tidak dibangun di pusat kota (sepanjang sungai Batang Arau) tetapi mengambil tempat dipinggir kota, jauh dari keramaian. Pembangunan rumah gubernur ini bersamaan dengan pembangunan garnisun militer yang besar tidak jauh dari rumah gubernur. Selama ini di Kota Padang (lama) hanya terdapat tangsi militer, suatu tangsi yang sudah ada sejak era VOC. Antara rumah gubernur dengan garnisun militer dibangun kantin (militer). Tiga situs (rumah gubernur, garnisun dan kantin) ini merupakan bangunan yang menandai permulaan perluasan kota (sebagai penetapan tata ruang kota baru). Untuk menghubungkan rumah gubernur dengan pusat kota di sisi sungai Batang Arau dibuat jalan yang pada sisi kiri dan kanan jalan ditanam pohon jati yang didatangkan dari Jawa. Jalan ini kemudian di sebut Djati laan (kini Jalan Jati).

Rumah Gubernur (1870?)
Sejak adanya rumah gubernur, garnizoen dan kantin (di seputar Jalan Jati yang sekarang) aktivitas pemerintahan militer sangat sibuk. Hal ini karena semakin meruncingnya perlawanan Padri terhadap Belanda di pedalaman yang berpusat di Bandjol (Padangsch Bovenlanden). Setelah berakhirnya Perang Padri, 1837, dari area seputar Djati laan ini dibuka akses jalan menuju Solok. Jauh sebelumnya, akses jalan menuju Padang Pandjang sudah dilakukan pada tahun 1824 melalu sisi pantai terus ke Anai (jurang Ambatjang) terus ke Padang Pandjang. Akses jalan ini lalu diperluas ke Fort de Kock jelang Perang Padri di Bonjol. Sementara akses jalan laut ke selatan hingga Indrapoera dan ke utara hingga Natal serta ke barat di kepulauan Mentawai, Batoe dan Nias semakin diintensifkan. Akibatnya, Residentie Bencoelen dipisahkan dari Sumatra’s Westkust dan sebagai penggantinya dibentuk Residentie Air Bangies (yang juga meliputi afdeeling Natal dan afdeeling Mandailing en Angkola). Residentie Air Bangies ini tidak lama (hanya berlnagsung selama fase krusial Perang Padri) dan kemudian dihapuskan dengan membentuk Residentie Tapanoeli. Pecahan-pecahan Residentie Air Bangis ini pada tahun 1840, afdeeling Air Bangis dimasukkan ke Residentie Padanngsche Benelanden, afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden dan kemudian afdeeling Mandailing en Angkola dan afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli.

Pasca perubahan geopolitik (setelah Perang Padri di Bondjol), perubahan struktur pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust dan pembukaan (termasuk peningkatan) akses dari dan ke Kota Padang, secara drastis Kota Padang tumbuh dan berkembang bagaikan deret geometri. Aliran kopi dari Padangsch Bovenlanden secara perlahan-lahan dan kemudian dengan kecepatan yang tinggi menuju Kota Padang. Loge yang sudah dibangun sejak era VOC secara drastic dari sepi menjadi sangat ramai. Loji berubah menjadi gudang kopi besar (koffiepaarhuizen). Perputaran barang bongkar muat komodi impor dan ekspor di pelabuhan Moeara semakin sibuk. Nilai tukar penduduk di pedalaman karena kopi makin moncer. Keadaan inilah yang diharapkan Pemerintah Hindia Belanda ketika Batavia memulai ekspansi (dalam arti sesungguhnya) tahun 1834 ke Sumatra’s Westkust.

Era perdagangan baru di Kota Padang dimulai. Perusahaan perusahaan perdagangan (besar) di Batavia mulai membuka cabang di Kota Padang. Perusahaan pelayaran (stoomboat), barang-barang consumer (Krijgsman & Co), perusahaan perdagangan kopi (Dammles & Co, JF Leeuwen & Co, Poevis & Co), perbankan (Java Bank) dan lainnya menyusul seperti van Hoten en Steffan & Co dan Diemont en Co. Perusahaan-perusahaan ini menjadi perusahaan yang sudah lebih awal ada yang berafiliasi pemerintah (NHM=Nederlands Handel Maatshappij) yang investasinya didominasi keluarga kerajaan di Nederland.

Tonase kapal yang berlabuh di pelaboeahan Moeara lambat laun semakin besar, sungai Batang Arau semakin tampak dangkal. Untuk menggiring kapal-kapal bertonase berat yang semakin ke tengah mulai diarahkan lebih dekat ke sisi sungai dengan jalan mulai mengeruk sungai Batang Arau. Jumlah pejabat baru semakin banyak sebagai dampak pemekaran wilayah (hingga ke Residentie Tapanoeli di Singkel) dan sebagai aktivitas pembangunan yang semakin beragam. Peningkatan permintaan perumahan semakin meningkat yang pada gilirannya kebutuhan lahan perumahan semakin meluas di Kota Padang. Pembukaan jalan-jalan baru seiring dengan tata ruang kota yang baru semakin banyak. Kota Padang mulai terlihat tanda-tanda sebagai ‘kota metropolitan’ pertama di luar Jawa.

Bersamaan dengan peningkatan investor Eropa/Belanda dari Batavia ke Padang, di lini kedua juga muncul para pedagang (investor Tionghoa) juga dari Batavia. Pedagang-pedagang kecil Tionghoa di Kota Padang (sejak era VOC) mulai mendapat tekanan dari pengusaha-pengusaha besar Tionghoa. Para pedagang-pedagang pribumi juga mulai bermunculan sebagai dampak booming  kopi di pedalaman. Pembukaan kampong-kampung baru semakin terintegrasi dengan perluasan area pemukiman orang-orang Eropa/Belanda. Tata pemerintahan kota juga mulai dilakukan, fungsi penghoeloe di dalam kota dihilangkan dan digantikan dengan kepala kampong (komponghoofd) dan pengangkatan Kapiten China dilakukan untuk mengatur komunitas Tionghoa.        

Kota Padang sebagai ‘kota metropolitan’ yang baru juga terlihat dari munculnnya pembangunan hotel untuk menggantikan fungsi pesanggrahan yang ada selama ini. Hotel pertama yang dibangun adalah hotel yang dibangun tidak jauh dari pantai. Hotel ini disebut Hotel Sumatra dan jalan yang berada di depan hotel lambat laun menjadi ramai dengan berdirinya sejumlah bangunan pemerintah dan bangunan swasta. Jalan ini kelak dikenal sebagai Jalan Samudra.

Lelang Kopi dan Mr. WA. Hennij

Dalam perumbuhan dan perkembangannya di Province Sumatra’s Westkust selalu muncul tokoh penting pada setiap era. Tokoh pertama dalam pembangunan ekonomi di Province Sumatra’s Westkust adalah Gubernur Kolonel AV Michiels (sejak 1834-1850). Kemudian muncul tokoh pembaharu di Residentie Tapanoeli (1845-1857), Resident Majoor A. van der Hart. Di level asisten residen muncul tokoh penting, Asisten Residen afdeeling Mandailing en Ankola (1848-1858). Dan yang terakhir adalah seorang sarjana yang memulai karir sebagai controleur di onderafdeeling Angkola (1859), Mr. WA. Hennij. Sebagaimana kita lihat nanti, Mr. WA. Hennij akan meraih kedudukan tinggi di Province Sumatra’s Westkust sebagai kepala sekretariat Gubernus (kini Sekda). Kesuksesannya dalam koffiecultuur di Angkola mencapai puncak karirnya sebagai sekda di Kota Padang saat booming kopi di Province Sumatra’s Westkust.

***
Afdeeling Mandailing en Angkola terdiri dari empat onderafdeeling (Groot Mandailing, Klein Mandailing, Oeloe en Pakantan dan Angkola). Sentra koffiecultuur sendiri sesungguhnya hanya terdapat di onderfadeling Oeloe en Pakantan dan onderafdeeling Angkola. Dari dua onderafdeeling inilah produksi kopi secara besar-besaran mengalir ke pelabuhan Natal. Kopi asal dua sentra ini di pusat lelang di Padang diberi label yang terpisah: kopi Mandailing dan kopi Angkola.

Sejak 1843 di Angkola telah bekerja dengan baik dalam koffiecultuur WF Godin sebagai controleur. Pada tahun 1846 Godin digantikan oleh LB van Planen Patel, lalu pada tahun 1948 Patel digantikan KF Stijman, lalu tahun 1851 datang AJF Hamers (berakhir 1855). Masing-masing controleur ini dapat diterima penduduk/pemimpin di Angkola. Akibatnya produksi kopi Angkola tidak efisien lagi disalurkan via Natal (terlalu jauh).

AJF Hamers yang menjadi controleur Angkola selama lima tahun melihat situasi dan kondisi dengan cermat lalu mulai merintis membuka jalan antara Padang Sidempuan dengan Loemoet (pelabuhan sungai). Pada saat AP Godon cuti ke Belanda tahun 1857 (setelah lebih dari delapan tahun menjadi asisten Residen Mandailing en Ankola) di Angkola ditempat seorang controleur yang visioner, seorang sarjana bernama WA Hennij.

Mr. WA Hennij mengikuti program yang telah dijalankan oleh Hamers. WA Hennij lebih meningkatkan kapasitas (produktivitas kopi) dan efisiensi pengakutan (low cost).

Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1859: ‘berdasar laporan W.A. Henny, Controleur di Ankola en Sipirok, bahwa, di afdeeling Mandheling en Ankola, dalam koffijculture (tanam paksa dibiayai pemerintah), hasil penanaman kopi adalah sebagai berikut: Pada tahun 1853, satu pikol kopi dihasilkan dari 161 pohon, 1854 (157), 1655 (93), 1856 (159), 1857 (110)’

Karenanya WA Hennij sangat berhasil dalam perluasan areal kopi di Angkola, tidak hanya di Angkola Djae dan Angkola Doeloe tetapi juga ke Angkola Dolok (Sipirok) dan juga sangat berhasil dalam pemningkatan mutu jalan/jembatan antara Padang Sidempuan-Loemoet. Semasa Hennij menjadi controleur Angkola, juga dibangun gudang besar di Djaga-Djaga (pelabuhan laut) yang dapat meningkatkan volume/tonase kapal untuk mengangkut kopi ke Padang.

Akibatnya, Natal tidak sepenuhnya menjadi pelabuhan dari afd. Mandailing en Angkola lagi, karena dalam perkembangannya tidak semua arus produksi dan orang melalui pelabuhan Natal. Penduduk dan hasil-hasil produksi dari Angkola sudah sejak lama mengalir melalui Lumut tetapi semakin optimal dengan tersedianya gudang/pelabuhan di Djaga-Djaga.

Pada saat era WA Hennij inilah ekonomi Angkola mampu mengimbangi ekonomi Mandailing. Volume perdagangan kopi Angkola telah meningkat pesat dan harganya juga telah meningkat juga.

Padangsch nieuws-en advertentie-blad, 24-03-1860 (iklan, pengumuman pemerintah di Padang):  ‘rekapitulasi hasil pembelian dan penjualan kopi pemerintah pada penutupan bulan Maret 1860. Jumlah yang dibeli sama dengan jumlah yang dijual ke eksportir yakni sebanyak 45.000 picols. Dengan satuan unit (lot) 200 picols, harga jual rata-rata sebesar f 34.22 per picol. Harga rata-rata kopi Mandheling tertinggi, disusul kopi Ankola. Harga tertinggi kopi Mandheling mencapai f 35.05 per picol, sementara harga kopi tertinggi Ankola sebesar f 34.85 per picol’.

Faktor penting peningkatan ekonomi Angkola karena akses jalan yang telah membaik dari Padang Sidempuan ke Loemoet. Juga karena factor perluasan kebun kopi ke Sipirok telah mulai menghasilkan.

Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-06-1860: ‘Asisten Residen Mandheling en Ankola, B. Zellner dipindahkan ke Lima Poeloeh Kotta. Untuk Asisten Residen Mandheling en Ankola diangkat Controleur kelas-1, W.A. Henny, yang sebelumnya menjabat Controleur di Ankola’

Atas prestasi WA Hennij dalam ekstensifikasi dan intensifikasi kopi di Angkola, posisinya dinaikkan dari jabatan controleur (di onderafd. Angkola) menjadi asisten residen (di afdeeling Mandailing en Ankola). Dalam perkembangannya, WA Hennij ditarik ke Padang, Ibukota Province Sumatra’s Westkust menjadi sekretaris Gubernur (kini Sekda).

De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws-en advertentieblad, 10-12-1860: ‘Ditunjuk sebagai Sekretaris di Governemen Sumatra’s Westkust, Adsistent Resident dari Mandheling en Ankola, Mr. WA. Henny dengan pangkat setingkat asistent-resident. Untuk Adsislent Residen Mandheling en Ankola (Sumatra’s Westkust) digantikan oleh P. Severijn yang sebelumnya menjabat sekretaris van Gouvernement Sumatra’s Westkust’.

Ketika akses jalan Padang Sidempuan-Lomoet telah ditingkatkan untuk pengakutan kopi, pemerintah pusat/provinsi memandang perlu untuk menghubungkan Padang (ibukota provinsi Sumatra’s Westkust) dengan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) melalui moda transfortasi darat. Lalu dilakukan peningkatan mutu jalan/jembatan di tiga etafe: Fort de Kock-Panjaboengan, Panjaboengan-Padang Sidempuan dan Padang Sidempuan-Sibolga. Pada etafe Padang Sidempuan-Sibolga, jalan darat diperluas antara Loemoet-Sibolga. Sebab pelabuhan Sibolga sudah ditingkatkan dan arus perdagangan kopi akan langsung menuju Sibolga. Konsekuensinya, jalan akses Panjaboengan/Kotanopan menuju Natal semakin sepi. Hal ini karena faktanya arus kopi dari Mandailing telah mengalir ke tiga arah: selain ke Natal, juga telah mengarah ke Fort de Kock dan ke Padang Sidempuan.  

Sejak WA. Hennij menjadi sekda provinsi, perhatian pemerintah semakin intensif ke Residentie Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing en Angkola. Semakin membaiknya akses darat dari Padang-Sibolga via Padang Sidempuan, jumlah para wisatawan juga semakin meningkat. Hal lain adalah di satu sisi produksi kopi di onderfadeeling Klein Mandailing dan Oeloe en Pakantan sudah mengalir melalui darat ke Fort de Kock dan di sisi lain produksi kopi dari Angkola (Djae, Djoeloe dan Dolok) menuju Sibolga.

Posisi Padang Sidempuan menjadi strategis. Padang Sidempuan menjadi tumbuh pesat karena tidak hanya pusat transit perdagangan kopi (gudang besar) juga penduduk Mandailing sudah mulai banyak yang melakukan transaksi ke Padang Sidempuan (menjual produk ekspor dan membeli produk impor). Pada tahun 1870, Padang Sidempoean menjadi ibukota afdeeling Mandailing dan Angkola (dipindah dari Panjaboengan). Pada tahun 1875 bahkan telah menjadi ibukota Residentie Tapanoelie. Pada saat Padang Sidempuan menjadi ibukota residentie, kota Padang Sidempuan sudah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Fort de Kock (ibukota Residentie Padangsche Beovenlanden).

Natal lambat laun menjadi sepi. Natal yang sebelumnya pintu gerbang afdeeling Mandailing en Angkola seakan berbalik menjadi hanya sekadar pintu belakang. Natal seakan menjadi terpencil kembali, sebagaimana pada tahun 1845. Saat itu Natal tidak menjadi bagian dari Residentie Tapanoeli tetapi bagian daerah paling luar dari Residentie Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock).

Kota Padang Menjadi Kota Metropolitan

Dalam masa-masa jabatan WA. Hennij sebagai Sekda Province Sumatra’s Westkust, Kota Padang dalam situasi puncak kejayaan. Untuk kali pertama muncul surat kabar di Kota Padang. Kota Padang benar-benar kota pemerintahan dan kota perdagangan. Akan tetapi tidak sebagai kota pendidikan. Pusat pendidikan justru berkembang di pedalaman, di Fort de Kock (afdeling Agam) dan di Tanobato (afdeeling Mandailing en Angkola).

De Kiffijveilingen te Padang (HM Szoon, 1859
Puncak kejayaan Kota Padang (dimana WA Hennij) bermula ketika tahun 1846 di Kota Padang dimulai lelang kopi. Sejak itu volume kopi di Sumatra’s Westkust terus meninggkat, harganya juga semakin meninggi. Era baru perdagangan kopi di Sumatra’s Westkust dimulai sejak dimulainya lelang kopi tersebut juga dipicu oleh mulai mengalirnya kopi Mandailing dan Angkola ke pasar lelang Kota Padang (Algemeen Handelsblad, 25-06-1849).

Pada saat masuknya kopi Mandailing dan Angkola ini nilai perdaganagn kopi di Kota Padang meningkat signifikan (lihat De Kiffijveilingen te Padang door Hendrik Muller Szoon, Rotterdam 2 Januarij 1859). Porsi jumlah yang diekspor ke Eropa juga meningkat dari waktu ke waktu dari 35 persen di tahun 1846 menjadi 65 persen di tahun 1856. Peningkatan volume dan nilai ekspor kopi Sumatra’s Westkust semakin menguat ketika harga kopi Mandailing dan Angkola. Sejak tahun 1857 harga kopi Mandailing dan Angkola telah menjadi kopi harga tertinggi dunia (lihat Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-04-1858)

Java-bode, 10-04-1858
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 02-06-1855: ‘Hadir dalam lelang membawa 30.000 picols koffiij bahwa di luar diharapkan harga tinggi yang dijual. yang untuk jenis baik Mandheling dan Bavenlanden, rata-rata NLG 25.30 dan f 25.50 f. Di luar 10.000 pic. Kopi ini dibeli oleh pabrik, sisanya tampaknya sebagian besar dimaksudkan untuk dikirim ke Amerika. Dari lelang sebelumnya 6850 picols kopi, dibeli oleh Louise Jacoba Johanna, yang tiga kapal-3 ini berangkat dari sini dibongkar ke Belanda’.

Akibat dari peningkatan volume dan harga tersebut terjadi hal yang menggembirakan. Pertama, tingkat kemakmuran penduduk meningkat pesat di Mandailing dan Angkola. Memang kontribusi kopi Mandailing an Angkola hanya sekitar seperempat dari kopi Padangsche Bovenlanden, namun karena jumlah penduduk Mandailing dan Angkola yang jauh lebih sedikit dibanding Padangsche Bovenlanden maka tingkat pendapatan perkapita dari sumber kopi menjadi lebih tinggi di Mandailing dan Angkola. Untuk sekadar gambaran, pada tahun 1870 jumlah penduduk Padangsch Bovenlanden sebanyak 599.792 jiwa (lihat Laporan WA Hennij, De Secretaris bij het Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid). Sementara penduduk Mandailing en Angkola hanya beberapa puluh ribu jiwa. Sentra produksi kopi di Padangsche Bovenlanden adalah Fort de Koek, Basso, Manindjoe, Matoea, Palembaijan, Pisang, Fort van der Capellen, Singkarah, Djambah, Sidjoendjoeng, Tandjong Ampalo, Raurau, Boea, Solok, Soepajang, Alahan pandjang, Lolo, Padang pandjang, Batoe baragoeng, Paija kombo, Goegoe, Siloedjoe, Sarilamah, Halaban, Poear datar dan Soeliki. Sedangkan sentra produksi kopi di Angkola dan Mandailing adalah Oloe en Pakantan, Klein Mandailing, Angkola Djae, Angkola Djoeloe dan Angkola Dollok (Sipirok).

De Kiffijveilingen te Padang (HM Szoon, 1859
Profil kemakmuran di Mandailing dan Angkola ini mulai tampak sejak tahun 1854 ketika dua siswa dari Mandailing dan Angkola dikirim orang tua mereka sekolah kedokteran di Batavia. Dua siswa berikutnya menyusul tahun 1856 dan pada tahun 1857 satu siswa dikirim bersekolah ke Belanda.

Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910)
Kedua, tingkat surplus di Sumatra’s Westkust dari ekonomi kopi juga meningkat pesat. Ini menandakan tingkat ekonomi di Sumatra’s Westkust sudah mampu melampaui tingkat ekonomi di Jawa khususnya di West Java (sesame penghasil kopi). Implikasinya, surplus tersebut membuat pemerintah berani mendirikan sekolah guru di Fort de Kock tahun 1856 (sekolah guru kedua setelah di Soerakarta tahun 1852). Alokasi surplus ini juga ditanamkan untuk peningkatan mutu jalan dan jembatan jalan poros Padang-Sibolga melalui Fort de Kock, Kotanopan dan Padang Sidempuan (yang dimulai tahun 1860).

Implikasinya bagi Kota Padang akibat perkembangan regional di Sumatra’s Westkust khususnya di Padangsche Boevenlanden dan Mandailing dan Angkola telah ikut menikmati kemakmuran. Bangunan-bangunan pemerintah di Kota Padang semakin banyak yang dibangun. Juga pengembangan pasar-pasar, pembukaan jalan baru dan perbaikan mutu jalan di Kota. Pelabuhan dikeruk untuk meningkatkan pelayanan pelayaran. Tentu saja pemerintah di Kota Padang (Asisten Residen) membagi perhatian kepada alm. AV Michiels, gubernur pertama Sumatra’s Westkust sejak 1834-1859 dengan membangun monument fenomenal, monument pertama di Hindia Belanda. Monumen ini sangat besar dan sangat megah dan menjadi icon baru Kota Padang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar